Rabu, 04 Januari 2017

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANTAGONISME POLITIK BERDASARKAN SEBAB KOLEKTIF



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antagonisme adalah unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha untuk menghilangkan atau menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Masalah utama dari antagonisme politik adalah bagaimana menentukan sebab-sebab dari antagonisme politik. Setiap doktrin politik menekankan satu sebab. Bagi kaum konservatif tradisional, perjuangan untuk merebut kekuasaan menempatkan “elite” –mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan –melawan “masa” –mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk pemerintah. Beberapa orang juga mempertahankan bahwa ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior, yang bisa berpartisipasi di dalam proses peradaban di bawah bimbingan ras-ras superior.
Kaum liberal menolak paham tentang ketidaksamaan alami di kalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi. Di dalam suatu masyarakat di mana tidak ada cukup benda-benda konsumsi untuk memuaskan permintaan umum, ada persaingan yang konstan di antara manusia, di mana setiap orang mencoba meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Hal ini menegaskan bahwa memegang posisi kekuasaan memberikan seseorang keuntungan yang sangat besar. Dari sini homo politicus  tidaklah berbeda dari homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama seperti persaingan ekonomi. Kedua-duanya adalah bentuk dari struggle for life, yang secara mendasar menempatkan satu spesies melawan yang lain, dan individu di dalam spesies melawan yang lainnya, menurut biologi Darwin.
Bagi kaum Marxis, antagonisme politik pada hakekatnya bersifat ekonomis, akan tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara produksi (pertanian purba, pertanian feodal, dan industri pertanian), yang pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial; beberapa kelas mempunyai alat-alat produksi dan karena itu dominan, sedangkan yang lain hanya mempunyai kemampuan bekerja dan harus dijual jasanya kepada yang memiliki alat. Kelas yang terdiri dari pemilik harta benda mempergunakan keadaan itu untuk mempertahankan dominasinya terhadap kelas yang tidak mempunyai harta milik, yang secara alami menolak penindasan ini. Konsekuensinya, perjuangan politik disebabkan oleh perjuangan kelas.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sebab-sebab kolektif?
2.      Apa kaitannya perjuangan kelas terhadap antagonisme politik?
3.      Bagaimana paham marxisme tentang kelas?
4.      Apa teori marxis tentang perjuangan kelas?
5.      Apa yang dimaksud dengan teori rasis?
6.      Apa saja konflik-konflik rasial?











BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sebab-Sebab Kolektif
Kita telah katakana bahwa pergolakan-pergolakan politik mempunyai dua aspek. Pada satu pihak,mereka beradu melawan masing-masing individu yang berjuang merebut kekuasaan atau merebut perhatian dari mereka yang memegang kekuasaan. Pada pihak lain, mereka menempatkan berbagai kelompok, perkumpulan, dan unsur-unsur sosial melawan satu sama lain.
Menurut kaum sosialis, perjuangan antar kelas adalah sebab utama bagi konflik-konflik politik: dalam pandangan konservatif, konflik-konflik politik mencerminkan perjuangan–perjuangan antar ras, persaingan-persaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas teritorial lainya, dan lain-lain.
2.2 Perjuangan Kelas
“sejarah setiap masyarakat sampai masa kini adalah semata-mata sejarah perjuangan kelas”. Sebelum marx, banyak yang percaya bahwa antagonisme politik di sebabkan oleh ketidaksamaan antara kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok sosial yang tidak sama ini termasuk kelas-kelas sosial , dalam arti seluas-luasnya.
Kini, bilamana kita berbicara tentang kelas-kelas sosial dan perjuangan kelas, kita ingat pada marx, secara sadar atau tidak sadar. Tentu saja, ini tidak berarti memihak untuk lebih menyukai marxisme. Itu hanya kita berarti mengakui marxisme adalah pada masa kini , doktrin yang dominan dalam bidang ini, sesuatu yang menjadi acuan dalam semua doktrin lain atas salah cara atau yang lain.
2.2.1 Paham Tentang Kelas
Sebelum Marx, paham tentang kelas didasarkan kurang lebih pada kontras antar yang kaya atau yang miskin, yang berpunya dan tidak berpunya. Para ahli sosiologi amerika masa sekarang menganut kembali konsep ini dalam teori-teorinya tentang “strata” sosial yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan standar hidup.
Marxisme menolak pembedaan ini atau untuk lebih tepat menempatkanya pada peranan yang lebih rendah. Masalahnya, dalam kenyataanya, bukanlah menyatakan bahwa ada orang miskin dan ada orang kaya, tetapi yang menentukan apakah yang menyebabkan kekayaan dari beberapa dan kemiskinan orang-orang yang lain. Bila mana kekayaan dan kemiskinan hanya tergantung dari kemampuan individual dari seseorang, pada intelegensi, kekuatan dan kemampuan bekerja maka tidak ada kelas. Konsep kelas di dasarkan pada ide bahwa perbedaan dalam status sosial tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi di paksakan kepada mereka atas cara yang khusus. Kelas sosial didefinisikan tidak saja oleh kenyataan bahwa kekayaan dan hak istimewa, kemiskinan dan penghisapan adalah sekurang-kurangnya sebagian akibat kelahiran dan dengan demikian mempunyai sifat turun temurun.
2.2.2 Paham Marxis Tentang Kelas
Ide sentral dari marxisme adalah bahwa kelas –kelas sosial dirumuskan oleh posisinya terhadap alat-alat produksi  hal ini berbeda-beda sepanjang sejarah dan konsekuensinya adalah variasinya mengubah hubungan-hubungan sosial.” Hubungan hubungan sosial terikat rapat kepada kekuatan-kekuatan produksi”. “Lahirnya kelas- kelas sosial adalah karena munculnya dan perkembangan.
Pemilikan pribadi atas alat-alat produksi adalah dasar utama dari pembagian masyarakat kedalam kelas. Setiap masyarakat yang diorganisir atas dasar ini menghasilakan dua kelas yang berada dalam konflik satu sama lain. Kelas yang memiliki alat-alat produksi dan kelas yang semata-mata bergantung pada kemampuanya bekerja untuk hidup. Konsekuensinya, menurut marx selalu ada dua kelas utama yang bertentangan satu sama lain dalam setiap masyarakat tertentu: yang menguasai alat-alat produksi dan yang lainya hanya mempunyai kemampuan kerja.
Akhirnya, kaum marxis membedakan kelas dan strata sosial. Tidak ada kelas yang semata-mata homogen, kecuali dalam masyarakat-masyarakat yang sangat terkebelakang. Dai dalam masyarakat feodal ada tuan-tuan besar dan tuan-tuan kecil. Bahkan ada lebih banyak jenis di dalam kalangan borjuis (atas dan bawah, industrial dan komersial,dan seterusnya). Dan di dalam proletariat ( pekerja baju-baju biru dan baju putih ,berbagai kelompok pengrajin,ahli tehnik,pegawai negri, dan tenaga-tenaga administrative.
Setiap kelas, di dalam perjuangan kelas, menghisap kontradiksi diantara strata dari kelas lain untuk melemahkanya , kaum borjuis membangkitkan konflik di kalangan kaum proletariat utuk mempertahankan kekuasaannya, kaum proletarian mengambil untung dari kontradiksi-kontradiksi di kalangan kaum borjuis untuk mempercepat kedatangan sosialisme.
Kaum marxis sangat menentang defenisi kelas semacam ini yang di dasarkan pada pendapatan atau standar hidup,namun, teori marxis tetap jelas dalam hal ini: penindasan kaum proletariat bukanlah sebagai konsekuensi dari tingkat hidup , dia adalah akibat dari kenyataan bahwa para pemilik pribadi dari alat produksi menyita nilai lebih dari kerja para pekerja yang memperoleh gaji.
2.2.3 Faktor-faktor Dalam Konsep Kelas
            Konsep Marxis tentang kelas dan konsep-konsep lain tentang kelas tidaklah kontradiktif. Dalam hal-hal tertentu, mereka saling melengkapi.posisi hak milik terhadap alat alat produksi mengaruh kepadaperbedaan-perbedaan dalam standar hidup, yang pada gilirannya menghasilkan perbedaan-perbedaan cara hidup, yang mengarah pada perbedaan perbedaan dalam paham paham populer tentang status sosial dan prestise. Perbedaan yang sebenarnya antara konsep marxis dengan yang lainnya adalah masalah pentingnya alat produksi. Bagi kaum marxis, itu adalah unsur hakiki dalam pembedaan kelas, sesuatu dari mana semua perbedaan lain berasal. Bagi yang bukan Marxis, adalah hanya salah satu faktor diantara yang lain. Dengan demikian kita sampai pada suatu generalisasi tentang paham kelas. Akhirnya konsep tersebut didasarkan pada dua faktor: ketidaksamaan kolektif dalam kondisi-kondisi sosial dan pewarisan turun temurun dari privelese-privelese.
           Konsep-kelas secara langung bertentangan dengan kosep elite, sebagaimana yang ditemukan oleh pareto, konsep elite didasarkan pada ide tentang kompetisi antara individual, dimana dimana yang paling berbakat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam tangga sosial dan yang kurang berbakat tinggal pada tingkat yang lebih rendah: konsep kelas didasarkan pada kenyataan bahwa diskriminasi dalam hakekat kolektif bercampur baur dengan permainan bebas kompetisi individual; beberapa individu tertentu, bahkan mereka yang paing berbakat, tidak bisa mencapai tingkat atas dari masyarakat karena mereka adalah kelompok didalam masyarakat yang oleh masyarakat tetap ditahan pada tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya, individu-individu lain, bahkan mereka yang tanpa bakat atau kemampuan, mendapatkan dirinya pada tingkat sosial yang lebih tinggi untuk mulai karena mereka adalah kelompok yang diberikan hak-hak istimewa.
2.2.4 Antagonisme Kelas Dan Konflik-Konflik Politik
Hanya beberapa orang yang mengingkari bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik politik. Perbedaan yang sebenarnya terletak di dalam kenyataan bahwa kaum marxis yakin bahwa semua konflik politik berasal kurang lebih secara langsung dari antagonism dan kontradiksi kelas. Sedangkan kaum non marxis menganggap antagonisme kelas sebagai salah satu faktor di antara yang lain , dan pentingnya setiap faktor di tafsirkan secara berbeda-beda.
2.2.5 Teori Marxis Tentang Perjuangan Kelas
Bagi kaum marxis, antagonisme kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas yang pada giliranya ditentukan oleh system produksi dan system milik yang kedua-duanya adalah akibat dari keadaan teknologi( kekuatan-kekuatan produktif). Kita tidak boleh mencampurbaurkan ketidaksamaan alami dengan ketidaksamaan sosial yang diciptakan oleh kelas-kelas. Ketika kita berbicara tentang sosiologis, ketidaksamaan lahir yang mengakibatkan perbedaan di dalam kemampuan individual tidaklah terlalu mengejutkan dari pada ketidaksamaan sejak lahir yang berasal dari situasi sosial yang membagi manusia menjadi kelas-kelas yang antagonistic, karena situasi yang pertama tidaklah dapat dihindarkan sampai tingkat tertentu, sedangkan yang kedua tidak. Bagi kaum marxis, sumber utama antagonisme tetap konstan di dalam setiap jenis Negara. Di dalam Negara purbakala, perjuangan utama adalah antara tuan dan budak, di dalam Negara kapitalis, adalah antara borjuis dan proletariat. Di dalam setiap hal, musuh did ala konflik tersebut adalah pemilik-pemilik pribadi atas alat-alat produksi dan mereka yang modalnya adalah semata-mata kemampuanya untuk bekerja, akan tetapi perjuangan dasar ini mengambil rupa yang berbagai ragam menurut rupa yang berbagai ragam menurut bentuk Negara.
2.2.6 Evaluasi Terori Marxis
            Teori marxis mempunyai kekuatan dalam membuktikan bahwa perjuangan kelas adalah faktor hakiki di dalam antagonisme politik. Kelemahannya terletak didalam kaumnya bahwa faktor ini, pada setiap waktu dan setiap tempat, dominan, dan bahwa faktor-faktor lain adalah sekunder dibandingkan dengan dan selalu berasal dari perjuangan kelas. Teori marxis kurang lebih sesuai dengan situasi aktual selama periode periode tertentu didalam sejarah akan tetapi tidak semua.
            Pada abab ke 19 (yaitu pada saat ketika Marx mengembangkan teorinya), pada permulaan abad dua puluh dikebanyakan masyarakat maju di eropa barat, konflik-konflik politik adalah terutama konflik kelas dalam artian Marxisme. Antagonisme antara aristokrasi dan kaum liberal (politik) adalah terutama antagonisme antara aristokrasi dan burjuis, kaum tani yang bertindak sebagai “kelas pendukung” bagi aristokrasi. Antagonisme antar kaum liberal (ekonomi) dan kaum sosilis adalah antagonisme burjuis (yang pada waktu itu membentuk aliansi dengan aristokrasi yang memudar) dan kaum ploretariat. Pasti faktor laik ikut camput – agama, nasional, rasial, dan seterusnya. Akan tetapi mereka kurang penting dibandingkan dengan faktor kepentingan kelas, yang berlaku sebagai kamuflase, sebagian sekurang kurangnya bagi kepentingan kelas. Pada saat Marx menulis pada dsaat dkotrinnya dikembangkan, dia melukiskan gerakan dasar dari perjuangan politik cukup tepat. Namun kurang pasti, apakah doktrin tersebut bisa dikenakan secara ketat bagi semua periode dalam sejarah.


2.3 Konflik-Konflik Rasial
Antagonisme politik tertentu di sebabkan oleh konflik antar ras. Kita harus membedakan konflik-konflik rasial yang murni dari teori-teori rasis yang mengatakan bahwa ketimpangan di kalangan ras-ras adalah alasan utama dari antagonism politik.
2.3.1 Berbagai Teori Rasis
Teori-teori rasis mengatakan bahwa beberapa ras secara biologis mempunyai bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka menganggap beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain akan tetapi ras yang rendah tak mau mengakui ketidakmampuannya. Konsekuensinya, ada pertentangan antar ras-ras yang lebih rendah dan ras-ras yang lebih tinggi untuk memperoleh dan melaksakan kekuasaan politik.
2.3.2 Teori –Teori Tentang Rendahnya Ras-Ras Berwarna
Umumnya, kaum rasis percaya bahwa orang-orang hitam akan sangat sukar untuk maju keluar dari struktur sosial kesukuan yang primitif. Bangsa-bangsa kuning bisa mencapai Negara-negara dan masyarakat yang kompleks, akan tetapi tidak mampu memberikanya bentuk demokrasi, paling tinggi, mereka hanya mencapai tingkat-tingkat bangsa eropa pada abad 17 dan 18. Ras—ras kunging dan hitam, telah dikenal bagi bangsa-bangsa eropa masa purba. Namun, rasisme putih secara relative adalah fenomena yang baru, yang dilahirkan dan dikembangkan pada saat yang sama sejak kemenangan-kemenangan colonial dan penghisapan terhadap koloni-koloni.
2.3.3 Teori Inferioritas Orang Yahudi
            Anti-semitisme adalah bentuk kedua yang paling nyata dari rasisme, satu yang menghasilkan ekses yang paling besar, karena 6 juta orang yahudi dibunuh oleh Nazi di Jerman antara tahun 1933 sampai 1945. Tambahan pula, teori Nasional Osialis telah menganut suatu tipe khusu anti-Semitisme yang didasarkan pada paham ras “Arya”, yang lebih tinggi dari semua ras lainnya. Orang Yahudi menjadi Arya par excellence.
2.3.4 Arti Rasisme
Teori-teori rasis tidak mempunyai nilai ilmiah. Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima. Tambahan pula haruslah dicatat, bahwa  sebelum meningkat ke biologi berbagai rasisme mengatasnamakan agama, pada satu waktu ketika agama lebih mendapatkan prestasi daripada ilmu pengetahuan. Pertama kali, kaum anti-Semite membenarkan kebenciannya kepada orang Yahudi karena kutukan ilahi terhadap bangsan yang membunuh kristus. Kaum rasis putih juga mengatasnamakan kutukan injii tehadap “ras kanaan” yang diidentifikasi sebagai ras hitam (kita mendapatkan argumen tersebut dikalangan protestan putih di Afrika Selatan). Kebenaran  dari hal tersebut mendapatkan penjelasannya di dalam faktor-faktor sosial dan psikologis.
Pada umumnya, rasisme berfungsi untuk membenarkan beberapa bentuk dominasi atau eksploitasi. Dikatakan bahwa teori tentang rendahnya ras hitam diperkembangkan di dalam perdagangan budak sepanjang pantai Afrika dan ekspoitasi kolonial. Situasi budak, pekerja paksaan atau subproletarian - begitu mengejutkan didalam sistem sosial yang mengumumkan kesamaan semua manusia – menjadi diterima kalau orang-orang yang ditundukkan kedalam perlakuan semacam itu tidak dianggap sebagai “saudara yang lebih rendah”.  Di negara-negara selatan di Amerika Serikat, ekonomi yang didasarkan pada produksi kapas, yang tidak mungkin tanpa pekerjaan budak, melahirkan perkembangan teori-teori tanpa pekerjaan budak, melahirkan perkembangan teori-teori rasis. Seluruh ekonomi Afrika Selatan didasrkan pada menahan orang-orang hitam pada status keterbelakangan. Sama halnya, anti – semitisme pertama-tama fungsi sebagai pembenar perampasan bank Yahudi oleh raja-raja Kristen dan pangeran-pangeran Kristen, dan prampokan atau kota-kota Yahudi oleh para perusuh di Polandia, Russia, dan Timur Tengah.
Kini, dia cenderung untuk berfungsi sebagai taktik politik mengalihkan perhatian. Anti Semitisme meningkat di Eropa pada akhir abad sembilan belas sebagai reaksi terhadap pasang naiknya sosialisme di kalangan massa rakyat; kaum berjuis berusaha untuk mengarahkan kebencian prolctariat terhadapnya kepada orang-orang Yahudi. Dengan mengutuk bankir-bankir Yahudi, kaum industrialis Yahudi, industrialis-industrialis Kristen, pedagang- pedagang Kristen, berharap untuk mengalihkan perhatian umum dari penghisapan kapitalis yang mereka praktekkan atas peri yang sama sebagaimana orang-orang Yahudi. Tambahan pula, mereka sebagian berhasil selama fase pertama, ketikamereka berhadapan dengan kaum proletariat yang sangat terkebelakang dan tidak mendapatkan informasi. Di negeri-negeri lain, anti-Semitisme memungkinkan pemerintah mempersalahkan orang Yahudi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh pemerintah, membuatnya sebagai kambingb hitam- persis sebagaimana Kaisar-kaisar Roma menganiaya orang Kristen untuk membuat rakyatnya melupakan kesalahan-kesalahan pemerintah.
Sudah dicatat bahwa rasisme anti-Negro di tanah jajahan dan di Amerika Serikat  bagian Selatan adalah lebih mendalam dan lebih militan di kalangan golongan putih yang miskin daripada dikalangan orang putih yang berpendidikan lebih tinggi yang menduduki posisi yang bertanggungjawab. Ada alasan yang sederhana untuk itu: kenyataan bahwa ada “niggers” dibawahnya memberikan orang-orang putih yang malang ini rasa superioritas. Karena orang-orang  hitamlah, mereka bisa menikmati seikit rasa bahwa mereka penting (modicum of importance), sedikit prostise, dan tidak berada di dasar tangga sosial. Bilamana inferioritas rasial yang hilang, mereka akan menemukan diri mereka yang sebenarnya – dan mereka mengetahui itu sendiri – yaitu orang-orang gagal yang malang dan tanpa harapan.
Psikoanalis menjelaskan rasisme dalam hubungan dengan ketakutan dan kebencian terhadap yang “lain”,  terhadap orang asing, yang tidak dikenal, yang “berbeda” – perasaan yang sangat kuat dikalangan rakyat yang kepribadiannya tidak pernah berintegrasi, yang tidak pernah berhenti di dalam membangun rasa kedirian yang kuat (a firm sense of self), yang tidak pasti tentang identitasnya sendiri. Orang-orang semacam ini mendekatkan dirinya kepada struktur eksternal: secara mati-matian mereka menyesuaikan dirinya, merasa menjadi bagian dari dunia yang teratur, stabil, hierarkis. Bangsa-bangsa dari ras yang lain, yang cara hidupnya berbeda, mengganggu tatanan yang ketat dari benda-benda ini, dan bahkan mengajukan pertanyaan dan keraguan tentang itu. Agar membangun kembali tatanan luar dari hal-hal ini adalah dasar dari keseimbangan dalamnya, mereka harus menganggap bangsa-bangsa dari ras yang lain sebagai terkebelakang, primitif, dan lebih rendah.
Teori-teori psikoanalisa cenderung menunjukan bahwa kaum rasis secara diam-diam iri, di dalam rasyang mereka hinakan, kepada orang-orang yang hidup. Menurut prinsip-prinsip yang mereka sendiri telah tolak dan secara tidak sadar menyeal karena itu telah dibuatnya. Orang-orang Negro terutama dibenci oleh individu-individu yang telah menganut kebiasaan yang ketat, peri hidup yang teratur, cara hidup yang rasional dan mekanis yang tidak ada kebebasan dan kepuasan nalurinya, yang mereka hinakan. Anti-semitisme didasarkan pada situasi yang sama, akan tetapi sesuatu yang persis sebaliknya: efisiensi, organisasi, rasa kepastia(sense of determination),  kesiapan untuk saling menolong – sifat-sifat orang Yahudi yang menjadi sasaran kritik - secara diam-diam dicemburui oleh mereka yang tidak teratur, tidak efisien, tidak praktis, dan individualistik.
Boleh jadi bahwa rasisme mempunyai dasar seksual. Dalam setiap kesempatan, kita mendapatkan pendapat yang sangat kuat tentang masalah ini yang disuarakan oleh kaum rasis dalam hubungan dengan ras yang dihinakannya. Di negara-negara bagian selatan Amerika Serikat dan dalam wilayah-wilayah jajahan, kelihatannya tidak dapat diasangkal bahwa orang-orang putih merasa ketakutan terhadap orang-orang hitam, yang dianggap lebih mengesankan daripada orang-orang pitih dalam permainan seksualnya (mitos tentang kekuatan seksual orang hitam sanga tersebar). Dikalangan wanita-wanita putih, rasa ketertarikan yang tertekan terhadap orang-orang Negro tak syak lagi bercampur baur dengan rasa takut tertentu dan penyesalan yang dalam. Sebagaimana dengan teori-teori psikoanalisa, kita tidak boleh melebih-lebihkan arti penjelasan ini, akan tetapi kita tidak dapat mengabaikannya sama sekali.
2.3.5 Adanya Konflik Rasial
Jenis-Jenis Yang Berbeda Dari Konflik Rasial
Antagonisme politik tertentu di sebabkan oleh konflik antar ras. Kita harus membedakan konflik-konflik rasial yang murni dari teori-teori rasis yang mengatakan bahwa ketimpangan di kalangan ras-ras adalah alasan utama dari antagonism politik.
Jenis-Jenis Yang Berbeda Dari Konflik Rasial Secara mendasar kita harus membedakan konflik rasial ”vertical” dan konflik rasial”horizontal”.
1.         Konflik Rasial Vertical
Konflik rasial “vertical” terjadi antar kelompok rasial yang dominan, yang bertempat tinggi di atas tangga sosial ,dan kelompok rasial yang diperintah ,yang bertempat dibawahnya. Demikianlah konflik antar orang-orang putih dan orang-orang hitam di tanah-tanah jajahan atau Negara-negara pseudokolonial, konflik antar orang-orang yahudi dan orang-orang yang bukan yahudi di Negara-negara anti semiti. Teori-teori rasis yang diberikan dalam usaha untuk membenarkan konflik-konflik ini dengan membela bahwa ras yang dominan secara politik adalah ras dengan hak moral untuk berkuasa karena dia adalah superior.
2.         Konflik Rasial Horizontal
Di dalam konflik-konflik rasial kita tersebut sebagai “horizontal”, kedua ras yang bertentangan satu sama lain yang tidak berada dalam hubungan dominan bawahan, tempatnya pada tingkat yang berbeda dalam tangga sosial yang sama, seperti kelas-kelas sosial. Mereka di tempatkan pada kelas sosial yang kira-kira sama, pada dataran horizontal yang sama, seperti dua individu atau dua bangsa.


2.4 Konflik Antara Kelompok-Kelompok Horisontal
`           Kita baru saja melihat bahwa konflik rasial tertentu tidak bersifat “vertical” antara kelompok dengan posisi satu di atas yang lain dalam tanggal social. Akan tetapi, “horizontal” antara kelompok dalam dataran yang sama, seperti keluarga, suku-suku dan provinsi. Di dalam konflik antara kelompok-kelompok horizontal, setiapnya mencoba menguasai yang lain sebagaimana halnya di dalam konflik antara kelompok vertical, kelompok-kelompok yang lebih rendah menginginkan kesamaan social, yang berarti, pembagian horizontal dari masyarakat.
Di antara kelompok horizontal ini, antagonism berkembang, banyak yang bercorak politik yaitu, dengan tujuan merebut kekuasaan atau keuntungan yang berasasl dari kekuasaan. Konflik antara kelompok-kelompok horizontal memainkan peran penting di dalam pengembangan antagonism politik; inilah kasus dengan konflik internasional.
2.5 Konflik Antara Kelompok-Kelompok Teritorial
Kebanyakan komunitas manusia dibagi-bagi lagi menjadi kelompok-kelompok territorial: bangsa-bangsa di dalam masyarakat internasional; provinsi, daerah dan distrik di dalam bangsa-bangsa; seksi atau komite di dalam asosiasi . meskipun kelompok territorial ini tidak sama dalam ukuran dan kekuasaan, pada umumnya mereka sama dari titik legak atau teoritis, dengan demikian merupakan kelompok horizontal. Saingan antara kelompok-kelompok territorial memberikan sumbangan yang sangat banyak dalam antagonism politik.
2.5.1 Pembentukan Kelompok-Kelompok Teritorial
Kelompok territorial didasarkan, sebagaiman akelihatannya, pada eksistensi daripada apa yang dikatakan Durkheim sebagai “solidaritas melalui persamaan”. Hal ini bertentangan dengan “solidaritas melalui pembagian kerja”, yang berfungsi sebagai dasar bagi kelompok-kelompok korporat. Kita bisa mengartikan sebagai “solidaritas melalui proximitas” bentuk solidaritas melalui kesamaan.
Orang-orang yang hidup dekat satu sama lain biasanya merasa lebih saling tergantung daripada orang yang hidup saling berjauhan. Paham Kristiani tentang “tetangga”adalah ilustrasi yang baik tentang fenomena ala mini.
“Solidaritaskarena dekat” ini adalah varian dari “solidaritas karena sama” dalam dirinya sendiri, kedekatan merupakan keserupaan , dengan kondisi-kondisi hidupnya yang serupa.
Kelompok-kelompok territorial tertentu muncul dalam hubungan ini, sebagai akibat dari perluasan kelompok-kelompok alami, yang tidak berdiferensiasi, yang berdasarkan pada hubungan darah, baik yang ril maupun yang imajiner. Komunitas-komunitas alami yang pertama, suku-suku dan klan, kelihatannya secara eksklusif berdasarkan kekerabatan, baik dari perhubungan darah yang actual secara fisikal yang bisa disusur ke belakang sampai nenek moyang, atau kekerabatan mitis yang menghubungkan kelompok kepada nenek moyang seolah-olah yang tidak pernah ada.
2.5.2 Berbagai Kelompok Teritorial
Kita lantas tidak dapat menggunakan pembedaan antara kelompok-kelompok “alami” dan “artificial” sebagai basis untuk membuat klasifikasi bagi kelompok-kelompok territorial. Kaum konservatif pada umumnya sangat mementingkannya karena mereka percaya bahwa kelompok-kelompok “alami” harus memainkan peranan peranan penting di dalam memerintah Negara.
Pada perubahan kedua abad kedua puluh, bangsa-bangsa masih merupakan entitas territorial yang mendasar. Baik dalam hokum dan dalam kenyataan, bumi dibagi terutama ke dalam bangsa-bangsa. Pembagian-pembagian yang lain adalah sekunder sifatnya di dalam perbandingan dengan yang satu ini. Di dalam masa-masa purba, kelompok-kelompok kesukuan dan kemudian kota-kota meliputi pengelompokan-pengelompokanutama secara horizontal.
2.6 Konflik Antara Kelompok-Kolompok Korporatif
            Seperti kelompok-kelompok tetritorial, maka kelompok-kelompok korporatif tergantung kepada berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan, solidaritas yang menyatukan orang-orang yang sekarang mengambil bagian atau dulu mengambl bagian pada jenis kegiatan yang sama. Kelompok-kelompok profesonal adalah kelas dari kelompok korporatif yang penting, akan tetapi bukanlah satu-satunya. Seperti konflik dalam kelompok-kelompok teritorial, konflik antara kelompok korpoatif kadang-kadang berfungsi sebagai temeng bagi bagi konflik lain; akan tetapi kadang-kadang, mereka juga mempunyai basis yang ril dalam setiap kesempatan, mereka tidak pernah mencapai tingkat kekerasan konflik antar bangsa.
2.6.1 Berbagai Jenis kelompok-kelompok korporatif
            Dalam arti sempit, kelompok korpoatif mempersatukan orang yang terlibat di dalam kegiatan profesional tertentu. Dalam arti luas, kita harus menambahkan kelompok-kelompok yang dilatih dan didik di dalam sekolah-sekolah yang sama, mereka yang menjadi anggota agen pemerintah yang sama atau klasifikasi profesional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang dengan kepentingn rekreasi yang sama (asosiasi olahraga dan detik, asosiasi kultural).
            Praktek profersi yg sama menghasilkan kemiripan yang jelas dan Asa solidaritas yang agak kuat dikalangan para praktisi. Pebagiankan dengan di antara kelompok-kelompok profesional (yang horisontal) seharusnya tidak boleh dikacaukan dengan pembagian-pembagian di kalangan kelas-kelas (yang adalah vertikal). Kadang-kadang keduanya bersatu. Di dalam management, kategori profesional menghasilkan persamaan-persamaan yang pasti (antara eksekutif bisnis besar dan manajemen bisnis kecil, kaum industrialis dan pedagang, dan seterusnya); yang sama berlaku bagi para pekerja gajian; ikatan-ikatan kelompok profesional melemahkan loyalitas kelas atau pembedaan kelas dan pembedaan kelas di dalam cara hidup antara manajemen an pekerja adalah relatif lebih kecil; inilah mengapa perjuangan kelas adalah kurang keras di dalam pertnian dari ada industri atau perdagangan, dan kurang keras di dalam bisnis kecil daripada di dalam industri besar. Itu juga menjelaskan mengapa kaum konservatif tertentu lebih suka unit-unit ekonomi yang kecil.
2.6.2 Antagonisme di dalam Kelompok-kelompok Korporatif
            Kelompok-kelompok dan profesional didasarkan tidak saja pada kegiatn-kegiatan yang sekarang atu pengalaman pengalaman terdahulu di bidang pendidikan akan tetapi juga pada kepentingan material bersama. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi mempertahankan kemajuan korporat melawan anggota dari profesi atau organisasi lain. Dengan demikian, ada antagonisme alami antara berbagai profesi, dan pada saat yang sama, sebuah komunitas kepentingan, di kalangan anggota dalam profesi yang sama. Akan tetapi, dipihak lain, ada konflik antara kepentingan bersama profesional dan kepentingan bersama kelas. Para manajer dan pekerja dalm bisnis pembuat roti mempunyai kepentingan bersama yang menempatkan mereka berlawanan dengan manajer-manajer dan pekerja dari profesi lain. Akan tetapi para manajer dalam setiap profesi mempunyai kepentingan bersama dengan manajer-manajer, yang menempatkan mereka berbeda dengan kaum pekerja di dalam setiap profesi mereka sendiri; dan ekerja di dalam setiap profesi mempunyai kepentingan bersama sebagai pekerja, yang menempatkan mereka dalam posisi perlawanan, bahkn dengan manajer dan bos-bos di dalam profesi mereka.
            Kaum Marxis beranggapan bahwa konflik korperat ini di dalam kelas sosial yang sama menjadi “kontradiksi” daripada “antagonisme”, istilah yang dipakai melukiskan konflik antar kelas. Ini berarti bahwa konflik tidak terlalu fundamental. Kontradiksi bisa di selesaikan, sedangkan antagonisme tidak bisa. Setelah mengatakan itu, menyusul antara kontradiksi di dalam kelas sosial yang sama bisa melemahkan perkembangan antagonisme kelas. Akan tetapi juga mungkin mempergunakan kontradiksi untuk meningkatkan perjuangan kelas. Eksploitasi kontradiksi kapitalistis oleh serikat pekerja dan artai-partai politik adalah salah satu prinsip dasar Marxis; konflik-konflik korperat di dalam manajemen dengan demikian bisa menolong mencapai tuntutan para pekerja. Akan tetapi sebaliknya juga bisa terjadi: kaum kapitalis secara terus menerus mengeksploitasi kontra indikasi di dalam kelas pekerja.
2.6.3 Konflik di Antara Kelompok­-kelompok Ideologis
            Di sini kita artikan kelompok kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan ideologis yang sama, dalam arti seperti telah didefinisikan terdahulu dalam arti “ideologi”. Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, “masyarakat intelektual” dan partai-partai politik merupakan kelompok-kelompok ideologis.
Sebuah doktrin menjadi ideologi ketika suatu kelompoksosial manganutnya, ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan inteektual dari seorang pemikir dan menjadi suatu ekspresi dari aspirasi, keinginan dan keyakinan suatu kelompok orang  (kelas, bangsa dan seterusnya). Sampai ketingkat bahwa kelompok ini berbeda dengan kelompok yang lain, dan mempunyai organisasi dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.
Berbagai Jenis Kelompok Ideologis
            Ada banyak kemungkinan klasifikasi kelompok-kelompok ideologis. Demi maksud kita, perbedaan terutama adalah antara kelompok-kelompokpolitik dan non politik.
            Dengan ungkapan “ideologi politik”, kita maksudkan ideologi-ideologi yang berhubungan dengan hakekat kekuasaan dan pelaksanaannya. Jelas mereka mempunyai pengaruh yang langsung terhadap perkembangan antagonisme politik, suat pengaruh yang dirasakan atas dua cara. Pada sat pihak, ideologi cenderung menyatukan komunitas dengan mendorong anggotanya untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan mengembangkan rasa kepatuhan terhadap pemerintah; paham-paham seperti legitimasi, konsensus, dan kesadaran nasional bertanggung jawab atas fenomena ini. Dipihak lain, ideologi bisa membagi suatu komunitas bilamana beberapa ideologi berada bersama, dimana setiapnya bergantung pada dukungan dari satu bagian dari komunitas. Adalah dalam hal seperti ini kelompok-kelompok ideologi politik dibentuk.
            Ideologi-ideologi non-politik adalah yang tidak mempunyai hubungan-hubungan langsung dengan kekuasaan, misalnya ideologi agama, filosofis, dan artistik. Ada yang seperti ideologi artistik, sungguh-sungguh jauh dari persoalan manajer kekuasaan. Yang lain, terutama ideologi filosofis dan agama, dalam kenyataannya berhubungan rapat dengan masalah kekuasaan. Dalam kenyataannya, adalah sulit memisahkan ideologi politik dari yang non-politik. Setiap ideologi cenderung, dari hakekatnya, menjadi suatu sistem yang komplit untuk menjelaskan manusia dan dunia, Weltanschauung dimana politik secara alami mendapatkan tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak terlalu gampang dipisahkan satu sama lain.
2.6.4 Hakekat Antagonisme Ideologis
            Kaum Marxis mempertahankan bahwa antagonisme ideologis tidak mempunyai eksistensi yang ril akan tetapi hanya refleksi dari antagonisme kelas. Doktrin ini terlalu dibesar-besarkan, karena sekurang-kurangnya ada ukuran otonomi tertentu bagi antagonisme ideologis.
            Dalam pandangan Marxis, ideologi-ideologi terletak dalam “superstruktur”, yang tergantung ketat paa “basis”, yaitu posisi kelas-kelas sosial. Antagonisme-antagonisme ideologis hanya mencerminkan konflik kelas yang diungkapkannya. Ideologi-ideologi merasionalisasikan aspirasi-aspirasi dari kelas-kelas yang bergolka, memberikannya keuatan ynag lebih besar.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Antagonis adalah karakter atau sekelompok karakter, atau, kadang-kadang merupakan institusi suatu kejadian yang mewakili oposisi menentang argumen-argumen pihak protagonis (dalam arti lain, antagonis adalah karakter hitam). Dalam gaya klasik sebuah cerita di mana aksinya terdiri dari seorang wira melawan seorang penjahat, kedua-dua mereka bisa diperhitungkan masing-masing sebagai protagonis dan antagonis. Antagonis biasanya jahat dan tidak baik serta sering menjadi pembuat onar (ulah).Berlawanan dengan kepercayaan masyarakat, para antagonis tidak selalu bersifat jahat, tetapi hanya melawan si karakter utama. Antagonis ini merupakan ancaman besar atau hambatan bagi karakter utama dengan keberadaan mereka, tanpa harus sengaja mentargetkan dia.
Melihat definisi antagonis di atas, maka secara umum kita dapat mengambil kesimpulan bahwa antagonism politik merupakan suatu sikap yang menentang atau bertolak belakang dengan kekuasaan politik, dalam hal ini pemerintah.
Menurut Maurice Duverger , antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori, yakni bergerak pada tingkat individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis dan pada tingkat kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial. Setiap kategori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik.






DAFTAR PUSTAKA
Duverger, Maurice. 1998. ” Sosiologi Politik “. Jakarta: Raja Grafindo Persada
http://ridhofkip.blogspot.co.id/2013/01/faktorfaktor-antagonisme-politik.html








Tidak ada komentar:

Posting Komentar