BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antagonisme adalah unsur yang paling penting dalam politik; karena
antagonisme ada, maka harus ada usaha untuk menghilangkan atau menguranginya
guna mencapai integrasi sosial. Masalah utama dari antagonisme politik adalah
bagaimana menentukan sebab-sebab dari antagonisme politik. Setiap doktrin
politik menekankan satu sebab. Bagi kaum konservatif tradisional, perjuangan
untuk merebut kekuasaan menempatkan “elite” –mereka yang mampu melaksanakan
kekuasaan –melawan “masa” –mereka yang menolak untuk mengakui superioritas
alami dari elite dan haknya untuk pemerintah. Beberapa orang juga
mempertahankan bahwa ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan
ras-ras inferior, yang bisa berpartisipasi di dalam proses peradaban di bawah
bimbingan ras-ras superior.
Kaum liberal menolak paham tentang ketidaksamaan alami di kalangan
kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama
seperti perjuangan ekonomi. Di dalam suatu masyarakat di mana tidak ada cukup
benda-benda konsumsi untuk memuaskan permintaan umum, ada persaingan yang
konstan di antara manusia, di mana setiap orang mencoba meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Hal ini menegaskan
bahwa memegang posisi kekuasaan memberikan seseorang keuntungan yang sangat
besar. Dari sini homo politicus tidaklah berbeda dari homo
economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama seperti persaingan
ekonomi. Kedua-duanya adalah bentuk dari struggle for life, yang secara
mendasar menempatkan satu spesies melawan yang lain, dan individu di dalam
spesies melawan yang lainnya, menurut biologi Darwin.
Bagi kaum Marxis, antagonisme politik pada hakekatnya bersifat ekonomis,
akan tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan
bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara produksi
(pertanian purba, pertanian feodal, dan industri pertanian), yang pada
gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial; beberapa kelas mempunyai alat-alat
produksi dan karena itu dominan, sedangkan yang lain hanya mempunyai kemampuan
bekerja dan harus dijual jasanya kepada yang memiliki alat. Kelas yang terdiri dari pemilik harta benda mempergunakan
keadaan itu untuk mempertahankan dominasinya terhadap kelas yang tidak
mempunyai harta milik, yang secara alami menolak penindasan ini.
Konsekuensinya, perjuangan politik disebabkan oleh perjuangan kelas.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sebab-sebab kolektif?
2.
Apa kaitannya perjuangan kelas terhadap antagonisme politik?
3.
Bagaimana paham marxisme tentang kelas?
4.
Apa teori marxis tentang perjuangan kelas?
5.
Apa yang dimaksud dengan teori rasis?
6.
Apa saja konflik-konflik rasial?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sebab-Sebab Kolektif
Kita telah katakana bahwa pergolakan-pergolakan
politik mempunyai dua aspek. Pada satu pihak,mereka beradu melawan
masing-masing individu yang berjuang merebut kekuasaan atau merebut perhatian
dari mereka yang memegang kekuasaan. Pada pihak lain, mereka menempatkan
berbagai kelompok, perkumpulan, dan unsur-unsur sosial melawan satu sama lain.
Menurut kaum sosialis, perjuangan
antar kelas adalah sebab utama bagi konflik-konflik politik: dalam pandangan
konservatif, konflik-konflik politik mencerminkan perjuangan–perjuangan antar
ras, persaingan-persaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas
teritorial lainya, dan lain-lain.
2.2
Perjuangan Kelas
“sejarah setiap masyarakat sampai
masa kini adalah semata-mata sejarah perjuangan kelas”. Sebelum marx, banyak
yang percaya bahwa antagonisme politik di sebabkan oleh ketidaksamaan antara
kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok sosial yang tidak sama ini termasuk
kelas-kelas sosial , dalam arti seluas-luasnya.
Kini, bilamana kita berbicara tentang
kelas-kelas sosial dan perjuangan kelas, kita ingat pada marx, secara sadar
atau tidak sadar. Tentu saja, ini tidak berarti memihak untuk lebih menyukai
marxisme. Itu hanya kita berarti mengakui marxisme adalah pada masa kini ,
doktrin yang dominan dalam bidang ini, sesuatu yang menjadi acuan dalam semua
doktrin lain atas salah cara atau yang lain.
2.2.1 Paham Tentang Kelas
Sebelum
Marx, paham tentang kelas didasarkan kurang lebih pada kontras antar yang kaya
atau yang miskin, yang berpunya dan tidak berpunya. Para ahli sosiologi amerika
masa sekarang menganut kembali konsep ini dalam teori-teorinya tentang “strata”
sosial yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan standar hidup.
Marxisme
menolak pembedaan ini atau untuk lebih tepat menempatkanya pada peranan yang
lebih rendah. Masalahnya, dalam kenyataanya, bukanlah menyatakan bahwa ada
orang miskin dan ada orang kaya, tetapi yang menentukan apakah yang menyebabkan
kekayaan dari beberapa dan kemiskinan orang-orang yang lain. Bila mana kekayaan
dan kemiskinan hanya tergantung dari kemampuan individual dari seseorang, pada
intelegensi, kekuatan dan kemampuan bekerja maka tidak ada kelas. Konsep kelas
di dasarkan pada ide bahwa perbedaan dalam status sosial tergantung hanya pada
individu-individu, akan tetapi di paksakan kepada mereka atas cara yang khusus.
Kelas sosial didefinisikan tidak saja oleh kenyataan bahwa kekayaan dan hak
istimewa, kemiskinan dan penghisapan adalah sekurang-kurangnya sebagian akibat
kelahiran dan dengan demikian mempunyai sifat turun temurun.
2.2.2 Paham Marxis Tentang Kelas
Ide
sentral dari marxisme adalah bahwa kelas –kelas sosial dirumuskan oleh
posisinya terhadap alat-alat produksi
hal ini berbeda-beda sepanjang sejarah dan konsekuensinya adalah
variasinya mengubah hubungan-hubungan sosial.” Hubungan hubungan sosial terikat
rapat kepada kekuatan-kekuatan produksi”. “Lahirnya kelas- kelas sosial adalah
karena munculnya dan perkembangan.
Pemilikan pribadi atas alat-alat
produksi adalah dasar utama dari pembagian masyarakat kedalam kelas. Setiap
masyarakat yang diorganisir atas dasar ini menghasilakan dua kelas yang berada
dalam konflik satu sama lain. Kelas yang memiliki alat-alat produksi dan kelas
yang semata-mata bergantung pada kemampuanya bekerja untuk hidup.
Konsekuensinya, menurut marx selalu ada dua kelas utama yang bertentangan satu
sama lain dalam setiap masyarakat tertentu: yang menguasai alat-alat produksi
dan yang lainya hanya mempunyai kemampuan kerja.
Akhirnya, kaum marxis membedakan
kelas dan strata sosial. Tidak ada kelas yang semata-mata homogen, kecuali
dalam masyarakat-masyarakat yang sangat terkebelakang. Dai dalam masyarakat
feodal ada tuan-tuan besar dan tuan-tuan kecil. Bahkan ada lebih banyak jenis
di dalam kalangan borjuis (atas dan bawah, industrial dan komersial,dan
seterusnya). Dan di dalam proletariat ( pekerja baju-baju biru dan baju putih
,berbagai kelompok pengrajin,ahli tehnik,pegawai negri, dan tenaga-tenaga
administrative.
Setiap
kelas, di dalam perjuangan kelas, menghisap kontradiksi diantara strata dari
kelas lain untuk melemahkanya , kaum borjuis membangkitkan konflik di kalangan
kaum proletariat utuk mempertahankan kekuasaannya, kaum proletarian mengambil
untung dari kontradiksi-kontradiksi di kalangan kaum borjuis untuk mempercepat
kedatangan sosialisme.
Kaum
marxis sangat menentang defenisi kelas semacam ini yang di dasarkan pada
pendapatan atau standar hidup,namun, teori marxis tetap jelas dalam hal ini:
penindasan kaum proletariat bukanlah sebagai konsekuensi dari tingkat hidup ,
dia adalah akibat dari kenyataan bahwa para pemilik pribadi dari alat produksi
menyita nilai lebih dari kerja para pekerja yang memperoleh gaji.
2.2.3 Faktor-faktor Dalam Konsep
Kelas
Konsep Marxis tentang kelas dan
konsep-konsep lain tentang kelas tidaklah kontradiktif. Dalam hal-hal tertentu,
mereka saling melengkapi.posisi hak milik terhadap alat alat produksi mengaruh
kepadaperbedaan-perbedaan dalam standar hidup, yang pada gilirannya
menghasilkan perbedaan-perbedaan cara hidup, yang mengarah pada perbedaan
perbedaan dalam paham paham populer tentang status sosial dan prestise.
Perbedaan yang sebenarnya antara konsep marxis dengan yang lainnya adalah
masalah pentingnya alat produksi. Bagi kaum marxis, itu adalah unsur hakiki
dalam pembedaan kelas, sesuatu dari mana semua perbedaan lain berasal. Bagi yang
bukan Marxis, adalah hanya salah satu faktor diantara yang lain. Dengan
demikian kita sampai pada suatu generalisasi tentang paham kelas. Akhirnya
konsep tersebut didasarkan pada dua faktor: ketidaksamaan kolektif dalam
kondisi-kondisi sosial dan pewarisan turun temurun dari privelese-privelese.
Konsep-kelas secara langung
bertentangan dengan kosep elite, sebagaimana yang ditemukan oleh pareto, konsep
elite didasarkan pada ide tentang kompetisi antara individual, dimana dimana
yang paling berbakat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam tangga sosial dan
yang kurang berbakat tinggal pada tingkat yang lebih rendah: konsep kelas
didasarkan pada kenyataan bahwa diskriminasi dalam hakekat kolektif bercampur
baur dengan permainan bebas kompetisi individual; beberapa individu tertentu,
bahkan mereka yang paing berbakat, tidak bisa mencapai tingkat atas dari
masyarakat karena mereka adalah kelompok didalam masyarakat yang oleh
masyarakat tetap ditahan pada tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya,
individu-individu lain, bahkan mereka yang tanpa bakat atau kemampuan,
mendapatkan dirinya pada tingkat sosial yang lebih tinggi untuk mulai karena
mereka adalah kelompok yang diberikan hak-hak istimewa.
2.2.4 Antagonisme Kelas Dan
Konflik-Konflik Politik
Hanya
beberapa orang yang mengingkari bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik
politik. Perbedaan yang sebenarnya terletak di dalam kenyataan bahwa kaum
marxis yakin bahwa semua konflik politik berasal kurang lebih secara langsung
dari antagonism dan kontradiksi kelas. Sedangkan kaum non marxis menganggap
antagonisme kelas sebagai salah satu faktor di antara yang lain , dan
pentingnya setiap faktor di tafsirkan secara berbeda-beda.
2.2.5 Teori Marxis Tentang
Perjuangan Kelas
Bagi
kaum marxis, antagonisme kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas yang pada
giliranya ditentukan oleh system produksi dan system milik yang kedua-duanya
adalah akibat dari keadaan teknologi( kekuatan-kekuatan produktif). Kita tidak
boleh mencampurbaurkan ketidaksamaan alami dengan ketidaksamaan sosial yang
diciptakan oleh kelas-kelas. Ketika kita berbicara tentang sosiologis,
ketidaksamaan lahir yang mengakibatkan perbedaan di dalam kemampuan individual
tidaklah terlalu mengejutkan dari pada ketidaksamaan sejak lahir yang berasal
dari situasi sosial yang membagi manusia menjadi kelas-kelas yang antagonistic,
karena situasi yang pertama tidaklah dapat dihindarkan sampai tingkat tertentu,
sedangkan yang kedua tidak. Bagi kaum marxis, sumber utama antagonisme tetap
konstan di dalam setiap jenis Negara. Di dalam Negara purbakala, perjuangan
utama adalah antara tuan dan budak, di dalam Negara kapitalis, adalah antara
borjuis dan proletariat. Di dalam setiap hal, musuh did ala konflik tersebut
adalah pemilik-pemilik pribadi atas alat-alat produksi dan mereka yang modalnya
adalah semata-mata kemampuanya untuk bekerja, akan tetapi perjuangan dasar ini
mengambil rupa yang berbagai ragam menurut rupa yang berbagai ragam menurut
bentuk Negara.
2.2.6 Evaluasi Terori Marxis
Teori marxis mempunyai kekuatan
dalam membuktikan bahwa perjuangan kelas adalah faktor hakiki di dalam
antagonisme politik. Kelemahannya terletak didalam kaumnya bahwa faktor ini,
pada setiap waktu dan setiap tempat, dominan, dan bahwa faktor-faktor lain
adalah sekunder dibandingkan dengan dan selalu berasal dari perjuangan kelas.
Teori marxis kurang lebih sesuai dengan situasi aktual selama periode periode
tertentu didalam sejarah akan tetapi tidak semua.
Pada abab ke 19 (yaitu pada saat
ketika Marx mengembangkan teorinya), pada permulaan abad dua puluh dikebanyakan
masyarakat maju di eropa barat, konflik-konflik politik adalah terutama konflik
kelas dalam artian Marxisme. Antagonisme antara aristokrasi dan kaum liberal
(politik) adalah terutama antagonisme antara aristokrasi dan burjuis, kaum tani
yang bertindak sebagai “kelas pendukung” bagi aristokrasi. Antagonisme antar
kaum liberal (ekonomi) dan kaum sosilis adalah antagonisme burjuis (yang pada
waktu itu membentuk aliansi dengan aristokrasi yang memudar) dan kaum
ploretariat. Pasti faktor laik ikut camput – agama, nasional, rasial, dan
seterusnya. Akan tetapi mereka kurang penting dibandingkan dengan faktor
kepentingan kelas, yang berlaku sebagai kamuflase, sebagian sekurang kurangnya
bagi kepentingan kelas. Pada saat Marx menulis pada dsaat dkotrinnya
dikembangkan, dia melukiskan gerakan dasar dari perjuangan politik cukup tepat.
Namun kurang pasti, apakah doktrin tersebut bisa dikenakan secara ketat bagi
semua periode dalam sejarah.
2.3 Konflik-Konflik Rasial
Antagonisme
politik tertentu di sebabkan oleh konflik antar ras. Kita harus membedakan
konflik-konflik rasial yang murni dari teori-teori rasis yang mengatakan bahwa
ketimpangan di kalangan ras-ras adalah alasan utama dari antagonism politik.
2.3.1 Berbagai Teori Rasis
Teori-teori
rasis mengatakan bahwa beberapa ras secara biologis mempunyai bakat-bakat
sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka menganggap
beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain akan tetapi ras yang
rendah tak mau mengakui ketidakmampuannya. Konsekuensinya, ada pertentangan
antar ras-ras yang lebih rendah dan ras-ras yang lebih tinggi untuk memperoleh
dan melaksakan kekuasaan politik.
2.3.2 Teori –Teori Tentang Rendahnya
Ras-Ras Berwarna
Umumnya,
kaum rasis percaya bahwa orang-orang hitam akan sangat sukar untuk maju keluar
dari struktur sosial kesukuan yang primitif. Bangsa-bangsa kuning bisa mencapai
Negara-negara dan masyarakat yang kompleks, akan tetapi tidak mampu memberikanya
bentuk demokrasi, paling tinggi, mereka hanya mencapai tingkat-tingkat bangsa
eropa pada abad 17 dan 18. Ras—ras kunging dan hitam, telah dikenal bagi
bangsa-bangsa eropa masa purba. Namun, rasisme putih secara relative adalah
fenomena yang baru, yang dilahirkan dan dikembangkan pada saat yang sama sejak
kemenangan-kemenangan colonial dan penghisapan terhadap koloni-koloni.
2.3.3 Teori Inferioritas Orang
Yahudi
Anti-semitisme adalah bentuk kedua
yang paling nyata dari rasisme, satu yang menghasilkan ekses yang paling besar,
karena 6 juta orang yahudi dibunuh oleh Nazi di Jerman antara tahun 1933 sampai
1945. Tambahan pula, teori Nasional Osialis telah menganut suatu tipe khusu
anti-Semitisme yang didasarkan pada paham ras “Arya”, yang lebih tinggi dari
semua ras lainnya. Orang Yahudi menjadi Arya
par excellence.
2.3.4 Arti Rasisme
Teori-teori rasis tidak mempunyai nilai ilmiah.
Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan
pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi
alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima. Tambahan pula haruslah
dicatat, bahwa sebelum meningkat ke
biologi berbagai rasisme mengatasnamakan agama, pada satu waktu ketika agama
lebih mendapatkan prestasi daripada ilmu pengetahuan. Pertama kali, kaum
anti-Semite membenarkan kebenciannya kepada orang Yahudi karena kutukan ilahi
terhadap bangsan yang membunuh kristus. Kaum rasis putih juga mengatasnamakan
kutukan injii tehadap “ras kanaan” yang diidentifikasi sebagai ras hitam (kita
mendapatkan argumen tersebut dikalangan protestan putih di Afrika Selatan).
Kebenaran dari hal tersebut mendapatkan
penjelasannya di dalam faktor-faktor sosial dan psikologis.
Pada umumnya, rasisme berfungsi untuk membenarkan
beberapa bentuk dominasi atau eksploitasi. Dikatakan bahwa teori tentang
rendahnya ras hitam diperkembangkan di dalam perdagangan budak sepanjang pantai
Afrika dan ekspoitasi kolonial. Situasi budak, pekerja paksaan atau
subproletarian - begitu mengejutkan didalam sistem sosial yang mengumumkan
kesamaan semua manusia – menjadi diterima kalau orang-orang yang ditundukkan
kedalam perlakuan semacam itu tidak dianggap sebagai “saudara yang lebih
rendah”. Di negara-negara selatan di
Amerika Serikat, ekonomi yang didasarkan pada produksi kapas, yang tidak
mungkin tanpa pekerjaan budak, melahirkan perkembangan teori-teori tanpa
pekerjaan budak, melahirkan perkembangan teori-teori rasis. Seluruh ekonomi
Afrika Selatan didasrkan pada menahan orang-orang hitam pada status
keterbelakangan. Sama halnya, anti – semitisme pertama-tama fungsi sebagai
pembenar perampasan bank Yahudi oleh raja-raja Kristen dan pangeran-pangeran
Kristen, dan prampokan atau kota-kota Yahudi oleh para perusuh di Polandia,
Russia, dan Timur Tengah.
Kini, dia cenderung untuk berfungsi sebagai taktik
politik mengalihkan perhatian. Anti Semitisme meningkat di Eropa pada akhir
abad sembilan belas sebagai reaksi terhadap pasang naiknya sosialisme di
kalangan massa rakyat; kaum berjuis berusaha untuk mengarahkan kebencian
prolctariat terhadapnya kepada orang-orang Yahudi. Dengan mengutuk
bankir-bankir Yahudi, kaum industrialis Yahudi, industrialis-industrialis
Kristen, pedagang- pedagang Kristen, berharap untuk mengalihkan perhatian umum
dari penghisapan kapitalis yang mereka praktekkan atas peri yang sama
sebagaimana orang-orang Yahudi. Tambahan pula, mereka sebagian berhasil selama
fase pertama, ketikamereka berhadapan dengan kaum proletariat yang sangat
terkebelakang dan tidak mendapatkan informasi. Di negeri-negeri lain,
anti-Semitisme memungkinkan pemerintah mempersalahkan orang Yahudi karena
kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh pemerintah, membuatnya sebagai kambingb
hitam- persis sebagaimana Kaisar-kaisar Roma menganiaya orang Kristen untuk
membuat rakyatnya melupakan kesalahan-kesalahan pemerintah.
Sudah dicatat bahwa rasisme anti-Negro di tanah
jajahan dan di Amerika Serikat bagian
Selatan adalah lebih mendalam dan lebih militan di kalangan golongan putih yang
miskin daripada dikalangan orang putih yang berpendidikan lebih tinggi yang
menduduki posisi yang bertanggungjawab. Ada alasan yang sederhana untuk itu:
kenyataan bahwa ada “niggers” dibawahnya memberikan orang-orang putih
yang malang ini rasa superioritas. Karena orang-orang hitamlah, mereka bisa menikmati seikit rasa
bahwa mereka penting (modicum of importance), sedikit prostise, dan tidak
berada di dasar tangga sosial. Bilamana inferioritas rasial yang hilang, mereka
akan menemukan diri mereka yang sebenarnya – dan mereka mengetahui itu sendiri
– yaitu orang-orang gagal yang malang dan tanpa harapan.
Psikoanalis menjelaskan rasisme dalam hubungan
dengan ketakutan dan kebencian terhadap yang “lain”, terhadap orang asing, yang tidak dikenal,
yang “berbeda” – perasaan yang sangat kuat dikalangan rakyat yang
kepribadiannya tidak pernah berintegrasi, yang tidak pernah berhenti di dalam
membangun rasa kedirian yang kuat (a firm sense of self), yang tidak pasti tentang
identitasnya sendiri. Orang-orang semacam ini mendekatkan dirinya kepada
struktur eksternal: secara mati-matian mereka menyesuaikan dirinya, merasa
menjadi bagian dari dunia yang teratur, stabil, hierarkis. Bangsa-bangsa dari
ras yang lain, yang cara hidupnya berbeda, mengganggu tatanan yang ketat dari
benda-benda ini, dan bahkan mengajukan pertanyaan dan keraguan tentang itu.
Agar membangun kembali tatanan luar dari hal-hal ini adalah dasar dari
keseimbangan dalamnya, mereka harus menganggap bangsa-bangsa dari ras yang lain
sebagai terkebelakang, primitif, dan lebih rendah.
Teori-teori psikoanalisa cenderung menunjukan bahwa
kaum rasis secara diam-diam iri, di dalam rasyang mereka hinakan, kepada
orang-orang yang hidup. Menurut prinsip-prinsip yang mereka sendiri telah tolak
dan secara tidak sadar menyeal karena itu telah dibuatnya. Orang-orang Negro
terutama dibenci oleh individu-individu yang telah menganut kebiasaan yang
ketat, peri hidup yang teratur, cara hidup yang rasional dan mekanis yang tidak
ada kebebasan dan kepuasan nalurinya, yang mereka hinakan. Anti-semitisme
didasarkan pada situasi yang sama, akan tetapi sesuatu yang persis sebaliknya:
efisiensi, organisasi, rasa kepastia(sense of determination), kesiapan untuk saling menolong – sifat-sifat
orang Yahudi yang menjadi sasaran kritik - secara diam-diam dicemburui oleh
mereka yang tidak teratur, tidak efisien, tidak praktis, dan individualistik.
Boleh jadi bahwa rasisme mempunyai dasar seksual.
Dalam setiap kesempatan, kita mendapatkan pendapat yang sangat kuat tentang
masalah ini yang disuarakan oleh kaum rasis dalam hubungan dengan ras yang
dihinakannya. Di negara-negara bagian selatan Amerika Serikat dan dalam
wilayah-wilayah jajahan, kelihatannya tidak dapat diasangkal bahwa orang-orang
putih merasa ketakutan terhadap orang-orang hitam, yang dianggap lebih
mengesankan daripada orang-orang pitih dalam permainan seksualnya (mitos
tentang kekuatan seksual orang hitam sanga tersebar). Dikalangan wanita-wanita
putih, rasa ketertarikan yang tertekan terhadap orang-orang Negro tak syak lagi
bercampur baur dengan rasa takut tertentu dan penyesalan yang dalam.
Sebagaimana dengan teori-teori psikoanalisa, kita tidak boleh melebih-lebihkan
arti penjelasan ini, akan tetapi kita tidak dapat mengabaikannya sama sekali.
2.3.5 Adanya Konflik Rasial
Jenis-Jenis Yang Berbeda Dari Konflik Rasial
Antagonisme
politik tertentu di sebabkan oleh konflik antar ras. Kita harus membedakan
konflik-konflik rasial yang murni dari teori-teori rasis yang mengatakan bahwa ketimpangan
di kalangan ras-ras adalah alasan utama dari antagonism politik.
Jenis-Jenis
Yang Berbeda Dari Konflik Rasial Secara mendasar kita harus membedakan konflik
rasial ”vertical” dan konflik rasial”horizontal”.
1. Konflik Rasial Vertical
Konflik
rasial “vertical” terjadi antar kelompok rasial yang dominan, yang bertempat
tinggi di atas tangga sosial ,dan kelompok rasial yang diperintah ,yang
bertempat dibawahnya. Demikianlah konflik antar orang-orang putih dan
orang-orang hitam di tanah-tanah jajahan atau Negara-negara pseudokolonial,
konflik antar orang-orang yahudi dan orang-orang yang bukan yahudi di
Negara-negara anti semiti. Teori-teori rasis yang diberikan dalam usaha untuk
membenarkan konflik-konflik ini dengan membela bahwa ras yang dominan secara
politik adalah ras dengan hak moral untuk berkuasa karena dia adalah superior.
2. Konflik Rasial Horizontal
Di
dalam konflik-konflik rasial kita tersebut sebagai “horizontal”, kedua ras yang
bertentangan satu sama lain yang tidak berada dalam hubungan dominan bawahan,
tempatnya pada tingkat yang berbeda dalam tangga sosial yang sama, seperti
kelas-kelas sosial. Mereka di tempatkan pada kelas sosial yang kira-kira sama,
pada dataran horizontal yang sama, seperti dua individu atau dua bangsa.
2.4 Konflik Antara
Kelompok-Kelompok Horisontal
` Kita baru saja melihat
bahwa konflik rasial tertentu tidak bersifat “vertical” antara kelompok dengan
posisi satu di atas yang lain dalam tanggal social. Akan tetapi, “horizontal”
antara kelompok dalam dataran yang sama, seperti keluarga, suku-suku dan
provinsi. Di dalam konflik antara kelompok-kelompok horizontal, setiapnya
mencoba menguasai yang lain sebagaimana halnya di dalam konflik antara kelompok
vertical, kelompok-kelompok yang lebih rendah menginginkan kesamaan social,
yang berarti, pembagian horizontal dari masyarakat.
Di antara kelompok
horizontal ini, antagonism berkembang, banyak yang bercorak politik yaitu,
dengan tujuan merebut kekuasaan atau keuntungan yang berasasl dari kekuasaan.
Konflik antara kelompok-kelompok horizontal memainkan peran penting di dalam
pengembangan antagonism politik; inilah kasus dengan konflik internasional.
2.5 Konflik Antara
Kelompok-Kelompok Teritorial
Kebanyakan komunitas
manusia dibagi-bagi lagi menjadi kelompok-kelompok territorial: bangsa-bangsa
di dalam masyarakat internasional; provinsi, daerah dan distrik di dalam
bangsa-bangsa; seksi atau komite di dalam asosiasi . meskipun kelompok
territorial ini tidak sama dalam ukuran dan kekuasaan, pada umumnya mereka sama
dari titik legak atau teoritis, dengan demikian merupakan kelompok horizontal.
Saingan antara kelompok-kelompok territorial memberikan sumbangan yang sangat
banyak dalam antagonism politik.
2.5.1 Pembentukan
Kelompok-Kelompok Teritorial
Kelompok territorial didasarkan,
sebagaiman akelihatannya, pada eksistensi daripada apa yang dikatakan Durkheim
sebagai “solidaritas melalui persamaan”. Hal ini bertentangan dengan
“solidaritas melalui pembagian kerja”, yang berfungsi sebagai dasar bagi
kelompok-kelompok korporat. Kita bisa mengartikan sebagai “solidaritas melalui
proximitas” bentuk solidaritas melalui kesamaan.
Orang-orang yang hidup
dekat satu sama lain biasanya merasa lebih saling tergantung daripada orang
yang hidup saling berjauhan. Paham Kristiani tentang “tetangga”adalah ilustrasi
yang baik tentang fenomena ala mini.
“Solidaritaskarena dekat”
ini adalah varian dari “solidaritas karena sama” dalam dirinya sendiri,
kedekatan merupakan keserupaan , dengan kondisi-kondisi hidupnya yang serupa.
Kelompok-kelompok
territorial tertentu muncul dalam hubungan ini, sebagai akibat dari perluasan
kelompok-kelompok alami, yang tidak berdiferensiasi, yang berdasarkan pada
hubungan darah, baik yang ril maupun yang imajiner. Komunitas-komunitas alami
yang pertama, suku-suku dan klan, kelihatannya secara eksklusif berdasarkan
kekerabatan, baik dari perhubungan darah yang actual secara fisikal yang bisa
disusur ke belakang sampai nenek moyang, atau kekerabatan mitis yang
menghubungkan kelompok kepada nenek moyang seolah-olah yang tidak pernah ada.
2.5.2 Berbagai Kelompok
Teritorial
Kita lantas tidak dapat
menggunakan pembedaan antara kelompok-kelompok “alami” dan “artificial” sebagai
basis untuk membuat klasifikasi bagi kelompok-kelompok territorial. Kaum
konservatif pada umumnya sangat mementingkannya karena mereka percaya bahwa
kelompok-kelompok “alami” harus memainkan
peranan peranan penting di dalam memerintah Negara.
Pada perubahan kedua abad
kedua puluh, bangsa-bangsa masih merupakan entitas territorial yang mendasar.
Baik dalam hokum dan dalam kenyataan, bumi dibagi terutama ke dalam
bangsa-bangsa. Pembagian-pembagian yang lain adalah sekunder sifatnya di dalam
perbandingan dengan yang satu ini. Di dalam masa-masa purba, kelompok-kelompok
kesukuan dan kemudian kota-kota meliputi pengelompokan-pengelompokanutama
secara horizontal.
2.6 Konflik Antara Kelompok-Kolompok Korporatif
Seperti
kelompok-kelompok tetritorial, maka kelompok-kelompok korporatif tergantung
kepada berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan, solidaritas yang menyatukan
orang-orang yang sekarang mengambil bagian atau dulu mengambl bagian pada jenis
kegiatan yang sama. Kelompok-kelompok profesonal adalah kelas dari kelompok
korporatif yang penting, akan tetapi bukanlah satu-satunya. Seperti konflik
dalam kelompok-kelompok teritorial, konflik antara kelompok korpoatif
kadang-kadang berfungsi sebagai temeng bagi bagi konflik lain; akan tetapi
kadang-kadang, mereka juga mempunyai basis yang ril dalam setiap kesempatan,
mereka tidak pernah mencapai tingkat kekerasan konflik antar bangsa.
2.6.1 Berbagai Jenis kelompok-kelompok korporatif
Dalam
arti sempit, kelompok korpoatif mempersatukan orang yang terlibat di dalam
kegiatan profesional tertentu. Dalam arti luas, kita harus menambahkan
kelompok-kelompok yang dilatih dan didik di dalam sekolah-sekolah yang sama,
mereka yang menjadi anggota agen pemerintah yang sama atau klasifikasi
profesional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang dengan
kepentingn rekreasi yang sama (asosiasi olahraga dan detik, asosiasi kultural).
Praktek
profersi yg sama menghasilkan kemiripan yang jelas dan Asa solidaritas yang
agak kuat dikalangan para praktisi. Pebagiankan dengan di antara
kelompok-kelompok profesional (yang horisontal) seharusnya tidak boleh
dikacaukan dengan pembagian-pembagian di kalangan kelas-kelas (yang adalah
vertikal). Kadang-kadang keduanya bersatu. Di dalam management, kategori
profesional menghasilkan persamaan-persamaan yang pasti (antara eksekutif
bisnis besar dan manajemen bisnis kecil, kaum industrialis dan pedagang, dan
seterusnya); yang sama berlaku bagi para pekerja gajian; ikatan-ikatan kelompok
profesional melemahkan loyalitas kelas atau pembedaan kelas dan pembedaan kelas
di dalam cara hidup antara manajemen an pekerja adalah relatif lebih kecil;
inilah mengapa perjuangan kelas adalah kurang keras di dalam pertnian dari ada
industri atau perdagangan, dan kurang keras di dalam bisnis kecil daripada di
dalam industri besar. Itu juga menjelaskan mengapa kaum konservatif tertentu
lebih suka unit-unit ekonomi yang kecil.
2.6.2 Antagonisme di dalam Kelompok-kelompok Korporatif
Kelompok-kelompok dan profesional
didasarkan tidak saja pada kegiatn-kegiatan yang sekarang atu pengalaman
pengalaman terdahulu di bidang pendidikan akan tetapi juga pada kepentingan
material bersama. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi mempertahankan
kemajuan korporat melawan anggota dari profesi atau organisasi lain. Dengan
demikian, ada antagonisme alami antara berbagai profesi, dan pada saat yang
sama, sebuah komunitas kepentingan, di kalangan anggota dalam profesi yang
sama. Akan tetapi, dipihak lain, ada konflik antara kepentingan bersama
profesional dan kepentingan bersama kelas. Para manajer dan pekerja dalm bisnis
pembuat roti mempunyai kepentingan bersama yang menempatkan mereka berlawanan
dengan manajer-manajer dan pekerja dari profesi lain. Akan tetapi para manajer
dalam setiap profesi mempunyai kepentingan bersama dengan manajer-manajer, yang
menempatkan mereka berbeda dengan kaum pekerja di dalam setiap profesi mereka
sendiri; dan ekerja di dalam setiap profesi mempunyai kepentingan bersama
sebagai pekerja, yang menempatkan mereka dalam posisi perlawanan, bahkn dengan
manajer dan bos-bos di dalam profesi mereka.
Kaum Marxis beranggapan bahwa
konflik korperat ini di dalam kelas sosial yang sama menjadi “kontradiksi”
daripada “antagonisme”, istilah yang dipakai melukiskan konflik antar kelas.
Ini berarti bahwa konflik tidak terlalu fundamental. Kontradiksi bisa di
selesaikan, sedangkan antagonisme tidak bisa. Setelah mengatakan itu, menyusul
antara kontradiksi di dalam kelas sosial yang sama bisa melemahkan perkembangan
antagonisme kelas. Akan tetapi juga mungkin mempergunakan kontradiksi untuk
meningkatkan perjuangan kelas. Eksploitasi kontradiksi kapitalistis oleh
serikat pekerja dan artai-partai politik adalah salah satu prinsip dasar
Marxis; konflik-konflik korperat di dalam manajemen dengan demikian bisa
menolong mencapai tuntutan para pekerja. Akan tetapi sebaliknya juga bisa
terjadi: kaum kapitalis secara terus menerus mengeksploitasi kontra indikasi di
dalam kelas pekerja.
2.6.3 Konflik di Antara Kelompok-kelompok
Ideologis
Di sini kita artikan kelompok
kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan ideologis yang sama,
dalam arti seperti telah didefinisikan terdahulu dalam arti “ideologi”.
Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, “masyarakat intelektual” dan partai-partai
politik merupakan kelompok-kelompok ideologis.
Sebuah doktrin menjadi ideologi ketika suatu kelompoksosial manganutnya,
ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan inteektual dari seorang
pemikir dan menjadi suatu ekspresi dari aspirasi, keinginan dan keyakinan suatu
kelompok orang (kelas, bangsa dan
seterusnya). Sampai ketingkat bahwa kelompok ini berbeda dengan kelompok yang
lain, dan mempunyai organisasi dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.
Berbagai Jenis
Kelompok Ideologis
Ada banyak kemungkinan klasifikasi
kelompok-kelompok ideologis. Demi maksud kita, perbedaan terutama adalah antara
kelompok-kelompokpolitik dan non politik.
Dengan ungkapan “ideologi politik”,
kita maksudkan ideologi-ideologi yang berhubungan dengan hakekat kekuasaan dan
pelaksanaannya. Jelas mereka mempunyai pengaruh yang langsung terhadap
perkembangan antagonisme politik, suat pengaruh yang dirasakan atas dua cara.
Pada sat pihak, ideologi cenderung menyatukan komunitas dengan mendorong
anggotanya untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan mengembangkan
rasa kepatuhan terhadap pemerintah; paham-paham seperti legitimasi, konsensus,
dan kesadaran nasional bertanggung jawab atas fenomena ini. Dipihak lain,
ideologi bisa membagi suatu komunitas bilamana beberapa ideologi berada
bersama, dimana setiapnya bergantung pada dukungan dari satu bagian dari
komunitas. Adalah dalam hal seperti ini kelompok-kelompok ideologi politik
dibentuk.
Ideologi-ideologi non-politik adalah
yang tidak mempunyai hubungan-hubungan langsung dengan kekuasaan, misalnya
ideologi agama, filosofis, dan artistik. Ada yang seperti ideologi artistik,
sungguh-sungguh jauh dari persoalan manajer kekuasaan. Yang lain, terutama
ideologi filosofis dan agama, dalam kenyataannya berhubungan rapat dengan
masalah kekuasaan. Dalam kenyataannya, adalah sulit memisahkan ideologi politik
dari yang non-politik. Setiap ideologi cenderung, dari hakekatnya, menjadi
suatu sistem yang komplit untuk menjelaskan manusia dan dunia, Weltanschauung dimana politik secara
alami mendapatkan tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak
terlalu gampang dipisahkan satu sama lain.
2.6.4 Hakekat Antagonisme Ideologis
Kaum Marxis mempertahankan bahwa
antagonisme ideologis tidak mempunyai eksistensi yang ril akan tetapi hanya
refleksi dari antagonisme kelas. Doktrin ini terlalu dibesar-besarkan, karena
sekurang-kurangnya ada ukuran otonomi tertentu bagi antagonisme ideologis.
Dalam pandangan Marxis,
ideologi-ideologi terletak dalam “superstruktur”, yang tergantung ketat paa
“basis”, yaitu posisi kelas-kelas sosial. Antagonisme-antagonisme ideologis
hanya mencerminkan konflik kelas yang diungkapkannya. Ideologi-ideologi
merasionalisasikan aspirasi-aspirasi dari kelas-kelas yang bergolka,
memberikannya keuatan ynag lebih besar.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Antagonis adalah
karakter atau sekelompok karakter, atau, kadang-kadang merupakan institusi
suatu kejadian yang mewakili oposisi menentang argumen-argumen pihak protagonis
(dalam arti lain, antagonis adalah karakter hitam). Dalam gaya klasik sebuah
cerita di mana aksinya terdiri dari seorang wira melawan seorang penjahat,
kedua-dua mereka bisa diperhitungkan masing-masing sebagai protagonis dan
antagonis. Antagonis biasanya jahat dan tidak baik serta sering menjadi pembuat
onar (ulah).Berlawanan dengan kepercayaan masyarakat, para antagonis tidak
selalu bersifat jahat, tetapi hanya melawan si karakter utama. Antagonis ini
merupakan ancaman besar atau hambatan bagi karakter utama dengan keberadaan
mereka, tanpa harus sengaja mentargetkan dia.
Melihat definisi
antagonis di atas, maka secara umum kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
antagonism politik merupakan suatu sikap yang menentang atau bertolak belakang
dengan kekuasaan politik, dalam hal ini pemerintah.
Menurut Maurice
Duverger , antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke
dalam dua kategori, yakni bergerak pada tingkat individual , seperti kecerdasan
pribadi dan faktor psikologis dan pada tingkat kolektif, seperti faktor-faktor
rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial. Setiap kategori sesuai dengan
sebuah bentuk perjuangan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Duverger, Maurice.
1998. ” Sosiologi Politik “. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
http://ridhofkip.blogspot.co.id/2013/01/faktorfaktor-antagonisme-politik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar