BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang Masalah
Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan
dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada
hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah
formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena
tersebut.
Struktur pengetahuan manusia
menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat
pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut.
Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif.
Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan
pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab
itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan
pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang
kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang
apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini
membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang
bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik.
Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat
kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu
pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu
merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah
jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan
yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada
taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat
dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran
metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan
antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi
bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara
pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri
kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang
menyatakannya.[1]
1.2 Rumusan
Masalah
Berikut ini
adalah rumusan masalah, antara lain :
1. Pengertian
kebenaran dan tingkatan-tingkatannya.
2. Hubungan
metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan
3. Teori-teori
kebenaran filsafat ilmu.
4. Sifat
dan tingkatan kebenaran ilmu.
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun
manfaat penbuatan makalah ini adalah :
o Agar
mahasiswa mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran ilmu
pengetahuan.
o Agar
mahasiswa dapat menjelaskan apa saja hubungan metode dengan kebenaran ilmu
pengetahuan.
o Mahasiswa
mampu menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan.
o Mahasiswa
mampu menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-sifat kebenaran ilmu
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.[2]
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi
ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di
samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode
ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu
memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap
fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika
dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan
sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan
di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua,
pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang
diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan
tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan
system.[3]
Tampaknya anggapan yang kurang tepat
mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah
terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan
manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak
atau menerima suatu produk pemikiran manusia.[4]
Maksud dari hidup ini adalah untuk
mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang
seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran”
dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini
mutlak
dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara
(tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada
ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka
pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang
masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya
kebenaran.[5]
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian
antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya
pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.[6] Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa
ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan
kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan
kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri
manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya
tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam
tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia
menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia
merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran
metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.[7]
2.2 Hubungan
Aantara Metode dengan Kkebenaran
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil
penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya
tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara
metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian
dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu
pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada
kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada
kemampuan menteorikan fakta.[8]
Bangunan suatu pengetahuan secara
epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara
atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang
dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu
pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran)
tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian
maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah
kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian
antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas
sebagaimana adanya.[9]
Setiap tradisi epistemologi beranggapan
bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang
dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut adalah sebagai berikut :
2.2.1 Empirisme
Empirisme sangat menghargai
pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas
antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang
terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di
luarnya. Mereka memberi peran yang besar pada objek yang mau
dikenal, sedang pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah
sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu
pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi
objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran
yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan
kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[10]
Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan,
atau indera tidak normal lagi. Disamping itu teori
kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek
yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam
pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.[11]
2.2.2 Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan
pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka
adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori
sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai
kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya,
karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a
priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk
pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan
dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan
pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap
benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari
suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran
koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui
hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian
dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan
matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan
validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan
dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan
dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada
relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos
dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman
dunia luar.
2.2.3 Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa
pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang
kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan
ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui
induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang
telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah
observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana
observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi
itu benar.[12] Namun
kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas.[13] Kebenaran
yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata
lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang
menunjukkan pengingkaran terhadap teori.
2.3 Teoti-Teori
Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan
pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk
pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita golongkan sebagai
ilmu pengetahuan.[14] Hanya
pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan
pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang kebenaran, antara lain
:
2.3.1 Teori
Kebenaran Korespondensi (Teori Persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah
paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah
kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau
antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha
untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan
atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[15]
Jadi, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar
jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
(berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[16] Misalnya
jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek
yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau
Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di
pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat
obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual
“kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau
tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu
tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu
pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka
pertimbangan itu salah.[17]
Dengan ini Aristoteles sudah
meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran
adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau
pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence)
dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah
soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan
dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran
terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui
subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga
disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi,
atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung
fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang
benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada
pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang
sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu,
bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan
ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan
sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan
kenyataan.[18]
Masalah kebenaran menurut teori ini
hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa,
pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek,
maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth),
menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila
ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual.[19] Dengan
demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
Statemaent
(pernyataan)
Persesuaian
(agreemant)
Situasi
(situation)
Kenyataan
(realitas)
Putusan
(judgements)
Kebenaran adalah fidelity to
objektive reality (kesesuaian pikiran dengan
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels
dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad
skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.[20]
2.3.2 Teori
Kebenaran Konsistensi/Koherensi (Teori Keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[21] Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan
si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus
keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan
didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan
lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya,
kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan
sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga
akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi
gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa
dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan
perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas.
Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan
adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya
sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu
merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.[22]
Kelompok idealis, seperti Plato juga
filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip
koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka
tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial
bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut.[23] Meskipun
demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual,
yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
2.3.3 Teori
Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh
Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878
yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952),
George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.[24]
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme.
Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan
(workability) atau akibat yang memuaskan[25],
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup
praktis dalam kehidupan manusia.[26]
Kriteria pragmatisme juga
dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif
waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai
kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak
lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan[27],
demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau
lebih dati tiga pendekatan , yaitu :
Yang
benar adalah yang memuaskan keinginan kita,
Yang
benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
Yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran
(koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling
menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah
persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman
atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang
sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.[28]
Menurut teori pragmatis, “kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar,
jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi
kehidupan manusia”.[29] Dalam
pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah
mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally).
William James mengembangkan teori
pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya,
fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk
membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh
karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar,
apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide
yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar
dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang
benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan
kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau
tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.
Dewey dan kaum pragmatis lainnya
juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey,
penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan
awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian
menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan
tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima.
Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan
kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan
tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman
manusia.[30]
Menurut teori ini proposisi
dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang
diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran
adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak
mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada
manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah
:
o Sesuai dengan keinginan
dan tujuan
o Sesuai dengan
teruji dengan suatu eksperimen
o Ikut membantu dan
mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).[31]
Teori kebenaran pragmatis adalah
teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada
konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia
untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis.
2.4 Standarisasi
Ilmu
Beberapa pandangan tentang kebenaran
tak terelakkan mengarah kepada relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh
dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk
solip. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang
berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan
secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori
kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan
sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode
dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi
pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik
dalam metode maupun kebenaran dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.
Gadamer menginginkan standard metode
yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda
dengan alasan teoritis.[32] Demikian
juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial,
mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang
dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun
semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak
ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah
benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata
“ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos)
diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran
tersebut tidak sama.
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi
dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat
kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing
punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda.[33]
2.5 Sifat
Kebenaran Ilmu
Kebenaran mempunyai banyak aspek,
dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang
bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil
imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi
dan fakta observasi.
2.5.1 Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah
benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke
kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah
bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu
Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah
kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang
selalu berkembang dari jaman ke jaman.[34]
Kebenaran ilmu walau diperoleh
secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat
dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh
penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan
terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih
mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti
oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas
kebenaran masing-masing.
Ilmu sekarang lebih mendekati
kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh
akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak
seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu
kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun
kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.[35]
2.5.2 Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu
sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai
kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran
(verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah
bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya
salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar.
Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang
telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena
probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu
pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep
tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude
menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan
kebenaran dengan kekurangan isi.
Tesis utama Popper ialah bahwa kita
tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori.
Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas
suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini
bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi,
1989: 75).[36]
2.5.3 Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot
suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup
yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai
sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran
ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan
untuk menentukan kriteria kebenarannya.[37]
Pragmatisme tergolong dalam
pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian
manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat
praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat
tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang
dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
2.5.4 Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar”
ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles
artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah
“representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori
kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori
dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori
kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang
kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari
sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak
relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.[38]
Objektivisme menyingkirkan
individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di
dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada
objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam
arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak
ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa
teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori
selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan
antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran
merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan
pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang
digabungkan dengan unsur persetujuan.[39]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan
dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing
mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai
teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan
kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan
Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta
Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis
fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang
otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang
inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu
lama untuk menemukan kebenaran.
Dari beberaa Teori Tentang Kebenaran
dapat disimpulkan :
Teori
Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh
merupakan halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori korespondensi
ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan
dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian
(korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar
kebenaran/keadaan benar.
Teori
Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri ".
Teori konsistensi melepaskan
hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara
satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui
kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan
fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada
sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma
adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak
bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu
Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori
Pragmatis : "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut
berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu
diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".
Teori pragmatis meninggalkan semua
fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang
dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk
menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Lorens, Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2002.
Inu kencana Syafi’i, Filsafat
kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Kunto Wibisono, aktualitas
Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press , 1984.
Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987.
Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989.
Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Ahmad Sahidah, Kebenaran dan
Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan
Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat
Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata : Pustaka Sinar harapan, 1990.
S. Arifin, Apa itu
Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta : Hasta Mitra,1982.
Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan:
sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius, 2001.
Daldjoeni, N, Ilmu
dalam Prespektif, Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985.
Poedjawijatna, Pengantar ke
IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987.
Abbas, Hamami, Kebenaran
Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
[10] Abbas,
Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997. Hal 87
[16] Jujun
S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata
: Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
[21] Jujun
S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata
: Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 55
[24] Jujun
S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata
: Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
[29] Jujun
S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata
: Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar