Rabu, 04 Januari 2017

Etika Administator/pejabat publik



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila ia benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara itu juga berasal dari praktek adinistrasi sehari-hari. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara tidak berada dalam ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang aplikasinya, bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus bertindak menurut kaidah-kaidah etis yang ada.
Begitu banyak teori maupun konsep yang membahas tentang kaidah normative yang terdapat diantara penguasa negara. Demikian pula konsep-konsep seperti keailan, kedaulatan rakyat, kepentingan umum, norma-norma dan sebagainya. Namun terkadang uraian yang terdapat di dalamnya sangat abstrak sehingga sulit dipahami.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pejabat publik berfungsi sebagai administator, dan apa persyaratannya?
2.      Apa yang dimaksud dengan etika pembangunan?
3.      Bagaimana relevansi etika dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi?







BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Normatif Bagi Administator
Pejabat public berfungsi sebagai administrator dan seorang abministrator harus mengabdi kepada kepentingan umum. oleh karena itu harus memenuhi persyaratan teknis seperti intelegensia, kemampuan mengambil keputusan (decivense), wawasan kedepan, atau kemahiran manajemen, mereka harus memiliki landasan normative yang tergantung dalam nilai-nilai moral. Ini yang menentukan apakah WN menaati ketentuan lembaga pemerintah hanya karena hukum formal atau kedudukan pejabat tinggi ataukah karena mereka mencintai para pemimpin atau pejabat karena kearifan dan keluhuran budi tingkah laku mereka.
Berbagai teori filosofis yang sering dijadikan landasan, baik itu yang berasal dari hukum abadi (naturalisme). Hukum utilitarian, hukum deontologis, individualisme, maupun teori kebebasan pribadi, ternyata tidak selalu memuaskan dalam memcahkan persoalan. Tidak ada satupun sistem tunggal yang dapat dijadikan penuntun dalam mengatasi masalah-masalah etis yang pelik. Namun, buka berarti administrator dapat berbuat sekehendak hati mereka, sebab, bagaimanapun tindakan mereka menyangkut orang lain, dan orang lain itu adalah masyarakat umum yang telah memberikan kepadanya wewenang untuk mengambil keputusan. Administrator punya kewajiban kepada publik dan ia tidak tidak boleh mengabaikan kewajiban-kewajiban itu.
Pertama-tama harus disadari bahwa semua pertimbangan normatif harus menuju kepada kebaikan bersama. Setelah itu, seorang administrator hendaknya selalu mawas diri untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sebagai kewajiban yang harus mengangkat harkat manusia.
Salah satu prinsip moral adalah kebajikan (virtue). Aristoteles mendefinisikan kebajikan sebagai :
“ Virtue is a habit or a state of character concerned with choice, lying in a mean, i. e., a mean relative to us, this being determined  by a rational principle, and by that principle  by which then man practical would be determined it. ”
Oleh karena itu kebajikan menentukan cirri kualitas yang membuat seorang disebut baik (the quality which make man good). Cirri kualitas ini bertalian dengan watak seorang maupun pikirannya sehingga selai didukung oleh kearifan dan kebjaksanaan, kebajikan juga mensyaratkan rasionalitassegi-segi dari orang terjangkau oleh cirri kualitas dalam kebajikan meliputi pemikiran, pengetahuan, keingan, perasaan dan perbuatannya.
Aristoteles mendeskripsikan 10 macam kebajikan berserta dengan konsep-konsep relevan berikut ini yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan itu.
Cacat                                       Kebajikan                                Ekses
Pengecut                                 Berani                                      Gegabah
Tidak nalar                              Sederhana                               Semau sendiri
Picik                                        Bebas                                      Boros
Kikir                                        Indah                                       Vulgar
Rndah diri                               Bangga                                    Takabur
Malas                                       Makna                                     Ambisius
Dungu                                     Tabiat Baik                              Pemberang
Kasar                                       Ramah                                     Ceroboh
Licik                                        Jujur                                        Angkuh
Kaku                                       Cerdas jenaka                          Pembadutan
            Menjaga keserasian berarti upaya-upaya untuk menghindari untuk menghindari akibat akibat buruk dari perilaku dan tindakan. Disini ditunjukan bahwa perilaku yang buruk atau kurang baik akan menimbulkan cacat (defect) dalam kepribadian, sedangkan perilaku berlebihan akan menimbulkan ekses. Nilai-nilai normatif yang juga wajib dianut administrator berkenaan dengan konsep keadilan. Niali keadilan merupakan nilai intrinsik yang sangat penting dan merupakan cita-cita tertinggi yang harus dicapai dalam segala upaya. Keadilan juga harus menjadi asas hukum bagi organisasi-organisasi politik yang terbentuk dari berbagai golongan, wilayah dan kepentingan dalam kehidupan negara. Pemerintah yang adil mengandaikan adanya hukum yang adil. Konsepsi keadilan bagi kehidupan benegara dan pemerintahan lazim disebut keadiln politis (political justice)
Keadilan mestinya dipandang sebagai suatu cita asa tujuan dan unsure yang terdapat dalam semua bentuk hukum. Pemerintahan yang adil mengandaikan adanya hukum yang adil. Keadilan hukum inilah yang akan menentukan terjaminnya terbit sosial.sejalan dengan terjaminnya keadilan hukum tersebut maka administrasi pemerintahan dilengkapi dengan pranata pengadilan yang bertugasmelaksanakan aturan hukum melakukan persidangan mengahakimi keputusan keputusan yang bersifat hukum, dan atau menjamin keadilan procedural. Keadilan yang menyangkut produksi, distribusi dan perdagangan disebut dengan kebijakan ekonomis (economic justice)setiap organisasi dan tatakerja produksi barang dan jasa harus bersifat adil terhadap tenaga kerja sebagai unsure produksi maupun pembeli sebagai konsumen. Konsep tentang keadilan sosial (social justice) mengharuskan disrtibusi pelayanan sosial terhadap setiap unsure masyarakat secara adil. Paraadministrator wajib mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar pelayanan public terlaksana scara adil kepada setiap warga tanpa memandang status, golongan jabatan, atau pangkatnya. 
Beberapa pedoman yang bisa diikuti untuk dapat berlaku dan bertindak secara adil menurut beberapa rumusan atau pendapat filsuf adalah:
1.       Dorongan batin yang tetap untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya;
2.       Tidak sewenang wenang dan tidak membeda-bedakan orang.
(Plato):
1.       Masing-masing unsur kejiwaan-cipta,rasa,karsa-dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya tanpa mengganggu satu sama lain;
2.       Budi rohani dalam keadaan tertib sebagai mana tertibnya keadaan tubuh yang sehat;
3.       Disiplin diri dengan perasaan hati yang dikendalikan oleh akal.
(philemon):
1.       Tidak mau berbuat salah walaupun bisa melakukannya;
2.       Watak yang tulus untuk berbuat adil, bukan sekedar karena ingin tampak adil;
3.       Menolak mengambil barang berharga milik orang  lain walaupun tidak ada resiko yang merugikan.
(Stanley Benn):
1.       Memiliki integritas
2.       Hidup menurut asas-asas yang konsisten;
3.       Prinsip hidup tidak digoyangkan. Oleh pertimbangang keuntungan, hasrat, dan perasaan hati.
Selanjutnya landasan normatif yang tidak kalah pentingnya dengan ketentuan-ketentuan diatas adalah kesediaan para administrator untuk mempertanggungjawabkan tindakan, keputusan, dan kebijakan yang dibuatnya. Pengertian tanggung jawab mengandung implikasi yang begitu luas bagi administrator. Pertama-tama, pertanggung jawaban hierarkis adalah proses pertanggungjawaban secara berjenjang dalam berbagai kedudukan dalam birokrasi.kedua, pertanggungjawaban manajemen. Ilmu manajemen merupakan dasar dari setiap proses pelaksanaan tugas dalam organisasi negara. Ketiga, sistem pertanggungjawaban kemasyarakatan yang menentukan baik buruknya kualitas birokrasi serta wibawa organisasi secara keseluruhan.[1]
Dimog & Konig mengatakan :
................ every delegation of power to an agent must be accompanied by a corresponding degree of accountability.”
2.2 Etika Pembangunan
        Menurut Hans Kung etika adalah seperangkat konsensus, sebuah kesepakatanatas nilai, kriteria dan sikap tertentu yang akan digunakan sebagai basis masyarakatdunia yang akan datang.[2] Jadi definisi etika pembanguna secara sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik.
Etika pembangunandapat dilihat dalam perbandingan dengan etika bisnis, etika kedokteran, etikalingkungan atau etika-etika praksis dari area serupa. Setiap area praksis selalumemunculkan pertanyaan-pertanyaan etis tentang prioritas dan prosedur, hak dankewajiban. Menurut Goulet etika pembangunan adalah“the examnation of ethical and value questions posed by development theory, planning, and practice”.Sedangkan Crocker mendefinisikan etika pembangunan sebagai “the ormative or ethical assessment of the ends and means of Third World and Global Development”[3]
Dengan kata lain, etika pembangunan dapat dilihat sebagai satu perhatian tertentuyang mempertanyakan tentang pilihan-pilihan nilai utama yang terdapat dalam proses pembangunan sosial dan ekonomi. Apakah pembangunan yang baik itu? Bagaimanamanfaat dan biaya dibagi antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang?Siapa yang menentukan dan bagaimana? Apakah hak-hak individu yang harusdipenuhi dan dijamin?
Parameter Etika dalam Pembangunan
Sebuah etika dapat dipahami dengan menggunakan prinsip dasar (a)setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi dan (b) kebaikan yang kamulakukan pada dirimu lakukanlah pada orang lain. Dua prinsip ini harus menjadi normatanpa syarat yang tidak terbatalkan bagi semua bidang kehidupan, ras, bangsa danagama. Amarta Sen menyebutkan bahwa Etika dalam pembangunan dapat pula dilihat melalui beberapa hal. Yaitu :




 
1.       kebaikan seseorang dipengaruhi oleh kondisiorang lain (simpati).
2.       seseorang melakukan sesuatu untuk mendukung oranglain atau sebab lainnya meskipun perbuatan tersebut tidak berkaitan dengankebaikannya (komitmen)[4]
Sedangkan Hans Kung berkecenderungan untuk melihat pada aspek komitmen yang meliputi beberapa hal[5]
1.       komitmen pada budayaantikekerasan dan penghormatan pada hidup,
2.       komitmen pada budayasolidaritas dan tatanan ekonomi yang adil,
3.       komitmen pada budaya toleransidan hidup yang jujur,
4.       komitmen pada budaya dan hak yang sama dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian besar, etika pembangunan memberikan paling tidak sepuluh keyakinan atau komitmen tentang bidang mereka dan parameter umum untuk dasar etika pembangunan. Yaitu:  
Pertama, meskipun perkembangan/pertumbuhan ekonomi dapatmengurangi perbudakan dan meningkatkan standar hidup namun menyisakan permasalahan kemakmuran sedikit orang atas kebanyakan orang.
Kedua, teori dan praktek pembangunan mempunyai dimensi-dimensi nilai dan etika dan dapatmengambil manfaat dari konstruksi, kritisme, dan analisis etis.
Ketiga, pembangunan bersifat multi disiplin yang memiliki komponen praksis dan teoritisyang saling berkaitan dalam berbagai cara. Oleh karena itu, etika pembangunan tidak hanya bertujuan memahami hakekat, sebab, dan konsekuensi pembangunan namun juga mempromosikan konsepsi tertentu terkait perubahan yang diinginkan.
Ke empat, etika pembangunan berkomitmen untuk memahami dan mengurangi perampasan kemanusiaan dan penderitaan di Negara-negara miskin.
Kelima, pemberi bantuan, proyek dan institusi pembangunan harus memiliki komitmen dan konsensusuntuk mencari strategi yang memperhatikan kebaikan manusia dan lingkungan.
Keenam, pembangunan dapat dipahami secara deskriptif dan normatif. Secara deskriptif, pembangunan dipahami sebagai pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, danmodernisasi yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Secara normatif, pembangunan adalah institusionalisasi kebijakan yang merealisasikan penyelesaian perampasan sosial dan ekonomi.
Ke tujuh, etika pembangunan melakukan penilaian atas (a) prinsip-prinsip etikadasar seperti keadilan, kebeasan, otonmi, dan demokrasi; (b) model dan tujuan pembangunan seperti “pertumbuhan ekonomi” , “pertumbuhan dengan persamaan” , “ tata ekonomi internasional baru ” , “kebutuhan dasar” , “pembangunan berkelanjutan”,“penyesuaian structural” , “pembangunan manusia” , dan “pembangunan berkelajutan”; (c) strategi, proyek, an institusi tertentu.
Ke delapan, etika pembangunan harus diupayakan melalui tingkatan global yang melibatkan Negara-negara miskin.
Ke Sembilan, kebijakan pembangunan harus memiliki sensitifitasterhadap konteks. Prinsip dan sarana terbaik tergantung pada sejarah masyarakat politik dan tahapan perubahan sosial.
Ke sepuluh, strategi dan model pembangunan bersifat fleksibel dan tidak eksklusif dengan orientasi untuk seluruh manusia tanpamembedakan jenis kelamin, usia, ras, suku, dan agama.
Pendukung etika pembangunan menolak dua model dalam pembangunan:
(a)      Memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu masyarakat tanpa memperhatikan secara langsunguntuk mengubah kemakmuran yang lebih besar menjadi kondisi kehidupan manusiayang lebih baik untuk anggotanya, apa yang disebut Amartya Sen dan Jean Dreze“kemewahan tanpa tujuan”. Yaitu suatu masyarakat yang tidak peduli dengankesenjangan antara si kaya dan si miskin dan
(b)      egalitarianisme yang memenuhikebutuhan fisik dengan mengorbankan kebebasan politik.
Menurut pendekatan etika pembangunan, pembangunan haruslah bersifatkomprehensif. Yaitu secara langsung dan bersamaan serta berkelanjutan menyentuhsegenap aspek-aspek kehidupan manusia. Tidak ada hak istimewa atas aspek tertentuterhadap aspek-aspek lainnya. Hak istimewa terhadap salah satu aspek tertentu akan berarti perampasan atas aspek lainnya yang kemudian melahirkan problematikadalam pembangunan sebagaimana terjadi dalam fenomena pembangunan dewasa ini. Yaitu, ketika aspek ekonomi mendapat perlakuan istimewa maka pendekatanakumulasi kapital (kekayaan) mensubordinasikan kepentingan-kepentingan lain.Termasuk di dalamnya adalah subordinasi kepentingan ekonomi masyarakat yangtidak memiliki akses terhadap sumber permodalan maupun kepentingan pemeliharaanlingkungan.
Orientasi pada liberasi masyarakat miskin tidaklah sepantasnya hanya menjadirasionalisasi bagi pembolehan ekspansi capital secara luas dan bebas atas dasar akumulasi. Fenomena bahwa liberasi masyarakat miskin pada hakekatnya hanyamenjadi dalih bagi kemudahan-kemudahan untuk ekspansi capital banyak ditemukan pada realitas pembangunan di Negara-negara miskin yang melibatkan peran dominan Negara-negara kaya. Implikasinya, pembangunan yang dijalankan tidak membumi pada“local wisdom”maupun“local genius”sehingga tidak efektif bagi liberasimasyarakat setempat.
Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih dititikberatkan untuk memperlancar proses pembangunan. Dalam tugas-tugas pembangunan, aparat administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaanya secara efektif dan efisien. Aparat administrasi harus mampu menjadi agen-agen perubahan (change agents).
Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator pembangunan diberi hak-hak untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan berdasarkan pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Namun tidak setiap administrator menyadari bahwa mereka mengemban tugas berat yang harus selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Davis mengatakan bahwa di negara-negara yang tengah melakukan usaha-usaha modernisasi, banyak pejabat public yang kini memiliki terlalu banyak diskresi. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan restrukturisasi perlu dilakukan untuk membatasi, menyusun kembali, dan mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna menciptakan masyarajat yang lebih adil.

Di Indonesia, pertanggungjawaban administrative terhadap masalah-masalah pembangunan akan semakin diperlukan terutama jika diingat bahwa pendekatan legalistic melalui Peradilan Tata Usaha Negara belum bisa betul-betul diterapakan. Betapapun administrasi pembangunan tidak berjalan dalam kondisi vakum politik, karena itu pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara politik pula. Proses administrasi memperoleh legitimasinya dari kehendak politik rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia mencerminkan kemauan rakyat sampai kepada tingkat kebijakan yang paling mikro.
Tidak dipungkiri bahwa pembangunan nasional Indonesia selama 25 tahun terakhir telah berhasil mengangkat taraf kemakmuran ekonomis masyarakat. Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan nilai-nilai demokrasi.
Secara rinci Korten mengemukakan ciri-ciri program pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara lain :
a.       ketergantungan pada organisasi-organisasi birokkrasi terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk menanggapi beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas ; ketergantungan ini juga nampak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan  “ partisipatif ”;
b.       investasi yang tidak memadai dalam proses pengembangan kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah;
c.       perhatian yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis;
d.       tidak cukupnya integrasi antara komponen-komponen teknis dengan sosial dalam upaya pembangunan.[6]
Untuk itu, Korten mengusulkan supaya program-program pembangunan tidak hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku melainkan diupayakan agar terjadi proses belajar (learning process) yang bermanfaat bagi rakyat. ini hanya bisa dilaksanakan jika para administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya terpancang pada pemahaman  teknis dan asas-asas manajerial dalam proses administrative  tetapi juga membuka diri terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara secara eksplisit telah menyebutkan bahwa ideologi pembangunan yang kita anut mencita-citakan pembangunan manusia seutuhnya. Maka para administrator yang terlibat langsung dalam perencanaan maupun operasionalisasi program-program pembangunan diharuskan untuk selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan mereka.
1.       Kebebasan
Kemerdekaan pribadi atau kebebasan merupakan bagian penting dari hak-hak asasi manusia. Hak untuk bebas merupakan hak yang melekat pada setiap individu karena martabatnya sebagai manusia, bukan karena pemberian oleh masyarakat dan negara. kebebasan perlu ditegakkan supaya wajah pembangunan tetap beradab dan berperikemanusiaan. Menjamin kemungkinan tumbuhnya kekuasaan tiran atau  kebijkan-kebijakan pembangunan semena-mena yang hendak menukar modernisasi dengan harkat dan martabat warga negara. dalam proses menggerakkan roda pembangunan, ada beberapa corak kebebasan yang perlu dipertimbangkan antara lain.
a. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Pemerintahan disebut demokratis hanya apabila ia bersedia membuka peluang yang luas bagi setiap warga negara untuk berbicara sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan mengeluarkan pendapat perlu dijamin karena disamping untuk melindungi hak-hak asasi ia juga dapat dijadikan sumber masukan bagi pemerintah supaya bisa mengetahui kelemahan-kelemahannya.
b.       Kebebasan Pers
Control sosial dan tanggung jawab sosial hanya dapat berjalan baik jika dalam masyarakat terdapat kebebasan pers. Lebih dari itu pers juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide pembangunan. Namun pers sendiri acapkali melakukan self-censorship dan tidak berusaha menciptakan iklim yang kondusif bagi adu argumentasi yang sehat.
c.       Kebebasan Berserikat
Kebebasan berkumpul atau berserikat perlu senantiasa dilindungi dalam upaya menuju sistem politik yang demokratis. Rakyat mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat, melaksanakan pertemuan-pertemuan, atau bahkan membentuk berbagai corak kelompok sosial untuk memenuhi kepentingan bersama.
d.       Kebebasan Beragama
Setiap warga negara harus diperkenankan untuk menganut agama tertentu dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, karena itu menyangkut hak individual yang wajib dijamin. Semuanya perlu diwujudkan dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan kalau kita memang menghendaki terciptanya wujud pembangunan yang manusiawi.
2.       Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pembangunan juga ditentukan oleh seberapa jauh prose situ dapat menciptakan persamaan derajat bagi warga negara. hal yang pertama-tama harus ditegakkan oleh pemerintah adalah persamaan di depan hukum (equality before the law). Karena memiliki kedudukan tinggi, banyak pejabat yang seolah-oleh “kebal hukum” meskipun pelanggaran yang dilakukannya sesungguhnya sangat merugikan masyarakat.
Aspek persamaan yang juga membutuhkan perhatian adalah persamaan kesempatan (equality of opportunity) bagi seluruh lapisan masyarakat. Persamaan kesempatan di negara-negara berkembang akan bisa diwujudkan bila negara berperan aktif untuk menciptakan peluang-peluang terutama bagi kaum miskin dan kurang berpendidikan. Persamaan yang harus diciptakan itu bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan menyangkut pula bidang-bidang pendidikan, sosial, politik, atau ketenagakerjaan.
3.       Demokrasi dan Partisipasi
Dalam menelaah perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara berkembang, kita melihat setidak-tidaknya dua komponen pendorong perubahan. Pertama adalah perubahan-perubahan yang bersifat otonom karenan masyarakat menginginkan adanyan pergeseran kea rah kondisi sosial atau taraf hidup yang lebih maju. Komponen pendorong perubahan yang kedua berasal dari para pemimpin negara, politisi, teknokrat, intelektual, atau birokrat yang menghendaki perubahan masyarakat  kea rah kemajuan sesuai dengan yang mereka pahami dan cita-citakan.
Persoalan-persoalan etika pembangunan muncul karena ternyata metode membangun yang diterapkan oleh para penguasa maupun administrator itu tidak cocok atau tidak koheren dnegan kehendak rakyat. demokratisasi dimaksudkan agar cara-cara yang ditempuh dalam melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat sehingga apapun hasil dari pembangunan itu akan dapat dinikmati bersama. Karena itu pembangunan tanpa demokrasi akhirnya akan merosot statusnya menjdi usaha sepihak elit penguasa yang menentukan gagasan-gagasannya sendiri kepada masyarakat luas dan hanya akan mengutamakan kepentingan kelomp[ok mereka sendiri.
Konsep demokrasi mengandaikan bahwa masyarakat di segala tingkatan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut mereka. Demokrasi harus diletakkan sejak perangkat pemerintahan yang paling bawah  hingga jenjang yang paling tinggi.
Keengganan para pejabat untuk memahami pendapat-pendapat masyarakat seringkali juga mengakibatkan tumpulnya kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan. Akan tetapi, satu hal yang jelas dapat dilakukan adalah upaya penyadaran secara terus-menerus mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam masalah-masalah pembangunan.
4.       Keadilan Sosial dan Pemerataan
Untuk mengejar ketinggalan dari kelompok negara-negara maju, dapat dipahami bahwa proyek-proyek pembngunan yang dilaksanakan oleh kebanyakan negara-negara dunia ketiga diarahkan untuk  meningkatkan taraf ekonomi secepat mungkin. Maka upaya-upaya yang dilakukan adalah pengerahan sumber-sumber daya yang tersedia, pencegahan terhadap pemborosan-pemborosan financial yang tak bertanggung jawab, sambil mempertahankan tingkat pelayanan public yang sudah tercapai.
Masalah keadilan sosial (social equity) menyeruak akibat munculnya kenyataan bahwa peningktan kesejahteraan ekonomis ternyata hanya dinikamati oleh kalangan tertentu. Setelah beberapa persoalan untuk memenuhi kebutuhan dasar berhasil diatasi, agenda permasalahan yang harus dipecahkan dalam periode pembangunan selanjutnya bertalian dengan keadilan sosial.
Pembahasan mengenai keadilan dalam lingkup negara seringkali tidak tepat jika hanya menyoroti hunbungan-hubungan individual. Keadilan juga bisa mempersoalkan struktur politik masyarakat secara keseluruhan. Mengupayakan keadilan sosial berarti menjamin seoptimal mungkin agar setiap anggota masyarakat dapat memperoleh apa yang menjadi haknya serta bisa mendapatkan bagian yang wajar dari kemakmuran masyarakat yang telah berhasil dicapai. Logika ini dapat dibalik dengan mengatakan bahwa usaha mencapai keadilan sosial dapat dilakukan dengan menghapus ketidakadilan sosial. Dalam hal ini ketidakadilan yang paling nyata adalah kemiskinan.
Pemerataan hendaknya menjadi salah satu nilai yang wajib dianut bagi setiap aparat yang memprakarsai, merencanakan, dan melaksanakan proyek-proyek sampai ke hal-hal yang bersifar teknis.
Meskipun pembangunan memberikan perubahan positif pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, perlu dicatat bahwa pembangunan tidak terlepas dari dampak negatif yang saat ini semakin mendapat perhatian dalamstudi pembangunan. Beberapa dampak negatif yang dimaksud antara lainketimpangan sosial dalam masyarakat, kerusakan lingkungan, malnutrisi, dan berbagai masalah lainnya. Pembangunan, dalam perkembangannya, dipahamisebagai sebuah konsep yang destruktif yang menyebabkan rusaknya aspek-aspek nilai, kultural dan kemanusiaan. Lebih jauh, beberapa realitas yang menunjukkan bahwa konsep pembangunan tidak berjalan dengan semestinya adalahmenurunnya pertumbuhan negara-negara termiskin di dunia dari 1,9% ke 0,6%dalam rentang waktu 1960-2000 serta meningkatnya jumlah penduduk dunia yanghidup dibawah garis kemiskinan. Meningkatnya level kemiskinan tersebut jugasejalan dengan fenomena kelaparan yang semakin meluas dalam rentang waktu1969-2010. Di sisi lain, pemanasan global semakin menunjukkan dampakkerusakan lingkungan, dimana dalam rentang waktu 1990-2100 akan terjadikenaikan temperatur global antara 1.4 hingga 5.8 derajat celcius dan hal ini akanmengakibatkan kenaikan level air laut antara 0.09-0.88 meter. Tajamnyadisparitas pembangunan seperti yang terjadi dalam kawasan tertentu seperti AsiaTenggara, dimana GDP per-kapita Singapura 45 kali lebih besar dari Myanmar, juga menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa konsep pembangunanmulai kehilangan makna.
Berbagai realitas tersebut diatas menunjukkan bahwa jalannya pembangunan telah melibatkan pengorbanan dan biaya kemanusiaan.Kemiskinan, kelaparan, disparitas pembangunan dan kerusakan lingkungan terusmeningkat di tengah gegap gempita pacuan pertumbuhan ekonomi negara-negaramaju. Penting untuk dilihat bahwa konsep pembangunan selama ini hanyaterfokus pada pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan modernisasi yangkemudian mengabaikan aspek-aspek lain seperti tersebut diatas. Hal inimenegaskan perlunya peran etika dalam konsep pembangunan. Etika pembangunan harus melekat secara komprehensif dalam aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik untuk dapat menjadi pendekatan alternatif yang efektif dalamstudi pembangunan.
Signifikansi etika dalam pembangunan berkembang sejalan dengan perkembangan sejarah. Dalam konteks sejarah, munculnya konsep etika dalam pembangunan mulai dicetuskan pada era 1940-an dalam bentuk kritik terhadapkolonialisasi dan pendekatan pembangunan ekonomi yang digagas oleh Gandhi diIndia dan Raul Prebish di Amerika Latin. Kritik tersebut berlanjut hingga pada era1970-an dimana beberapa filsuf dari Amerika Serikat seperti Hilary Putnam yangmemaparkan bahwa pencapaian kesejahteraan ekonomi mengakibatkan disparitasyang besar antara negara-negara kaya dan miskin di dunia. Putnam menegaskan bahwa dalam pemahaman tersebut, teori tentang etika tidak dapat dipisahkandalam pendekatan pembangunan ekonomi. Gagasan etika dalam pembangunan semakin kuat saat aktifis seperti Denis Goulet yang banyak diilhami oleh ekonom Prancis, Louis-Joseph Lebret dan ekonom pembangunan seperti Bernard Higgins,Albert Hirschman dan Gunnar Myrdal, menegaskan bahwa“development needsto be redefined, demystified, and thrust into the arena of moral debate”. Halsenada juga diungkapkan oleh ilmuwan sosiologi Peter Berger yang meyakini bahwa pembangunan cenderung lebih membawa banyak kerugian bagi kaummiskin dan oleh karena itu diperlukan etika politik dan perubahan sosial dalamkonsep pembangunan di negara Dunia Ketiga.
Perkembangan konsep etika dalam pembangunan juga diwarnai dengan perdebatan tentang kewajiban moral negara-negara kaya untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat yang menderita kelaparan dalam negara-negara berkembang. Salah satu penggagas utama yang mendukung wacanatersebut adalah Peter Singer dengan argumen
“...rich people commit moral wrong in refusing or neglecting to aid the starving poor.”
Berbeda dengan Singer,ilmuwan Garrett Hardin dengan
“lifeboat ethics”
menegaskan bahwa memberi bantuan pangan kepada masyarakat miskin justru hanya akan memperburuk  permasalahan. Bagi Hardin, bantuan tersebut justru membuat fenomena kelaparansemakin meluas dan memancing ketergantungan negara-negara miskin akan bantuan dari negara kaya. Gagasan yang kemudian muncul adalah perlunya pendekatan yang lebih komprehensif, empirik dan relevan melalui kebijakan“ethics of third world development”daripada sebatas etika bantuan.
Dalam perkembangannya, perdebatan Hardin-Singer tersebut mendapat perhatian besar dari David A. Crocker dengan“ethics of global development”.Crocker mengkritik Singer yang tidak secara jelas menyebutkan bentuk kebijakandalam etika bantuan yang dimaksud, apakah melalui bantuan seperti Oxfam ataumelalui bantuan pembangunan. Crocker juga melemahkan argumen Singer dengan klaim bahwa fokus Singer terlalu banyak pada negara-negara kayasehingga mengabaikan fokus terhadap apa saja yang telah dilakukan negaramiskin untuk mengatasi masalah kelaparan yang melanda negara mereka. Lebihlanjut, Crocker juga berpendapat bahwa etika bantuan yang digagas Singer menempatkan negara-negara miskin sebagai pihak pasif, sang penerima bantuan,dan negara kaya sebagai agen penyelamat masalah tersebut. Bagi Crocker, negaramiskin juga harus dilibatkan sebagai agen untuk mengatasi masalah yang merekahadapi. Crocker menutup kritiknya terhadap Singer dengan menegaskan bahwakelaparan perlu dipahami sebagai sebuah akibat dari tidak meratanya distribusikesejahteraan dan kekuasaan.
Kritik Crocker tersebut pada dasarnya dikembangkan dari pendekatankonsep pembangunan yang digagas oleh Amartya Sen dengan menempatkan pembangunan sebagai“the expansion of people’s ‘valuable capabilities and  functionings’: what people can or cannot do, e.g., whether they can live long,escape avoidable morbidity, be well nourished, be able to read and write and communicate, take part in literary and scientific pursuits, and so forth”. Dengandemikian, dimensi moral dalam pendekatan pembangunan memiliki signifikansiyang sama pentingnya dengan konsep pembangunan itu sendiri, yang kemudiansemakin menegaskan pentingnya peran dan nilai etika dalam mengimbangi pembangunan, khususnya pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan dalam pelaksanaannya seringkali dikatakan memiliki dampak destruktif yang besar bagi kehidupan manusia. Istilah anti pembangunan kemudianmuncul terkait hal ini. Pembangunan, meski pada awalnya bertujuan untuk kepentingan kemaslahatan manusia, ternyata mampu memunculkan dampak-dampak sampingan yang justru mengancam dan malah merugikan bukannya menguntungkan.Pembangunan oleh Goulet dalamThe Cruel Choice: A New Concept in theTheory of Development (1971) dikatakan telah menjadi penyebab penderitaanmanusia dan kehilangan tujuan awalnya yaitu mensejahterakan kemanusiaan.[7] Peter Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974) juga menyatakan bahwa pembangunan
lebih banyak mengorbankan ketimbang menguntungkan rakyat kecil. Di negaraDunia Ketiga, yang sangat diperlukan demi mengatasi permasalahan pembangunanseperti kemiskinan adalah keterlibatan etika politik yang diterapkan pada perubahansosial yang terjadi. Lebih lanjut Berger menyatakan bahwa suatu perbincangantentang masalah-masalah kemiskinan dunia yang menyedihkan tidak dapat dianggapmanusiawi kalau mengabaikan pertimbangan-pertimbangan etis. Dan suatu etika politik tidak pantas disebut dengan nama itu kalau mengabaikan permasalahan penting yaitu Dunia Ketiga [8]Etika dalam pembangunan selanjutnya menjadi hal yang semestinya berjalan berdampingan seiring dengan proses pembangunan yang dilakukan. Untuk semata-mata menolak pembangunan sekiranya menjadi hal yang mustahil dilakukan bilamelihat tuntutan globalisasi dan modernitas yang terjadi. Dalam pengertiandeskriptifnya sendiri, pembangunan biasa dikaitkan dengan proses pertumbuhanekonomi dan industrialisasi yang menuju pada peningkatan GDP (Gross Domestic Product) yang tinggi. Melihat hal ini, pembangunan kemudian menjadi sesuatu yangmendapat dukungan namun juga menuai kritik pada saat yang bersamaan. Pendekatanetika dalam pembangunanlah yang kemudian bertugas menyampaikan kritiknyaterhadap keberlangsungan pembangunan. Apabila secara deskriptif, pertumbuhanekonomilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan, etika adalah tolak ukur pembangunan secara normatif. Dengan demikian, pembangunan selayaknya baru bisa dikatakan sepenuhnya berhasil apabila telah sanggup memenuhi parameter- parameter baik dari segi fisik maupun norma.
Ketika pembangunan hanya dipahami secara deskriptif dalam istilah-istilah pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan modernisasi yang menjadikan GDPsebagai indicator utama maka pertanyaan-pertanyaan etika akan mudah dipersepsisebagai anti pembangunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perspektif pertumbuhanekonomi, industrialisasi, dan moderninasi hanya berkutat pada efisiensi sebagai keniscayaan. Hal-hal yang menghambat efisiensi disamakan dengan menghambat pembangunan. Logika akumulasi kapital (kekayaan) senantiasa menekankan pada pembebasan hambatan-hambatan bagi berlakunya ekspansi capital secara massif termasuk masalah etika.Berdasarkan fungsi utama etika pembangunan yang meliputi (a) Mengangkatnilai-nilai sebagai suatu kebutuhan (needs) bukan sekedar kemauan (wants); berbasis pada keadilan ( justice) bukan sekedar sedekah (charity); keadilan yang bukan bersifatindividual atau perilaku tetapi terstruktur dan terlembaga; dan tidak sekedar memanipulasi sumber-sumber (kekayaan, kekuasaan, informasi, dan pengaruh); (b)Memformulasikan strategi-strategi yang etis dalam pemecahan masalah pembangunan; dan (c) Menemukan jalan yang menggambarkan alternatif proses perencanaan yang layak (secara teknis, politik, dan etika), maka etika pembangunan tidaklah dapat serta merta dinyatakan sebagai anti pembangunan.
Etika pembangunan terfokus pada lintasan masyarakat manusia dan jalanhidup individu yang membentuk masyarakat. Agendanya semakin urgen dalammenghadapi globalisasi dan berbagai dampaknya. Kita membutuhkan kerangka kerjaetika global. Pendekatan pembangunan manusia menjadikannya analisis terpadutrans-disipliner tentang pembangunan. Pendekatan pemenuhan kebutuhan (jaminan)dasar bagi setiap orang diperbarui dengan menghubungkan hak asasi manusia denganreformulasi keamanan manusia. Hal ini kondusif bagi universalisme etika dalam hal“rasa kebersatuan” –simpati dan komitmen global- yang masih membutuhkan pendasaran yang lebih empatik dan menonjol. Etika pembangunan perlu lebihdiperdalam untuk melayani secara lebih baik mereka yang secara langsung terkenadampak proses globalisasi. Kerentanan dan kapabilitas merupakan dua sisi dari satukeping manusia. Kebaikan kepedulian menghubungkan keduanya, dan harusdidorong untuk memungkinkan tercapainya solidaritas dan keadilan social.Pendalaman seperti itu akan membantu untuk membentuk tanggung jawab dan timbal balik moral antar orang-orang sebagai warga Negara dalam suatu Negara dan antar warga Negara dari Negara yang berbeda.
2.3 REDEFINISI ETIKA ADMINISTRASI NEGARA
Setiap hubungan sosial akan mempunyai konsekuensi tertentu dalam hal legitimasi. Sebagai contoh, pada umumnya kita melihat “kekuasaan” sebagai kemampuan untuk membuat orang lain bertindak sesuai dengan kemampuan “saya”. Disini letaknya persoalan legitimasi terhadap kekuasaan bermacam-macam, kita dapat melihatnya dari norma agama, etika, susila, sopan santun, maupun norma hukum. Norma yang dijadikan landasan adalah norma etika atau moralitas.
Untuk memahami relevansi etika dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri. Henry (1980) misalnya, menguraikan ada lima paradigm dalam ilmu administrasi negara dan sebagian besar perbedaan paradigm itu berkisar pada perlu tidaknya dilakukan pemisahan antara ilmu poliktik dan administrasi. Jika kita berbicara paradigm maka kita harus memahami ilmu administrasi negara dari dua aspek.
Aspek pertama disebut lokus yang menunjukan tempat keberadaan suatu bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu tersebut. Menurut Henry, paradigm yang terakhir mengatakan bahwa lokus ilmu administrasi negara adalah mengenai kepentingan public (public ainterest) dan urusan public (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan manajemen. 
Betapapun kenyataanya bahwa seorang administrator atau birokrat tidak akan bisa menghindari tindakan-tindakan politis.aktivitas politik dari birokrat tampak dari adanya keleluasaan bertindak (diskresi) administrative yang dimilikinya. Sementara itu, aktivitas administrative tampak dari segala perilakunya utuk merencanakan, memilik alternative,mengorganisasi, mengelola, memantau, mengevaluasi, melaksanakan, serta melakukan implementasi atas program-program di dalam lingkup birokrasi.
Dengan demikian, administrasi negara bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis berlandasakan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak public dan menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan menetukan norma dan mengatur administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti melakukan kebijakan public yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh kepada masyarakat umum.
Dari segi formal atau bentuk, administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang banyak. Sementara itu, dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisasi atau tepatnya serangkaian proses tindskan sosial yang berlangsung dan dibakukan dalam periode tertentu. Jadi, dalam praktik administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Kesimpulannya adalah proses administrasi negara senantiasa menuntut pertanggungjawaban etis.
Bagan 2.1 memperlihatkan kedudukan etika administrasi negara di antara cabang-cabang etika sosial lainnya. Tampak bahwa berbagai cabang etika sosial yang ada itu (sikap terhadap sesame, etika keluarga, etika profesi, atika administrasi negara, etika politik, etika lingkungan hidup, kritik ideologi) dalam beberapa segi akan banyak oengaruhnya terhadap norma-norma yang harus diikuti di dalam etika administrasi negara.
Dalam bagan ditunjukkan bahwa etika administrasi negara berada diantara cabang etika profesi dan etika politik. Asumsi yang dipakai ialah bahwa seorang administrator adalah orang yang harus menerapkan ilmu-ilmu manajemen dan organisasi secara professional. Seorang administrator harus bertanggungjawab kepada lingkup masyarakat  yang jauh lebih luas dan beraneka ragam. Oleh karena itu, dia juga dituntut untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah politis.
Dilema yang harus dihadapi oleh administrator bukan sekadar bagaimana supaya organisasi-organisasi public dapat berjalan secara efisien, tetapi juga bagaimana supaya organisasi-organisasi itu dapat memberikan pelayanan yang memuaskan public. Sementara itu, sebagai seorang yang berwenang untuk melakukan pengambilan keputusan, dia harus mampu meletakkan desentralisasi dalam organisasi secara tepat.
Etika administrasi negara berusaha menemoatkan kaidah-kaidah moral dalam menghadapi berbagai dilemma yang ada, dan juga masalah-masalah yang menyangkut kedudukan pribadi seoranga administrator dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat.






 
BAB III
KESIMPULAN
3.1  Kesimpulan
1.      Pejabat public berfungsi sebagai administrator dan seorang abministrator harus mengabdi kepada kepentingan umum. oleh karena itu harus memenuhi persyaratan teknis seperti intelegensia, kemampuan mengambil keputusan (decivense), wawasan kedepan, atau kemahiran manajemen, mereka harus memiliki landasan normative yang tergantung dalam nilai-nilai moral.
2.      Menurut Hans Kung etika adalah seperangkat konsensus, sebuah kesepakatan atas nilai, kriteria dan sikap tertentu yang akan digunakan sebagai basis masyarakatdunia yang akan datang.  Jadi definisi etika pembanguna secara sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses perubahan Kriteria dan sikap tertentu dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik.
3.      Untuk memahami relevansi etika dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri. Henry (1980) misalnya, menguraikan ada lima paradigm dalam ilmu administrasi negara dan sebagian besar perbedaan paradigm itu berkisar pada perlu tidaknya dilakukan pemisahan antara ilmu poliktik dan administrasi. Jika kita berbicara paradigm maka kita harus memahami ilmu administrasi negara dari dua aspek. Yang pertama lokus yang kedua fokus.














DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L,Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial .Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004.
Crocker, David A, Ethics of Global Development: Agency, Capabilty, and  Deliberative Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008.
Gasper, Des dan Thanh – Dam Truong, Deepening Development Ethics : FromEconomism to Human Development to Human Security,The European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 3, September 2005
Kung, Hans, Etika Ekonomi Politik Global, Penerbit Qalam. Yogyakarta, 1997.
Subhilhar, Etika Pembangunan : Kajian Alternatif dalam studi Pembangunan, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Bidang Ilmu Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, 20 September 2008.
Kumorotomo, Wahyudi .2015. “Etika Administrasi Negara”. Jakarta:Rajawali Pers.



[1] Kumorotomo, Wahyudi .2015. “Etika Administrasi Negara”. Jakarta:Rajawali Pers. Hal 97-105
[2] Hans Kung, 1997.Etika Ekonomi Politik Global , Penerbit Qalam. Yogyakarta, Hal. 157.
[3]  Subhilhar .2008. Etika Pembangunan : Kajian Alternatif dalam studi Pembangunan, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Bidang Ilmu Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, hal. 9 – 10.
[4]  Des Gasper dan Thanh – Dam Truong, Deepening Development Ethics : From Economism to HumanDevelopment to Human Security,The European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 3,September 2005, hal. 380 – 381.
[5]  Hans Kung , op cit , Hal. 187.
[6] Ibid hal107-110
[7] Crocker, David A. 2008. Ethics of Global Development: Agency, Capabilty, and DeliberativeDemocracy. New York: Cambridge University Press. Hal 4.
[8] Berger, Peter L. 2004. Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial . Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia. Hal xxx.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar