BAB
VIII
8.1 Akhlak Dalam Perdagangan
Jual
beli (perdagangan) adalah pertukaran benda dengan benda lain dengan prinsip
saling merelakan. Jual beli merupakan proses pemindahan hak milik seseorang
kepada orang lain dengan disertai penggantinya melalui cara yang dibolehkan.
Kata al bay'i (jual) dan asy-syira (beli) dipergunakan dalam
pengertian yang sama, yaitu perniagaan yang berkaitan dengan pertukaran barang
dengan alat penukar atau barang yang nilainya sama. Munurut hukum islam, jual
beli adalah persetujuan suatu kontrak yang dilakukan oleh penjual dan pembeli
untuk saling bertukar antara barang dengan alat tukar tertentu, sehingga
terjadilah proses serah terima yang benar menurut hukum perdagangan. (Idris
Ahmad, 1993: 5)
Sedangkan
menurut istiah fiqh, jual beli merupakan perikatan atau akad yanag mengandung
pengertian pertukaran harta benda atau jasa atau dengan harta benda lagi untuk
selama-lamanya (menjadi milik masing-masing) menurut peraturan yang telah
ditentukan.
Jual
beli secara substansial adalah aktivitas tukar-menukar barang dengan menggunakan
hukum perdagangan yang telah berlaku dan disepakati. Dalam hukum perdagangan,
menurut Suryodiningrat (1991: 6), terdapat suatu perjanjian, persetujuan, dan
kontrak antara pihak penjual dan pihak
pembeli dengan saling mengikatan diri antara barang dan harga barang yang
ditransaksikan. Karena prosesnya merupakan kesepakatan, dalam jual beli harus
ada sikap saling merelakan. Sayyid Sabiq (1988: 47-48) mengatakan bahwa pada
dasarnya, sikap tersebut merupakan hakikat dalam perjanjian jual beli diantara
para pihak.
Sikap
yang harus ada di antara kedua belah pihak tersebut yaitu adanya akad, yaitu ijab dan Kabul. Pertukarannya dapat berupa barang dengan barang atau barang
dengan uang. Hal itu bergantung pada kondisi sosial dan kesepakannya. Namun,
karena sekarang jual beli lebih umum menukarkan barang dengan uang, tentu saja
keberlakuannya lebih diakui oleh seluruh aktivitas jual beli di dunia. (idris
Ahmad, 1993: 5)
Rahmat
Syafe’I (2004: 74) mendefinisikan jual beli sebagai aktivitas manusia yang
berkaitan dengan pertukaran harta benda, sehingga terjadi permindahan hak milik
atas benda atau harta masing-masing. Demikian pula, dengan Hasbi Ash-Shidiqie,
yang berpendapat bahwa jual beli merupakan suatu pertukaran harta dengan harta
lain yang bernilai sama berdasarkan cara khusus yang dibolehkan, sehingga
saling memiliki hak dalam benda yang berbeda serta manfaat yang berlainan
sesuai kubutuhan masing-masing pihak, baik penjual maupun pembeli. (Hasbi
Ash-Shidiqie, 1991:360)
Dengan
pengertian-pengertian di atas, arti jual bei adalah pemberian harta karena
menerima harta lain dengan ikrar penyerahan dan penerimaan atau ijab Kabul
sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku dalam hukum Islam atau hukum
perdagangan didunia. Jual beli adalah perikatan dalam pertukaran hak milik atas
suatu benda atau jasa melalui ijab dan Kabul. Jual beli merupakan kegiatan
manusia yang berkaitan dengan hal-hal berikut:
1.
Pertukaran harta, benda, dan jasa;
2.
Pertukaran nilai benda yang sama dalam jenis yang berbeda
atau jasa yang dihargakan dengan kebendaan dengan harga yang sepadan;
3.
Pengambilan manfaat atas benda atau jasa yang berbeda oleh
pihak penjual dan pembeli;
4.
Perpindahan hak milik dari harta dan jasa seseorang kepada
orang lain;
5.
Peraturan yang berkaitan dengan legalitas jual beli;
6.
Sikap saling merelakan di antara penjua dan pembeli.
Akhlak Islami yang wajib
di laksanakan dalam perdagangan berdasarkan dalil-dalil berikut.
1.
Dasar hukum yang di
jadikan dalil bolehnya melakukan jual beli dan akhlak yang wajib dilaksanakan
adalah firman Allah SWT. yang terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 29:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ (النساء:٢٩)
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang belaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An Nisa’:29)
Demkian pula, terdapat dalam surat Al Baqarah
ayat 275:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ ”Ï%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ß`»sÜø‹¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìø‹t7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§‘ 4‘ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y™ ÿ¼çnãøBr&ur ’n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í‘$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
Artinya:
“Orang-orang
yang memakan riba’ tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual
beli itu sama dengan riba’. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya,
lalu dia berhenti maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulanginya, mereka itu
penghuni neraka, kekal didalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
2.
Selain ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum
sekaligus dalil bolehnya melakukan jual beli, dasar hukum lainnya adalah
hadis-hadis Rasulullah SAW. yang berkaitan langsung dengan jual beli.
Diantaranya adalah
hadis riwayat Ibnu Majjah dan Baihaqi, Rasulullah SAW. bersabda: “Jual beli itu hanya sah bila saling
merelakan.” (H.R. Ibnu Majjah dan Baihaqi)
Al
quran dan al hadist yang dijadilkan dasar hukum bolehnya dijual beli merupakan
landasan bagi umat Islam bahwa dalam melakukan jual beli, umat Islam harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Di antaranya melaksanakan
prinsip-prinsip saling merelakan, menghadirkan saksi apabila jual belinya
dengan cara kredit, dan melakukan akad dengan ijab kabul yang benar dan
disepakati oeh ulama.
Prinsip
jual beli adalah ‘antaradhir minkhum. Sikap saling merelakan adalah petunjuk
yang memberian makna bahwa suka sama suka harus muncul dari dalam hati
masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Sikap
saling menyukai di pihak penjual dan pembeli dapat tercapai apabila dalam jual
beli telah terpenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama
atau fuqaha untuk dimanifestasikan dengan telah ditetapkan dengan baik dan
benar. Rukun- rukun dalam jual beli adalah: (1) Shighat; (2) ‘aqid; (3) ma’qud ‘alaih. Dalam arti lain, tiga
rukun jual beli tersebut adalah berkaitan dengan penjual dan pembeli, barang
yang bernilai berharga, sedangkan shighat terdiri atas ijab kabul.
Shigat adalah ucapan yang
dituturkan oleh penjual dan pembeli sebagai bukti kerelaan mereka untuk menjual
dan membeli suatu barang yang diperjualbelikan. Shigat harus diucapkan dengan
lisan. Jika tidak mengucapkan shigat, jual beli tidak sah.
Kata-kata
yang diucapkan dalam jual beli merupakan salah satu bukti adanya merelakan pada
kedua belah pihak. Apabila tidak menggunakan kata-kata, sebagaimana dalam jual
beli sekarang ini, dipakai sistem bandrol, sehingga pembeli melihat dan
membelinya tanpa ada kata-kata ijab kabul secara lisan. Harga-harga yang
tertulis pada barang yang dijul sebagaimana terjadi di swalayan, dapat
dikategorikan sebagai ijab dan kabul. Apabila barang yang telah dibandrol
menurut perasaan pembeli sangat dibutuhkan dan ia berani dengan harganya, ia
akan membayarnya dikasir. Dan disitulah, terjadi jual beli dengan prinsip
saling merelakan. Adapun jual beli yang dipandang dapat memberikan kerugian
adalah jual beli buah-buahan yang masih di atas pohon atau ikan dalam kolam,
dan jual beli dengan paksaan.
Untuk
menjaga sikap saling merelakan, Rasulullah SAW. pun melarang menjual barang
kepada orang awam dan tidak mengetahui harga pasaran barang yang dijual. Jual beli boleh dilakukan dengan
syarat tidak menyimpang dari rukun dan berbagai persyaratannya, sehingga tidak
menyimpang dari rukun dan berbagai persyaratannya, sehingga hakikat pertukaran
barang atau jasa bermanfaat. Dengan penjelasan tersebut pelaksanaan harus
selalu berdasarkan pada sikap ‘antardhin. Dalam memelihara dan menjaga sikap
‘antardhin, ada beberapa hal yang berkaitan dengan proses ijab kabul dalam jual
beli, yaitu:
1.
Lafadz dalam jual beli sebagai bentuk ijab kabul harus dapat
dipahami oleh kedua belah pihak.
2.
Barang yang diperjualbelikan harus dikenal dengan baik dari
manfaat dan harganya. Bila barang tersebut merupakan kebutuhan pokok, harga
pasarannya harus jelas.
3.
Cara penjualannya tidak mengandung unsur penipuan, spekulasi
dan riba.
4.
Tidak membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain dan
tidak menjual barang dengan dua harga.membayar harga barang setelah ada ijab
kabul ditempat berlangsungnya transaksi.
5.
Tidak boleh memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan
oleh Allah SWT. Dan barang-barang najis.
Syarat-syarat
yang benar, sebagaimana diuraikan secara praktis oleh fiqih muamalah adalah
pihak jual dan pembali, barang yang dijualbeliikan, dan akad yang diucapkan
dalam bentuk perjanjian.
Syarat bagi penjual
dan pembeli adalah:
1)
Sudah baligh, sehat lahriah, dan batiniyah
2)
Atas kehendak srndiri, tidak ada unsur paksaan.
Syarat akad adalah:
1)
Adanya kesepakatan yang tidak terpisahkan, terjadi secara
bersamaan
2)
Tidak diselangi oleh ata-kata lain
3)
Menggunakan kalimat jelas, mudah dipahami oleh kedua belah
pihak.
Syarat pada barang
yang dijual adalah:
1)
Barang yang suci dan mmungkin dapat disucikan
2)
Barang yang memberikan manfaat satu sama lain
3)
Tidak membatasi dengan waktu, misalnya menjual barang hanya
untuk satu bulan.
Dalam
masalah akad yaitu berbentuk ijab dan kabul, Hamzah Yaqub (1990:32) menegaskan
bahawa “ijab kabul harus diucapkan dengan
shigat yang jelas karena bila shagatnya tidak jelas, jual belinya tidak sah.”
Ijab
kabul dalam bentuk shigat yang
diucapkan bukan hanya terucap dan berbunya, melainkan harus dipahami oleh kedua
belah pihak. Bentuk jual beli dengan akad tersebut, dikenal dengan istilah ijab
kabl mubadalah karena yang diutamakan adalah pertukarannya.
Ada
pula jual beli tanpa ada ijab kabul yang terucapkan karena mengutamakan
perbuatan, seperti membeli rokok, makan prasmana, dan sejenisnya. Ada yang
menyatakan transaksi tidak harus dilafazkan
karena suka atau tidaknya pihak-pihak yang melakukan transaksi dapat
dilihat dari keinginan pihak-pihak untuk memberi dan menerima barang yang dijadikan
objek jual beli. Untuk itu terdapat pendapat menurut para ulama:
1.
Tidak sah transaksi jual beli, melainkan dengan malafazkan
ijab kabul secara jelas. Akad baru di anggap sah apabila kedua belah pihak
melakukan ijab kabul secara jelas dan berbunyi dipahami oleh kedua belah pihak.
2.
Akad jual beli itu sah meskipun hanya dilakukan dengan
tindakan tanpa menuturkan hafaz ijab kabunya.
3.
Jual beli dengan cara apa saja dilakukan, baik dengan
perkataan maupun perbuatan asalkan menunjukan maksud transaksi tersebut.
4.
Dalam jual beli
swalayan kata-kata tidak banyak digunakan karena harga semua barang sudah tertulis.
Prinsip jual beli
adalah:
1.
‘Adam al-gharar, tidak boleh ada
salah satu pihak yang tertipu.
2.
‘Adam ar-riba, tidak boleh ada
beban berat yang mengandung riba
3.
‘Adam al-maisir, tidak boleh
mengandung unsur judi.
4.
‘adam al ihtiqar wa
at tas’ir,
tidak boleh ada penimbunan barang.
5.
Musyarakah, harus ada kerjaan
sama saling menguntungkan.
6.
Al birr wa at taqwa, asas yang
menekankan bentuk muamalah dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan
takwa.
7.
Takafful al ijtima’, proses lalu lintas
pemindahan hak milik harta atas dasar kesadaran solideritas sosial untuk saling
memenuhi kebutuhan satu pihak lainnya serta atas dasar tanggung jawab bersama
demi kemaslahatan umum yang lebih bermakna bagi kehidupan yang lebih luas.
Hikmah adanya jual
beli :
1.
Membina ketentraman dan kebahagiaan karena dengan adanya
perdagangan, kebutuhan manusia setiap hari dapat berganti dan setiap orang akan
mendapatkan manfaat barang dan jasa secara beraturan dan bergiliran.
2.
Memenuhi nafkah keluarga, sebagaimana keluarga yang memiliki
hak dan kewajiban masing-masing.
3.
Memenuhi kebutuhan masyarakat. Hajat hidup masyarakat adalah
terpenuhi kebutuhan sbstansial sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
4.
Sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT. Dan berupaya mengikuti
contoh rasulullah SAW terutama hikma yang didapatkan dari kehidupan pedagang
yang jujur dan amanah.
Hukum jual beli :
Ø
Mubah (boleh)
Ø
Wajib
Ø
Haram
Ø Sunat
Beberapa macam riba :
Ø
Riba fadli
Ø
Riba qardi
Ø
Riba yad
Ø Riba nasa’
Sebagian ulama
membagi riba itu atas tiga macam saja
yaitu, riba fadli, riba yad, dan riba
nasa
Dalam
membahas tentang jual beli pasti tidak lepas ada unsur lain yaitu utang
piutang, Utang piutang ialah
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu. Misalnya, mengutang Rp 2.000.00, akan dibayar Rp. 2000,00
pula. Hukum memberi utang hukumnya sunat, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi
orang yang terantar atau yang sangat membutuhkannya.
Rukun utang piutang :
Ø
Lafaz (kalimat mengutangi)
Ø
Yang berpiutang dan yang berutang.
Ø Barang yang
diutangkan.
Akhlak perdagangan
diatur sedemikian rupa oleh syari’at islam yang didasarkan pada al quran dan as
sunnah, sehingga perdagangan hanya berupa sarana atau alat untuk membangun
hubungan silaturahmi antar manusia.
8.2 Akhlak Berumah Tangga
Pernikahan
atau perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Akhlak dalam pernikahan yang harus
dilaksanakan adalah prinsip pernikahan sebagai bagian dari amal ibadahyang
niatnya untuk menegakan keadilan. Suami dinyatakan sebaga pemimpin dalam rumah tangga, dan seorang pemimpin harus
berlaku adil. Adapun istri adalah ibu rumah tangga yang harus taat dan patuh
kepada suami dalam kebenaran.
Pada
hakikatnya, akad nikah adaalah perjanjian yang teguh dan kuat dalam kehidupan
manusia, bukan hanya antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. Pernikahan adalah bagian
dari tujuan syari’at islam, yaitu memelihara keturunan, dengan cara memelihara
agama, akal, jiwa, dan harta kekayaan.oleh karna itu meskipun persetubuhan
illegal membuahkan keturunan, hal itu dinyatakan sebagai dosa besar karena
sebagai bentuk perzinahan.
Pernikahan
dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Kalau tidak terpenuhi pada
saat berlangsung, pernikahan tersebut dianggap batal. Rukun nikah terdiri atas
lima macam, yaitu adanya:
1.
Calon suami;
2.
Calon istri;
3.
Wali nikah;
4.
Dua orang saksi;
5.
Ijab dan kabul.
Langkah
pertama dalam membangun akhlak berumah tangga adalah memenuhi rukun dan
syarat-syarat melangsungkan pernikahan. Niat pernikahan adalah menegakkan agama
Islam dan beribadah. Oleh karena itu, hubungan suami-istri dengan niat ibadah selamanya
akan menghasilkan kebaikan di dunia dan bekal di akhirat. Suami bertanggug
jawab penuh pada kelangsungan ekonomi keluarga, dan istri yang bertanggung
jawab memelihara harta dan kehormatan suami dan rumah tangganya.
Suami
dan istri wajib menerima hak dan menjaankan kewajibannya masing-masing secara
sinergis. Yang dimaksud dengan hak dan kewajiban suami-istri adalah hak-hak
istri yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami yang menjadi hak
istri. Menurut sayyid sabiq (1988: 52), hak dan kewajiban suami-istri ada tiga
macam, yaitu:
1.
Hak istri atas suami;
2.
Hak suami atas istri; dan
3.
Hak bersama.
Suami
akan menjadi teladan bagi istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, suami harus
membimbing dan membidik keluarga dengan memberikan contoh yang baik, agar
kehidupannya dipenuhi oleh akhlak yang mulia. Apabila terjadi pertikaian dalam
rumah tangga, pertikaian itu harus diselsaikan dengan cara musyawarah, saling
pengertian dan dengan jalan menghadirkan penengah dari dua keluarga. Seorang
suami tidak perlu berbuat kasar kepada istrinya demikian pula sebaliknya.
Kewajiban
suami berakhlak mulia kepada istrinya dengan memberiakan naskah yang cukup,
biaya keluarga, biaya pendidikan, memberi tempat tinggal, pakaian. Istri haru
mengabdi kepada suami dengan menghormati dan menjaga seluruh amanahnya. Istri
yang solehah harus selalu meminta izin kepada suaminya apabila bermaksud keluar
rumah, dan bila perlu, hanya keluar rumah bersama muhrimnya agar tidak
menimbulkan fitnah bagi kehidupan rumah tangganya sehingga akan mengganggu
ketentramannya.
Islam
telah menjadikan istri yang solehah merupakan kekayaan yang paling berharga
bagi suaminya setelah beriman kepada Allah SWT. dan bertaqwa kepadanya. Islam
mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadi pelaksanaan hak-hak suami
istri sebagai jihad di jalan Allah SWT.
Allah
SWT. Menjelaskan hak-hak wanita yang
harus dipenuhi oleh seorang suami dan sabdanya, “Dan bagi wanita (yang diwajibkan) atas kamu (kaum lelaki) rezeki
mereka dan pakaian mereka dengan makruf.” Yang dimaksud dengan makruf adalah tradisi yang tergolong
baik menurut syara’.
Hak
lainnya adalah menggauli istri dengan baik. Allah SWT. berfirman, “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu),
baik dalam bicara, wajah yang berseri-seri, menghibur dengan bersenda gurau,
nan mesra dalam berhubungan badan.”
Sebagai
timbal balik dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhdap
istrinya, Islam mewajibkan kepada istri untuk menaati suami di luar perkara
maksiat, serta memelihara hartanya, sehingga seorang istri tidak boleh
mempergunakan harta tersebut, kecuali dengan izinnya. Demikian juga, seorang
istri wajib memelihara rumahnnya sehingga tidak boleh memasukkan orang kedalam
rumahnya, kecuali atas izin suaminya, walaupun itu keluarganya.
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya ibnu
abbas pernah berdiri di depn cermin untuk mempernagus penampilannya. Ketika
ditanya, ia menjawab, “aku berhias untuk
istriku sebagaimana istriku berhis untukku,” kemudian membacakan surat
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur ‘@Ïts† £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þ’Îû £`ÎgÏB%tnö‘r& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
“wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( Al
Baqarah : 228 )
Hidup berumah tangga harus diperkuat dengan
lima pesan penting, yaitu:
1.
Menempatkan kaum wanita sebagai istri yang
salehah dan mampu mengangkat harkat dan martabatnya sendiri;
2.
Mengangkat kepemimpinan istri didalam mengurus
rumah tangga;
3.
Menjadikan istri sebagai pendidik anak-anaknya;
4.
Menggauli istri dengan baik dan benar menurut
syariat Islam;
5.
Menjadikan istri sebagai teladan anak-anaknya.
Suami
berkewajiban memberikan nafkah kiswah, artinya nafkah berupa pakaian
atausandang. Kiswah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh karena
itu, kiswah merupakan hak istri, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pakaian
yang dimaksud adalah semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota
badan. Suami wajib memberikan nafkah kiswah kepada istrinya berupa pakaian
menutup aurat dan berbagai kebutuhan batiniahnya. Di samping berupa pakaian,
nafkah kiswah berupa:
Ø Biaya
pemeliharaan jasmaniah istri;
Ø Biaya
pemeliharaan kesehatan;
Ø Biaya
untuk kebutuhan perhiasan;
Ø Biaya
untuk kebutuhan rekreasi
Ø Biaya
untuk pendidikan anak;
Ø
Biaya untuk hal-hal yang tidak terduga.
Suami
wajib memberi maskanah atau tempat
tinggal. Bagi keluarga atau rumah tangga yang ideal. Meskipun hanya mampu
mengontrak rumah, yang terpenting adalah anak dan istri tidak kepanasan , tidak
kehujanan, terhindar dari ancaman para penjahat dan binatang buas.
Istri
diwajibkan menjaga kehormatan dirinya dan suaminya. Oleh karena itu istri yang
soleh salehah adalah istri yang tidak berhianat kepada suaminya, seperti keluar
rumah ketika suaminya tidak ada di rumah. Dengan perilaku istri demikian, suami
berkewajiban memberi tempat tinggal yang layak dan betah untuk ditinggali.
Menurut Muhammad Khair Ash-Salih (2006:269),
hak-hak suami yang terpenting atas isterinya adalah sebagai berikut.
1.
Menghormati, Mendengar, dan mematuhi hal-hal
yang anda sukai atau benci dalam segala aktivitas dan hal-hal yang tidak
berguna, kecuali suami mengajak berbuat maksiat.
2.
Istri menerima ajakan suami untuk bersenggama,
kecuali istri mengalami hal-hal yang tidak memungkinkan
3.
Istri tidak boleh memasukan orang kedalam
rumah, sedangkan orang tersebut adalah orang yang dibenci oleh suaminya
4.
Istri selalu meminta izin kepada suami jika
hendak keluar rumah
5.
Istri tidak berpuasa sunah, kecuali suaminya
mengijinkan.
Makanan
dan pakaian merupakan kebutuhan pokok atau kebutuhan dharuriyah. Oleh kerena itu bagi suami, tidak ada alas an untuk
menghindar dari kewajiban memberi tempat tinggal dan pakaian karena jika
anggota keluarganya tidak bertempat tinggal dengan layak kesehatan dan
keselamatannya kurang terjamin. Demikian pula, dengan pakaian sebagai penutup
aurat. Jika hak berpakaian dilanggar, tentu harga diri keluarganya akan musnah.
8.3 Akhlak
Dalam Berpolitik
Tujuan
utama kekuasaan dan kepemimpinan dalam suatu pemerintahan dan negara adalah
menjaga suatu sistem ketertiban agar masyarakat menjalankan kehidupannya dengan
wajar. Pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintahan tidak diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat, menciptakan kondisi yang memunginkan setiap anggota masyarakat,
mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi tercapainya tujuan bersama.
Oleh
karena itu, secara umum, tugas pokok pemerintah atau penguasa suatu negara
adalah menjamin diterapkannya perlakuan adil kepada setiap warga masyarakat
tanpa membedakan dtatus apapun yang melatar belakangi keberadaan mereka;
melakukan pekerjaan umum dan memberi pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak
mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintah, atau yang akan lebih baik jika
dikerjakan oleh pemerintah; melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial; menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan
masyarakan luas, serta kebijakan lain, menerapkan kebikajakn untuk pemeliharaan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Al-Mawardi, ahli
politik Islam klasik terkemuka (wafat 975 M) merumuskan syarat-syarat seorang
politisi sebagai berikut: 1. Bersifat dan berlaku adil; 2. Mempunyai kapasitas
intelektual dan berwawasan luas; 3. Profesional; 4. Mempunyai visi yang jelas;
5. Berani berjuang untuk membela kepentingan rakyat. Senada dengan formulasi Al Mawardi tersebut, Ibnu Taymiyah dalam
karyanya “As Siyasah Asy syar'iyah” menyebutkan,
bahwa pemimpin politik harus mempunyai kualitas moral dan intelektual, adil,
amanah (jujur) dan mempunyai kecakapan.
Pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan
kekuasaan negara harus berdasar pada:
1.
Ketertiban dan kepastian hukum dalam pemerintahan;
2.
Perencanaan dalam pembangunan;
3.
Pertanggung jawaban, baik oleh pejabat dalam
arti luas maupun oleh pemerintah;
4.
Pengabdian kepentingan masyarakat;
5.
Pengendalian yang meliputi kegiatan pengawasan,
pemeriksaan, penelitian, dan penganalisisan;
6.
Keadilan tatausaha/administrasi negara
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Akhlak
yang disyari’atkan oleh islam dalam politik dan kenegaraan adalah sebagaimana
Allah SWT. Berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ..
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasulullah (Muhammad) serta ulil
amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu…” (Q.S An
Nisa:59)
Rakyat
harus berakhlak baik kepada pemimpinnya yaitu taat sebagaimana taatnya umat
islam kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW akan tetapi, pemimpin yang wajib
ditaati adalah pemimpin yang bertaqwa kepada Allah SWT, berpedoman pada al
quran dan as sunnah, jujur, adil, dan selalu berkeinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Diterangkan dalam surat an-nisa 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Akhlak berikutnya adalah memutuskan perkara
atas dasar musyawarah. Dalam al quran surat Asy Sura’ ayat 38, Allah SWT berfirman
yang artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S Asy
Syura’ : 38)
Akhlak
dalam berpolitik sebagai mana Disyari’atkan dalam ajaran islam adalah akhlak yang
dibangun oleh dasar-dasar qurani, sehingga para politisi, penguasa, negarawan,
dan masyarakat wajib menerapkan etika politik islam. Dengan pandangan tersebut,
politisi yang kemudian dipilih menjadi wakil rakyat, baik dilembaga legislatif
maupun pemegang tampuk kepemimpinan, harus melakukan fungsinya sesuai dengan
konstitusi yang berlaku.
Langkah-langkah pengawasannya adalah sebagai
berikut :
1.
Memeriksa, artinya meneliti dengan cermat dan
melihat secara langsung pada objek yang diperiksa, sehingga keadaan rakyat
diketahui secara objektif, bukan hanya berdasarkan laporan dari bawahannya.
2.
Mengecek, artinya setiap laporan dari
bawahannya harus dilihat dengan empiric.
3.
Mencocokan artinya pun bentuk aspirasi
masyarakat melalui berbagai aksi, melalui pesan pendek (sms) dan sejenisnya perlu di crossheck agar
kebenarannya terbukti dengan objektif.
4.
Meneliti dan menilai, artinya melakukan
pengamatan secara seksama terhadap seluruh tugas penyelenggaraan negara.
5.
Mengispeksi, artinya melakukan
kunjungan-kunjungan ke berbagai daeerah untuk mengetahui keadaan masyarakat
yang sesungguhnya serta kinerja seluruh penyelenggara pemerintahan suatu
negara.
6.
Mengendalikan. Artinya memiliki kemampuan
menjalankan roda pemerintahan dan mencegah berbagai keadaan polotik dan ekonomi
yang dapat meruntuhkan stabilitas negara.
7.
Mengatur,artinya mengelola perjalanan
kepemimpinan dengan cara professional.
8.
Mencegah sebelum terjadi kegagalan, artinya
melakukan tindakan-tindakan refentif terhadap semua keadaan yang dapat
mengakibatkan krisis di masyarakat baik krisis ekonomi, politik, budaya, maupun
krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara negara dan politisi.
Apabila
akhlak pemimpin ini buruk, masyarakat akan menjadi korban. Oleh karena itu,
akhlak dalam berpolitik perlu ditegakan diantaranya dengan mengamalkan seluruh
peraturan perundangan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar