Kamis, 05 Januari 2017

AKHLAK – AKHLAK YANG DISYARIATKAN DALAM ISLAM



BAB VIII

8.1 Akhlak Dalam Perdagangan
Jual beli (perdagangan) adalah pertukaran benda dengan benda lain dengan prinsip saling merelakan. Jual beli merupakan proses pemindahan hak milik seseorang kepada orang lain dengan disertai penggantinya melalui cara yang dibolehkan. Kata al bay'i (jual) dan asy-syira (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama, yaitu perniagaan yang berkaitan dengan pertukaran barang dengan alat penukar atau barang yang nilainya sama. Munurut hukum islam, jual beli adalah persetujuan suatu kontrak yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk saling bertukar antara barang dengan alat tukar tertentu, sehingga terjadilah proses serah terima yang benar menurut hukum perdagangan. (Idris Ahmad, 1993: 5)
Sedangkan menurut istiah fiqh, jual beli merupakan perikatan atau akad yanag mengandung pengertian pertukaran harta benda atau jasa atau dengan harta benda lagi untuk selama-lamanya (menjadi milik masing-masing) menurut peraturan yang telah ditentukan.
Jual beli secara substansial adalah aktivitas tukar-menukar barang dengan menggunakan hukum perdagangan yang telah berlaku dan disepakati. Dalam hukum perdagangan, menurut Suryodiningrat (1991: 6), terdapat suatu perjanjian, persetujuan, dan kontrak antara  pihak penjual dan pihak pembeli dengan saling mengikatan diri antara barang dan harga barang yang ditransaksikan. Karena prosesnya merupakan kesepakatan, dalam jual beli harus ada sikap saling merelakan. Sayyid Sabiq (1988: 47-48) mengatakan bahwa pada dasarnya, sikap tersebut merupakan hakikat dalam perjanjian jual beli diantara para pihak.
Sikap yang harus ada di antara kedua belah pihak tersebut yaitu adanya akad, yaitu ijab dan Kabul. Pertukarannya dapat berupa barang dengan barang atau barang dengan uang. Hal itu bergantung pada kondisi sosial dan kesepakannya. Namun, karena sekarang jual beli lebih umum menukarkan barang dengan uang, tentu saja keberlakuannya lebih diakui oleh seluruh aktivitas jual beli di dunia. (idris Ahmad, 1993: 5)
Rahmat Syafe’I (2004: 74) mendefinisikan jual beli sebagai aktivitas manusia yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, sehingga terjadi permindahan hak milik atas benda atau harta masing-masing. Demikian pula, dengan Hasbi Ash-Shidiqie, yang berpendapat bahwa jual beli merupakan suatu pertukaran harta dengan harta lain yang bernilai sama berdasarkan cara khusus yang dibolehkan, sehingga saling memiliki hak dalam benda yang berbeda serta manfaat yang berlainan sesuai kubutuhan masing-masing pihak, baik penjual maupun pembeli. (Hasbi Ash-Shidiqie, 1991:360)
Dengan pengertian-pengertian di atas, arti jual bei adalah pemberian harta karena menerima harta lain dengan ikrar penyerahan dan penerimaan atau ijab Kabul sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku dalam hukum Islam atau hukum perdagangan didunia. Jual beli adalah perikatan dalam pertukaran hak milik atas suatu benda atau jasa melalui ijab dan Kabul. Jual beli merupakan kegiatan manusia yang berkaitan dengan hal-hal berikut:
1.   Pertukaran harta, benda, dan jasa;
2.   Pertukaran nilai benda yang sama dalam jenis yang berbeda atau jasa yang dihargakan dengan kebendaan dengan harga yang sepadan;
3.   Pengambilan manfaat atas benda atau jasa yang berbeda oleh pihak penjual dan pembeli;
4.   Perpindahan hak milik dari harta dan jasa seseorang kepada orang lain;
5.   Peraturan yang berkaitan dengan legalitas jual beli;
6.   Sikap saling merelakan di antara penjua dan pembeli.


Akhlak Islami yang wajib di laksanakan dalam perdagangan berdasarkan dalil-dalil berikut.
1.    Dasar hukum yang di jadikan dalil bolehnya melakukan jual beli dan akhlak yang wajib dilaksanakan adalah firman Allah SWT. yang terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 29:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ   (النساء:٢٩)
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang belaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An Nisa’:29)
Demkian pula, terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 275:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  


Artinya:
“Orang-orang yang memakan riba’ tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba’. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulanginya, mereka itu penghuni neraka, kekal didalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
2.    Selain ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum sekaligus dalil bolehnya melakukan jual beli, dasar hukum lainnya adalah hadis-hadis Rasulullah SAW. yang berkaitan langsung dengan jual beli.
Diantaranya adalah hadis riwayat Ibnu Majjah dan Baihaqi, Rasulullah SAW. bersabda: “Jual beli itu hanya sah bila saling merelakan.” (H.R. Ibnu Majjah dan Baihaqi)
Al quran dan al hadist yang dijadilkan dasar hukum bolehnya dijual beli merupakan landasan bagi umat Islam bahwa dalam melakukan jual beli, umat Islam harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Di antaranya melaksanakan prinsip-prinsip saling merelakan, menghadirkan saksi apabila jual belinya dengan cara kredit, dan melakukan akad dengan ijab kabul yang benar dan disepakati oeh ulama.
Prinsip jual beli adalah ‘antaradhir minkhum. Sikap saling merelakan adalah petunjuk yang memberian makna bahwa suka sama suka harus muncul dari dalam hati masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Sikap saling menyukai di pihak penjual dan pembeli dapat tercapai apabila dalam jual beli telah terpenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama atau fuqaha untuk dimanifestasikan dengan telah ditetapkan dengan baik dan benar. Rukun- rukun dalam jual beli adalah: (1) Shighat; (2) ‘aqid; (3) ma’qud ‘alaih. Dalam arti lain, tiga rukun jual beli tersebut adalah berkaitan dengan penjual dan pembeli, barang yang bernilai berharga, sedangkan shighat terdiri atas ijab kabul.
Shigat adalah ucapan yang dituturkan oleh penjual dan pembeli sebagai bukti kerelaan mereka untuk menjual dan membeli suatu barang yang diperjualbelikan. Shigat harus diucapkan dengan lisan. Jika tidak mengucapkan shigat, jual beli tidak sah.
Kata-kata yang diucapkan dalam jual beli merupakan salah satu bukti adanya merelakan pada kedua belah pihak. Apabila tidak menggunakan kata-kata, sebagaimana dalam jual beli sekarang ini, dipakai sistem bandrol, sehingga pembeli melihat dan membelinya tanpa ada kata-kata ijab kabul secara lisan. Harga-harga yang tertulis pada barang yang dijul sebagaimana terjadi di swalayan, dapat dikategorikan sebagai ijab dan kabul. Apabila barang yang telah dibandrol menurut perasaan pembeli sangat dibutuhkan dan ia berani dengan harganya, ia akan membayarnya dikasir. Dan disitulah, terjadi jual beli dengan prinsip saling merelakan. Adapun jual beli yang dipandang dapat memberikan kerugian adalah jual beli buah-buahan yang masih di atas pohon atau ikan dalam kolam, dan jual beli dengan paksaan.
Untuk menjaga sikap saling merelakan, Rasulullah SAW. pun melarang menjual barang kepada orang awam dan tidak mengetahui harga pasaran barang yang dijual. Jual beli boleh dilakukan dengan syarat tidak menyimpang dari rukun dan berbagai persyaratannya, sehingga tidak menyimpang dari rukun dan berbagai persyaratannya, sehingga hakikat pertukaran barang atau jasa bermanfaat. Dengan penjelasan tersebut pelaksanaan harus selalu berdasarkan pada sikap ‘antardhin. Dalam memelihara dan menjaga sikap ‘antardhin, ada beberapa hal yang berkaitan dengan proses ijab kabul dalam jual beli, yaitu:
1.      Lafadz dalam jual beli sebagai bentuk ijab kabul harus dapat dipahami oleh kedua belah pihak.
2.      Barang yang diperjualbelikan harus dikenal dengan baik dari manfaat dan harganya. Bila barang tersebut merupakan kebutuhan pokok, harga pasarannya harus jelas.
3.      Cara penjualannya tidak mengandung unsur penipuan, spekulasi dan riba.
4.      Tidak membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain dan tidak menjual barang dengan dua harga.membayar harga barang setelah ada ijab kabul ditempat berlangsungnya transaksi.
5.      Tidak boleh memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan oleh Allah SWT. Dan barang-barang najis.
Syarat-syarat yang benar, sebagaimana diuraikan secara praktis oleh fiqih muamalah adalah pihak jual dan pembali, barang yang dijualbeliikan, dan akad yang diucapkan dalam bentuk perjanjian.
Syarat bagi penjual dan pembeli adalah:
1)      Sudah baligh, sehat lahriah, dan batiniyah
2)      Atas kehendak srndiri, tidak ada unsur paksaan.
Syarat akad adalah:
1)      Adanya kesepakatan yang tidak terpisahkan, terjadi secara bersamaan
2)      Tidak diselangi oleh ata-kata lain
3)      Menggunakan kalimat jelas, mudah dipahami oleh kedua belah pihak.
Syarat pada barang yang dijual adalah:
1)      Barang yang suci dan mmungkin dapat disucikan
2)      Barang yang memberikan manfaat satu sama lain
3)      Tidak membatasi dengan waktu, misalnya menjual barang hanya untuk satu bulan.
Dalam masalah akad yaitu berbentuk ijab dan kabul, Hamzah Yaqub (1990:32) menegaskan bahawa “ijab kabul harus diucapkan dengan shigat yang jelas karena bila shagatnya tidak jelas, jual belinya tidak sah.”
Ijab kabul dalam bentuk shigat yang diucapkan bukan hanya terucap dan berbunya, melainkan harus dipahami oleh kedua belah pihak. Bentuk jual beli dengan akad tersebut, dikenal dengan istilah ijab kabl mubadalah karena yang diutamakan adalah pertukarannya.
Ada pula jual beli tanpa ada ijab kabul yang terucapkan karena mengutamakan perbuatan, seperti membeli rokok, makan prasmana, dan sejenisnya. Ada yang menyatakan transaksi tidak harus dilafazkan  karena suka atau tidaknya pihak-pihak yang melakukan transaksi dapat dilihat dari keinginan pihak-pihak untuk memberi dan menerima barang yang dijadikan objek jual beli. Untuk itu terdapat pendapat menurut para ulama:
1.      Tidak sah transaksi jual beli, melainkan dengan malafazkan ijab kabul secara jelas. Akad baru di anggap sah apabila kedua belah pihak melakukan ijab kabul secara jelas dan berbunyi dipahami oleh kedua belah pihak.
2.      Akad jual beli itu sah meskipun hanya dilakukan dengan tindakan tanpa menuturkan hafaz ijab kabunya.
3.      Jual beli dengan cara apa saja dilakukan, baik dengan perkataan maupun perbuatan asalkan menunjukan maksud transaksi tersebut.
4.      Dalam jual beli  swalayan kata-kata tidak banyak digunakan karena harga  semua barang sudah tertulis.
Prinsip jual beli adalah:
1.      ‘Adam al-gharar, tidak boleh ada salah satu pihak yang tertipu.
2.      ‘Adam ar-riba, tidak boleh ada beban berat yang mengandung riba
3.      ‘Adam al-maisir, tidak boleh mengandung unsur judi.
4.      ‘adam al ihtiqar wa at tas’ir, tidak boleh ada penimbunan barang.
5.      Musyarakah, harus ada kerjaan sama saling menguntungkan.
6.      Al birr wa at taqwa, asas yang menekankan bentuk muamalah dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
7.      Takafful al ijtima’, proses lalu lintas pemindahan hak milik harta atas dasar kesadaran solideritas sosial untuk saling memenuhi kebutuhan satu pihak lainnya serta atas dasar tanggung jawab bersama demi kemaslahatan umum yang lebih bermakna bagi kehidupan yang lebih luas.
Hikmah adanya jual beli :
1.      Membina ketentraman dan kebahagiaan karena dengan adanya perdagangan, kebutuhan manusia setiap hari dapat berganti dan setiap orang akan mendapatkan manfaat barang dan jasa secara beraturan dan bergiliran.
2.      Memenuhi nafkah keluarga, sebagaimana keluarga yang memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
3.      Memenuhi kebutuhan masyarakat. Hajat hidup masyarakat adalah terpenuhi kebutuhan sbstansial sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
4.      Sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT. Dan berupaya mengikuti contoh rasulullah SAW terutama hikma yang didapatkan dari kehidupan pedagang yang jujur dan amanah.
Hukum jual beli :
Ø  Mubah  (boleh)
Ø  Wajib
Ø  Haram
Ø  Sunat        
Beberapa macam riba :
Ø  Riba fadli
Ø  Riba qardi
Ø  Riba yad
Ø  Riba nasa’
Sebagian ulama membagi  riba itu atas tiga macam saja yaitu, riba fadli, riba yad, dan riba nasa



Dalam membahas tentang jual beli pasti tidak lepas ada unsur lain yaitu utang piutang, Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya, mengutang Rp 2.000.00, akan dibayar Rp. 2000,00 pula. Hukum memberi utang hukumnya sunat, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terantar atau yang sangat membutuhkannya.
Rukun utang piutang :
Ø  Lafaz (kalimat mengutangi)
Ø  Yang berpiutang dan yang berutang.
Ø  Barang yang diutangkan.
Akhlak perdagangan diatur sedemikian rupa oleh syari’at islam yang didasarkan pada al quran dan as sunnah, sehingga perdagangan hanya berupa sarana atau alat untuk membangun hubungan silaturahmi antar manusia.
8.2 Akhlak Berumah Tangga
Pernikahan atau perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Akhlak dalam pernikahan yang harus dilaksanakan adalah prinsip pernikahan sebagai bagian dari amal ibadahyang niatnya untuk menegakan keadilan. Suami dinyatakan sebaga pemimpin  dalam rumah tangga, dan seorang pemimpin harus berlaku adil. Adapun istri adalah ibu rumah tangga yang harus taat dan patuh kepada suami dalam kebenaran.
Pada hakikatnya, akad nikah adaalah perjanjian yang teguh dan kuat dalam kehidupan manusia, bukan hanya antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Pernikahan adalah bagian dari tujuan syari’at islam, yaitu memelihara keturunan, dengan cara memelihara agama, akal, jiwa, dan harta kekayaan.oleh karna itu meskipun persetubuhan illegal membuahkan keturunan, hal itu dinyatakan sebagai dosa besar karena sebagai bentuk perzinahan.
Pernikahan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Kalau tidak terpenuhi pada saat berlangsung, pernikahan tersebut dianggap batal. Rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu adanya:
1.      Calon suami;
2.      Calon istri;
3.      Wali nikah;
4.      Dua orang saksi;
5.      Ijab dan kabul.
Langkah pertama dalam membangun akhlak berumah tangga adalah memenuhi rukun dan syarat-syarat melangsungkan pernikahan. Niat pernikahan adalah menegakkan agama Islam dan beribadah. Oleh karena itu, hubungan suami-istri dengan niat ibadah selamanya akan menghasilkan kebaikan di dunia dan bekal di akhirat. Suami bertanggug jawab penuh pada kelangsungan ekonomi keluarga, dan istri yang bertanggung jawab memelihara harta dan kehormatan suami dan rumah tangganya.
Suami dan istri wajib menerima hak dan menjaankan kewajibannya masing-masing secara sinergis. Yang dimaksud dengan hak dan kewajiban suami-istri adalah hak-hak istri yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami yang menjadi hak istri. Menurut sayyid sabiq (1988: 52), hak dan kewajiban suami-istri ada tiga macam, yaitu:
1.      Hak istri atas suami;
2.      Hak suami atas istri; dan
3.      Hak bersama.
Suami akan menjadi teladan bagi istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, suami harus membimbing dan membidik keluarga dengan memberikan contoh yang baik, agar kehidupannya dipenuhi oleh akhlak yang mulia. Apabila terjadi pertikaian dalam rumah tangga, pertikaian itu harus diselsaikan dengan cara musyawarah, saling pengertian dan dengan jalan menghadirkan penengah dari dua keluarga. Seorang suami tidak perlu berbuat kasar kepada istrinya demikian pula sebaliknya.
Kewajiban suami berakhlak mulia kepada istrinya dengan memberiakan naskah yang cukup, biaya keluarga, biaya pendidikan, memberi tempat tinggal, pakaian. Istri haru mengabdi kepada suami dengan menghormati dan menjaga seluruh amanahnya. Istri yang solehah harus selalu meminta izin kepada suaminya apabila bermaksud keluar rumah, dan bila perlu, hanya keluar rumah bersama muhrimnya agar tidak menimbulkan fitnah bagi kehidupan rumah tangganya sehingga akan mengganggu ketentramannya.
Islam telah menjadikan istri yang solehah merupakan kekayaan yang paling berharga bagi suaminya setelah beriman kepada Allah SWT. dan bertaqwa kepadanya. Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadi pelaksanaan hak-hak suami istri sebagai jihad di jalan Allah SWT.
Allah SWT. Menjelaskan hak-hak  wanita yang harus dipenuhi oleh seorang suami dan sabdanya, “Dan bagi wanita (yang diwajibkan) atas kamu (kaum lelaki) rezeki mereka dan pakaian mereka dengan makruf.” Yang dimaksud dengan makruf adalah tradisi yang tergolong baik menurut syara’.
Hak lainnya adalah menggauli istri dengan baik. Allah SWT. berfirman, “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu), baik dalam bicara, wajah yang berseri-seri, menghibur dengan bersenda gurau, nan mesra dalam berhubungan badan.”
Sebagai timbal balik dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhdap istrinya, Islam mewajibkan kepada istri untuk menaati suami di luar perkara maksiat, serta memelihara hartanya, sehingga seorang istri tidak boleh mempergunakan harta tersebut, kecuali dengan izinnya. Demikian juga, seorang istri wajib memelihara rumahnnya sehingga tidak boleh memasukkan orang kedalam rumahnya, kecuali atas izin suaminya, walaupun itu keluarganya.
            Diriwayatkan bahwa sesungguhnya ibnu abbas pernah berdiri di depn cermin untuk mempernagus penampilannya. Ketika ditanya, ia menjawab, “aku berhias untuk istriku sebagaimana istriku berhis untukku,” kemudian membacakan surat
 àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( Al Baqarah : 228 )
Hidup berumah tangga harus diperkuat dengan lima pesan penting, yaitu:
1.   Menempatkan kaum wanita sebagai istri yang salehah dan mampu mengangkat harkat dan martabatnya sendiri;
2.   Mengangkat kepemimpinan istri didalam mengurus rumah tangga;
3.   Menjadikan istri sebagai pendidik anak-anaknya;
4.   Menggauli istri dengan baik dan benar menurut syariat Islam;
5.   Menjadikan istri sebagai teladan anak-anaknya.
     Suami berkewajiban memberikan nafkah kiswah, artinya nafkah berupa pakaian atausandang. Kiswah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh karena itu, kiswah merupakan hak istri, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
     Pakaian yang dimaksud adalah semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota badan. Suami wajib memberikan nafkah kiswah kepada istrinya berupa pakaian menutup aurat dan berbagai kebutuhan batiniahnya. Di samping berupa pakaian, nafkah kiswah berupa:
Ø Biaya pemeliharaan jasmaniah istri;
Ø Biaya pemeliharaan kesehatan;
Ø Biaya untuk kebutuhan perhiasan;
Ø Biaya untuk kebutuhan rekreasi
Ø Biaya untuk pendidikan anak;
Ø Biaya untuk hal-hal yang tidak terduga.
     Suami wajib memberi maskanah atau tempat tinggal. Bagi keluarga atau rumah tangga yang ideal. Meskipun hanya mampu mengontrak rumah, yang terpenting adalah anak dan istri tidak kepanasan , tidak kehujanan, terhindar dari ancaman para penjahat dan binatang buas.
     Istri diwajibkan menjaga kehormatan dirinya dan suaminya. Oleh karena itu istri yang soleh salehah adalah istri yang tidak berhianat kepada suaminya, seperti keluar rumah ketika suaminya tidak ada di rumah. Dengan perilaku istri demikian, suami berkewajiban memberi tempat tinggal yang layak dan betah untuk ditinggali.
Menurut Muhammad Khair Ash-Salih (2006:269), hak-hak suami yang terpenting atas isterinya adalah sebagai berikut.
1.   Menghormati, Mendengar, dan mematuhi hal-hal yang anda sukai atau benci dalam segala aktivitas dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali suami mengajak berbuat maksiat.
2.   Istri menerima ajakan suami untuk bersenggama, kecuali istri mengalami hal-hal yang tidak memungkinkan
3.   Istri tidak boleh memasukan orang kedalam rumah, sedangkan orang tersebut adalah orang yang dibenci oleh suaminya
4.   Istri selalu meminta izin kepada suami jika hendak keluar rumah
5.   Istri tidak berpuasa sunah, kecuali suaminya mengijinkan.
     Makanan dan pakaian merupakan kebutuhan pokok atau kebutuhan dharuriyah. Oleh kerena itu bagi suami, tidak ada alas an untuk menghindar dari kewajiban memberi tempat tinggal dan pakaian karena jika anggota keluarganya tidak bertempat tinggal dengan layak kesehatan dan keselamatannya kurang terjamin. Demikian pula, dengan pakaian sebagai penutup aurat. Jika hak berpakaian dilanggar, tentu harga diri keluarganya akan musnah.
8.3 Akhlak Dalam Berpolitik
     Tujuan utama kekuasaan dan kepemimpinan dalam suatu pemerintahan dan negara adalah menjaga suatu sistem ketertiban agar masyarakat menjalankan kehidupannya dengan wajar. Pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidak diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memunginkan setiap anggota masyarakat, mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi tercapainya tujuan bersama.
     Oleh karena itu, secara umum, tugas pokok pemerintah atau penguasa suatu negara adalah menjamin diterapkannya perlakuan adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan dtatus apapun yang melatar belakangi keberadaan mereka; melakukan pekerjaan umum dan memberi pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintah, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah; melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial; menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakan luas, serta kebijakan lain, menerapkan kebikajakn untuk pemeliharaan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
     Al-Mawardi, ahli politik Islam klasik terkemuka (wafat 975 M) merumuskan syarat-syarat seorang politisi sebagai berikut: 1. Bersifat dan berlaku adil; 2. Mempunyai kapasitas intelektual dan berwawasan luas; 3. Profesional; 4. Mempunyai visi yang jelas; 5. Berani berjuang untuk membela kepentingan rakyat. Senada dengan formulasi Al Mawardi tersebut, Ibnu Taymiyah dalam karyanya “As Siyasah Asy syar'iyah” menyebutkan, bahwa pemimpin politik harus mempunyai kualitas moral dan intelektual, adil, amanah (jujur) dan mempunyai kecakapan.
Pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan kekuasaan negara harus berdasar pada:
1.   Ketertiban dan kepastian hukum dalam pemerintahan;
2.   Perencanaan dalam pembangunan;
3.   Pertanggung jawaban, baik oleh pejabat dalam arti luas maupun oleh pemerintah;
4.   Pengabdian kepentingan masyarakat;
5.   Pengendalian yang meliputi kegiatan pengawasan, pemeriksaan, penelitian, dan penganalisisan;
6.   Keadilan tatausaha/administrasi negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
     Akhlak yang disyari’atkan oleh islam dalam politik dan kenegaraan adalah sebagaimana Allah SWT. Berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ..
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasulullah (Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu…” (Q.S An Nisa:59)
     Rakyat harus berakhlak baik kepada pemimpinnya yaitu taat sebagaimana taatnya umat islam kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW akan tetapi, pemimpin yang wajib ditaati adalah pemimpin yang bertaqwa kepada Allah SWT, berpedoman pada al quran dan as sunnah, jujur, adil, dan selalu berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Diterangkan dalam surat an-nisa 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Akhlak berikutnya adalah memutuskan perkara atas dasar musyawarah. Dalam al quran surat Asy Sura’ ayat 38, Allah SWT berfirman yang artinya:
     “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S Asy Syura’ : 38)
     Akhlak dalam berpolitik sebagai mana Disyari’atkan dalam ajaran islam adalah akhlak yang dibangun oleh dasar-dasar qurani, sehingga para politisi, penguasa, negarawan, dan masyarakat wajib menerapkan etika politik islam. Dengan pandangan tersebut, politisi yang kemudian dipilih menjadi wakil rakyat, baik dilembaga legislatif maupun pemegang tampuk kepemimpinan, harus melakukan fungsinya sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
Langkah-langkah pengawasannya adalah sebagai berikut :
1.   Memeriksa, artinya meneliti dengan cermat dan melihat secara langsung pada objek yang diperiksa, sehingga keadaan rakyat diketahui secara objektif, bukan hanya berdasarkan laporan dari bawahannya.
2.   Mengecek, artinya setiap laporan dari bawahannya harus dilihat dengan empiric.
3.   Mencocokan artinya pun bentuk aspirasi masyarakat melalui berbagai aksi, melalui pesan pendek  (sms) dan sejenisnya perlu di crossheck agar kebenarannya terbukti dengan objektif.
4.   Meneliti dan menilai, artinya melakukan pengamatan secara seksama terhadap seluruh tugas penyelenggaraan negara.
5.   Mengispeksi, artinya melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daeerah untuk mengetahui keadaan masyarakat yang sesungguhnya serta kinerja seluruh penyelenggara pemerintahan suatu negara.
6.   Mengendalikan. Artinya memiliki kemampuan menjalankan roda pemerintahan dan mencegah berbagai keadaan polotik dan ekonomi yang dapat meruntuhkan stabilitas negara.
7.   Mengatur,artinya mengelola perjalanan kepemimpinan dengan cara professional.
8.   Mencegah sebelum terjadi kegagalan, artinya melakukan tindakan-tindakan refentif terhadap semua keadaan yang dapat mengakibatkan krisis di masyarakat baik krisis ekonomi, politik, budaya, maupun krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara negara dan politisi.
     Apabila akhlak pemimpin ini buruk, masyarakat akan menjadi korban. Oleh karena itu, akhlak dalam berpolitik perlu ditegakan diantaranya dengan mengamalkan seluruh peraturan perundangan yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar