BAB 1
I.
PENDAHULUAN
Ilmu fiqih adalah salah satu
disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam.
Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara
estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu
itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan
bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matlu
dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh
ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang
muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.Generasi penerus
Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun
masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman
kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara
periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam, telah melalui
beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum
islam berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui oleh
hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya.Yaitu ada enam fase-fase Tarikh
Tasyrik:
Ø Periode pertama
Fase tasyri’, yaitu masa Rasulullah,
yang lamanya 22 tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah
s/d tahun 11 Hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.
Ø Periode kedua
Fase perkembangan fiqh periode para
Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin, yang berlangsung dari tahun 11 H (= 632 M) s/d
40 H (= 720 M).
Ø Periode ketiga
Fase perkembangan fiqh periode
kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah
‘Abbasiyah. Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M)
s/d 350 H (= 961 M). Atau sampai permulaan abad 2.
- Periode keempat
Fase perkembangan fiqh periode
kemunduran dan periode taqlid atau periode jumud, beku, statis, dan berhenti
pada batas-batas yang telah ditentukan oleh ulama-ulama dahulu dengan tak mau
beranjak lagi, yaitu sejak pertengahan abad keempat Hijrah atau tahun 351 H,
yang sampai sekarangpun masih banyak terdapat luas perkembangannya dalam masyarakat.
- Periode kelima
Periode kebangkitan atau periode
Renaissance.
BAB 11
II.
PEMBAHASAN
1)
PENGERTIAN FIQH
Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal
dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan
menurut istilah syar’I, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara
tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan
melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.
Secara definitif, fiqih berarti ilmu
tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari
dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini fiqih diibaratkan dengan ilmu
karena fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqih itu
bersifat dzanni. Fiqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan
dzannya, sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni seperti fiqih. Namun karena
dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu. Karenanya ilmu definisi ini
ilmu digunakan juga untuk fiqih.
2)
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ( TARIKH TASYRI’)
Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih
islam, pada hakekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa Nabi sendiri, karena Nabi
lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum, dan berakhir dengan
wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi
Muhammad saw, dan para sahabat yang bermula dari diturunkannya wahyu sampai
berakhit dengan wafatnya Nabi pada tahun 11H. Era ini merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. Suatu masa turunnya syariat islam
dalam pengertian yang sebenarnya.[1]
Turunnya syariat dalam proses
munculnya hukum-hukum syariyah hanya terjadi pada era kenabian ini Sebab
syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir degan turunnya wahyu setelah
nabiwafat. Nabi sendiri tidak punya kekuasaan untuk membuat hukum-hukum
syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah
itu kepada umatnya.
Dari sini kita dapat memahami bahwa
kerja para Fuqoha’ dan mujtahidin bukan membuat hukum tapi mencari dan
menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Sumber-sumber hukumi slam
yang menjadi rujukan para mujtahidin dalam mencari hukum-hukum syariyah adalah
wahyu, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud dengan
sejarah perkembangan fiqih islam (tasyri’) adalah ilmu yang membahas tentang
keadaan fiqih islam pada masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, untuk
menentukan masa-masa terjadinya terjadinya hukum itu dan segala yang merupakan
hukum, baik berupa naskh, takhshis dan lain-lain, serta tentang keadaan fuqoha’
dan mujtahidin beserta hasil karya mereka terhadap hukum-hukum itu.[2]
3)
PERIODESASI FIQH PADA MASA RASULULLAH
Fase ini bermula saat Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang
berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum
hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah
di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi
dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan
terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabiatau
yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah
perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada
masa ini mengalami dua periodesasi[3]:
A. Periode
Mekah
Periode ini terhitung sejak
diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke Madinah.
Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam atau
Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat
agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah
berhala kepada menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode
ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia atas dua
perkara utama:
- Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.
- Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
B. Periode
Madinah
Periode ini berlangsung sejak
hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama
10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum
praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan
akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang
kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban
terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Dalam masa inilah umat islam berkembang
dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah
keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena
masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat
satu dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.
Pada periode Madinah inilah turun
ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi
manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti
aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan
ketata negaraan. Dengan kata lain, periodeMadinah dapat pula disebut periode
revolusi social dan politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan
pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan
praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga
menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.
Karena itulah surat-surat Madaniyah,
seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal,
At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping
megandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.
Dalam proses perkembangan periode
Madinah ini ada tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan. Pertama metode
Nabis.a.w, kedua kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara
bertahap (periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabis.a.w dalam
menerangkan hukum, Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya
itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan rukunnya dan lain
sebagainya.
MisalnyaketikaNabisalatdanparasahabatmelihatsertamenirukannyatanpamenanyakansyaratdanrukunnya.
Kedua, kerangka hukum syariat. Ada
hukum yang disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,
seperti bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid)[4]. Ada juga hukum yang disyariatkan tanpa didahului oleh
pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka
hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga, turunnya syari’at secara
bertahap (periodik). Dalam tahap periodic ini syari’at terbagi dalam dua hal,
yaitu tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan
pada malam isra’ mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama
hijrah dan seterusnya. Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada
satu perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian
setelah hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat,
kemudian Nabi hijrah maka menjadi empat rakaat”[5]
c. Sumber
Hukum Pada Periode Rasulullah
Dalam kitab at-Tasyri’ wal Fiqhi Fil
Islam Tarikhon wa Manhajan karangan Manna’ al-Qatthan disebutkan bahwa, sumber
Tasyri’ itu ada dua macam yaitu: Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara
ma’na dan lafadz, yang disebut Al-Quran ada juga Tasyri’ yang merupakan wahyu
Allah secara ma’na bukan lafadz, yang disebut As-Sunnah.
v Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan
kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.Contoh kasus
seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan
dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi
wanita musyrikah, maka turun ayat :
”Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (Qs.Al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam
Al-Qur’an bersifat kulli (umum), demikian pula dalalahnya
(penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas
dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhâni
yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih
terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal
Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
v As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan
cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi
hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum
ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam
keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus,
atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa
terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang
secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ayat :
”Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka”. (Qs.An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu.
Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad
denganberpegangkepadasyari’atajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama
sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh
Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan
diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Qs. Al-Anfal:
67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (Qs.
At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti
ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang
berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
v Ijtihad Pada Masa
Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata
Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat,
bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti
terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan
juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada
zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak
masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan
diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun
apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam
kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian
berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah,
kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air
cukup dengan tayamum.Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat
untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh
bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat
bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli
hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa
memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip
yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Dapat disimpulkan, pada zaman
Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya
diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku
tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada
keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
4)
PERIODESASI FIQH PADA MASA SAHABAT (KHULFAUR RASYIDIN)
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka
berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh
khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan
umat dan pertahanan negara.
Masa mulai dari periode khulafaur
Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu
dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661
M).
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam
semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti
Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama
Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Di periode sahabat ini, kaum
muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an
dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan
adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah
naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah
dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu:
Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar
pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
Sahabat-sahabat besar dalam periode
ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu.
Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah
besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap
kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang
kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999)..
v Metode Dalam Mengenal Hukum
Para Khulafaur Rasyidin dalam
menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari
nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran
dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta
pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka
menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’
(Djafar, 1992).
Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan
ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada
al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib
hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada
al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber
hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum
itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum,
sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain,
takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an
bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil
consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam,
tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu
pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar, para sahabat dengan cara
bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum
yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai
ijma’ sahabat.
Kholifah Umar pun berbuat demikian,
yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dala al-qur’an dan as-sunnah,
amka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal
itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan
dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum
muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka belau memeberikan
keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Metode yang digunakan pada masa
sahabat dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya :
- Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Contohnyabagaimanahukummembakar harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
- Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
v Keistimewaan Fiqih Pada Masa
Khulafaur Rasyidin:
Pada masa Sahabat merupakan masa
perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja yang dimulai dari
periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat senior hingga lahirnya imam
mazhab dari tahun 11-132 H. Meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H =
632-661 M) dan periode Umayyah (40-132 H = 661-750 M).
Ada 3 keistimewaan yang menonjol
pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu:
a. Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an
serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu
wajah tentang bacaan al-Qur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat
perpecahan.
b. Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu
sebagai motivasi besar terhadap para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai
sumber ketiga yaitu qiyas.
c. Pengaturan peradilan.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin
kemudian diganti dengan masa Dinasti Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist
disamping Ahlu Ra’yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin
tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan
berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang
kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam Islam. Keistimewaan pada periode
Khulafaur Rasyidin bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya
waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam
Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan
sunnah.Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam
satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat
islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.
Dalam masa ini juga belum ada
periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu
hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’. Dan
ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.
Adapun peninggalan-peninggalan masa
sahabat yang ada hubungannyadengan fiqih ialah:
1)
Penjelasan-penjelasan yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum al-qur’an
dan as-sunah. Penjelasan-penjelasan yang demikian iti terjadi, ialah ketika
sahabat membahas nash-nash hukum untuk di terapkan kepada kejadian-kejadian
lalu timbul pendapat-pendapat tentang pengertian dan maksud sebenarnya dari
nash-nash. Dalam melahirkan pendapat-pendapat itu mereka bersandar pada bakat
serta kemampuan mereka dalam bidang bahasa , pada bakat serta kemampuan mereka
dalam penetapan hukum dan pada pengetahuan mereka, tentang hikmah diturunkannya
syari’at serta sebab –sebab turunnya al;qur’andan di datangkannya al-hadits.
Dari kumpulan pendapat-pendapat itu
terbentuklah syarah yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah
itu dianggap sebagai landasan terpercaya dalam menafsirkan nash-nash tersebut
dan untuk menjelaskan keumumannya dan nash serta cara-cara penerapannya.
- Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di berikan oleh tokoh-tokoh sahabat, terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya. Cara mujtahid dikalangan sahabat itu apabila tidak mendapatkan nash dalam al-qur’an atau as-sunah tentang hukum sesuatu kejadian yang diajukan. Mereka berijtihad untuk menemukan hukum dengan berbagai jalan istinbath.
v Contoh contoh ijtihad yang
dilakukan pada masa sahabat:
Diantara beberapa contoh ijtihad
yang dilakukan oleh sahabat, antara lain:
- Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Diriwayatkan, Abu Bakar sebagai
Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin
al-Khattab menegurnya dengan berkata, “ Saya pernah disuruh Rasulullah
memerangi orang sampai mereka mengucap la ilaha illa Allah. Kalau mereka
sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan
“hak”nya. Semua urusan ditangan Allah”. Abu bakar menyahut, “ Demi Allah,
sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan sholat dengan zakat.
Sebab zakat termasuk “hak”nya atas harta.
- Ahli waris
Pada zaman Umar Bin Khattab terdapat
serombongan ahli waris yang terdiri dari suami(1/2) ibu(1,6) dan tiga orang
saudara seibu semuanya sesuai dngan ketentuan Al Qur’an. Kebetulan dalam
rombongan itu ada pula saudara laki-laki kandung yang berdasarkan hadits nabi
adalah “ahli waris sisa harta”. Karena harta sudah terbagi habis maka saudara
kandung tidak dapat bagian apa-apa. Tidak dapatnya saudara kandung, sedangkan
saudara seibu mendapat, tentu tidak enak dirasakannya. Dalam hal ini umar
menetapkan bahwa saudara kandung bergabung dengan saudara seibu dalam mengambil
hak 1/3 harta yaitu hak saudara seibu. Hak istri atas peninggalan mendiang
suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al Qur’an Surat An Nisa 12 yaitu ¼ bila
suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini
tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati istri sudah di cerai
terlebih dahulu.
- Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang Wali
Ketika haji wada’ Nabi menyuruh
pilih keluarga korban, qishas atau denda bagi pembunuh (pembunuh disengaja).
Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 17:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”
- Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah
Tentang kasus semacam ini terdapat
dalam sunnah maupun Alqur’an. Ali ra. dalam menjawab masalah ini berpegang pada
prinsip umum, tidak ada “larangan abadi”. Maka, cukuplah diberi hukuman
fisik dan perceraian, serta “iddah ganda”. Sementara Umar ra. dalam mengambil
sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.
Tentang iddah wanita yang kematian
suami disebutkan oleh Allah secara pasti dalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu
4 bulan 10 hari:
“Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
5)
PERIODESASI FIQH PADA MASA TABI’IN
Pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan
para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam
telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah
itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Periode ini disebut juga
periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami
kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam
dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi,
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat
imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
A. Metode tabi’in dalam mengenal hukum
Pada periode ini ialah, “Menerima
hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka
seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat
seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini,
kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya
masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa
setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka
berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
ü Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini
memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam
merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah
mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan
metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam
tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub,
karena memberikan istidlal aqly yang sangat besar dalam perumusan. Hal
ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma
lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
ü Metode Fuqaha’
Tidak diperdebatkan bahwa Abu
Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini
terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan
memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak
menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah
tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’
fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan
kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami
sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode
mutakallimin.
- Keistimewaan pada masa tabi’in
Berkembangnya beberapa pusat studi
Islam, menurut Manna’ al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam
sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra’y dan
tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl
al-Ra’y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal).
Sedangkan mereka yang tergolong Ahlu al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan
akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama.
v Fiqih sudah sampai pada
titik sempurna pada masa ini.
v Pada masa ini muncul
ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
v Madzhab fiqih pada masa ini
sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.Telah dibukukan
ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub
dzohir al-Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu
Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh
al-Hakim as-Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan
oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab
al-Umm yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam
Ahmad kitab al-Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah
mengumpulkannya dari para murid imam Ahmad.
Peristiwa pemberlakukan hukum di
kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah
Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan
penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya
harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya,
pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum
positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun
dalam masalah perdata juga diterapkan.
6)
SEJARAH PADA PERIODE KEMUNDURAN
Periode ini lahir pada abad ke 4 H
(tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode
tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam,
kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya,
ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat
mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan
seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam
konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada
kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya
Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat
yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam
madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam ke
alam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan
statis.Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut
ini kelihatannya ikut mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
- Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang
ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang
benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada
periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.
- Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu
berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai
cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana
frekuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar
kelompoknya dengan mencari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta
menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya,
mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap
rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya,
Alqur’an dan Hadits.
- Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode
semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang
bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat
hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad
sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari
penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.Umat islam menyadari
kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan
pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara
pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan
fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan
kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu.
Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan
disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H,
mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
- Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara
akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik
menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan
oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk
berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu
bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan
ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang
intens (ijtihad).
7)
MASA KEBANGKITAN FIQH
Fase ini dimulai dari akhir abad
ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu fase ini mempunyai karakteristik
dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqh ke zaman baru yang
sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi saham atau masukan dalam
menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari
sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau
kitab tertentu.Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua
aspek pertama pembahasan fiqh islam dan kedua kodefikasi
fiqh islam.
1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama’
memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh islam baik dengan cara menulis
buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya
melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada
zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:
Memberikan perhatian khusus terhadap
kajian madzhab-madzab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui
dengantetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara
satu madzhan dengan madzhab yang lain.
- Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).
- Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara madzhab fiqh islam)
- Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
2 Kodifikasi Hukum Fiqh;
Yang dimaksud dengan kodifikasi
adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk
butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada
materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam
menyelesaikan perselisihan .
- Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
Menyatukan semua hokum dalam setiap
masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih,
masing-masing hakim member keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat
dengan materi undang-undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk
menghindari keputusan yang kontra.
Memudahkan para hakim untuk merujuk
semua hokum fiqh dengan susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga
mudah untuk dibaca.
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai
undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah
muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika Ibnu muqofa’menulis surat kepada
khalifah Abu jafar Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran
dan Sunnah dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai
dengan kemaslahatan umat.
BAB III
III.
PENUTUP
Turunnya sya’riat dalam arti proses
munculnya hokum-hukum syar’iyah hanya terjadi di masa kenabian. Masa kenabian
adalah suatu masa dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup dan para sahabat yang
bermula dari turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW. Masa ini
merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa turunnya syari’at
islam dalam pengertian yang sebenarnya.
Dalam masa kenabian ini kita dapat
mengetahui pembagian periode tasyri’ pada periode makkah dan periode madinah
yang keduanya saling melengkapi. Serta mengetahui sumber-sumber yang digunakan
pada waktu itu. Pada masa kenabianpun Nabi Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan
Sunnah.
Setelah itu berlangsunglah
perkembangan munculnya fiqh sesuai kejadian dan ijtihad sahabat,
mujtahidin dimasa tersebut. Demikianlah makalah yang bisa kami susun, kritik
dan saran kami harapkan.
Wallahu ‘Alam bish Shawab.
[1] . Sirry,Mun’imA.SejarahFiqih Islam. 1996
[2] .ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 32.
[3] . Yaitu periode Mekkah dan Madinah
[4] . ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 35
[5] . MisyikatulMashabih, KhatibTibrizi, dalamMun’im As Sirry,
di tahqiqolehNashiruddin Al-Albani , jilid 1, hlm. 425, Beirut, 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar