Rabu, 04 Januari 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH



BAB 1
       I.            PENDAHULUAN
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matlu dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam, telah melalui beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum  islam berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui oleh hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya.Yaitu ada enam fase-fase Tarikh Tasyrik:
Ø  Periode pertama
Fase tasyri’, yaitu masa Rasulullah, yang lamanya 22 tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah s/d tahun 11 Hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.
Ø  Periode kedua
Fase perkembangan fiqh periode para Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin, yang berlangsung dari tahun 11 H (= 632 M) s/d 40 H (= 720 M).
Ø  Periode ketiga
Fase perkembangan fiqh periode kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah ‘Abbasiyah. Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M) s/d 350 H (= 961 M). Atau sampai permulaan abad 2.
  • Periode keempat
Fase perkembangan fiqh periode kemunduran dan periode taqlid atau periode jumud, beku, statis, dan berhenti pada batas-batas yang telah ditentukan oleh ulama-ulama dahulu dengan tak mau beranjak lagi, yaitu sejak pertengahan abad keempat Hijrah atau tahun 351 H, yang sampai sekarangpun masih banyak terdapat luas perkembangannya dalam masyarakat.
  • Periode kelima
Periode kebangkitan atau periode Renaissance.

BAB 11
    II.            PEMBAHASAN
1)      PENGERTIAN FIQH
Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’I, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.
Secara definitif, fiqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini fiqih diibaratkan dengan ilmu karena fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqih itu bersifat dzanni. Fiqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzannya, sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni seperti fiqih. Namun karena dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu. Karenanya ilmu definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqih.
2)      SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ( TARIKH TASYRI’)
Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih islam, pada hakekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa Nabi sendiri, karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum, dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi Muhammad saw, dan para sahabat yang bermula dari diturunkannya wahyu sampai berakhit dengan wafatnya Nabi pada tahun 11H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. Suatu masa turunnya syariat islam dalam pengertian yang sebenarnya.[1]
Turunnya syariat dalam proses munculnya hukum-hukum syariyah hanya terjadi pada era kenabian ini Sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir degan turunnya wahyu setelah nabiwafat. Nabi sendiri tidak punya kekuasaan untuk membuat hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah itu kepada umatnya.
Dari sini kita dapat memahami bahwa kerja para Fuqoha’ dan mujtahidin bukan membuat hukum tapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Sumber-sumber hukumi slam yang menjadi rujukan para mujtahidin dalam mencari hukum-hukum syariyah adalah wahyu, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqih islam (tasyri’) adalah ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih islam pada masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, untuk menentukan masa-masa terjadinya terjadinya hukum itu dan segala yang merupakan hukum, baik berupa naskh, takhshis dan lain-lain, serta tentang keadaan fuqoha’ dan mujtahidin beserta hasil karya mereka terhadap hukum-hukum itu.[2]
3)      PERIODESASI FIQH PADA MASA RASULULLAH
Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabiatau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi[3]:
A. Periode Mekah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia  atas dua perkara utama:
  • Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.
  • Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
B. Periode Madinah
Periode  ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena  masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya,  baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.
Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketata negaraan. Dengan kata lain, periodeMadinah dapat pula disebut periode revolusi social dan politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.
Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan. Pertama metode Nabis.a.w, kedua kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabis.a.w dalam menerangkan hukum, Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan rukunnya dan  lain sebagainya. MisalnyaketikaNabisalatdanparasahabatmelihatsertamenirukannyatanpamenanyakansyaratdanrukunnya.
Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid)[4]. Ada juga hukum yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga, turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Dalam tahap periodic ini syari’at terbagi dalam dua hal, yaitu tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan pada malam isra’ mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama hijrah dan seterusnya.  Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian setelah hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi hijrah maka menjadi empat rakaat”[5]

c. Sumber Hukum Pada Periode Rasulullah
Dalam kitab at-Tasyri’ wal Fiqhi Fil Islam Tarikhon wa Manhajan karangan Manna’ al-Qatthan disebutkan bahwa, sumber Tasyri’ itu ada dua macam yaitu: Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara ma’na dan lafadz, yang disebut Al-Quran ada juga Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara ma’na bukan lafadz, yang disebut As-Sunnah.
Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat :
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (Qs.Al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat  kulli (umum), demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhâni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (Qs.An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad denganberpegangkepadasyari’atajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Qs. Al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (Qs. At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.

4)      PERIODESASI FIQH PADA MASA SAHABAT (KHULFAUR RASYIDIN)
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan negara.
Masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M).
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu. Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999)..
v  Metode Dalam Mengenal Hukum
Para Khulafaur Rasyidin dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’ (Djafar, 1992).
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Kholifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dala al-qur’an dan as-sunnah, amka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka belau memeberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Metode yang digunakan pada masa sahabat dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya :
  • Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Contohnyabagaimanahukummembakar harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
  • Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
v  Keistimewaan Fiqih Pada Masa Khulafaur Rasyidin:
Pada masa Sahabat merupakan masa perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja yang dimulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat senior hingga lahirnya imam mazhab dari tahun 11-132 H. Meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M) dan periode Umayyah (40-132 H = 661-750 M).
Ada 3 keistimewaan yang menonjol pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu:
a. Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu wajah tentang bacaan al-Qur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat perpecahan.
b. Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu sebagai motivasi besar terhadap para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai sumber ketiga yaitu qiyas.
c. Pengaturan peradilan.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin kemudian diganti dengan masa Dinasti Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist disamping Ahlu Ra’yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam Islam. Keistimewaan pada periode Khulafaur Rasyidin bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan sunnah.Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.
Dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’. Dan ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.
Adapun peninggalan-peninggalan masa sahabat yang ada hubungannyadengan fiqih ialah:
1)      Penjelasan-penjelasan yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum al-qur’an dan as-sunah. Penjelasan-penjelasan yang demikian iti terjadi, ialah ketika sahabat membahas nash-nash hukum untuk di terapkan kepada kejadian-kejadian lalu timbul pendapat-pendapat tentang pengertian dan maksud sebenarnya dari nash-nash. Dalam melahirkan pendapat-pendapat itu mereka bersandar pada bakat serta kemampuan mereka dalam bidang bahasa , pada bakat serta kemampuan mereka dalam penetapan hukum dan pada pengetahuan mereka, tentang hikmah diturunkannya syari’at serta sebab –sebab turunnya al;qur’andan di datangkannya al-hadits.
Dari kumpulan pendapat-pendapat itu terbentuklah syarah yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah itu dianggap sebagai landasan terpercaya dalam menafsirkan nash-nash tersebut dan untuk menjelaskan keumumannya dan nash serta cara-cara penerapannya.
  1. Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di berikan oleh tokoh-tokoh sahabat, terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya. Cara mujtahid dikalangan sahabat itu apabila tidak mendapatkan nash dalam al-qur’an atau as-sunah tentang hukum sesuatu kejadian yang diajukan. Mereka berijtihad untuk menemukan hukum dengan berbagai jalan istinbath.
v  Contoh contoh ijtihad yang dilakukan pada masa sahabat:
Diantara beberapa contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, antara lain:
  1. Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Diriwayatkan, Abu Bakar sebagai Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin al-Khattab menegurnya dengan berkata, “ Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang sampai mereka mengucap la ilaha illa Allah. Kalau mereka sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan “hak”nya. Semua urusan ditangan Allah”. Abu bakar menyahut, “ Demi Allah, sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan sholat dengan zakat. Sebab zakat termasuk “hak”nya atas harta.
  1. Ahli waris
Pada zaman Umar Bin Khattab terdapat serombongan ahli waris yang terdiri dari suami(1/2) ibu(1,6) dan tiga orang saudara seibu semuanya sesuai dngan ketentuan Al Qur’an. Kebetulan dalam rombongan itu ada pula saudara laki-laki kandung yang berdasarkan hadits nabi adalah “ahli waris sisa harta”. Karena harta sudah terbagi habis maka saudara kandung tidak dapat bagian apa-apa. Tidak dapatnya saudara kandung, sedangkan saudara seibu mendapat, tentu tidak enak dirasakannya. Dalam hal ini umar menetapkan bahwa saudara kandung bergabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta yaitu hak saudara seibu. Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al Qur’an Surat An Nisa 12 yaitu ¼ bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati istri sudah di cerai terlebih dahulu.
  1. Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang Wali
Ketika haji wada’ Nabi menyuruh pilih keluarga korban, qishas atau denda bagi pembunuh (pembunuh disengaja). Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 17:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”
  1. Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah
Tentang kasus semacam ini terdapat dalam sunnah maupun Alqur’an. Ali ra. dalam menjawab masalah ini berpegang pada prinsip umum, tidak ada “larangan abadi”. Maka, cukuplah diberi hukuman fisik dan perceraian, serta “iddah ganda”. Sementara Umar ra. dalam mengambil sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.
Tentang iddah wanita yang kematian suami disebutkan oleh Allah secara pasti dalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10 hari:
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

5)      PERIODESASI FIQH PADA MASA TABI’IN
Pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
A. Metode tabi’in dalam mengenal hukum
Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
ü  Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly  yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
ü  Metode Fuqaha’
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.

  • Keistimewaan pada masa tabi’in
Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna’ al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra’y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra’y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahlu al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama.
v  Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
v  Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
v  Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al-Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al-Hakim as-Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al-Umm yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al-Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari para murid imam Ahmad.
Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.

6)      SEJARAH PADA PERIODE KEMUNDURAN
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam ke alam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  • Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.
  • Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frekuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan mencari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
  • Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
  • Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

7)      MASA KEBANGKITAN FIQH
Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi saham atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek pertama  pembahasan fiqh islam dan kedua kodefikasi fiqh islam.
1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengantetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan dengan madzhab yang lain.
  • Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).
  • Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara madzhab fiqh islam)
  • Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
2 Kodifikasi Hukum Fiqh;
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan .
  • Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
Menyatukan semua hokum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim member keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu  dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontra.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika Ibnu muqofa’menulis surat kepada khalifah Abu jafar Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.

BAB III
 III.            PENUTUP
Turunnya sya’riat dalam arti proses munculnya hokum-hukum syar’iyah hanya terjadi di masa kenabian. Masa kenabian adalah suatu masa dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup dan para sahabat yang bermula dari turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW. Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa turunnya syari’at islam dalam pengertian yang sebenarnya.
Dalam masa kenabian ini kita dapat mengetahui pembagian periode tasyri’ pada periode makkah dan periode madinah yang keduanya saling melengkapi. Serta mengetahui sumber-sumber yang digunakan pada waktu itu. Pada masa kenabianpun Nabi Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.

Setelah itu berlangsunglah perkembangan munculnya fiqh sesuai kejadian dan ijtihad  sahabat, mujtahidin dimasa tersebut. Demikianlah makalah yang bisa kami susun, kritik dan saran kami harapkan.
Wallahu ‘Alam bish Shawab.

[1] . Sirry,Mun’imA.SejarahFiqih Islam. 1996
[2] .ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 32.
[3] . Yaitu periode Mekkah dan Madinah
[4] . ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 35
[5] . MisyikatulMashabih, KhatibTibrizi, dalamMun’im As Sirry, di tahqiqolehNashiruddin Al-Albani , jilid 1, hlm. 425, Beirut, 1961.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar