A. SITUASI DAN KONDISI
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA KETIKA BELANDA DATANG
Keadaan kerajaan-an Islam menjelang
datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia
berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses
Islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar tiga abad, sementara
di Maluku dan Sulawesi proses Islamisas baru saja berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis, percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan
perjuangan segi tiga antara Aceh, Portugis, dan Johor yang merupakan kelanjutan
dari kerajaan Malaka Islam.
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh
menjadi lebih dominan, terutama karena para pedagang Muslim menghindar dari
Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik
perdagangan internasional dan antarkepulauan Nusantara. Bahkan, ia mencoba
menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak
permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini pada
tahun 1564 menjadi daerah vassal dari Aceh.
Setelah berhasil menguasai
daerah-daerah di Sumatera bagian utara, Aceh berusaha menguasai Jambi,
pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman,
seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai Idragiri, Kampar, dan
Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah Islam, juga merupakan pelabuhan
transit, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan
lain-lain diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi Aceh ketika itu berhasil
menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan mencakup Tiku, Pariaman, dan
Bengkulu.
Pada saat itu, Aceh emang sedang
berada pada masa kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Iskandar Muda wafat pada usia 46 tahun pada 27 Desember 1636. Ia digantikan
oleh Sultan Iskandar Tsani. Setelah ia meninggal dunia, 15 Pebruari 1641, Aceh
secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Ketika
itulah, Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah yang dulu berada di
bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Meski sudah jauh menurun, Aceh masih
bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal
kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Minangkabau, Jambim Riau, dan
Palembang tidak demikian.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah
pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke
Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat
menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, di antaranya adalah:
1. Kekuasaan dan sistem
politik didasarkan atas basis agraris,
2. Peranan daerah pesisir dalam
perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar
Jawa,
3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat
perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur
sudah berada dibawah kekuasaan Mataram yang ketika itu dibawah Sultan Agung.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara
kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Meskipun ekspansi Mataram telah
menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya
menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama dan pengekspor beras, posisi
Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Sementara itu, Banten di pantai Jawa
Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan
tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Banten juga menarik perdagangan lada
dari Indrapura, Lampung, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya
kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik
Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan
perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser.
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16,
pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu
tempat persinggahan ke Maluku, Filiphina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa
Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian Barat.
Faktor-faktor historis lain yang
mempercepat perkembangan pelabuhan Makassar:
1. Pendudukan Malaka oleh Portugis
mengakibatkan terjadiya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar.
2. Arus migrasi melayu bertambah
besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan
pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu.
3. Blokade Belanda terhadap Malaka
dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan
Asia Timur.
4. Merosotnya pelabuhan Jawa Timur
mengakibatkan ungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar.
5. Usaha Belanda memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat pasar berbagai macam barang
berkembang di sana.
B. LATAR BELAKANG KEDATANGAN
BELANDA, VOC, HINDIA BELANDA
Tujuan Belanda datang ke Indonesia,
untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang
mahal harganya. Perseroan Amsterdam mengirirm armada kapal dagangnya yang
pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman.
Angkatan kedua tahun 1598 di bawah
pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam,
juga datang beberapa kapal dari berbgai kota di Belanda. Angkatan ketiga
berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan Van der Hagen dan angkatan keempat tahun
1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh
Perseroan Amsterdam itu, banyak persoalan lain berdiri yang juga ingin
berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan
itu bergabung dan disahkan oleh Staten-General Republik dengan suatu piagam
yang menberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang,
berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan
kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah
mecapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku
untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat
perang melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk
mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak
dengan pribumi mengenai jual-beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka
berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal
merebut benteng Portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan
perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya
yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan
pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam. Sistem monopoli
itu bertentangan dengan sistem tradisional yang dianut masyarakat. Sikap
Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan makin memperkuat sikap
permusuhan pribumi tersebut. Namun, secara politis VOC dapat menguasai sebagian
besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.
Pada tahun 1798, VOC dibubarkan
dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin
operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan di bubarkannya VOC disebabkan
oleh berbagai faktor.
1. Pembukuan yang curang
2. Pegawai yang tidak cakap dan
korup
3. Hutang besar
4. Sistem monopoli serta sistem
paksa dalam pengumpulan bahan-bahan atau hasil tanaman maupun penduduk yang
sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian
abad ke 18 secara resmi Indonesia pindah ketangan pemerintah Belanda.
Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942 dan hanya diinterupsi
pemerintahan Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816.
Sampai pada tahun 1811, pemerintahan
Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816,
Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya
kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang
mengalami kebangkrutan akibat perang.
Pada tahun 1830, pemerintah Hindia
Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan Suez dibuka dan
industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah menerapkan politik
liberal di Indonesia. Perusahaan dan modal swasta dibuka seluas-luasnya.
Meskipun dalam politik liberal itu kepentingan dan hak pribumi mendapat
perhatian, tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berari. Baru
pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi.
C. PENETRASI POLITIK BELANDA
VOC sejak semula memang diberi izin
oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka
mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh
kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan
mempunyai wilayah, mengadakan perjanjian poitik, dan sebagainya. Dengan
perlengkapan yang lebih maju, VOC, melakukan politik ekspansi. Dengan kata
lain, abad ke 17 dan 18 adalah periode ekspansi dan monopoli dalam sejarah
kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke 18, ekspansi wilayah ini
berhasil di Jawa.
Sejak awal Belanda melihat bahwa
dalam jaringan perdagangan di Indonesia bagian Barat, kedudukan Malaka, Johor
dan Banten adalah sangat penting. Mereka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu
harus dikuasai. Akhirnya mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah
sebagai basis kegiatannya.
Sultan Agung sejak semula sudah
mengira bahwa Belanda adalah ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram dua
kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh Belanda ke
pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat II(1677-1703) meminta bantuan
VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati Madura, dan pemberontakan
Kajoran.
Meluasnya pengaruh Belanda dalam
pemerintahan Mataram, dipercepat oleh konflik intern dalam istana. Karena
konflik itulah, Mataram pada tahun 1755 pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta,
tahun 1757 muncul kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 kekuasaan
Pakualam.
Sementara itu, hubungan Banten
dengan Belanda menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta tahun
1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya menghalangi usaha
Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal Belanda
dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua belah
pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang diangkat menjadi sultan
Muda tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang memusuhi
Belanda. Ia ingin mengadakan hubungan baik dengan orang Barat ini. Pada 27
Pebruari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Surosowan, istana Sultan Haji,
yang ketika itu sudah menjadi pimpinan kerajaan Banten. Serangan ini dapat
dipatahkan berkat bantuan Belanda, tetapi dengan demikian, Banten praktis
berada di bawah kekuasaan Belanda.
Penetrasi Belanda dalam dunia
politik seringkali memang justru “diundang” oleh konflik-konflik internal suatu
kerajaan atau konflik antar kerajaan di Indonesia.
Di Sulawesi, Gowa-Tallo melakukan
ekspedisi ke daerah-daerah sekitar terutama dalam rangka menghadapi ekspansi
Belanda yang mulai besar di sana. Gowa-Tallo mengirim ekspedisi ke Buton,
Solor, Sumbawa, Ende, Bima tahun 1626, dan pada tahun berikutya ke Limboto yang
dianggap sebagai daerah kekuasaan Ternate. Ke Buton, daerah yang selalu menjadi
rebutan antara Makassar dan Ternate, dikirim kembali eksspedisi pada tahun
1632-1633. Ternate berusaha mencari bantuan VOC untuk menahan serangan
Makassar. Belanda memang berkepentingan untuk menaklukkan Makassar (Gowa-Tallo)
karena kerajaan ini menjadi rintangan baginya dalam menerapkan politik
monopoli.
Sementara itu, sebagai dua kerajaan
yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone, terus terlibat konflik, meskipun
sewaktu-waktu terhenti. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara
Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanuddin, mengambil langkah mengadakan
pengawasan ketat terhadap bone dan mengarahkan tenaga kerja untuk memperkuat
pertahanan Makassar.
Dalam pertempuran antara Gowa dan
Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu
dibawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makassar. VOC mendapat keuntungan
besar dari persekutuan orang-orang Bugis itu, persekutuan Soppeng dan
Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam
peperangan melawan Makassar.
Dalam peperangan itu, Makassar
mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir setelah
diadakan genjatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian perjanjian
Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama menekankan
prinsip hidup berdampingan secara serasi dalam suasana perdamaian.
Pada waktu genjatan senjata
berlangsung, sebelum perjanjian disepakati, antara Speelman dari pihak Belanda
dan Sultan Hasanuddin diadakan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan
persetujuan. Tuntutan Speelman terdiri dari 26 butir, yang semuanya berisi
kepentingan VOC dalam bidang politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian,
monopoli yang merupakan tujuan VOC di Indonesia tercapai, baik di Makassar
maupun di Indonesia bagian timur.
Penetrasi politik Belanda juga
terjadi di kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini
pada awal abad ke 17. Mereka dengan susah payah mendapatkan izin untuk
berdagang. Karena dipandang merugikan pedagang Banjar sendiri, para pedagang
Belanda ini akhirnya diusir dari sana. Posisi mereka kemudian diisi oleh para
pedagang asal inggris. Namun yang terakhir ini pun diusir dari kerajaan itu
dengan alasan yang sama.
Setelah pedagang Inggris
meninggalkan Barjarmasin pada dasawarsa ketiga abad ke 18, Banjar didatangi
oleh pedagang Belanda. Mereka mendekati Sultah Tahlilillah dan pada tahun 1734,
mereka berhasil mengadakan perjanjian dengan mendapatkan fasilitas perdagangan
di kerajaan itu.
Kesempatan untuk memperbesar
pengaruh dalam kerajaan Banjar baru mereka peroleh ketika terjadi konflik
antara Pangeran Amir dan Pangeran Nata. Pangeran Amir yang lebih disenangi oleh
rakyat tersingkir dalam memperebutkan tahta karena Pangeran Nata mendapat
bantuan Belanda. Pangeran Amir ditangkap dan dibuang ke Ceylon.
Sejak kemenangan Pangeran Nata,
sedikit demi sedikit kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Setiap kali
perjanjian antara Belanda dan sultan, selalu wilayah kekuasaan Belanda semakin
bertambah. Hal ini berlangsung terus dan hanya diselingi oleh Inggris antara
tahun 1811 sampai 1816 M. Seluruh wilayah kesultanan Banjarmasin, kecuali
daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin, sudah masuk dalam kekuasaan
Belanda. Ini berarti secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik.
Ini pula yang menjadi latar belakang terjadinya perang Banjarmasin yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari.
Penetrasi VOC ke Minangkabau
dijalankan dengan menggunakan berbagai strategi sejak tahun 1663. Panglima Aceh
yang berkedudukan di Minangkabau diberi kredit dalam transaksinya. VOC menuntuk
jabatan wali negara ditempatkan disana dan secara de facto berarti kekuasaan
ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat VOC mengadakan kontrak dengan
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya,
hubungan baik antara Minangkabau dan Aceh terputus.
Dengan demikian, tidak berarti usaha
mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak ada,
bahkan sangat banyak bagai tak pernah putus-putusnya. Akan tetapi, usaha-usaha
itu selalu gagal karenan beberapa sebab, diantaranya:
1. Belanda diperlengkapi dengan
organisasi dan persenjataan modern, sementara kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia masih bersifat tradisional,
2. Penduduk Indonesia sangat
tergantung pada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap
atau terbunuh, perang atau perlawanan akan terhenti dengan kemenangan di pihak
Belanda,
3. Tidak ada kesatuan
kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda,
4. Belanda berhasil menerapkan
politik adu domba,
5. Dengan politik adu domba itu,
banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.
D. PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAHAN
BELANDA
1. Perang Paderi di Minangkabau
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah
Pagaruyung, tetapi raja hanya berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya
da ditangan para penghulu aat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke 16,
tetapi proses sinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam dimulai oleh Tuanku
Koto Tuo dengan pendekatan damai. Tetapi pendekatan itu tidak diterima oleh
murid-muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang yang
amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.
Kelompok radikal itu membentuk
semacam “Dewan Revolusi” yang dikenal dengan nama “Harimau nan Salapan”
(Delapan Harimau yang berani menantang kemaksiatan).
Pada mulanya, gerakan dikenal dengan
nama Paderi ini dilakukan melalui ceramah di surau dan masjid. Konflik terbuka
dengan golongan penantang baru terjadi ketika golongan adat mengadakan pesta
menyabung ayam di kampung Batabuh. Pesta maksiat itu diperangi oleh golongan
Paderi. Sejak itulah perang antara kaum Paderi melawan kaum adat mulai
berlangsung.
Sebenarnya banyak kaum adat yang
mendukung dan berpihak kepada kaum Paderi. Tantangan keras yang dihadapi Paderi
berasal dari keturunan raja-raja. Inilah hal yang menghambat gerakan tersebut,
mungkin karena alasan kuatir kehilangan pengaruh dan kekuasaan dikalangan
rakyat. Golongan terakhir ini kemudian meminta bantuan dari pihak pemerintahan
Hindia Belanda yang disambut dengan senang hati. Sejak itulah, bermula perang
antara golongan Paderi yang didukung oleh rakyat, melawan Pasukan Belanda yang
didukung persenjataan modern dan personil terlatih.
Dalam peperangan pertama, Belanda
banyak mendapat kesulitan, Belanda mencari cara lain dan akhirnya berhasil
membujuk kaum Paderi untuk berdamai pada 22 Januari 1824. Tetapi Belanda
menghianatinya. Dalam peperangan selanjutnya Belanda juga mendapatkan
kesulitan, sehingga pada 15 September 1825 kembali diadakan perjanjian damai.
Perdamaian ini dimaksudkan oleh Belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan di
Jawa menghadapi Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro selesai,
pengkhianatan kembali dilakukan oleh Belanda. Lagi-lagi Belanda mengalami
kerugian yang memaksa mereka melakukan pengumuman damai yang di kenal dengan
Plakat Panjang, 23 Oktober 1833.
Kaum Paderi akhirnya dapat
dikalahkan Belanda dengan tipu muslihat dan kelicikan. Walaupun Paderi kalah di
tangan Belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama, di samping adat,
terjadi asimilasi doktrin agama ke dalam adat Minangkabau sebagai pola perilaku
ideal. Adat Islamiah yang dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara
adat yang bertentangan dengan Islam dipandang sebagai adat jahiliyah yang
terlarang.
2. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang
terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Perang ini
disebabkan karena adanya faktor ekonomi yang menimbulkan kegelisahan rakyat,
peraturan pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah
oleh penguasa Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi dibatalkan dengan
mengembalikan uang sewa atau pembayaran lain yang telah dilakukan. Banyak kaum
ningrat yang terkena peraturan itu dan mengalami kesulitan besar, termasuk
didalamnya Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra
tertua Hamengku Buwono III, yang dijadikan ayahnya untuk menduduki tahta
kerajaan sepeninggalnya, tetapi ia menolak. Setelah Hamengku Buwono meninggal
tahun 1814, yang naik tahta adalah adik Pangeran Diponegoro, Jarot, yang
bergelar Hamengku Buwono IV, seorang sultan yang bergaya hidup serba mewah dan
suka kepada hal-hal baru di keraton.
Peristiwa yang memicu peperangan
adalah rencana pemerintah Hindia Belanda untuk membuat jalan yang menerobos
tanah milik Pangeran Diponegoro dan harus membongkar makam keramat. Patok-patok
yang dipasang oleh pihak Diponegoro dicabut pemerintah Belanda. Ia menuntut
agar rencana pembuatan jalan itu dialihkan dan Patih Danurejo IV diganti. Pihak
Belanda ingin mengadakan perundingan dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran
Mangkubumi adalah utusan dari pihak keraton yang memilih beralih pihak kepada
Pangeran Diponegoro. Usaha pemerintah untuk menangkap mereka berdua di gagalkan
oleh rakyat di Tegalrejo, sementara Pangeran Diponegoro dipindah ke Selarong
untuk memimpin perlawanan.
Dalam perang, Pangeran Diponegoro
menggunakan taktik gerilya. Peperangan segera menyebar luas ke mana-mana. Kota
Yogya dikepung sehingga penduduk Belanda merasa terancam. Untuk memperkuat
semangat, Pangeran Diponegoro di nobatkan sebagai pemimpin tertinggi di Jawa
dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Karibil Mukminin Kalifatullah ing
Tanah Jawa.
Pada tahun 1826, jalan perang
menunjukkan pasang surut. Banyak korban berjatuhan dari pihak Belanda. Tahun
1827, Belanda memperkuat diri dengan mendirikan benteng stelsel untuk
mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan
dari negeri Belanda sekitar tiga ribu orang.
Pihak Pangeran Dionegoro mulai
terdesak sedikit demi sedikit. Pada tahun 1827, Kiai Maja bersedia berunding
dan mengadakan genjatan senjata dengan Belanda. Hal ini menjadi pukulan
tersendiri bagi Pangeran Diponegoro. Tahun berikutnya Kiai Maja angkat senjata
lagi, tetapi beliau tertangkap kemudian dibuang ke Menado.
Tahun 1829, Pangeran Diponegoro
menyatakan sedia berunding tanpa melepaskan tuntutannya untuk diakui sebagai
panatagama. Pada tahun itu juga, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Prawiradirja
menyerah. Dalam perundingan itu, Pangeran Diponegoro lagi-lagi menuntut agar
diberi kebebasan untuk mendirikan negara yang merdeka bersendikan Islam.
Akhirnya, ia ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian dibuang
ke Menado pada 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Ujung Pandang,
Makassar. Di pengasingan terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8
Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.
3. Perang Banjarmasin
Perang Banjarmasin dengan Pangeran
Antasari sebagai pahlawan yang terkemuka dilatarbelakangi oleh campur tangan
Belanda dalam menentukan siapa yang akan menjadi raja muda pengganti sultan,
apabila sultan berkuasa wafat. Sultan Adam Alwasik Billah sudah tua. Di
sampingnya harus ada wakil dengan gelar sultan muda.
Pengangkatan Pangeran Tamjid menjadi
sultan menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya.
Akibatnya, timbul kericuhan di dalam wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat
kericuhan itu, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil
keuntungan yang lebih besar.
Pengambilalihan kekuasaan itu
mengalihkan penentangan rakyat yang semula diarahkan kepada sultan Tamjidillah,
gelar pangeran Tamjid setelah menjadi sultan, kepada pemerintah kolonial
Belanda. Ketika itulah Perang Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat
terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah yang dipimpin oleh Pangeran Antasari
yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3000 orang yang menyerbu pos-pos
Belanda. Dia didukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat
sendiri berbelot kepada Pangeran Antasari untuk bersama-samanya berperang
melawan Belanda.
Dalam pertempuran banyak pasukan
Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang dilakukan Pangeran Antasari sangat
menyulitkan pasukan Belanda. Naun akhirnya, beberapa pembesar kerajaan yang
melawan Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat
sendiri tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan
Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari
memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas dan
merdeka, pengganti kerajaan Banjarmasin yang dirampas oleh Belanda itu. Ketika
di umumkan pengangkatan raja baru, Pangeran Antasari sendiri bergelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara ditetapkan di
Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh belas bulan
setelah proklamasi, Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada tanggal 11 Oktober
1862, ia wafat di Hulu Teweh. Sebagai raja dia digantikan oleh anaknya,
Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905, ketika
raja ini terbunuh sebagai syahid dalam medan pertempuran.
4. Perang Aceh
Pada wal abad ke 19, sebenarnya
hegemoni kerajaan Aceh di Sumatera Utara sudah sangat menurun, tetapi
kedaulatannya masih diakui oleh negara-negara Barat. Traktat London 1824
menjamin kemerdekaanya. Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatangani kontrak
antara Aceh dan pemerintahan Hindia Belanda yang berisi kebebasan perdagangan.
Kontrak itu memberi kedudukan kepada Belanda disana diperkuat oleh Traktat Siak
yang ditandatangani pada tahun itu juga. Sultan Aceh menentang isi Traktat
tersebut karena bertentangan dengan hegemoni Aceh. Dalam pertempuran antara
Aceh dan Belanda setelah itu, Deli, Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan
Belanda.
Setelah Terusan Suez dibuka,
palabuhan Aceh menjadi sangat strategis, karena berada dalam urat nadi
pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme memuncak
dan negara-negara Barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru. Kondisi ini
mendesak Belanda dan Inggris untuk melakukan perundingan. Pihak Belanda diberi
kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh, sedangkan Inggris memperoleh
kebebasan berdagang di daerah Siak. Traktat ini jelas memberi peluang kepada
Belanda utuk meneruskan agresinya.
Itulah awal dari Perang Aceh yang
menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat, karena seluruh
rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang Aceh dipersenjatai
oleh ideologi perang Sabil sepanjang berlangsungnya perang yang jelas
mempersulit Belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda
mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil. Dalam serangan pertama itu,
masjid di serang dan dapat diduduki tentara Belanda, tetapi segera dapat
direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda
ditarik sementara untuk menunggu bala bantuan dari Batavia.
Bulan November tahun itu juga,
Belanda mengirim ekspedisi kedua dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali
ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan keraton, karena sultan dan
seluruh penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan
semangat juang rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874
Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera dan para pengikutnya mengungsi
lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak ditanggapi
oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai setrategi menunggu dan menjalankan
sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan
mengamankan lembah sungai Aceh dan Aceh Besar. Mereka mendirikan
benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Gerakan perlawanan masih terus
berlangsung, walaupun pengganti Sultan belum ditunjuk dan keraton telah
diduduki Belanda. Perlawanan masih berpusat dikeluarga sultan, karena putra
mahkota, Muhammad Daud, tetap berperan sebagai pusat dan pimpinan perang. Dan
dia baru dinobatkan sebagai sultan tahun 1884.
Setelah sistem pasifikasi ternyata
gagal, Belanda menerapkan sistem konsentrasi, Kotaraja sebagai pusatnya,
dikelilingi oleh benteng-benteng. Bagian luar hutan dan semak belukar di tebang
sehingga terdapat tanah lapang selebar 1 km. Akan tetapi, sistem ini justru
memberi peluan kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya. Serangan
mereka sampai kedalam kota dan banyak pihak Belanda yang terbunuh.
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff
berusaha mendekati kaum bangsawan atau ulebalang, karena mereka dan para
pedagang dipandangnya sebagai pemberi dana bagi pejuang. Dengan taktik ini,
Teuku Umar kemudian berpihak kepada Belanda dan atas bantuannya Belanda
berhasil menundukkan Mukim XXII, XXV, XXVI. Belanda menaruh kepercayaan besar
kepadanya. Akan tetapi, ia segera membelot pada tahun 1896 setelah mendapat
peralatan perang yang cukup lengkap. Dengan demikian, perlawanan kembali
bergolak di seluruh Aceh Besar.
E. POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
Indonesia merupakan negeri
berpenduduk mayoritas muslim. Agama islam secara terus menerus menyadarkan
pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkraman pemerintah
kafir. Perlawanan raja-raja islam terhadap pemerintahan kolonial bagai tidak
pernah berhenti. Padam di suatu tempat muncul ditempat lain. Belanda menyadari
bahwa perlawanan itu diinspirasi oleh ajaran islam.
Oleh karena itu, agama islam
dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring dengan itu, disana juga
diselenggarakan indologie, ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk
Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di
Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa yang dikenal dengan ”Politik
Islam”, Tokoh utama utama dan peletak dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje.
Dia berada di Indonesia antara tahun 1889-1906.
Dalam rangkah membendung pengaruh
islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia,
terutama untuk kalangan bangsawan. Mereka harus ditarik kearah westernisasi.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje memang mendambakan kesatuan Indonesia dan
Belanda dalam suatu ikatan Pax-Neerlan-dica. Oleh karena itu, dalam lembaga
pendidikan Belanda tersebut, bangsa Indonesia harus dituntun untuk bisa
berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pendidikan Barat adalah alat
yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di
Indonesia.
Analisa Snouck Hurgronje tentang
potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik,
tidak sejalan dengan perkembangan situasi, terutama dua puluh tahun terakhir
kekuasaan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, peranan politik Kantoor
voor Inlandsche Zaken semakin menghilan pada tahun-tahun terakhir, meskipun
wewenangnya mengawasi gerakan politik lebih dipertegas sejak tahun 1931.
Kantoor ini memang harus menjamin kelangsungan pemerintah Hindia Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar