Rabu, 04 Januari 2017

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA




Diposkan oleh ni'amul huda di 19.10
A. SITUASI DAN KONDISI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA KETIKA BELANDA DATANG
Keadaan kerajaan-an Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisas baru saja berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga antara Aceh, Portugis, dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para pedagang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antarkepulauan Nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 menjadi daerah vassal dari Aceh.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNhlKrVfOfaRIivrEE-ujccqpwABqsjpFC96zKb88D68W50rlElvxW4BvD4Lg8tYUODOsopnDG-XyZE2sougEzzkm-Mx_tEn4et23MkM1Zfa4WUI1awmECPJOeodM5LMluDYXiRiib8N0/s1600/kerajaan.png

Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatera bagian utara, Aceh berusaha menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai Idragiri, Kampar, dan Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah Islam, juga merupakan pelabuhan transit, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu.
Pada saat itu, Aceh emang sedang berada pada masa kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat pada usia 46 tahun pada 27 Desember 1636. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Setelah ia meninggal dunia, 15 Pebruari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Ketika itulah, Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah yang dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Meski sudah jauh menurun, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Minangkabau, Jambim Riau, dan Palembang tidak demikian.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, di antaranya adalah:
1.  Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris,
2. Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa,
3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur sudah berada dibawah kekuasaan Mataram yang ketika itu dibawah Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Meskipun ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama dan pengekspor beras, posisi Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Banten juga menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampung, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser.
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filiphina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian Barat.
Faktor-faktor historis lain yang mempercepat perkembangan pelabuhan Makassar:
1. Pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadiya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar.
2. Arus migrasi melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu.
3. Blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur.
4. Merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan ungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar.
5. Usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.

B. LATAR BELAKANG KEDATANGAN BELANDA, VOC, HINDIA BELANDA
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya. Perseroan Amsterdam mengirirm armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.
Angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbgai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan Van der Hagen dan angkatan keempat tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak persoalan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten-General Republik dengan suatu piagam yang menberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mecapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual-beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng Portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam. Sistem monopoli itu bertentangan dengan sistem tradisional yang dianut masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan makin memperkuat sikap permusuhan pribumi tersebut. Namun, secara politis VOC dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.
Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan di bubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai faktor.
1. Pembukuan yang curang
2. Pegawai yang tidak cakap dan korup
3. Hutang besar
4. Sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan atau hasil tanaman maupun penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke 18 secara resmi Indonesia pindah ketangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942 dan hanya diinterupsi pemerintahan Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816.
Sampai pada tahun 1811, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816, Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang.
Pada tahun 1830, pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan Suez dibuka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia. Perusahaan dan modal swasta dibuka seluas-luasnya. Meskipun dalam politik liberal itu kepentingan dan hak pribumi mendapat perhatian, tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berari. Baru pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi.

C. PENETRASI POLITIK BELANDA
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai wilayah, mengadakan perjanjian poitik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC, melakukan politik ekspansi. Dengan kata lain, abad ke 17 dan 18 adalah periode ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke 18, ekspansi wilayah ini berhasil di Jawa.
Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jaringan perdagangan di Indonesia bagian Barat, kedudukan Malaka, Johor dan Banten adalah sangat penting. Mereka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah sebagai basis kegiatannya.
Sultan Agung sejak semula sudah mengira bahwa Belanda adalah ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram dua kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat II(1677-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati Madura, dan pemberontakan Kajoran.
Meluasnya pengaruh Belanda dalam pemerintahan Mataram, dipercepat oleh konflik intern dalam istana. Karena konflik itulah, Mataram pada tahun 1755 pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, tahun 1757 muncul kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 kekuasaan Pakualam.
Sementara itu, hubungan Banten dengan Belanda menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua belah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang diangkat menjadi sultan Muda tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang memusuhi Belanda. Ia ingin mengadakan hubungan baik dengan orang Barat ini. Pada 27 Pebruari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Surosowan, istana Sultan Haji, yang ketika itu sudah menjadi pimpinan kerajaan Banten. Serangan ini dapat dipatahkan berkat bantuan Belanda, tetapi dengan demikian, Banten praktis berada di bawah kekuasaan Belanda.
Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali memang justru “diundang” oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di Indonesia.
Di Sulawesi, Gowa-Tallo melakukan ekspedisi ke daerah-daerah sekitar terutama dalam rangka menghadapi ekspansi Belanda yang mulai besar di sana. Gowa-Tallo mengirim ekspedisi ke Buton, Solor, Sumbawa, Ende, Bima tahun 1626, dan pada tahun berikutya ke Limboto yang dianggap sebagai daerah kekuasaan Ternate. Ke Buton, daerah yang selalu menjadi rebutan antara Makassar dan Ternate, dikirim kembali eksspedisi pada tahun 1632-1633. Ternate berusaha mencari bantuan VOC untuk menahan serangan Makassar. Belanda memang berkepentingan untuk menaklukkan Makassar (Gowa-Tallo) karena kerajaan ini menjadi rintangan baginya dalam menerapkan politik monopoli.
Sementara itu, sebagai dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone, terus terlibat konflik, meskipun sewaktu-waktu terhenti. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanuddin, mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap bone dan mengarahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makassar.
Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu dibawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan  orang-orang Bugis itu, persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam peperangan melawan Makassar.
Dalam peperangan itu, Makassar mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir setelah diadakan genjatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian perjanjian Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama menekankan prinsip hidup berdampingan secara serasi dalam suasana perdamaian.
Pada waktu genjatan senjata berlangsung, sebelum perjanjian disepakati, antara Speelman dari pihak Belanda dan Sultan Hasanuddin diadakan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan persetujuan. Tuntutan Speelman terdiri dari 26 butir, yang semuanya berisi kepentingan VOC dalam bidang politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian, monopoli yang merupakan tujuan VOC di Indonesia tercapai, baik di Makassar maupun di Indonesia bagian timur.
Penetrasi politik Belanda juga terjadi di kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini pada awal abad ke 17. Mereka dengan susah payah mendapatkan izin untuk berdagang. Karena dipandang merugikan pedagang Banjar sendiri, para pedagang Belanda ini akhirnya diusir dari sana. Posisi mereka kemudian diisi oleh para pedagang asal inggris. Namun yang terakhir ini pun diusir dari kerajaan itu dengan alasan yang sama.
Setelah pedagang Inggris meninggalkan Barjarmasin pada dasawarsa ketiga abad ke 18, Banjar didatangi oleh pedagang Belanda. Mereka mendekati Sultah Tahlilillah dan pada tahun 1734, mereka berhasil mengadakan perjanjian dengan mendapatkan fasilitas perdagangan di kerajaan itu. 
Kesempatan untuk memperbesar pengaruh dalam kerajaan Banjar baru mereka peroleh ketika terjadi konflik antara Pangeran Amir dan Pangeran Nata. Pangeran Amir yang lebih disenangi oleh rakyat tersingkir dalam memperebutkan tahta karena Pangeran Nata mendapat bantuan Belanda. Pangeran Amir ditangkap dan dibuang ke Ceylon.
Sejak kemenangan Pangeran Nata, sedikit demi sedikit kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Setiap kali perjanjian antara Belanda dan sultan, selalu wilayah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Hal ini berlangsung terus dan hanya diselingi oleh Inggris antara tahun 1811 sampai 1816 M. Seluruh wilayah kesultanan Banjarmasin, kecuali daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin, sudah masuk dalam kekuasaan Belanda. Ini berarti secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik. Ini pula yang menjadi latar belakang terjadinya perang Banjarmasin yang dipimpin oleh Pangeran Antasari.
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan berbagai strategi sejak tahun 1663. Panglima Aceh yang berkedudukan di Minangkabau diberi kredit dalam transaksinya. VOC menuntuk jabatan wali negara ditempatkan disana dan secara de facto berarti kekuasaan ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat VOC mengadakan kontrak dengan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik antara Minangkabau dan Aceh terputus.
Dengan demikian, tidak berarti usaha mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak ada, bahkan sangat banyak bagai tak pernah putus-putusnya. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karenan beberapa sebab, diantaranya:
1. Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern, sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional,
2. Penduduk Indonesia sangat tergantung pada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh, perang atau perlawanan akan terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda,
3. Tidak ada kesatuan kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda,
4. Belanda berhasil menerapkan politik adu domba,
5. Dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.

D. PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAHAN BELANDA
1. Perang Paderi di Minangkabau
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung, tetapi raja hanya berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya da ditangan para penghulu aat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke 16, tetapi proses sinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam dimulai oleh Tuanku Koto Tuo dengan pendekatan damai. Tetapi pendekatan itu tidak diterima oleh murid-muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.
Kelompok radikal itu membentuk semacam “Dewan Revolusi” yang dikenal dengan nama “Harimau nan Salapan” (Delapan Harimau yang berani menantang kemaksiatan).
Pada mulanya, gerakan dikenal dengan nama Paderi ini dilakukan melalui ceramah di surau dan masjid. Konflik terbuka dengan golongan penantang baru terjadi ketika golongan adat mengadakan pesta menyabung ayam di kampung Batabuh. Pesta maksiat itu diperangi oleh golongan Paderi. Sejak itulah perang antara kaum Paderi melawan kaum adat mulai berlangsung.
Sebenarnya banyak kaum adat yang mendukung dan berpihak kepada kaum Paderi. Tantangan keras yang dihadapi Paderi berasal dari keturunan raja-raja. Inilah hal yang menghambat gerakan tersebut, mungkin karena alasan kuatir kehilangan pengaruh dan kekuasaan dikalangan rakyat. Golongan terakhir ini kemudian meminta bantuan dari pihak pemerintahan Hindia Belanda yang disambut dengan senang hati. Sejak itulah, bermula perang antara golongan Paderi yang didukung oleh rakyat, melawan Pasukan Belanda yang didukung persenjataan modern dan personil terlatih.
Dalam peperangan pertama, Belanda banyak mendapat kesulitan, Belanda mencari cara lain dan akhirnya berhasil membujuk kaum Paderi untuk berdamai pada 22 Januari 1824. Tetapi Belanda menghianatinya. Dalam peperangan selanjutnya Belanda juga mendapatkan kesulitan, sehingga pada 15 September 1825 kembali diadakan perjanjian damai. Perdamaian ini dimaksudkan oleh Belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan di Jawa menghadapi Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro selesai, pengkhianatan kembali dilakukan oleh Belanda. Lagi-lagi Belanda mengalami kerugian yang memaksa mereka melakukan pengumuman damai yang di kenal dengan Plakat Panjang, 23 Oktober 1833.
Kaum Paderi akhirnya dapat dikalahkan Belanda dengan tipu muslihat dan kelicikan. Walaupun Paderi kalah di tangan Belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama, di samping adat, terjadi asimilasi doktrin agama ke dalam adat Minangkabau sebagai pola perilaku ideal. Adat Islamiah yang dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara adat yang bertentangan dengan Islam dipandang sebagai adat jahiliyah yang terlarang.
2. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Perang ini disebabkan karena adanya faktor ekonomi yang menimbulkan kegelisahan rakyat, peraturan pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah oleh penguasa Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau pembayaran lain yang telah dilakukan. Banyak kaum ningrat yang terkena peraturan itu dan mengalami kesulitan besar, termasuk didalamnya Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra tertua Hamengku Buwono III, yang dijadikan ayahnya untuk menduduki tahta kerajaan sepeninggalnya, tetapi ia menolak. Setelah Hamengku Buwono meninggal tahun 1814, yang naik tahta adalah adik Pangeran Diponegoro, Jarot, yang bergelar Hamengku Buwono IV, seorang sultan yang bergaya hidup serba mewah dan suka kepada hal-hal baru di keraton.
Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah Hindia Belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik Pangeran Diponegoro dan harus membongkar makam keramat. Patok-patok yang dipasang oleh pihak Diponegoro dicabut pemerintah Belanda. Ia menuntut agar rencana pembuatan jalan itu dialihkan dan Patih Danurejo IV diganti. Pihak Belanda ingin mengadakan perundingan dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi adalah utusan dari pihak keraton yang memilih beralih pihak kepada Pangeran Diponegoro. Usaha pemerintah untuk menangkap mereka berdua di gagalkan oleh rakyat di Tegalrejo, sementara Pangeran Diponegoro dipindah ke Selarong untuk memimpin perlawanan.
Dalam perang, Pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya. Peperangan segera menyebar luas ke mana-mana. Kota Yogya dikepung sehingga penduduk Belanda merasa terancam. Untuk memperkuat semangat, Pangeran Diponegoro di nobatkan sebagai pemimpin tertinggi di Jawa dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Karibil Mukminin Kalifatullah ing Tanah Jawa.
Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban berjatuhan dari pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan mendirikan benteng stelsel untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri Belanda sekitar tiga ribu orang.
Pihak Pangeran Dionegoro mulai terdesak sedikit demi sedikit. Pada tahun 1827, Kiai Maja bersedia berunding dan mengadakan genjatan senjata dengan Belanda. Hal ini menjadi pukulan tersendiri bagi Pangeran Diponegoro. Tahun berikutnya Kiai Maja angkat senjata lagi, tetapi beliau tertangkap kemudian dibuang ke Menado.
Tahun 1829, Pangeran Diponegoro menyatakan sedia berunding tanpa melepaskan tuntutannya untuk diakui sebagai panatagama. Pada tahun itu juga, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Prawiradirja menyerah. Dalam perundingan itu, Pangeran Diponegoro lagi-lagi menuntut agar diberi kebebasan untuk mendirikan negara yang merdeka bersendikan Islam. Akhirnya, ia ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian dibuang ke Menado pada 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Ujung Pandang, Makassar. Di pengasingan terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.
3. Perang Banjarmasin
Perang Banjarmasin dengan Pangeran Antasari sebagai pahlawan yang terkemuka dilatarbelakangi oleh campur tangan Belanda dalam menentukan siapa yang akan menjadi raja muda pengganti sultan, apabila sultan berkuasa wafat. Sultan Adam Alwasik Billah sudah tua. Di sampingnya harus ada wakil dengan gelar sultan muda.
Pengangkatan Pangeran Tamjid menjadi sultan menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya. Akibatnya, timbul kericuhan di dalam wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat kericuhan itu, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar.
Pengambilalihan kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat yang semula diarahkan kepada sultan Tamjidillah, gelar pangeran Tamjid setelah menjadi sultan, kepada pemerintah kolonial Belanda. Ketika itulah Perang Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah yang dipimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3000 orang yang menyerbu pos-pos Belanda. Dia didukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat sendiri berbelot kepada Pangeran Antasari untuk bersama-samanya berperang melawan Belanda.
Dalam pertempuran banyak pasukan Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang dilakukan Pangeran Antasari sangat menyulitkan pasukan Belanda. Naun akhirnya, beberapa pembesar kerajaan yang melawan Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat sendiri tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas dan merdeka, pengganti kerajaan Banjarmasin yang dirampas oleh Belanda itu. Ketika di umumkan pengangkatan raja baru, Pangeran Antasari sendiri bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara ditetapkan di Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh belas bulan setelah proklamasi, Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada tanggal 11 Oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Sebagai raja dia digantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh sebagai syahid dalam medan pertempuran.
4. Perang Aceh
Pada wal abad ke 19, sebenarnya hegemoni kerajaan Aceh di Sumatera Utara sudah sangat menurun, tetapi kedaulatannya masih diakui oleh negara-negara Barat. Traktat London 1824 menjamin kemerdekaanya. Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatangani kontrak antara Aceh dan pemerintahan Hindia Belanda yang berisi kebebasan perdagangan. Kontrak itu memberi kedudukan kepada Belanda disana diperkuat oleh Traktat Siak yang ditandatangani pada tahun itu juga. Sultan Aceh menentang isi Traktat tersebut karena bertentangan dengan hegemoni Aceh. Dalam pertempuran antara Aceh dan Belanda setelah itu, Deli, Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda.
Setelah Terusan Suez dibuka, palabuhan Aceh menjadi sangat strategis, karena berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme memuncak dan negara-negara Barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru. Kondisi ini mendesak Belanda dan Inggris untuk melakukan perundingan. Pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh, sedangkan Inggris memperoleh kebebasan berdagang di daerah Siak. Traktat ini jelas memberi peluang kepada Belanda utuk meneruskan agresinya.
Itulah awal dari Perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat, karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang Aceh dipersenjatai oleh ideologi perang Sabil sepanjang berlangsungnya perang yang jelas mempersulit Belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil. Dalam serangan pertama itu, masjid di serang dan dapat diduduki tentara Belanda, tetapi segera dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik sementara untuk menunggu bala bantuan dari Batavia.
Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirim ekspedisi kedua dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan keraton, karena sultan dan seluruh penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan semangat juang rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874 Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera dan para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai setrategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan mengamankan lembah sungai Aceh dan Aceh Besar. Mereka mendirikan benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Gerakan perlawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti Sultan belum ditunjuk dan keraton telah diduduki Belanda. Perlawanan masih berpusat dikeluarga sultan, karena putra mahkota, Muhammad Daud, tetap berperan sebagai pusat dan pimpinan perang. Dan dia baru dinobatkan sebagai sultan tahun 1884.
Setelah sistem pasifikasi ternyata gagal, Belanda menerapkan sistem konsentrasi, Kotaraja sebagai pusatnya, dikelilingi oleh benteng-benteng. Bagian luar hutan dan semak belukar di tebang sehingga terdapat tanah lapang selebar 1 km. Akan tetapi, sistem ini justru memberi peluan kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya. Serangan mereka sampai kedalam kota dan banyak pihak Belanda yang terbunuh.
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha mendekati kaum bangsawan atau ulebalang, karena mereka dan para pedagang dipandangnya sebagai pemberi dana bagi pejuang. Dengan taktik ini, Teuku Umar kemudian berpihak kepada Belanda dan atas bantuannya Belanda berhasil menundukkan Mukim XXII, XXV, XXVI. Belanda menaruh kepercayaan besar kepadanya. Akan tetapi, ia segera membelot pada tahun 1896 setelah mendapat peralatan perang yang cukup lengkap. Dengan demikian, perlawanan kembali bergolak di seluruh Aceh Besar.

E. POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Agama islam secara terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkraman pemerintah kafir. Perlawanan raja-raja islam terhadap pemerintahan kolonial bagai tidak pernah berhenti. Padam di suatu tempat muncul ditempat lain. Belanda menyadari bahwa perlawanan itu diinspirasi oleh ajaran islam.
Oleh karena itu, agama islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring dengan itu, disana juga diselenggarakan indologie, ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa yang dikenal dengan ”Politik Islam”, Tokoh utama utama dan peletak dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia antara tahun 1889-1906.
Dalam rangkah membendung pengaruh islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan bangsawan. Mereka harus ditarik kearah westernisasi. Dalam pandangan Snouck Hurgronje memang mendambakan kesatuan Indonesia dan Belanda dalam suatu ikatan Pax-Neerlan-dica. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan Belanda tersebut, bangsa Indonesia harus dituntun untuk bisa berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia.
Analisa Snouck Hurgronje tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan perkembangan situasi, terutama dua puluh tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu,  peranan politik Kantoor voor Inlandsche Zaken semakin menghilan pada tahun-tahun terakhir, meskipun wewenangnya mengawasi gerakan politik lebih dipertegas sejak tahun 1931. Kantoor ini memang harus menjamin kelangsungan pemerintah Hindia Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar