Kamis, 05 Januari 2017



BAB 1

Makna Ulûmul Qur’an
K
ata Ulûmul Qur’an tersusun dari dua kata. Ulûmul Qur’an memiliki posisi dan kedudukan yang sangat penting karena ia menjadi pintu gerbang bagi pemahaman kandungan Al-Qur’an yang lebih baik. Dengan perkataan lain, langkah awal yang harus dilakukan untuk dapat memahami Al-Qur’an dengan utuh dan komprehensif adalah memahami Ulûmul Qur’an lebih dulu.
1. Makna Ulûm
Kata ‘ulûm secara etimologi, merupakan bentuk jamak dari kata ‘ilm menurut bahasa, kata ‘ilm adalah bentuk masdar yang maknanya sinonim dengan paham dan makrifat. Ilmu adalah upaya menemukan pengetahuan-pengetahuan tentang sesuatu, atau bakat (talenta) yang melekat pada diri seseorang yang dengannya ia dapat memperoleh pengetahuan atau bakat melakukan reproduksi pengetahuan yang telah dihasilkannya.
2. Makna Al-Qur’an
Menurut bahasa, kata Al-Qur’an merupakan isim mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira’ah (bacaan). Kata Al-Qur’an dengan arti qira’ah ini digunakan Allah dalam ayat 17-18 surat Al-Qiyamah.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.
Tentang makna asal-usul Al-Qur’an setidak-tidaknya ada 5 pendapat ulama yang menerangkan pengertian Al-Qur’an menurut bahasa.
1.  Al-Lihyani (w.335 H.) dan sebagian besar ulama lainnya mengatakan bahwa kata Al-Qur’an merupakan isim mashdar yang semakna dengan lafal qira’atan. Kata ini mengikuti wazan fu’lana yang diambil dari lafaz qara’a-yaqra’u-qira’atan, seperti lafaz syakara-syukrana dan ghafar-ghufrana dengan arti berkumpul atau menjadi satu. Dikatakan demikian karena huruf-huruf dan lafal-lafal yang ada dalam kalimat Al-Qur’an terkumpul menjadi satu dalam bentuk mushaf. Jadi kata Qur’an merupakan bentuk mahmuz yang hamzahnya asli dan “nun” nya zaidah (tambahan).
2.      Az-Zuzaz (w. 311 H) mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an itu berupa isim sifat yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari kata Al-Qar’u, artinya berkumpul. Dikatakan demikian karena semua ayat, surat, hukum-hukum (al-ahkam), dan kisah-kisah (al-qashâsh) Al-Qur’an itu berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan intisari semua kita suci yang pernah diturunkan Allah, seluruh ilmu dan pengetahuan.
3.      Abu Musa al-Asy’ari (w. 324 H) mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an itu adalah isim musytaq yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari kata al-qarnu seperti pada kalimat qarantu asy-sya’ia bis sya’i, “saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Jadi menurut pendapat ini, lafal Al-Qur’an bukanlah isim mahmuz sehingga “nun” nya aseli, sedangkan hamzah nya zaidah.
4.      Al-Fara’ (w. 207 H) mengatakan bahwa kata Al-Qur’an itu berupa isim musytaq yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari lafal al-Qara’in bentuk jamak dari kata qarinah yang berarti bukti. Dinamakan Al-Qur’an karena sebagian isinya membuktikn kebenaran yang lainnya. Jadi menurut pendapat ini lafal Al-Qur’an sama dengan pendapat Abu Musa Asy-ari.
5.      Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) berpendirian bahwa lafal alquran itu bukanlah isim musytaq yang diambil dari kata lainnya, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakan sudah berupa isim alam (nama), yakni dari nama kitab allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan selalu disertai alif-lam atau “al”. Jadi, Alquran bukanlah isim mahmuz, dan bukan pula isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari “al” (alif-lam).
Berdasarkan lima pendapat tersebut, tampaknya pendapat pertama lebih tepat karena pendapat ini sangat relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan Ilmu Sharaf. Kata Alquran merupakan bentuk pengucapan masdhar, tetapi yang dibentuk dari kata maf’ul (yang dibaca). Pengertian ini, lebih sesuai dengan pnegtahuan bahasa dan dengan pelaturan-pelaruran istiqaq (pengambilan kata). Pendapat inilah yang dipilih al-Lihyani dan sebagian besar ulama tafsir.
Selain bernama Alquran, kitab ini juga bernama al-furqan, bentuk isim mashdar yang mengikuti bentuk mazan fu-lan dari lafal afaraqa yang artinya pemisal (fa’il). Disebut demikian karena Alquran berfungsi sebagai pemisalh antara yang hak-benar dan batil-rusak. Disebut sebagai “yang dipisahkan” (maf”ul) karena sebagian isi Alquran diturunkan secara terpisah dari sebagian lainnya, atau karena Alquran dipisahkan dalam surat-surat atau ayat-ayatnya.
Sebagian musafir berpendapat bahwa semua nama kitab Allah tersebut  kembali kepada dua nama itu seperti juga nama-nama Allah yang banyak itu kembali kepada nama al-Jalal wal jamal. Nama lainnya adala al-Kitab adz-Dzikr, dan at-Tanzil. Masing-masing nama itu diambil dari ayat yang menyatakan bahwa “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya” (QS al-Baqarah, 2:2). “Dan, Alquran ini adalah kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang kami turunkan” (QS al-Anbiya, 21:50). “Ia adalah wahyu yang Tuhan Semesta Alam” (QS al-Haqqah, :43).
Diantara mereka ada yang mendefinisikan Al-Qur’an dengan sangat singkat dan padat, yakni hanya menyebutkan satu atau dua identitasnya.
“Alquran adalah kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”
“Alquran adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dari awal surah Al-Fatihah sampai surah an-Nas.”
“Alquran adalah ilmu kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah.”
Secara terminologi, mengisyaratkan adanya bermacam-macam ilmu yang bekaitan erat dengan alquran. Ilmu-ilmu dikaitkan dan disandarkan dengna alquran, antara lain: ilmu tafsir, qira,at, ilmu rasmil quran, ilmu i’jazil quran, ilmu asbabun an-nuzul, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu i’rabbil quran, ilmu gharibil quran, dan bahasa arab.
Objek Studi Ulumul Quran
                Objek ulumul quran ialah alquran dan seluruh segi yang tercakup didalam kitab tersebut. Ulama berbeda pendapat tentang sejauh mana pebahasan ulumul quran ini. Jumhur-ulama berpendapat bahwa objek pembahasan ulumul quran yang mencakup berbagai segi dari alquran itu berkisar diantara ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama (ushuluddin) karena yang dibahas dalam ulumul quran ialah ilmu-ilmu yang mebicarakan Al-qur’an sebagai i’jaz dan hidayah.
                Imam al-Bulqini dalam kitab Mawaqi’ul ‘ulum min Mawaqi’in Nujum membahas setidaknya lima puluh macam ilmu al-quran. Imam jalaluddin as-Sayuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Quran membahas delapan puluh macam cabang ilmu sedangkan dalam kitab at-Tahbir fi Ulumit Tafsir mebicarakan  seratus dua cabang ilmu. Imam badrodin az-Zakarsyi dalam kitab al-Burhan fi ulumil quran yang terdiri dari empat jilid itu membahas seratus enam puluh cabang ilmu. Bahkan syeikh abu bakar ibnu arabi dalam Kitab qananut Ta’wil mengatakan bahwa ulumul quran memiliki 77.450 cabang ilmu empat kali lipat dari kalimat yang ada dalam alquran. Setiap kalimat memiliki arti lahir (eksoteris), batin (esoteris), had (tertentu) dan matha (yang diharapkan).
                Sebagian ulama lainnya antara lainnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 811 H) berpendapat bahwa yang termasuk Ulumul Qur’an beberapa pengetahuan umum seperti ilmu alam, ilmu ukur, ilmu kedokteran dan ilmu kimia. Jadi, Ulumul Qur’an tidak hanya mencakup ilmu agama (Islam) dan bahasa Arab.
Metoda Studi Ulumul Qur’an
                Pendekatan yang digunakan dalam membahas Ulumul Qur’an adalah metode deskriptif, yaitu memberi penjelasan dan keterangan yang mendalam mengenai bagian-bagian Alquran yang memuat aspek-aspek Ulumul Qur’an. Misalnya, orang yang berniat membahas ilmu majazil qur’an, ia harus mengambil lafal-lafal Alqur’an yang berbentuk majaz, lalu menjelaskannya dengan panjang lebar tentang bentuk-bentuk lafal majaz yang ada dan segala macamnya. Demikian pula orang yang berniat menulis ilmu gharibil qur’an, ia harus menyebut satu persatu lafal gharib (asing atau samar) dalam Alquran, lalu menjelaskan hal-ihwal keghariban secara lebih luas dan mendalam. Seperti halnya orang yang membicarakan seluruh matsal (perumpamaan) yang dibuat Allah dalam Alquran, ia pun menjelaskan tentang berbagai aspek perumpamaan dan macam-macamnya dengan sangat rinci dan mendetail.
                Pertumbuhan cabang-cabang Ulumul Quran terjadi sejak abad dua hingga tujuh hijriah. Beberapa pembahasan dari berbagai kitab Ulumul Quran bi Idhafi kemudian di integrasi menjadi satu ilmu pembahasan yang merupakan kumpulan dari seluruh cabang ilmu tentang Alquran yang disebut Ulumul Quran yang sudah sistematis.
                Ilmu yang tumbuh lebih awal adalah cabang Ulumul Quran bi Idhafi, yang masih berdiri sendiri. Cabang ilmu nasikh wal mansukh  misalnya, hanya membicarakan Alquran khusus dalam soal nasukh wal mansukh itu. Ilmu muhkam wal mutasyabih pun hanya membahas Alquran khusus dari segi kemuhkaman atau kemusyabihan lafal-lafal Alquran. Setelah cabang-cabang ilmu diintegrasikan menjad satu, timbul kemudian Ulumul Quran yang mencakup seluruh segi Alquran. Karena itu, selain memakai metode deduksi, juga metode komprasi, yaitu membandingkan segi yang satu dengan yang lainnya, riwayat sebab-musabab turun ayat yang satu dan riwayat yang lainnya, dan pendapat ulama yang satu dan yang lainnya.
Tujuan dan Kegunaan Ulumul Quran
                Melaui ulumul quran, kita akan bisa mengetahui cara wahyu Alquran turun dan diterima oleh Nabi Muhammad Saw, cara beliau menerima dan membacanya, cara mengajarkannya kepada para sahabat dan cara menerangkan tafsiran-tafsiran ayat kepada mereka.
Ulumul Quran dijadikan sebagai alat bantu yang paling utama dalam upaya membaca lafal ayat-ayat Alquran, memahami isi kandungannya, menghayati, dan mengamalkan aturan dan hukum ajarannya. Dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, Syeikh Ali ash-Shabuni menerangkan bahwa tujuan utama mempelajari ulumul Qur’an adalah agar kaum muslim dapat memahami maksud dan konten kandungan kalam Allah sesuai dengan keterangan dan penjelasan Nabi Muhammad Saw, tafsiran-tafsiran sahabat dan tabi’in terhadap ayat-ayat Alquran, serta dalam menerangkan syarat-syarat mufasir. Dari kandungan Aquran pula kita akan mendapati larangan bagi seseorang untuk mempelajari Alquran dan ilmunya dengan tujuan duniawi yang oleh Alquran sendiri disebut sebagai li yastaru tsamanan qalilan, menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa orang yang hanya memperoleh keuntungan duniawi tidak akan bahagia kelak di akherat karena tidak akan dapat mencium baunya surga, apalagi bisa masuk kedalamnya. “Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya hanya karena Allah, tetapi hanya untuk memperoleh tujuan kedunian saja, ia tidak akan bisa mencium wangi-wangian surga pada hari Kiamat kelak.”
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qurân
1.             Masa Nabi dan Sahabat
                Nabi Muhammad Saw dan para sahabat mengetahui benar makna Alquran dan ilmu-ilmunya seperti pengetahuan ulama sesudahnya. Bahkan, makna dan ilmu Alquran itu pada masa Rasulullah Saw dan shabatnya belum tertulis atau dibukukan, serta belum tersusun dalam satu kitab karena mereka berpandangan tidak merasa perlu untuk menulis dan mebukukan ilmu Alquran dalam satu kitab.
                Tegasnya, para sahabat tidak atau belum membukukan Ulumul Quran karena beberapa alasan.
1.       Mereka merupakan orang Arab murni yang memiliki banyak keistimewaan antara lain, memilki daya hafalan yang sangat kuat, berontak cerdas dan berdaya tangkap sangat tajam.
2.       Memiliki kemampuan berbahasa yang sangat luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi maupun sajak.
3.       Kebanyakan dari mereka dari orang-orang ummi, tetapi cerdas.
4.       Rasulullah Saw, masih hidup sehingga ketika mengalami kesulitan masalah dan pertanyaan bisa diajukan kepada Rasulullah Saw.
5.       Belum adanya alat-alat tulis yang memadai dan larangan Rasulullah Saw untuk menulis segala sesuatu selain ayat Alquran.
2.             Perintisan Dasar Ulumul Quran dan Pembukuan
Setelah periode perama berlalu, datanglah masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan. Wilayah kekuasaan Islam yang dibangun para khalifah pun berkembang semakin luas. Orang arab murni mulai berinteraksi dengan orang-orang asing yang telah mngenal bahasa Arab. Proses percampuran bangsa dan akulturasi budaya inilah yang menimbulkan banyak ke khawatiran, seperti ke khawatiran lunturnya keistimewaan orang Arab murni. Khalifah Ustman bin Affan berpendapat bahwa jika tidak segera dilakukan pembukuan Alquran yang dikumpulkan atau disatukan dalam satu catatan ayat-ayat Alquran (mushaf), timbulnya kerusakan yang lebih besar dipermukaan bumi sulit dihindari. Atas dasar itu Khalifah Usman bin Affan memerintahkan kepada muslim yang pernah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar dikumpulkan kembali pada satu mushaf yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Dari Mushaf inilah salinan dalam beberapa naskah dibuat untuk kemudian dikirimkan ke semua wilayah dan negara yang berada dibawah kekuasaan Islam. Khalifah Utsman bin Affan juga memerintahkan untuk membakar Mushaf yang ada selain Mushaf Utsmani, dan melarang berpedoman kepada Mushaf selain Mushaf Utsmani.
Dengan usaha kodifikasi ini, Khalifah Utsman bin Affan dianggap sebagai peletak dasar pertaman tentang pembukuan Alquran yang dinamakan ilm rasm al-Quran atau ilmu rasmil utsmani. Beralih pada kekuasaan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib sering mendengar sesuatu ucapan yang bisa menimbulkan kerusakan terhadap bahasa Arab, untuk itu beliau segera memerintahkan Abul Aswad ad-Duali untuk membuat sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab dari upaya orang-orang jahil.
Berakhirnya masa Khalifah Ali bin Abi Thalib berarti berakhir pula masa kejayaan Khulafa ar-Rasyidin dan datanglah masa pemerintahan yang berbentuk dinasti yang diawali Dinasti Umayah. Orang pertama yang bersemangat besar yang menyebar luaskan ilmu itu secara riwayat adalah Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Asy-ari dan Abdullah ibn Zubair.
3.             Pembukuan Tafsir Alquran
Setelah dasar-dasar Ulumul Quran dirintis satu persatu dan dikodifikasi menjadi referensi utama bagi umat Islam, datanglah masa penulisan dan pembukuan atau kodifikasi cabang-cabang Ulumul Quran.
Orang pertama yang dianggap berjasa dalam mengarang tafsir ialah Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) dan Waqi bi Jarrah (w. 197 H). Tafsir yang mereka tulis masih berupa koleksi pendapat para sahabat dan tabi’in yang sebagian besar belum dicetak sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang. Setelah mereka, barulah bermunculan mufasir kemudian seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) yang mengarang kitab Tafsir ath-Thabari bernama Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran.
Ulama masih tetap mempunyai semangat dan minat yang sangat besar terhdap tafsir Alquran dari dulu hingga sekarang. Terbukti dengan semakin banyaknya ditemukan koleksi karangan kitab-kitab tafsir, baik yang besar kecil bentuknya. Tetapi ada juga yang sangat memprihatinkan karena hanya di fokuskan pada hal-hal yang kurang relevan dengn syariat Islam. Diantara tafsir itu ada yang memakai metode Tafsir bil Matsur yang hanya memakai sumber-sumber penafsiran atsar, ada pula yang memakai metode Tafsir bir Ra’yi yang memakai sumber-sumber ra’yu (pemikiran atau intelektual pribadi) dan ada pula yang memakai metode campuran.
4.             Pembukuan Cabang Ulumul Quran
                Orang pertama yang mengarang cbang ilmu ini ialah Ali Ibn al-Madini (w. 234 H), guru dari Imam al-Bukhari, komplitor hadis yang sangat terkemuka yang kemudian diberi judul Shahih Bukhari. Beliau mengarang ilmu Asbabin Nuzul. Lalu, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w.224 H) mengarang kitab Nasikh wal Mansukh yang kemudian diikuti oleh M. Ayub adh-Dhiris (294 H) yang menulis ilmu al-Makki wal Madani dan Muhamaad bin Khallaf al-Marzuban (309 H) yang menulis al-Hawi fi Uluil Quran yang terdiri dari 27 juz. Keempat ulama tersebut termasuk ulama abad ketiga hijriah.
                Pesatnya perkembangan Ulumul Quran tersebut itu terus berlanjut hingga abad sembilan hijriah seiring dengan munculnya pengarang-pengarang ternama antara lain, Imam Jalaludin al-Bulqini (w. 824 H) yang menulis Mawaqi’ul Ulum Min Mawaqi’in Nujum. Imam Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji (872 H) yang mengarang Ulumul Quran yang belum tertandingi dan Imam Muhammad al-Buqa’i (885 H) yang menulis Nudhumud Durari fi Tsanasubil Ayati was Suwari.
                Hingga saat ini kitab al-Burhan karya Az-Zarkasyi dan al-Itqan karya as-Suyuthi masih dan selalu menjadi referensi para pakar Ulumul Quran dalam menulis, mengajar, dan mempelajari ilmu Alquran. Karena Imam as-Suyuthi wfat pada 911 H (tepatnya awal abad sepuluh hijriah), gerakan pendalaman dan penulisan Ulumul Quran pun mulai pudar dan akhirnya berhenti. Sepeninggal beliau sampai ratusan tahun atau berabad-abad kemudian tak seorang pun yang berhasil mengarang kitab yang terkait dengan Ulumul Quran hingga abad empat belas hijriah.
Ulumul Quran Yang Sistematis
                Tentang kapan ilmu Alquran yang sistematis itu lahir, dikalangan ulama terjadi beragam pendapat. Dr. Shubhi as-Shalih dalam Mabahits fi’ Ulumi Quran mengatakan bahwa istilah Ulmul Quran sudah ada sejak abad tiga hijriah, karena menurutnya pada akhir abadtiga itu sudah ada kitab yang berjudul al-Hawi fi Ulumil Quran yang ditulis oleh Imam Ibnu Marzuban (w. 309 H)
Jumhur ulama dan ahli sejarah Ulumul Quran berpendapat bahwa istilah Ulumul Quran sudah ada pada abad tujuh hijriah. Alasannya, pada akhir abad tujuh sudah diterbitkan kitab yang menggunakan pendekatan Ulumul Quran, yaitu  Fununul Afnan fi Ulumul Quran dan al-Mujtaba fi ‘Ulumin Tata’allaqu bil Quran yang ditulis oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi (w. 597 H). Sebaliknya, menurut penelitian Prof. Dr. T.M. Hasbhi ash-Shiddiqi dalam syarah dan pengantar ilmu tafsir mengatakan bahwa menurut hasil penelitian sejarah, Imam al-Kafiji (w. 879 H) adalah orang pertama yng membukukan Ulumul Quran, karena itu istilah Ulumul Quran itu baru ada sejak abad tujuh hijriah karena pada abad ini kitab Ulumul Quran mulai ditulis dan dibukukan orang.
Bila yang dimasud adalah Ulumul Quran yang sitematis, ilmiah, dan integratif. Istilah itu muncul sebetulnya pada abad tujuh sesuai dengan pendapat jumhur ulama.
Ulumul Quran pada Zaman Modern
                Setelah Imam as-Suyuthi wafat, gerakan penulisan Ulumul Quran total terhenti. Jadi pertumbuhan Ulumul Quran terhenti sampai abad empat belas hijriah. Namun, pada abad enam belas atau abad modern bangkit kembali seiring dengan munculnya ulama tafsir yang aktif menulis kitab. Ini ditengerai seiring dengan semakin banyakna ulama yang mengarang Ulumul Quran dan menulis kitab, baik tafsir maupun jenis-jenis Ulumul Quran.
                Diantara ulama yang aktif menulis tafsir atau ‘Ulumul Quran pada abad modern adalah ad-Dahlawi (al-Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir); Thahir al-Jazairi (at-Tibyan fi ulumil Quran; Abu Daqiqah (ulumil Quran); M. Ali Salamah (Minhajul Furqan fi ulumil quran); Mustaf Shadiq (I’zajul Furqan wa Balaghatun Nabawiyah); Abdul Aziz Jawiz (Ararul Quran fi Tahriril Aqlil Basyari); Abdul Wahab Gazlan (al-Bayan min Ulumil Quran) dan masih banyak yang lainnya.


BAB 2

AL-QUR’AN, WAHYU DAN NUBUWAH

Menurut asy-Syafi’i, al-Farra, dan al-Asy’ari, kata Alquran ditulis dan dibaca tanpa menggunakan hurusf hamzah. Sebaliknya, menurut al-Lihyani dan al-Zajjaj, kata Alquran ditulis dan dibaca dengan menggunakan hamzah, yakni al-qur-an. Al-Zajjaj menyatatakan bahwa kata Alquran sewazan (sepadan) dengan wazan fu’lan karenanya harus dibaca dan ditulis berhamzah.
                Selain berbeda pendapat dalam hal tulisan dan bacaan kata Alquran, para pakar bahasa Arab juga berbeda persepi tentang asal-usul kata Alquran. Kelompok yang berbeda ini dapat dibagi dala dua kelompok. Pertama, sekelompok ulama ahli bahasa berkata bahwa Alquran itu adalah isim ‘alam yang tidak diambil dari kata apapun. Kedua, kata qur-an yang dimakrifatkan sengan huruf alim-lam adalah isim musytaq yang diambil dari kata lain.
Kata quran seperti yang sudah dijelaskan diatas, sebanding dengan kata fu’lan (dari akar kata fa’ala), rujhan (dari kata rajaha), dan ghufran (dari akar kata ghafara). Alquran sendiri memuat beberapa kata quran untuk makna bacaan.

“Bila Kami (Allah) telah selesai membacakannya, hendaklah kamu (Muhammad) ikuti bacaannya itu. (QS Al-Qiyamah, 75:18)
                Diantara ulama juga terjadi perbedaan pendapat dalam penelusuran asal-usul kata Alquran, termasuk pemberian definisi Alquran. Terdapat beberapa unsur Alquran yang disepakati oleh pakar ilmu Alquran.
1.       Alquran adalah wahyu atau kalam Allah. Seluruh definisi yang diberikan para ahli selalu diawali oleh penyebutan bahwa Alquran adalah kalam atau wahyu Allah.
2.       Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menunjukan bahwa kalam atau wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah yang lainnya tidak bisa dinamai Alquran.
3.       Alquran disampaikan melalui malaikat Jibril. Semua ayat Alquran diwahyukan dengan perantaraan malaikat Jibril.
4.       Alquran diturunkan dalam bentul lafal dan bahasa Arab. Ulama meyakini bahwa Alquran diturunkan Allah bukan semata-mata dalam bentuk makna seperti halnya dengan Hadis Qudsi, melainkan juga sekaligus lafalnya. Karena lafal dan makna Alquran berasal dari Allah, terjemahan Alquran yang dalam bahasa Arab sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai Alquran.
Nama dan Julukan Alquran
                Banyaknya nama dan julukan yang dimiliki Alquran menunjukan betapa mulianya kedudukan Alquran karena, seperti pernyataan as-Suyuthi bahwa fainna katsrat al-asma tadullu ‘ala syarafi al-musamma, sungguh banyak nama untuk mengisyaratkan kemuliaan sesuatu yang diberi nama.
                Alquran dinamai Al-Kitab yang artinya tulisan yang ditulis karena penulisan ayat-ayat Alquran dalam perkembangan sejarahnya tidak hanya untuk memelihara otentitas Alquran, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan keindahan seni lukis yang sangat menakjubkan. Setiap nama dan julukan Alquran dapat dibuktikan melalui ketepatan atau akurasinya dengan visi dan fungsi Alquran. Dari sekian nama dan julukan, kata Alquran-lah  yang paling banyak disebut didalam ayat-ayat nya, disusul kemudian oleh nama al-Kitab, adz-Dzikir dan al-Furqan.
Seputar Surat dan Ayat
1.             Surat dan Ayat
                Secara lughawi, surat memilki banyak arti antara lain, (1) tigkatan atau martabat (2) tanda atau lamar (3) gedung yang tinggi dan indah (4) sesuatu yang lengkap atau sempurna (5) susunan sesuatu atas lainnya yang bertingkat-tingkat.
                Pengertian surat secara terminologi para ahli ilmu Alquran memiliki makna yang berbeda-beda. Sebagian definisi dari ulama tersebut dapat disebutkan disini, antara lain al-Jabari dan Manna’ al-Qaththan. Menurut al-Jabari, “Surat ialah (sebagian) Alquran yang mencakup beberapa ayat yang memiliki permulaan dan penghabisan (penutup), dan paling sedikit adalah tiga ayat.” Sebaliknya menurut Manna Al-Qaththan, “Surat ialah sekumpulan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tempat bermula dan sekaligus tempat berhenti (terakhir).”
                Sedangkan pengertian ayat (jamak: ayat), secara etimologis berarti tanda, pengajaran, urusan yang mengherankan dan mukjizat. Al-Jabari mendefinisikan ayat sebagai (bagian) Alquran yang tersusun dari beberapa kalimat walaupun dalam bentuk takdir (sekalipun) yang mempunyai tempat permulaan dan berhenti yang terhimpun dalam suatu surat.” Manna Al-Qaththan mengartikan ayat sebagai “sejumlah tanda (yang terdiri) dari kalam Allah yang terhimpun atau bernaung dalam suatu surat dari Alquran.
2.             Jumlah dan Pengelompokan Surat & Ayat
                Menurut sebagian ulama jumlah surat dalam Alquran sebanyak 114. Sebagian lainnya berpendapat dan meyakini bahwa jumlah surat dalam Alquran adalah 113 surat karena surat al-Anfal dan surah at-Taubah dihitung satu surat. Bahkan, sebagian penganut syiah mengatakan bahwa jumlah surat dalam Alquran sebanyak 116 surat atau 115 surat bagi yang menganggap surat al-Fiil dan al-Quraisy sebagai satu surat. Menurut sebagian kaum syiah, dalah hal ini Syiah Gullat (Syiah ekstrem), dalam mushaf Ustmani terdapat kekurangan dua surat yang mereka sebut surat al-Khal’u dan al-Hafdu.
Seputar Wahyu
1.             Pengertian dan Penyampaian Wahyu
                Wahyu, secara semantik berarti “isyarat yang sangat cepat (termasuk bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada oranglain untuk diketahui”. Wahyu secara terminologis adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dan diyakini  bahwa pengetahuan itu datang dan berasal dari Allah, baik melalui perantara suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantara.
“Dan, tiada manusia yang Allah berfirman kepadanya, kevuali dengan wahyu atau dari belakang tirai, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana” (QS as-Syura, 42:51)

                Berdasarkan ayat diatas dapat diketahui bahwa wahyu yang dikaruniakan Allah kepada manusia ada tiga macam: 1) pewahyuan 2) mendengar suara dari belakang tirai atau hijab dan 3) perantaraan malaikat yang membawa wahyu (Jibril).
2. Jenis Wahyu yang Dialami Nabi Muhammad Saw
1.       Mipi yang benar. Jenis wahyu inilah yang pertama kali diterima oleh Rasulullah Saw, sebelum beliau menerima wahyu Alquran.
2.       Jibril menghembuskan wahyu ke dalam jiwa Nabi Muhammad Saw, sedangkan Nabi sendiri tidak melihat Jibril
3.       Wahyu datang kepada Nabi Muhammad Saw, bagaikan gemerincingnya suara lonceng atau suara lebah dengan keramat kerasnya
4.       Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw dengan menjelma sebagai seorang manusia. Diriwayatkan malaikat Jibril mendatangi nabi dalam rupa Dlilyah Ibn Khalifah, seorang lelaki yang teramat tampan rupanya.
“Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) itu datang kepada Luth, dia merasa sedih dan dadanya merasa sempit karena (kedatangan) mereka. Dia (Luth) berkata, "Ini hari yang sangat sulit.” (QS Hud, 11:77)
5.       Malaikat Jibril datang kepada nabi dalam bentuknya yang asli, kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw.
6.       Allah berbicara kepada Nabi Muhammad Saw, secara langsung tanpa melalui malaikat Jibril pada malam Mi’raj.
7.       Allah mencampakkan wahyu ke dalam jiwa Nabi Muhammad Saw secara langsung tanpa melalui perantara malaikat Jibril.
Posisi Alquran Diantara Kitab-Kitab Allah
Sebagai kitab terakhir yng diturunkan Allah kepada nabi terakhir (khataman nabiyyin), Alquran memiliki beberapa fungsi:
1.       Penjaga kitab-kitab sebelumnya (al-Muhaimin).
2.       Hakim terhadap apa yang diperselisihkan oleh manusia
3.       Mengahapus syariat kitab-kitab terdahulu. Sebagai wahyu tertinggi dan penutup para nabi, Alquran telah me-nasakh hukum kitab-kitab suci yang turun lebih dulu.
Alquran juga mengandung pernyataan-pernyataan hukum yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hukum moral dan pernyataan itu mengarah kepada satu tujuan, yaitu menciptakan tata tertib yang berkeadilan di alam semesta. Alquran meningkatkan derajat martabat wanita dan memberikan kedudukan pribadi yang penuh kepada wanita. Alquran juga menciptakan milleu sehingga perbudakan akan hilang dengan sendirinya.


BAB 3
DIMENSI HISTORIS TURUNNYA ALQURAN

Cara dan Proses Turunnya Alquran
Sebagai wahyu illahi, Alquran disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui proses yang disebut inzal proses perwujudan Alquran (izhar Alquran). Cara yang ditempuh Allah mengajarkan kepada Malaikat Jibril, lalu Malaikat Jibril menyampaikan kembali kepada Nabi Muhammad Saw.
Ada beberapa pendapat mengenai proses turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut :
1.   Alquran diturunkan secara langsung ke al-lawh al-mahfuzh.
2. Alquran diturunkan ke langit bumi secara sekaligus, lalu diturunkan  secara berangsur –angsur kepada Nabi Muhammad Saw selama 23 tahun.
                Jumhur ulama berpendapat bahwa Alquran mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sedang berkhalwat seorang diri di Gua Hira pada malam senin, 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. Menurut catatan sejarah, masa turunnya Alquran dibagi menjadi dua periode: pertama, periode Makkiyah yaitu masa ayat-ayat yang turun ketika Nabi Muhammad Saw, masih bermukim di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, persisnya sejak 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai permulaan Rabi’ul Awal tahun  54 dari kelahrin nabi; kedua, periode Madaniyah yaitu masa ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah (selama 9 tahun 9 bulan 9 hari), persisnya dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahiran nabi sampai 9 Zulhijah tahun 63 dari kelahiran
Nabi (tahun 10 Hijriah).
                Ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah disebut ayat-yat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan pda periode Madinah disebut ayat-ayat Madaniyah. Jika direkapitulasi, Alquran yang terdiri dari 30 juz itu memuat ayat-ayat Makiyah sekitar 19/30, sedangkan ayat-ayat  Madaniyah sekitar 11/3.
Turunnya Alquran secara beragsur-angsur memuat beberapa hikmah. Menurut Manna al-Qattan ada beberapa hikmah penurunan Alquran secara berangsur-angsur sebagai berikut:
1.       Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw, dalam mengahadapi watak keras masyarakat Quraisy.
2.       Sebagai mukjizat sebagai pendukung misi kenabian mngingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad Saw ketika mengahadapi kaum kafir.
3.       Untuk memudahkan penghafalan dan pemahaman Alquran karena Alquran secara sekaligus akan mempersulit penghafalan dan pemahaman isinya.
4.       Untuk menerapkan hukm secara bertahap karena penghapusan beberapa tradisi jahiliah masyarakat Arab secara serentak teramat sulit dilakukan.
5.       Sebagai bukti bahwa Alquran bukanlah rekayasa Nabi Muhammad Saw atau manusia biasa.
Sejarah Mushaf Alquran
        Untuk menjadi sebuah mushaf, Alquran memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relatif panjang. Mushaf adalah Alquran hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah dibentuk Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam.
Ketika ayat-ayat Alquran diturunkan Allah, para sahabat segera berlomba untuk menghafalkannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat lainnya. Jika terjadi masalah atau sesuatu yang “aneh” , mereka langsung mengonfirmasikan-nya kepada Rasulullah Saw, lalu Rasulullah Saw  memberi penjelasan  karena hafalan beliau sangat kuat. Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu antara lain : Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mua’wiyah, Khalid bin Walid, Ubay Ibn Ka’b, Zaid bin Tsabit, Tsabit ibn Qais, Amir Ibn Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa a-Asy’ari dan Abu Darda.
  Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Pada masa kekhalifahannya, banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad, terutama yang dipimpin oleh Musailamah Al-Khadzab bersama para pengikutnya. Kondisi itu tentu mengakibatkan terjadinya perang Yamamah pada 12 H. Dalam sebuah pertempuran, banyak sahabat pengahapal Alquran yang gugur di medan perang, data tercatat menunjukan sekitar 70 otang yang menjadi syuhada sekaligus al-huffazh. Riwayat lain menyebutkan bahkan jumlah yang lebih banyak 500 orang yang menjadi syuhada.
        Peristiwa tersebut mengunggah hati Umar bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran segera dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah mushaf, namun Khalifah Abu Bakar ragu-ragu untuk menerima gagasan yang disampaikan oleh Umar bin Khattab tersebut, dan pada akhirnya Khalifah Abu Bakar menerima gagasan itu setelah betul-betul mempertimbngkan kebaikan dan manfaatnya. Ciri penulisan Alquran pada masa Abu Bakar adalah seluruh ayat Alquran dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang cermat.
Setelah Abu Bakar wafat, giliran Umar bin Khattab yang memegang tanggung jawab sebagai Khalifah kedua. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, mushaf itu diperintahkankan untuk disalin kembali kedalam lembaran (sahifah) yang lebih baik. Setelah penulisan itu selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah Saw.
Sepeninggal Umar bin Khattab,  jabatan Khalifah dipegang oleh Usman bin Affan. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dunia Islam banyak mengalami kemajuan dan perkembangan. Banyak penghafal Alquran yang ditugaskan ke berbagai provinsi untuk menjadi imam sekaligus ulama, bertugas mengajar dan mendidik umat. Karena banyak yang menerima ajaran tentang bacaan Alquran (qira’at) tersebut, lambat laun diantara mereka yang saling membanggakan versi qira’atnya dan merendahkan qira’at lainnya. Mereka juga mengklaim bahwa versi qira’atnya-lah yang paling benar. Situasi tersebut mengkhawatirkan Usman bin Affan, dan akhirnya Usman bin Affan mengambil langkah bahwa pada penulisan mushaf pada masa Abu Bakar harus disalin ulang menjadi beberapa mushaf, lalu mushaf tersebut dikirimkan ke kota atau ke daerah untuk menjadi bahan rujukan utama kaum muslimin ketika ada permasalahan dalam hal tilawah.
        Inisiatif tersebut muncul setelah ada usulan dari  Khuzaifah al-Yamani sebagaimana termaksud dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari. Lalu Usman bin Affan meminta Hafshah untuk mengirimkan mushaf yang disimpan untuk kembali menjadi beberapa naskah. Kemudian Utsman bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, sa’id bin ‘Ash, dan Abd ar-Rahman Haits untuk bekerja sama menggandakan Alquran. Setelah selesai dalam penulisan, Khalifah Utsman mengembalikan mushaf orisinil (master) kepada Hafshah.
Mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar tetap tersimpan dirumah Hafshah sampai akhir hayatnya. Diduga, mushaf otentik Ustman bin Affan juga disimpannya. Setelah ia wafat,  mushaf tersebut diambil alih oleh Marwan Ibn al-Hakim (w. 65 H), walikota Madinah masa itu. Disebutkan pula mushaf yang orisinil itu Marwan al-Hakim memerintahkan mushaf tersebut untuk dibakar karena berbagai pertimbangan.
Ciri mushaf Alquran yang ditulis pda Masa Khalifah Utsman bin Affan adaah ayat-ayat Alquran yang tertulis didalamnya berdasarkan riwayat mutawatir; surah-surah dan ayat-ayatnya disusun tertib sebagaimana yang disaksikan sekarang. Sebaliknya, pada masa Abu Bakar, mushaf Alquran tidak disusun menurut tertib turunnya ayat, tetapi surah-surah itu disusun menurut urutan turunnya wahyu.
Jika bentuk mushaf hasil penulisan ketiga yang dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan itu dibandingkan dengan mushaf  pada Nabi Saw, mushaf  pada masa Abu Bakar dan mushaf  Utsmani perbedaannya sebagai berikut :
1.       Pada masa Nabi Saw, penulisan dilakukan ketika wahyu Alquran diturunkan dengan menyusun rutan ayat-ayat dalam surat-surat tetentu sesuai dengan petunujuk Nabi Saw.
2.       Pada masa Khalifah Abu Bakar penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatn-catatan Alqurannmenjadi sebuah mushaf.
3.       Pada masa Utsman bin Affan dilakukan penggandaan mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar. Tertib ayat dan surahnya seperti yang ada sekarang ini.

Kronologi Alquran
1.       Kajian tentang Ayat Pertama dan Terakhir
Terdapat beberapa pendapat tentang hari pertama turunnya lquran dan ayat yang pertama kali diturunkan. Pendapat yang dianggap paling kuat menyebutkan bahwa Alquran diturunkan pada hari Senin 17 Rmadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Saw, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M.
                Hari akhir turunnya Alquran, menurut mayoritas (jumhur) ulama, adalah hari Jumat 9 Zulhijah tahun Hijriah berteoatan dengan Maret 632 M. Saat itu Nabi Muhammad Saw sedang menjalani wukuf di Arafah yang kemudian dengan terkenal dengan sebutan Haji Wada’ (haji terakhir dalam kehidupan Nabi). Sekitar tiga bulan setelah ayat ini turun, Rasulullah Saw wafat, tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 11 H bertepatan dengan 7 Juni 632 M.
2.       Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah
Meskipun sebuah surat disebut Surat Makkiyah tidak berarti seluruh ayat yang ada dalam surat tersebut diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Sebaliknya, meskipun sebuah surat disebut Surat Madaniyah, tidak berarti seluruh ayat didalamnya diturunkan di Madinah. Penamaan itu hanyalah karena surah tersebut memuat mayoritas ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.
Ayat-ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah, antara lain dalam surat Al-An’am, 6: 152-153, sebagai mana diungkapkan oleh Ibn Abbas, “surat ini diturunkan di Mekah sekaligus sehingga ia disebut surat Makkiyah, kecuali tiga ayat dari surat itu yang diturunkan di Madinah: ayat  151-153”34.
                Memahami ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sangat penting karena selain untuk lebih untuk lebih mengetahui mana ayat-ayat yang turun lebih awal dan mana yang lebih akhir, juga untuk keperluan metodologi penafsiran. Pengetahuan tentang perbedaan ayat-ayat tersebut sangat membantu dan mempermudah pemahaman tentang ayat-ayat tersebut yang sudah dihapuskan nilai hukumnya (mansukh) dan ayat-ayat yang menghapus (nasikh) atau ayat-ayat yang di khususkan (makhshush) dan ayat-ayat yang mengkhususkan (mukhashshish).
3.       Ciri-ciri Ayat Makkiyah dan Madaniyah
1.       Ayat dan surat Makkiyah umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya panjang-panjang.
2.       Ayat dan surat Makkiyah umumnya dimulai dengan sapaan ya ayyuhannas (hai sekalian manusia), sedangkan ayat dan surat Madaniyah dimulai oleh ungkapan ya ayyuha al-aladzina amanu (hai orang-orang yang beriman).
3.       Ayat dan surat Makkiyah umumnya berbicara tentang ketauhidan (iman), sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya berbicara tentang sosial-kemasyarakatan dan hukum.
4.       Setiap surat yang didalamnya mengandung ayat sajdah adalah Makkiyah, sedangkan setiap surat yang mengandung kata kalla (jangan begitu) ada;ah Makkiyah.
5.       Surat-surat yang mengandung kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu, kecuali surat al-Baqarah adalah Makkiyah.Setiap surat yang didahului oleh huruf-huruf muqatha’ah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran adalah Makkiyah sedangkan surat ar-Ra’d masih diperselisihkan oleh ulama tafsir.


4.       Munasabah Alquran
Munasabah menurut bahasa berarti musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan), sedangkan menurut istilah Ulumul Quran berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan dalam Alquran. Hubungan-hubungan tersebut meliputi beberapa hal berikut:
1.       Hubungan satu surat dengan surat sebelumnya untuk menjelaskan surat sebelumnya.
2.       Hubungan antara nama surat dan isi atau tujuan surat. Nama-nama surat biasanya diambil dari masalah (tema) pokok dalam surat tersebut.
3.       Hubungan antar fawatih as-suwair (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dan isi surah.
4.       Hubungan antar ayat pertama dan ayat terakhir dalam satu surat.
5.       Hubungan satu ayat dengan yang lainnya dalam satu sura.
6.       Hubungan antar kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat.
7.       Hubungan antar satu fashilah dengan isi ayat.
8.       Hubungan antara penutup surat dan awal surat berikutnya.
Asbab an-Nuzul
                Pembahasan Asbab an-Nuzul meliputi antara lain, pengertian asbab an-nuzul, fungsi riwayat asbab an-nuzul, kualifikasi riwayat atau hadis yang meriwayatkannya, jenis-jenis asbab an-nuzul, dan kaidah-kaidah asbab an-nuzul yang berfokus pada hubungan antara riwayat dan bentuk redaksi yang digunakan ayat-ayat yang memiliki asbab an-nuzul.
1.       Pengertian Asbab an-Nuzul
Kata Asbab (tunggal: sabab) berarti atau alasan atau sebab,
jadi Asbab an-Nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat. Unsur-unsur yang terpenting untuk diketahui perihal Asbab an-Nuzul ialah adanyasatu atau beberapa kasus yang menyebabkan  turunnya satu atau beberapa ayat.
Sebenarnya, jika yang dimaksud Asbab an-Nuzul adalah hal-hal yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Alquran, semua ayat Alquran memiliki asbab an-nuzul. Tujuan utama Alquran melalui kehadiran  asbab an-nuzul ini ialah terjadi proses transformasi nilai-nilai bagi umat Nabi Muhammad Saw dari situasi yang lebih buruk kepada situasi yang lebih baik menurut ukuran Tuhan.
2.       Fungsi Asbab an-Nuzûl
Memahami asbab an-nuzul dengan baik, akan memberi manfaat:
1.       Mengetahui hikmah dan rahasia di undangnya sebuah hukum dan perhatian syariat terhadap kepentingan umum tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama.
2.       Mengetahui asbab an-nuzul akan sangat membantu  dengan mendapatkan kejelasan beberapa ayat.
3.       Akan membantu sesorang untuk melakukan pengkhususan hukum terbatas pada sebab-sebab tertentu, terutama yang menganut kaidah “sebab khusus”.
4.       Dapat membantu sesorang lebih memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau khusus, serta dalam hal apa ayat itu harus diterapkan.

3.       Jenis Riwayat Asbab an-Nuzûl
Mengenai jenis-jenis asbab an-nuzul dapat dikategorikan ke dalam bentuk berikut:
a.    Tanggapan atas peristiwa umum.
b.    tanggapan atas peristiwa khusus. Misalnya sebab-sebab turunnya ayat-ayat yang menjadi tanggapan atas turunnya surat al-Baqaraj ayat 158.
c.     Jawaban atas pertanyaan yang diaujak kepada Nabi Saw.
d.    Jawaban atas pertanyaan Nabi Saw kepada Allah.
e.     Tanggapan atas pertanyaan yang berisfat umum. Dalam bentuk lain, ayat-ayat Alquran diturunkan dalam rangka memberi petunjuk perihal pertanyaan yang bersifat umum yang muncul dikalangan sahabat.
f.     Tanggapan terhadap orang-orang tertentu. Ada kalanya ayat-ayat Alquran turun untuk menanggapi keadaan atau orang-orang tertentu.
g.     Beberapa sebab, tetapi suatu wahyu. Boleh jadi sebuah wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab.
h.    Beberapa wahyu, tetapi sebab. Ada lagi beberapa ayat yang diturunkan untuk menanggapi satu peristiwa.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar