BAB
1
Makna
Ulûmul Qur’an
K
|
ata Ulûmul Qur’an
tersusun dari dua kata. Ulûmul Qur’an memiliki posisi dan kedudukan yang sangat
penting karena ia menjadi pintu gerbang bagi pemahaman kandungan Al-Qur’an yang
lebih baik. Dengan perkataan lain, langkah awal yang harus dilakukan untuk
dapat memahami Al-Qur’an dengan utuh dan komprehensif adalah memahami Ulûmul
Qur’an lebih dulu.
1. Makna Ulûm
Kata
‘ulûm secara etimologi, merupakan
bentuk jamak dari kata ‘ilm menurut
bahasa, kata ‘ilm adalah bentuk masdar yang maknanya sinonim dengan paham dan
makrifat. Ilmu adalah upaya menemukan pengetahuan-pengetahuan tentang sesuatu,
atau bakat (talenta) yang melekat pada diri seseorang yang dengannya ia dapat
memperoleh pengetahuan atau bakat melakukan reproduksi pengetahuan yang telah
dihasilkannya.
2. Makna Al-Qur’an
Menurut bahasa, kata Al-Qur’an merupakan isim mashdar yang maknanya sinonim dengan
kata qira’ah (bacaan). Kata Al-Qur’an dengan arti qira’ah ini digunakan Allah dalam ayat
17-18 surat Al-Qiyamah.
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu”.
Tentang makna asal-usul
Al-Qur’an setidak-tidaknya ada 5 pendapat ulama yang menerangkan pengertian
Al-Qur’an menurut bahasa.
1.
Al-Lihyani (w.335 H.) dan sebagian besar
ulama lainnya mengatakan bahwa kata Al-Qur’an merupakan isim mashdar yang semakna dengan lafal qira’atan. Kata ini mengikuti wazan fu’lana yang diambil dari lafaz qara’a-yaqra’u-qira’atan,
seperti lafaz syakara-syukrana dan ghafar-ghufrana dengan arti berkumpul
atau menjadi satu. Dikatakan demikian karena huruf-huruf dan lafal-lafal yang
ada dalam kalimat Al-Qur’an terkumpul menjadi satu dalam bentuk mushaf. Jadi kata Qur’an merupakan
bentuk mahmuz yang hamzahnya asli dan
“nun” nya zaidah (tambahan).
2. Az-Zuzaz (w. 311 H) mengatakan bahwa lafal
Al-Qur’an itu berupa isim sifat yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari
kata Al-Qar’u, artinya berkumpul. Dikatakan demikian karena semua ayat, surat,
hukum-hukum (al-ahkam), dan
kisah-kisah (al-qashâsh) Al-Qur’an
itu berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan intisari semua kita suci
yang pernah diturunkan Allah, seluruh ilmu dan pengetahuan.
3. Abu Musa al-Asy’ari (w. 324 H) mengatakan
bahwa lafal Al-Qur’an itu adalah isim
musytaq yang mengikuti wazan fu’lan
yang diambil dari kata al-qarnu
seperti pada kalimat qarantu asy-sya’ia
bis sya’i, “saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Jadi
menurut pendapat ini, lafal Al-Qur’an bukanlah isim mahmuz sehingga “nun” nya aseli, sedangkan hamzah nya zaidah.
4.
Al-Fara’ (w. 207 H) mengatakan bahwa
kata Al-Qur’an itu berupa isim musytaq
yang mengikuti wazan fu’lan yang
diambil dari lafal al-Qara’in bentuk
jamak dari kata qarinah yang berarti
bukti. Dinamakan Al-Qur’an karena sebagian isinya membuktikn kebenaran yang
lainnya. Jadi menurut pendapat ini lafal Al-Qur’an sama dengan pendapat Abu
Musa Asy-ari.
5. Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) berpendirian
bahwa lafal alquran itu bukanlah isim
musytaq yang diambil dari kata lainnya, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakan sudah berupa isim alam (nama), yakni dari nama kitab
allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan selalu disertai alif-lam
atau “al”. Jadi, Alquran bukanlah isim
mahmuz, dan bukan pula isim musytaq,
serta tidak pernah lepas dari “al” (alif-lam).
Berdasarkan
lima pendapat tersebut, tampaknya pendapat pertama lebih tepat karena pendapat
ini sangat relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan Ilmu Sharaf. Kata Alquran merupakan bentuk pengucapan masdhar, tetapi yang dibentuk dari kata maf’ul (yang dibaca). Pengertian ini,
lebih sesuai dengan pnegtahuan bahasa dan dengan pelaturan-pelaruran istiqaq
(pengambilan kata). Pendapat inilah yang dipilih al-Lihyani dan sebagian besar
ulama tafsir.
Selain
bernama Alquran, kitab ini juga bernama al-furqan, bentuk isim mashdar yang mengikuti bentuk mazan fu-lan dari lafal afaraqa
yang artinya pemisal (fa’il). Disebut demikian karena Alquran berfungsi sebagai
pemisalh antara yang hak-benar dan batil-rusak. Disebut sebagai “yang
dipisahkan” (maf”ul) karena sebagian isi Alquran diturunkan secara terpisah
dari sebagian lainnya, atau karena Alquran dipisahkan dalam surat-surat atau
ayat-ayatnya.
Sebagian
musafir berpendapat bahwa semua nama kitab Allah tersebut kembali kepada dua nama itu seperti juga
nama-nama Allah yang banyak itu kembali kepada nama al-Jalal wal jamal. Nama
lainnya adala al-Kitab adz-Dzikr, dan at-Tanzil. Masing-masing nama itu diambil
dari ayat yang menyatakan bahwa “Kitab
(Alquran) ini tidak ada keraguan padanya” (QS al-Baqarah, 2:2). “Dan, Alquran ini adalah kitab (peringatan)
yang mempunyai berkah yang kami turunkan” (QS al-Anbiya, 21:50). “Ia adalah wahyu yang Tuhan Semesta Alam” (QS
al-Haqqah, :43).
Diantara mereka ada yang mendefinisikan
Al-Qur’an dengan sangat singkat dan padat, yakni hanya menyebutkan satu atau
dua identitasnya.
“Alquran adalah kalam
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”
“Alquran adalah lafal
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dari awal surah Al-Fatihah sampai
surah an-Nas.”
“Alquran adalah ilmu
kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang tertulis dalam
mushaf yang diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah.”
Secara
terminologi, mengisyaratkan adanya bermacam-macam ilmu yang bekaitan erat
dengan alquran. Ilmu-ilmu dikaitkan dan disandarkan dengna alquran, antara
lain: ilmu tafsir, qira,at, ilmu rasmil quran, ilmu i’jazil quran, ilmu asbabun
an-nuzul, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu i’rabbil quran, ilmu gharibil quran,
dan bahasa arab.
Objek
Studi Ulumul Quran
Objek ulumul quran ialah alquran dan seluruh segi
yang tercakup didalam kitab tersebut. Ulama berbeda pendapat tentang sejauh
mana pebahasan ulumul quran ini. Jumhur-ulama berpendapat bahwa objek pembahasan
ulumul quran yang mencakup berbagai segi dari alquran itu berkisar diantara
ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama (ushuluddin) karena yang dibahas
dalam ulumul quran ialah ilmu-ilmu yang mebicarakan Al-qur’an sebagai i’jaz dan
hidayah.
Imam al-Bulqini dalam kitab Mawaqi’ul ‘ulum min
Mawaqi’in Nujum membahas setidaknya lima puluh macam ilmu al-quran. Imam
jalaluddin as-Sayuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Quran membahas delapan
puluh macam cabang ilmu sedangkan dalam kitab at-Tahbir fi Ulumit Tafsir
mebicarakan seratus dua cabang ilmu.
Imam badrodin az-Zakarsyi dalam kitab al-Burhan fi ulumil quran yang terdiri
dari empat jilid itu membahas seratus enam puluh cabang ilmu. Bahkan syeikh abu
bakar ibnu arabi dalam Kitab qananut Ta’wil mengatakan bahwa ulumul quran
memiliki 77.450 cabang ilmu empat kali lipat dari kalimat yang ada dalam alquran.
Setiap kalimat memiliki arti lahir (eksoteris), batin (esoteris), had
(tertentu) dan matha (yang diharapkan).
Sebagian ulama lainnya antara lainnya, Imam
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 811 H) berpendapat bahwa yang termasuk Ulumul Qur’an
beberapa pengetahuan umum seperti ilmu alam, ilmu ukur, ilmu kedokteran dan
ilmu kimia. Jadi, Ulumul Qur’an tidak hanya mencakup ilmu agama (Islam) dan
bahasa Arab.
Metoda
Studi Ulumul Qur’an
Pendekatan yang digunakan dalam membahas Ulumul
Qur’an adalah metode deskriptif, yaitu memberi penjelasan dan keterangan yang
mendalam mengenai bagian-bagian Alquran yang memuat aspek-aspek Ulumul Qur’an.
Misalnya, orang yang berniat membahas ilmu majazil qur’an, ia harus mengambil
lafal-lafal Alqur’an yang berbentuk majaz, lalu menjelaskannya dengan panjang
lebar tentang bentuk-bentuk lafal majaz yang ada dan segala macamnya. Demikian
pula orang yang berniat menulis ilmu gharibil qur’an, ia harus menyebut satu
persatu lafal gharib (asing atau samar) dalam Alquran, lalu menjelaskan
hal-ihwal keghariban secara lebih luas dan mendalam. Seperti halnya orang yang
membicarakan seluruh matsal (perumpamaan) yang dibuat Allah dalam Alquran, ia
pun menjelaskan tentang berbagai aspek perumpamaan dan macam-macamnya dengan
sangat rinci dan mendetail.
Pertumbuhan cabang-cabang Ulumul Quran terjadi sejak
abad dua hingga tujuh hijriah. Beberapa pembahasan dari berbagai kitab Ulumul
Quran bi Idhafi kemudian di integrasi menjadi satu ilmu pembahasan yang
merupakan kumpulan dari seluruh cabang ilmu tentang Alquran yang disebut Ulumul
Quran yang sudah sistematis.
Ilmu yang tumbuh lebih awal adalah cabang Ulumul Quran bi Idhafi, yang masih
berdiri sendiri. Cabang ilmu nasikh wal
mansukh misalnya, hanya membicarakan
Alquran khusus dalam soal nasukh wal mansukh itu. Ilmu muhkam wal mutasyabih pun hanya membahas
Alquran khusus dari segi kemuhkaman atau kemusyabihan lafal-lafal Alquran.
Setelah cabang-cabang ilmu diintegrasikan menjad satu, timbul kemudian Ulumul
Quran yang mencakup seluruh segi Alquran. Karena itu, selain memakai metode
deduksi, juga metode komprasi, yaitu membandingkan segi yang satu dengan yang
lainnya, riwayat sebab-musabab turun ayat yang satu dan riwayat yang lainnya,
dan pendapat ulama yang satu dan yang lainnya.
Tujuan
dan Kegunaan Ulumul Quran
Melaui ulumul quran, kita akan bisa mengetahui cara
wahyu Alquran turun dan diterima oleh Nabi Muhammad Saw, cara beliau menerima
dan membacanya, cara mengajarkannya kepada para sahabat dan cara menerangkan tafsiran-tafsiran
ayat kepada mereka.
Ulumul
Quran dijadikan sebagai alat bantu yang paling utama dalam upaya membaca lafal
ayat-ayat Alquran, memahami isi kandungannya, menghayati, dan mengamalkan
aturan dan hukum ajarannya. Dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, Syeikh Ali
ash-Shabuni menerangkan bahwa tujuan utama mempelajari ulumul Qur’an adalah
agar kaum muslim dapat memahami maksud dan konten kandungan kalam Allah sesuai
dengan keterangan dan penjelasan Nabi Muhammad Saw, tafsiran-tafsiran sahabat
dan tabi’in terhadap ayat-ayat Alquran, serta dalam menerangkan syarat-syarat
mufasir. Dari kandungan Aquran pula kita akan mendapati larangan bagi seseorang
untuk mempelajari Alquran dan ilmunya dengan tujuan duniawi yang oleh Alquran
sendiri disebut sebagai li yastaru
tsamanan qalilan, menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad
Saw menegaskan bahwa orang yang hanya memperoleh keuntungan duniawi tidak akan
bahagia kelak di akherat karena tidak akan dapat mencium baunya surga, apalagi
bisa masuk kedalamnya. “Barangsiapa yang
mempelajari suatu ilmu yang seharusnya hanya karena Allah, tetapi hanya untuk
memperoleh tujuan kedunian saja, ia tidak akan bisa mencium wangi-wangian surga
pada hari Kiamat kelak.”
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qurân
1. Masa Nabi dan Sahabat
Nabi Muhammad Saw dan para sahabat mengetahui benar
makna Alquran dan ilmu-ilmunya seperti pengetahuan ulama sesudahnya. Bahkan,
makna dan ilmu Alquran itu pada masa Rasulullah Saw dan shabatnya belum
tertulis atau dibukukan, serta belum tersusun dalam satu kitab karena mereka
berpandangan tidak merasa perlu untuk menulis dan mebukukan ilmu Alquran dalam
satu kitab.
Tegasnya, para sahabat tidak atau belum membukukan
Ulumul Quran karena beberapa alasan.
1. Mereka
merupakan orang Arab murni yang memiliki banyak keistimewaan antara lain,
memilki daya hafalan yang sangat kuat, berontak cerdas dan berdaya tangkap
sangat tajam.
2. Memiliki
kemampuan berbahasa yang sangat luas terhadap segala macam bentuk ungkapan,
baik prosa, puisi maupun sajak.
3. Kebanyakan
dari mereka dari orang-orang ummi, tetapi cerdas.
4. Rasulullah
Saw, masih hidup sehingga ketika mengalami kesulitan masalah dan pertanyaan
bisa diajukan kepada Rasulullah Saw.
5. Belum
adanya alat-alat tulis yang memadai dan larangan Rasulullah Saw untuk menulis
segala sesuatu selain ayat Alquran.
2. Perintisan Dasar Ulumul Quran dan Pembukuan
Setelah
periode perama berlalu, datanglah masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan.
Wilayah kekuasaan Islam yang dibangun para khalifah pun berkembang semakin
luas. Orang arab murni mulai berinteraksi dengan orang-orang asing yang telah
mngenal bahasa Arab. Proses percampuran bangsa dan akulturasi budaya inilah
yang menimbulkan banyak ke khawatiran, seperti ke khawatiran lunturnya
keistimewaan orang Arab murni. Khalifah Ustman bin Affan berpendapat bahwa jika
tidak segera dilakukan pembukuan Alquran yang dikumpulkan atau disatukan dalam
satu catatan ayat-ayat Alquran (mushaf), timbulnya kerusakan yang lebih besar
dipermukaan bumi sulit dihindari. Atas dasar itu Khalifah Usman bin Affan
memerintahkan kepada muslim yang pernah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu
Bakar dikumpulkan kembali pada satu mushaf yang kemudian dikenal sebagai Mushaf
Utsmani. Dari Mushaf inilah salinan dalam beberapa naskah dibuat untuk kemudian
dikirimkan ke semua wilayah dan negara yang berada dibawah kekuasaan Islam.
Khalifah Utsman bin Affan juga memerintahkan untuk membakar Mushaf yang ada
selain Mushaf Utsmani, dan melarang berpedoman kepada Mushaf selain Mushaf
Utsmani.
Dengan usaha kodifikasi
ini, Khalifah Utsman bin Affan dianggap sebagai peletak dasar pertaman tentang
pembukuan Alquran yang dinamakan ilm rasm
al-Quran atau ilmu rasmil utsmani.
Beralih pada kekuasaan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dalam hal ini
Ali bin Abi Thalib sering mendengar sesuatu ucapan yang bisa menimbulkan
kerusakan terhadap bahasa Arab, untuk itu beliau segera memerintahkan Abul
Aswad ad-Duali untuk membuat sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian
bahasa Arab dari upaya orang-orang jahil.
Berakhirnya masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib berarti berakhir pula masa kejayaan Khulafa ar-Rasyidin dan
datanglah masa pemerintahan yang berbentuk dinasti yang diawali Dinasti Umayah.
Orang pertama yang bersemangat besar yang menyebar luaskan ilmu itu secara
riwayat adalah Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Asy-ari dan
Abdullah ibn Zubair.
3. Pembukuan Tafsir Alquran
Setelah
dasar-dasar Ulumul Quran dirintis satu persatu dan dikodifikasi menjadi
referensi utama bagi umat Islam, datanglah masa penulisan dan pembukuan atau
kodifikasi cabang-cabang Ulumul Quran.
Orang pertama yang
dianggap berjasa dalam mengarang tafsir ialah Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H),
Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) dan Waqi bi Jarrah (w. 197 H). Tafsir yang mereka
tulis masih berupa koleksi pendapat para sahabat dan tabi’in yang sebagian besar
belum dicetak sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang. Setelah mereka,
barulah bermunculan mufasir kemudian seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H)
yang mengarang kitab Tafsir ath-Thabari
bernama Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran.
Ulama
masih tetap mempunyai semangat dan minat yang sangat besar terhdap tafsir
Alquran dari dulu hingga sekarang. Terbukti dengan semakin banyaknya ditemukan
koleksi karangan kitab-kitab tafsir, baik yang besar kecil bentuknya. Tetapi
ada juga yang sangat memprihatinkan karena hanya di fokuskan pada hal-hal yang
kurang relevan dengn syariat Islam. Diantara tafsir itu ada yang memakai metode
Tafsir bil Matsur yang hanya memakai sumber-sumber penafsiran atsar, ada pula
yang memakai metode Tafsir bir Ra’yi yang memakai sumber-sumber ra’yu
(pemikiran atau intelektual pribadi) dan ada pula yang memakai metode campuran.
4. Pembukuan Cabang Ulumul Quran
Orang pertama yang mengarang cbang ilmu ini ialah Ali
Ibn al-Madini (w. 234 H), guru dari Imam al-Bukhari, komplitor hadis yang
sangat terkemuka yang kemudian diberi judul Shahih Bukhari. Beliau mengarang
ilmu Asbabin Nuzul. Lalu, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w.224 H) mengarang
kitab Nasikh wal Mansukh yang kemudian diikuti oleh M. Ayub adh-Dhiris (294 H)
yang menulis ilmu al-Makki wal Madani dan Muhamaad bin Khallaf al-Marzuban (309
H) yang menulis al-Hawi fi Uluil Quran yang terdiri dari 27 juz. Keempat ulama
tersebut termasuk ulama abad ketiga hijriah.
Pesatnya perkembangan Ulumul Quran tersebut itu terus
berlanjut hingga abad sembilan hijriah seiring dengan munculnya
pengarang-pengarang ternama antara lain, Imam Jalaludin al-Bulqini (w. 824 H)
yang menulis Mawaqi’ul Ulum Min Mawaqi’in Nujum. Imam Muhammad bin Sulaiman
al-Kafiji (872 H) yang mengarang Ulumul Quran yang belum tertandingi dan Imam
Muhammad al-Buqa’i (885 H) yang menulis Nudhumud Durari fi Tsanasubil Ayati was
Suwari.
Hingga saat ini kitab al-Burhan karya Az-Zarkasyi dan
al-Itqan karya as-Suyuthi masih dan selalu menjadi referensi para pakar Ulumul
Quran dalam menulis, mengajar, dan mempelajari ilmu Alquran. Karena Imam
as-Suyuthi wfat pada 911 H (tepatnya awal abad sepuluh hijriah), gerakan
pendalaman dan penulisan Ulumul Quran pun mulai pudar dan akhirnya berhenti.
Sepeninggal beliau sampai ratusan tahun atau berabad-abad kemudian tak seorang
pun yang berhasil mengarang kitab yang terkait dengan Ulumul Quran hingga abad
empat belas hijriah.
Ulumul
Quran Yang Sistematis
Tentang kapan ilmu Alquran yang sistematis itu lahir,
dikalangan ulama terjadi beragam pendapat. Dr. Shubhi as-Shalih dalam Mabahits fi’ Ulumi Quran mengatakan
bahwa istilah Ulmul Quran sudah ada sejak abad tiga hijriah, karena menurutnya
pada akhir abadtiga itu sudah ada kitab yang berjudul al-Hawi fi Ulumil Quran
yang ditulis oleh Imam Ibnu Marzuban (w. 309 H)
Jumhur
ulama dan ahli sejarah Ulumul Quran berpendapat bahwa istilah Ulumul Quran
sudah ada pada abad tujuh hijriah. Alasannya, pada akhir abad tujuh sudah
diterbitkan kitab yang menggunakan pendekatan Ulumul Quran, yaitu Fununul
Afnan fi Ulumul Quran dan al-Mujtaba
fi ‘Ulumin Tata’allaqu bil Quran yang ditulis oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi
(w. 597 H). Sebaliknya, menurut penelitian Prof. Dr. T.M. Hasbhi ash-Shiddiqi
dalam syarah dan pengantar ilmu tafsir mengatakan bahwa menurut hasil
penelitian sejarah, Imam al-Kafiji (w. 879 H) adalah orang pertama yng
membukukan Ulumul Quran, karena itu istilah Ulumul Quran itu baru ada sejak
abad tujuh hijriah karena pada abad ini kitab Ulumul Quran mulai ditulis dan
dibukukan orang.
Bila
yang dimasud adalah Ulumul Quran yang sitematis, ilmiah, dan integratif.
Istilah itu muncul sebetulnya pada abad tujuh sesuai dengan pendapat jumhur
ulama.
Ulumul
Quran pada Zaman Modern
Setelah Imam as-Suyuthi wafat, gerakan penulisan
Ulumul Quran total terhenti. Jadi pertumbuhan Ulumul Quran terhenti sampai abad
empat belas hijriah. Namun, pada abad enam belas atau abad modern bangkit
kembali seiring dengan munculnya ulama tafsir yang aktif menulis kitab. Ini
ditengerai seiring dengan semakin banyakna ulama yang mengarang Ulumul Quran
dan menulis kitab, baik tafsir maupun jenis-jenis Ulumul Quran.
Diantara ulama yang aktif menulis tafsir atau ‘Ulumul
Quran pada abad modern adalah ad-Dahlawi (al-Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir);
Thahir al-Jazairi (at-Tibyan fi ulumil Quran; Abu Daqiqah (ulumil Quran); M.
Ali Salamah (Minhajul Furqan fi ulumil quran); Mustaf Shadiq (I’zajul Furqan wa
Balaghatun Nabawiyah); Abdul Aziz Jawiz (Ararul Quran fi Tahriril Aqlil
Basyari); Abdul Wahab Gazlan (al-Bayan min Ulumil Quran) dan masih banyak yang
lainnya.
BAB 2
AL-QUR’AN, WAHYU DAN NUBUWAH
Menurut
asy-Syafi’i, al-Farra, dan al-Asy’ari, kata Alquran ditulis dan dibaca tanpa
menggunakan hurusf hamzah. Sebaliknya, menurut al-Lihyani dan al-Zajjaj, kata
Alquran ditulis dan dibaca dengan menggunakan hamzah, yakni al-qur-an. Al-Zajjaj
menyatatakan bahwa kata Alquran sewazan (sepadan) dengan wazan fu’lan karenanya
harus dibaca dan ditulis berhamzah.
Selain berbeda pendapat dalam hal tulisan dan bacaan
kata Alquran, para pakar bahasa Arab juga berbeda persepi tentang asal-usul
kata Alquran. Kelompok yang berbeda ini dapat dibagi dala dua kelompok.
Pertama, sekelompok ulama ahli bahasa berkata bahwa Alquran itu adalah isim
‘alam yang tidak diambil dari kata apapun. Kedua, kata qur-an yang
dimakrifatkan sengan huruf alim-lam adalah isim musytaq yang diambil dari kata
lain.
Kata quran seperti yang
sudah dijelaskan diatas, sebanding dengan kata fu’lan (dari akar kata fa’ala),
rujhan (dari kata rajaha), dan ghufran (dari akar kata ghafara). Alquran
sendiri memuat beberapa kata quran untuk makna bacaan.
“Bila Kami (Allah) telah
selesai membacakannya, hendaklah kamu (Muhammad) ikuti bacaannya itu. (QS
Al-Qiyamah, 75:18)
Diantara ulama juga terjadi perbedaan pendapat dalam
penelusuran asal-usul kata Alquran, termasuk pemberian definisi Alquran.
Terdapat beberapa unsur Alquran yang disepakati oleh pakar ilmu Alquran.
1. Alquran
adalah wahyu atau kalam Allah. Seluruh definisi yang diberikan para ahli selalu
diawali oleh penyebutan bahwa Alquran adalah kalam atau wahyu Allah.
2. Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menunjukan bahwa kalam atau wahyu
Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah yang lainnya tidak bisa
dinamai Alquran.
3. Alquran
disampaikan melalui malaikat Jibril. Semua ayat Alquran diwahyukan dengan
perantaraan malaikat Jibril.
4. Alquran
diturunkan dalam bentul lafal dan bahasa Arab. Ulama meyakini bahwa Alquran
diturunkan Allah bukan semata-mata dalam bentuk makna seperti halnya dengan
Hadis Qudsi, melainkan juga sekaligus lafalnya. Karena lafal dan makna Alquran
berasal dari Allah, terjemahan Alquran yang dalam bahasa Arab sekalipun tidak dapat
dikatakan sebagai Alquran.
Nama
dan Julukan Alquran
Banyaknya
nama dan julukan yang dimiliki Alquran menunjukan betapa mulianya kedudukan
Alquran karena, seperti pernyataan as-Suyuthi bahwa fainna katsrat al-asma
tadullu ‘ala syarafi al-musamma, sungguh banyak nama untuk mengisyaratkan
kemuliaan sesuatu yang diberi nama.
Alquran dinamai Al-Kitab yang artinya tulisan yang
ditulis karena penulisan ayat-ayat Alquran dalam perkembangan sejarahnya tidak
hanya untuk memelihara otentitas Alquran, tetapi juga memiliki nilai sejarah
dan keindahan seni lukis yang sangat menakjubkan. Setiap nama dan julukan
Alquran dapat dibuktikan melalui ketepatan atau akurasinya dengan visi dan
fungsi Alquran. Dari sekian nama dan julukan, kata Alquran-lah yang paling banyak disebut didalam ayat-ayat
nya, disusul kemudian oleh nama al-Kitab, adz-Dzikir dan al-Furqan.
Seputar Surat dan Ayat
1. Surat dan Ayat
Secara lughawi, surat memilki
banyak arti antara lain, (1) tigkatan atau martabat (2) tanda atau lamar (3)
gedung yang tinggi dan indah (4) sesuatu yang lengkap atau sempurna (5) susunan
sesuatu atas lainnya yang bertingkat-tingkat.
Pengertian surat secara
terminologi para ahli ilmu Alquran memiliki makna yang berbeda-beda. Sebagian
definisi dari ulama tersebut dapat disebutkan disini, antara lain al-Jabari dan
Manna’ al-Qaththan. Menurut al-Jabari, “Surat
ialah (sebagian) Alquran yang mencakup beberapa ayat yang memiliki permulaan
dan penghabisan (penutup), dan paling sedikit adalah tiga ayat.” Sebaliknya
menurut Manna Al-Qaththan, “Surat ialah
sekumpulan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tempat bermula dan sekaligus tempat
berhenti (terakhir).”
Sedangkan pengertian ayat (jamak: ayat), secara
etimologis berarti tanda, pengajaran, urusan yang mengherankan dan mukjizat.
Al-Jabari mendefinisikan ayat sebagai (bagian) Alquran yang tersusun dari
beberapa kalimat walaupun dalam bentuk takdir (sekalipun) yang mempunyai tempat
permulaan dan berhenti yang terhimpun dalam suatu surat.” Manna Al-Qaththan
mengartikan ayat sebagai “sejumlah tanda (yang terdiri) dari kalam Allah yang
terhimpun atau bernaung dalam suatu surat dari Alquran.
2. Jumlah dan Pengelompokan Surat & Ayat
Menurut sebagian ulama jumlah surat dalam Alquran
sebanyak 114. Sebagian lainnya berpendapat dan meyakini bahwa jumlah surat
dalam Alquran adalah 113 surat karena surat al-Anfal dan surah at-Taubah
dihitung satu surat. Bahkan, sebagian penganut syiah mengatakan bahwa jumlah
surat dalam Alquran sebanyak 116 surat atau 115 surat bagi yang menganggap
surat al-Fiil dan al-Quraisy sebagai satu surat. Menurut sebagian kaum syiah,
dalah hal ini Syiah Gullat (Syiah ekstrem), dalam mushaf Ustmani terdapat
kekurangan dua surat yang mereka sebut surat al-Khal’u dan al-Hafdu.
Seputar
Wahyu
1. Pengertian dan Penyampaian Wahyu
Wahyu, secara semantik berarti “isyarat yang sangat
cepat (termasuk bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala
sesuatu yang disampaikan kepada oranglain untuk diketahui”. Wahyu secara
terminologis adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dan diyakini bahwa pengetahuan itu datang dan berasal dari
Allah, baik melalui perantara suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantara.
“Dan, tiada manusia yang
Allah berfirman kepadanya, kevuali dengan wahyu atau dari belakang tirai, atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi
Mahabijaksana” (QS as-Syura, 42:51)
Berdasarkan ayat diatas dapat diketahui bahwa wahyu
yang dikaruniakan Allah kepada manusia ada tiga macam: 1) pewahyuan 2)
mendengar suara dari belakang tirai atau hijab dan 3) perantaraan malaikat yang
membawa wahyu (Jibril).
2. Jenis Wahyu yang
Dialami Nabi Muhammad Saw
1.
Mipi yang benar. Jenis wahyu inilah yang
pertama kali diterima oleh Rasulullah Saw, sebelum beliau menerima wahyu
Alquran.
2.
Jibril menghembuskan wahyu ke dalam jiwa
Nabi Muhammad Saw, sedangkan Nabi sendiri tidak melihat Jibril
3.
Wahyu datang kepada Nabi Muhammad Saw,
bagaikan gemerincingnya suara lonceng atau suara lebah dengan keramat kerasnya
4.
Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad Saw dengan menjelma sebagai seorang manusia. Diriwayatkan malaikat
Jibril mendatangi nabi dalam rupa Dlilyah Ibn Khalifah, seorang lelaki yang
teramat tampan rupanya.
“Dan ketika
para utusan Kami (para malaikat) itu datang kepada Luth, dia merasa sedih dan
dadanya merasa sempit karena (kedatangan) mereka. Dia (Luth) berkata, "Ini
hari yang sangat sulit.” (QS Hud, 11:77)
5.
Malaikat Jibril datang kepada nabi dalam
bentuknya yang asli, kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada
Nabi Muhammad Saw.
6.
Allah berbicara kepada Nabi Muhammad Saw,
secara langsung tanpa melalui malaikat Jibril pada malam Mi’raj.
7.
Allah mencampakkan wahyu ke dalam jiwa
Nabi Muhammad Saw secara langsung tanpa melalui perantara malaikat Jibril.
Posisi Alquran Diantara Kitab-Kitab
Allah
Sebagai
kitab terakhir yng diturunkan Allah kepada nabi terakhir (khataman nabiyyin),
Alquran memiliki beberapa fungsi:
1.
Penjaga kitab-kitab sebelumnya
(al-Muhaimin).
2.
Hakim terhadap apa yang diperselisihkan
oleh manusia
3.
Mengahapus syariat kitab-kitab terdahulu.
Sebagai wahyu tertinggi dan penutup para nabi, Alquran telah me-nasakh hukum
kitab-kitab suci yang turun lebih dulu.
Alquran
juga mengandung pernyataan-pernyataan hukum yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Hukum moral dan pernyataan itu mengarah kepada satu tujuan, yaitu
menciptakan tata tertib yang berkeadilan di alam semesta. Alquran meningkatkan
derajat martabat wanita dan memberikan kedudukan pribadi yang penuh kepada
wanita. Alquran juga menciptakan milleu
sehingga perbudakan akan hilang dengan sendirinya.
BAB
3
DIMENSI
HISTORIS TURUNNYA ALQURAN
Cara
dan Proses Turunnya Alquran
Sebagai
wahyu illahi, Alquran disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui proses yang
disebut inzal proses perwujudan
Alquran (izhar Alquran). Cara yang ditempuh Allah mengajarkan kepada Malaikat Jibril,
lalu Malaikat Jibril menyampaikan kembali kepada Nabi Muhammad Saw.
Ada beberapa pendapat
mengenai proses turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut :
1. Alquran diturunkan secara langsung ke
al-lawh al-mahfuzh.
2.
Alquran diturunkan ke langit bumi secara sekaligus, lalu diturunkan secara berangsur –angsur kepada Nabi Muhammad
Saw selama 23 tahun.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
Alquran mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sedang berkhalwat seorang
diri di Gua Hira pada malam senin, 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran,
bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. Menurut catatan sejarah, masa turunnya
Alquran dibagi menjadi dua periode: pertama,
periode Makkiyah yaitu masa ayat-ayat yang turun ketika Nabi Muhammad Saw,
masih bermukim di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, persisnya sejak 17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahrin nabi; kedua, periode Madaniyah yaitu masa ayat-ayat yang turun setelah
Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah (selama 9 tahun 9 bulan 9 hari), persisnya
dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahiran nabi sampai 9 Zulhijah
tahun 63 dari kelahiran
Nabi (tahun 10 Hijriah).
Ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah disebut
ayat-yat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan pda periode Madinah
disebut ayat-ayat Madaniyah. Jika direkapitulasi, Alquran yang terdiri dari 30
juz itu memuat ayat-ayat Makiyah sekitar 19/30, sedangkan ayat-ayat Madaniyah sekitar 11/3.
Turunnya Alquran secara
beragsur-angsur memuat beberapa hikmah. Menurut Manna al-Qattan ada beberapa
hikmah penurunan Alquran secara berangsur-angsur sebagai berikut:
1.
Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw,
dalam mengahadapi watak keras masyarakat Quraisy.
2.
Sebagai mukjizat sebagai pendukung misi
kenabian mngingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad Saw ketika
mengahadapi kaum kafir.
3.
Untuk memudahkan penghafalan dan pemahaman
Alquran karena Alquran secara sekaligus akan mempersulit penghafalan dan
pemahaman isinya.
4.
Untuk menerapkan hukm secara bertahap
karena penghapusan beberapa tradisi jahiliah masyarakat Arab secara serentak
teramat sulit dilakukan.
5.
Sebagai bukti bahwa Alquran bukanlah
rekayasa Nabi Muhammad Saw atau manusia biasa.
Sejarah Mushaf Alquran
Untuk menjadi sebuah mushaf, Alquran
memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu
yang relatif panjang. Mushaf adalah Alquran hasil penulisan atau kodifikasi
panitia yang telah dibentuk Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim
disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam.
Ketika
ayat-ayat Alquran diturunkan Allah, para sahabat segera berlomba untuk
menghafalkannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat lainnya. Jika terjadi
masalah atau sesuatu yang “aneh” , mereka langsung mengonfirmasikan-nya kepada
Rasulullah Saw, lalu Rasulullah Saw
memberi penjelasan karena hafalan
beliau sangat kuat. Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu antara lain
: Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Mua’wiyah, Khalid bin Walid, Ubay Ibn Ka’b, Zaid bin Tsabit, Tsabit ibn Qais,
Amir Ibn Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa a-Asy’ari dan Abu Darda.
Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar
diangkat menjadi Khalifah. Pada masa kekhalifahannya, banyak terjadi kekacauan
yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad, terutama yang dipimpin oleh
Musailamah Al-Khadzab bersama para pengikutnya. Kondisi itu tentu mengakibatkan
terjadinya perang Yamamah pada 12 H. Dalam sebuah pertempuran, banyak sahabat
pengahapal Alquran yang gugur di medan perang, data tercatat menunjukan sekitar
70 otang yang menjadi syuhada sekaligus al-huffazh. Riwayat lain menyebutkan
bahkan jumlah yang lebih banyak 500 orang yang menjadi syuhada.
Peristiwa tersebut mengunggah hati Umar
bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran segera
dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah mushaf, namun Khalifah Abu Bakar ragu-ragu
untuk menerima gagasan yang disampaikan oleh Umar bin Khattab tersebut, dan
pada akhirnya Khalifah Abu Bakar menerima gagasan itu setelah betul-betul
mempertimbngkan kebaikan dan manfaatnya. Ciri penulisan Alquran pada masa Abu
Bakar adalah seluruh ayat Alquran dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah mushaf
setelah melalui proses penelitian yang cermat.
Setelah
Abu Bakar wafat, giliran Umar bin Khattab yang memegang tanggung jawab sebagai
Khalifah kedua. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, mushaf itu
diperintahkankan untuk disalin kembali kedalam lembaran (sahifah) yang lebih
baik. Setelah penulisan itu selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah,
istri Rasulullah Saw.
Sepeninggal
Umar bin Khattab, jabatan Khalifah
dipegang oleh Usman bin Affan. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dunia
Islam banyak mengalami kemajuan dan perkembangan. Banyak penghafal Alquran yang
ditugaskan ke berbagai provinsi untuk menjadi imam sekaligus ulama, bertugas
mengajar dan mendidik umat. Karena banyak yang menerima ajaran tentang bacaan
Alquran (qira’at) tersebut, lambat laun diantara mereka yang saling
membanggakan versi qira’atnya dan merendahkan qira’at lainnya. Mereka juga
mengklaim bahwa versi qira’atnya-lah yang paling benar. Situasi tersebut
mengkhawatirkan Usman bin Affan, dan akhirnya Usman bin Affan mengambil langkah
bahwa pada penulisan mushaf pada masa Abu Bakar harus disalin ulang menjadi
beberapa mushaf, lalu mushaf tersebut dikirimkan ke kota atau ke daerah untuk
menjadi bahan rujukan utama kaum muslimin ketika ada permasalahan dalam hal
tilawah.
Inisiatif tersebut muncul setelah ada
usulan dari Khuzaifah al-Yamani sebagaimana
termaksud dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari. Lalu Usman bin Affan
meminta Hafshah untuk mengirimkan mushaf yang disimpan untuk kembali menjadi
beberapa naskah. Kemudian Utsman bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah Ibn Zubair, sa’id bin ‘Ash, dan Abd ar-Rahman Haits untuk bekerja sama
menggandakan Alquran. Setelah selesai dalam penulisan, Khalifah Utsman
mengembalikan mushaf orisinil (master) kepada Hafshah.
Mushaf
yang ditulis pada masa Abu Bakar tetap tersimpan dirumah Hafshah sampai akhir
hayatnya. Diduga, mushaf otentik Ustman bin Affan juga disimpannya. Setelah ia
wafat, mushaf tersebut diambil alih oleh
Marwan Ibn al-Hakim (w. 65 H), walikota Madinah masa itu. Disebutkan pula
mushaf yang orisinil itu Marwan al-Hakim memerintahkan mushaf tersebut untuk
dibakar karena berbagai pertimbangan.
Ciri
mushaf Alquran yang ditulis pda Masa Khalifah Utsman bin Affan adaah ayat-ayat
Alquran yang tertulis didalamnya berdasarkan riwayat mutawatir; surah-surah dan
ayat-ayatnya disusun tertib sebagaimana yang disaksikan sekarang. Sebaliknya,
pada masa Abu Bakar, mushaf Alquran tidak disusun menurut tertib turunnya ayat,
tetapi surah-surah itu disusun menurut urutan turunnya wahyu.
Jika
bentuk mushaf hasil penulisan ketiga yang dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin
Affan itu dibandingkan dengan mushaf
pada Nabi Saw, mushaf pada masa
Abu Bakar dan mushaf Utsmani
perbedaannya sebagai berikut :
1. Pada
masa Nabi Saw, penulisan dilakukan ketika wahyu Alquran diturunkan dengan
menyusun rutan ayat-ayat dalam surat-surat tetentu sesuai dengan petunujuk Nabi
Saw.
2. Pada
masa Khalifah Abu Bakar penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin
kembali catatn-catatan Alqurannmenjadi sebuah mushaf.
3. Pada
masa Utsman bin Affan dilakukan penggandaan mushaf yang ditulis pada masa Abu
Bakar. Tertib ayat dan surahnya seperti yang ada sekarang ini.
Kronologi
Alquran
1. Kajian
tentang Ayat Pertama dan Terakhir
Terdapat
beberapa pendapat tentang hari pertama turunnya lquran dan ayat yang pertama
kali diturunkan. Pendapat yang dianggap paling kuat menyebutkan bahwa Alquran
diturunkan pada hari Senin 17 Rmadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Saw,
bertepatan dengan 6 Agustus 610 M.
Hari akhir turunnya Alquran, menurut mayoritas
(jumhur) ulama, adalah hari Jumat 9 Zulhijah tahun Hijriah berteoatan dengan
Maret 632 M. Saat itu Nabi Muhammad Saw sedang menjalani wukuf di Arafah yang
kemudian dengan terkenal dengan sebutan Haji Wada’ (haji terakhir dalam
kehidupan Nabi). Sekitar tiga bulan setelah ayat ini turun, Rasulullah Saw wafat,
tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 11 H bertepatan dengan 7 Juni 632
M.
2. Ayat-ayat
Makiyah dan Madaniyah
Meskipun
sebuah surat disebut Surat Makkiyah tidak berarti seluruh ayat yang ada dalam
surat tersebut diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Sebaliknya, meskipun sebuah
surat disebut Surat Madaniyah, tidak berarti seluruh ayat didalamnya diturunkan
di Madinah. Penamaan itu hanyalah karena surah tersebut memuat mayoritas
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.
Ayat-ayat
Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah, antara lain dalam surat Al-An’am,
6: 152-153, sebagai mana diungkapkan oleh Ibn Abbas, “surat ini diturunkan di
Mekah sekaligus sehingga ia disebut surat Makkiyah, kecuali tiga ayat dari
surat itu yang diturunkan di Madinah: ayat
151-153”34.
Memahami ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sangat
penting karena selain untuk lebih untuk lebih mengetahui mana ayat-ayat yang
turun lebih awal dan mana yang lebih akhir, juga untuk keperluan metodologi
penafsiran. Pengetahuan tentang perbedaan ayat-ayat tersebut sangat membantu
dan mempermudah pemahaman tentang ayat-ayat tersebut yang sudah dihapuskan
nilai hukumnya (mansukh) dan ayat-ayat yang menghapus (nasikh) atau ayat-ayat
yang di khususkan (makhshush) dan ayat-ayat yang mengkhususkan (mukhashshish).
3. Ciri-ciri
Ayat Makkiyah dan Madaniyah
1.
Ayat dan surat Makkiyah umumnya
pendek-pendek, sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya panjang-panjang.
2.
Ayat dan surat Makkiyah umumnya dimulai
dengan sapaan ya ayyuhannas (hai sekalian manusia), sedangkan ayat dan surat
Madaniyah dimulai oleh ungkapan ya ayyuha al-aladzina amanu (hai orang-orang
yang beriman).
3.
Ayat dan surat Makkiyah umumnya berbicara
tentang ketauhidan (iman), sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya berbicara
tentang sosial-kemasyarakatan dan hukum.
4.
Setiap surat yang didalamnya mengandung
ayat sajdah adalah Makkiyah, sedangkan setiap surat yang mengandung kata kalla (jangan
begitu) ada;ah Makkiyah.
5.
Surat-surat yang mengandung kisah-kisah
para Nabi dan umat terdahulu, kecuali surat al-Baqarah adalah Makkiyah.Setiap
surat yang didahului oleh huruf-huruf muqatha’ah, kecuali surat al-Baqarah dan
Ali Imran adalah Makkiyah sedangkan surat ar-Ra’d masih diperselisihkan oleh
ulama tafsir.
4. Munasabah
Alquran
Munasabah menurut bahasa
berarti musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan), sedangkan menurut
istilah Ulumul Quran berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan dalam
Alquran. Hubungan-hubungan tersebut meliputi beberapa hal berikut:
1.
Hubungan satu surat dengan surat
sebelumnya untuk menjelaskan surat sebelumnya.
2.
Hubungan antara nama surat dan isi atau
tujuan surat. Nama-nama surat biasanya diambil dari masalah (tema) pokok dalam
surat tersebut.
3.
Hubungan antar fawatih as-suwair (ayat
pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dan isi surah.
4.
Hubungan antar ayat pertama dan ayat
terakhir dalam satu surat.
5.
Hubungan satu ayat dengan yang lainnya
dalam satu sura.
6.
Hubungan antar kalimat dengan kalimat
lainnya dalam satu ayat.
7.
Hubungan antar satu fashilah dengan isi
ayat.
8.
Hubungan antara penutup surat dan awal
surat berikutnya.
Asbab
an-Nuzul
Pembahasan
Asbab an-Nuzul meliputi antara lain, pengertian asbab an-nuzul, fungsi riwayat
asbab an-nuzul, kualifikasi riwayat atau hadis yang meriwayatkannya,
jenis-jenis asbab an-nuzul, dan kaidah-kaidah asbab an-nuzul yang berfokus pada
hubungan antara riwayat dan bentuk redaksi yang digunakan ayat-ayat yang
memiliki asbab an-nuzul.
1.
Pengertian Asbab
an-Nuzul
Kata Asbab (tunggal: sabab) berarti atau alasan atau
sebab,
jadi Asbab an-Nuzul berarti
pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat. Unsur-unsur yang terpenting
untuk diketahui perihal Asbab an-Nuzul ialah adanyasatu atau beberapa kasus
yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat.
Sebenarnya,
jika yang dimaksud Asbab an-Nuzul adalah hal-hal yang menyebabkan turunnya
ayat-ayat Alquran, semua ayat Alquran memiliki asbab an-nuzul. Tujuan utama
Alquran melalui kehadiran asbab an-nuzul
ini ialah terjadi proses transformasi nilai-nilai bagi umat Nabi Muhammad Saw
dari situasi yang lebih buruk kepada situasi yang lebih baik menurut ukuran
Tuhan.
2. Fungsi
Asbab an-Nuzûl
Memahami
asbab an-nuzul dengan baik, akan memberi manfaat:
1.
Mengetahui hikmah dan rahasia di undangnya
sebuah hukum dan perhatian syariat terhadap kepentingan umum tanpa membedakan
etnik, jenis kelamin, dan agama.
2.
Mengetahui asbab an-nuzul akan sangat
membantu dengan mendapatkan kejelasan
beberapa ayat.
3.
Akan membantu sesorang untuk melakukan
pengkhususan hukum terbatas pada sebab-sebab tertentu, terutama yang menganut
kaidah “sebab khusus”.
4.
Dapat membantu sesorang lebih memahami
apakah suatu ayat berlaku umum atau khusus, serta dalam hal apa ayat itu harus
diterapkan.
3. Jenis
Riwayat Asbab an-Nuzûl
Mengenai
jenis-jenis asbab an-nuzul dapat dikategorikan ke dalam bentuk berikut:
a. Tanggapan atas peristiwa umum.
b. tanggapan atas peristiwa khusus. Misalnya sebab-sebab turunnya
ayat-ayat yang menjadi tanggapan atas turunnya surat al-Baqaraj ayat 158.
c. Jawaban atas pertanyaan yang diaujak kepada Nabi Saw.
d. Jawaban atas pertanyaan Nabi Saw kepada Allah.
e. Tanggapan atas pertanyaan yang berisfat umum. Dalam bentuk lain,
ayat-ayat Alquran diturunkan dalam rangka memberi petunjuk perihal pertanyaan
yang bersifat umum yang muncul dikalangan sahabat.
f. Tanggapan terhadap orang-orang tertentu. Ada kalanya ayat-ayat
Alquran turun untuk menanggapi keadaan atau orang-orang tertentu.
g. Beberapa sebab, tetapi suatu wahyu. Boleh jadi sebuah wahyu
turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab.
h. Beberapa wahyu, tetapi sebab. Ada lagi beberapa ayat yang
diturunkan untuk menanggapi satu peristiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar