A. Perdagangan dalam Al-quran
Perdagangan secara umum berarti
kegiatan jual beli barang dan/atau jasa yang dilakukan secara terus menerus
dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa dengan disertai imbalan
atau kompensasi (SK MENPERINDAG No. 23/MPP/Kep/1/1998).
Dalam Al-quran, perdagangan
dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu tijarah (perdagangan), bay’
(menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut masih banyak
lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan perdagangan, seperti dayn, amwal,
rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan perdagangan global
(QS. Al-Jum’ah : 9).
Kata tijarah adalah mashdar
dari kata kerja yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah ini
disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu
surat Al-Baqarah :16 dan 282, An-Nisaa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur :37,
Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Pada surat Al-Baqarah disebut dua
kali, sedangkan pada surat lainnya hanya disebut masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual)
disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu Surat Al-Baqarah :254 dan 275,
Surat Ibrahim :31 dan Surat Al-Jum’ah :9.
Selanjutnya istilah lain dari
perdagangan yang juga terdapat dalam Al-quran adalah As-Syira. Kata ini
terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi perdagangan dalam
konteks bisnis yang sebenarnya (surat Yusuf ayat 21 dan 22), yang menjelaskan
tentang kisah Nabi Yusuf yang dijual oleh orang yang menemukannya.
Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah
berfirman, ” Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi
dan carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian
menjadi orang yang beruntung..
Apabila ayat ini kita perhatikan
secara seksama, ada dua hal penting yang harus kita cermati, yaitu fantasyiruu
fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan wabtaghu min fadl Allah (carilah
rezeki Allah).
Makna fantasyiruu adalah
perintah Allah agar umat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan
aktivitas bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Allah SWT tidak
membatasi manusia dalam berusaha, hanya di kampung, kecamatan, kabupaten,
provinsi, atau Indonesia saja. Allah memerintahkan kita untuk go global
atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus seluruh penjuru dunia.
Ketika perintah bertebaran ke pasar
global bersatu dengan perintah berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita
membawa barang, jasa dan komoditas ekspor lainnya serta bersaing dengan
pemain-pemain global lainnya. Menurut kaidah marketing yang sangat
sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products,
Price, Promotion, dan Placement atau delivery.
Dalam Surat Al-Quraisy Allah
melukiskan satu contoh dari kaum Quraisy yang telah mampu menjadi pemain global
dengan segala keterbatasan sumber daya alam di negeri mereka. Allah berfirman, “Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalanan dagang
pada musim dingin dan musim panas.”
Para ahli tafsir baik klasik,
seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti,
al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa perjalanan dagang musim
dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian
Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar
Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah
di pelabuhan internasional Aden.
B. Karakteristik Perdagangan
Syari’ah
Prinsip dasar yang telah ditetapkan
Islam mengenai perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari kejujuran,
kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang
tepat dan standar benar-benar harus diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan
dalam surat Al Muthoffifin ayat 2-7 :
“Kecelakaan besarlah bagi orang
yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka
minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya
kitab orang yang durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”
Selain itu, Islam tidak hanya
menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran yang penuh, tetapi juga dalam
menimbulkan itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil beberapa pengamatan yang
dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang timbul dalam bisnis dikarenakan
kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan kejelasan secara tertulis syarat bisnis
mereka. Untuk membina hubungan baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus
dinyatakan secara tertulis dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena “yang
demikian itu lebih adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan persaksian, dan
lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.” (Al Baqoroh : 282-283)
Disamping itu, ada beberapa hal yang
terkait dengan perdagangan syariah, yaitu :
- Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak membeli barang sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.
- Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas barang yang dijual sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.
- Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah, konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi memiliki label halal.
- Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar dan harga yang berlaku.
C. Perdagangan Yang Dilarang
- Talqi – Jalab
Talqi-jalab adalah suatu kegiatan
yang umum dilakukan oleh orang-orang Madinah, yaitu manakala para petani
membawa hasil ke kota, lalu menjualnya kepada orang-orang di kota kemudian
orang kota tersebut menjual hasil panen tersebut, dengan harga yang mereka
tetapkan sendiri. Rosululloh tidak menyukai cara perdagangan seperti ini,
karena beliau menganggap perbuatan tersebut mencurangi seseorang.
- Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad
Ada beberapa orang bekerja sebagai
agen-agen penjualan hasil panen dan semua hasil panen dijual melalui mereka.
Mereka memperoleh keuntungan baik dari penjual maupun dari pembeli dan
seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang harus diterima petani dan kepada
para pembeli tidak diberi harga yang benar dan wajar. Rosululloh melarang
bentuk perdagangan dengan menarik keuntungan dari penjual dan pembeli.
- Perdagangan dengan cara Munabazah
Dalam perdagangan secara munabazah,
seseorang menjajakan pakaian yang dia miliki untuk dijual kepada orang lain dan
penjualan tersebut menjadi sah, meskipun orang tersebut tidak memegang atau
melihat barang tersebut. Berarti bahwa penjual langsung melemparkan barang
kepada pembeli dan penjualan itu sah. Pembeli tidak ada kesempatan untuk
memeriksa pakaian tersebut atau harganya. Ada kemungkinan penipuan atau
kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam bentuk perdagangan seperti ini,
sehingga Rosululloh melarang perdagangan dengan cara munabazah.
- Perdagangan dengan cara Mulamasah
Dalam perdangangan secara mulamasah,
seseorang menjual sebuah pakaian dengan boleh memegang tapi tanpa perlu membuka
atau memeriksanya. Hal ini juga dilarang Rosululloh karena keburukannya sama
seperti munabazah.
- Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habala
Bentuk perdagangan ini sangat umum
di negara Arab pada waktu itu. Dalam perdagangan ini, seseorang menjual seekor
unta betina dengan berjanji membayar apabila unta itu melahirkan seekor anak
unta jantan atau betina. Cara perdagangan seperti inipun dilarang oleh
Rosululloh karena mengandung unsur perkiraan atau spekulasi.
- Perdagangan dengan cara Al-Hasat
Dalam bentuk perdagangan seperti
ini, penjual akan menyampaikan kepada pembeli bahwa apabila pembeli melemparkan
pecahan-pecahan batu kepada penjual, maka penjualan akan dianggap sah. Cara
seperti ini juga diharamkan oleh Rosululloh karena sama buruknya dengan
perdagangan secara munabazah dan mulamasah.
- Perdagangan dengan cara muzabanah
Dalam bentuk perdagangan ini,
buah-buahan ketika masih di atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat
penukar untuk memeperoleh kurma dan anggur kering, atas sederhananya menjual
buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan kering. Rosululloh melarang cara
seperti ini karena didasari atas perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika
perkiraan ternyata salah
- Perdagangan dengan cara Muhaqolah
Dalam sistem muhaqolah ini, panen
yang belum dituai dijual untuk memperoleh hasil panen yang kering. Rosululloh
melarang cara perdagangan seperti ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Abdullah Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan Said Ibn Mussayyib. Bentuk ini sama
dengan bentuk muzabanah dengan semua kemudharatannya.
- Perdagangan tanpa hak pemilikian
Perdagangan barang-barang khususnya
yang tidak tahan lama, tanpa perolehan hak milik juga dilarang oleh Rosululloh
karena mengandung unsur keraguan dan penipuan. Diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa
Rosululloh bersabda: “Siapapun yang membeli gandum tidak berhak menjualnya
sebelum memperoleh hak miliknya.”
- Perdagangan dengan cara Sarf
Perdagangan dengan cara sarf berarti
menggunakan transaksi di mana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk
memperoleh emas dan perak. Rosululloh bersabda bahwa pertukaran emas dengan
emas merupakan riba kecuali dari tangan ke tangan, kurma dengan kurma adalah
riba kecuali dari tangan ke tangan, dan garam dengan garam adalah riba kecuali
dari tangan ke tangan.
- Perdagangan dengan cara Al-Ghoror
Perdagangan yang dilakukan dengan
cara melakukan penipuan terhadap pihak lan.
- Misrot
Misrot adalah hewan yang mempunyai
susu, tapi susunya tidak diperas. Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual
binatang ini terlebih dahulu diperah selama beberapa hari untuk menipu pembeli.
Ini adalah salah satu cara dimana pembeli binatang merasa ditipu dan diminta
untuk membayar dengan harga yang lebih mahal
- Najsh
Sederhananya, najsh itu bermakna
terjadinya sesuatu kenaikan harga karena seseorang telah mendengar bahwa harga
barang tersebut telah naik, lalu membelinya tetapi tidak karena ingin
membelinya melainkan karena ingin menjualnya kembali dengan menetapkan harga
yang lebih tinggi, atau berminat terhadap barang yang dijual dengan tujuan
untuk menipu orang lain.
- Penjualan dengan sumpah
Penjual menjual barangnya (dalam
harga tinggi) dengan melakukan sumpah tentang tingginya kualitas barang
tersebut.
- Pemalsuan
Rosululloh melarang pemalsuan
barang-barang yang akan dijual sebagaiman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
- Perdagangan dengan cara menyembunyikan
Cara seperti ini yaitu menyembunyikan
gandum dan barang-barang lainnya untuk menaikkan harga dengan sengaja.
- Monopoli
Monopoli akan muncul manakala pusat
kontrol pasokan (supply) barang atau jasa dipegang oleh satu orang atau
sekelompok orang.dia yang mengontrol pasokan barang atau jasa dan menetapkan
harga yang menguntungkan baginya, tetapi keuntungannya tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
D. Keadaan Perdagangan Saat Ini
Contoh yang paling dekat dengan
kemampuan dagang yang dilukiskan Al-Qur’an saat ini mungkin terdapat pada
Singapura atau Hongkong, negeri yang miskin sumberdaya alam tetapi mampu
menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan Pasifik.
Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50 kali
Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya alam yang ribuan kali lipat.
Mungkin kita harus becermin pada Al-Qur’an yang selama ini kita tinggalkan
untuk urusan bisnis dan ekonomi.
Meskipun Al-Qur’an cukup banyak
membicarakan perdagangan bahkan dengan tegas memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri
muslim memiliki kekayaan alam yang besar, namun ekonomi umat Islam jauh
tertinggal dibanding negara-negara non Muslim. Banyak faktor yang membuat umat
Islam tertinggal dari bangsa lain, antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan
sesama negeri muslim. Menurut catatan OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku
“Menuju tata baru Ekonomi Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim
hanya 12 % dari jumlah perdagangan negara-negara Islam”.
Fenomena lemahnya kerja sama
perdagangan itu terlihat pada data-data berikut :
- Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimpor mentega dari Eropa Barat.
- Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
- Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (impor) dari Eropa Barat.
- Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa
produk Indonesia yang dibutuhkan negara muslim di Timur Tengah, harus melalui
Singapura. Kounsekuensinya yang mendapat keuntungan besar adalah Singapura,
karena ia membeli dengan harga murah dan menjual ke Timur Tengah dengan harga
mahal. Dan negara kita sering kali cukup puas dengan kemampuan ekspor sekalipun
mendapatkan keuntungan (margin) yang sedikit. Hal ini menunjukkan kebodohan
kita dalam perdagangann internasional. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Nabi
Muhammad yang telah meneladankan sikap fathanah (cerdas) dan komunikatif
(tabligh) dalam perdagangan.
Dengan berbagai kelemahan dan fakta
yang ada di atas, maka diperlukan penerapan beberapa langkah ataupun strategi
yang baik dan sesuai/tidak jauh dari Al-Qur’an. Dalam melaksanakan
strategi-strategi tersebut, maka harus didasarkan pada konsep berusaha yang
sesuai syariat Islam. Konsep-konsep dasar dalam berusaha tersebut antara lain :
- Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah SWT telah memerintahkan kepada
seluruh manusia jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja untuk
hanya mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk
tidak mengikuti langkah-langkah syaitan dengan mengambil yang tidak halal dan
tidak baik.
“Hai sekalian manusia, makanlah
(ambillah) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah :168)
Oleh karena itu, dalam berusaha
Islam mengharuskan manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang
meliputi halal dari segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus
halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang
memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya
sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:
Sesungguhnya perkara halal itu jelas
dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara
yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena
itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas (dari
kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya . . .. . .Ingat! Sesungguhnya didalam
tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh,
dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adalah hati”
(Hadits)
Jadi sesungguhnya yang halal dan
yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya
berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, apabila hatinya jernih maka
segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang
tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya
tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
- Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”.
(Q.S. An Nisaa:29)
Kemudian Allah SWT memerintahkan
kepada orang yang beriman agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya
hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang
berlaku secara ridho sama ridho. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits
berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah
mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka
ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi
Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian ini? Orang
itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu
sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW
bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama,
atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil
penjualan (kurma Khaibar) tadi.
Intisari dari pelajaran yang
diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus
mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian yang
dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan penilaian
yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho
sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan
melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang
disebut sebagai uang.
- Fungsi Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi
Dalam syariah Islam, uang
semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang
pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia
tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya
uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan
semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang
baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara
jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari
logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang
tertentu.
Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri
tidak menerbitkan uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu
menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di
semua pasar yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun
menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di
negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di negara tersebut dan
kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang positif.”
Karena dalam syariah Islam uang
adalah alat tukar nilai, maka uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan.
Artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga
bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan
merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. Karena pada zaman Rasulullah
SAW uang dibuat dari emas dan perak, maka dalam surat At Taubah ayat 34
dinyatakan:
“Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).”
- Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko yang melebihi kemampuan
Kemudian dalam melakukan perniagaan,
Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada
pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan taqwa.
“Hai orang-orang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah
karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)
Bahkan Islam mengharuskan untuk
berlaku adil dan berbuat kebajikan, dimana berlaku adil harus didahulukan dari
berbuat kebajikan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh
berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)
Dalam perniagaan, persyaratan adil
yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun
timbangan).
“..Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al An’am:152)
“Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas
neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7-9)
Berlaku adil akan dekat dengan
taqwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada
kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu
bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang
dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW adalah
sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu yang berada
dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang menipu.
Wahai manusia, sesungguhnya janji
Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu kehidupan dunia dan
janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena) seorang penipu (al
gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)
“Janganlah kalian membeli ikan di
dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)
Sebaliknya atas harta milik sendiri
dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk
mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut mempunyai probabilita untuk
membawa manfaat, namun bila probabilitas untuk membawa kerugian lebih besar
dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka tindakan usaha tersebut adalah
sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan sehingga harus difikirkan
dengan matang.
Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat
keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan),
maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan
kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.(Q.S.
Al Baqarah:219)
- Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan
tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, dalam menjalankan
usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati.
Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara ridho sama
ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
“Hai orang-orang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)
“Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)
“Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)
- Manusia harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
Manusia memang ditakdirkan untuk
diciptakan dengan perbedaan, dimana sebagian diantaranya diberi kelebihan
dibandingkan sebagian yang lain, dengan tujuan agar manusia dapat bekerjasama
untuk mencapai hasil yang lebih baik.
“Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az Zukhruf :32)
Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa “Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh
kebutuhan hidupnya. Semua manusia harus bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan
hidup dalam peradabannya.” Lebih lanjut Ibnu Khaldun juga menerangkan akan
hasil kerjasama yang sekarang kita sebut synergy, sebagai berikut: “Hasil
kerjasama sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat dari
jumlah mereka sendiri.”
PENUTUP
Rasulullah merupakan sosok teladan
yang patut kita jadikan contoh, keberhasilan beliau dalam mengembangkan
perekonomian umat telah terbukti. Hanya dalam waktu setahun setelah hijrah ke
madinah, beliau berhasil membangun perekonomian yang sangat kuat. Hanya dalam
waktu setahun umat Islam berhasil menguasai ekonomi yang selama ini dipegang
oleh orang-orang Yahudi dan umat lainnya.
Rahasia kesuksesan tersebut adalah
ternyata Rasulullah memprioritaskan pasar. Yang pertama kali dilirik oleh
Rasulullah adalah pasar. Beliau membangun jalan dari masjid sampai ke
pelosok-pelosok desa, sehingga masyarakat mempunyai akses pemasaran.
Selain itu Nabi Muhammad telah
mempraktekan usaha perdagangan sejak berusia yang relatif muda, yaitu 12 tahun.
Dan ketika berusia 17 tahun ia telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke
luar negeri. Profesi inilah yang ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi
Rasul di usia yang ke 40. Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader
menyebutkan bahwa reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga
beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota
perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam konteks profesinya sebagai pedagang
inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-Amin Afzalur Rahman juga mencatat
dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara
ketika itu, sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa.
Semangat inilah seharusnya yang
dibangun dan dikembangkan oleh kaum muslimin saat ini agar peradaban kaum
muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini melalui kejayaan ekonomi dan
perdagangan.
Dengan mengambil contoh kisah
diatas, umat Islam perlu memperhatikan perekonomian. Dahulu umat Islam pernah
berjaya di bidang ekonomi, namun kini jauh tertinggal dibandingkan umat-umat
yang lain. Karena itu, umat Islam harus mengejar ketinggalan tersebut dengan
cara membangun ekonominya. Dan sektor perniagaanlah yang agaknya sesuai untuk
lebih diperhatikan dalam membangun perekonomian.
Negara-negara Islam memiliki 70%
cadangan minyak dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara
Islam juga merupakan pemasok dan penyuplay 42% permintaan petrolium (minyak)
dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki
potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. Sekjen Ikatan Ahli
Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam UIN
Jakarta. (Artikel)
Mannan, Abdul. 1995. Teori Dan
Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin
Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
http://ditjenpdn.depdag.go.id/pls/portal30/url/folder/
http://fossei.4t.com/Artikel.htm
http://muhammadfendisyariah.blog.friendster.com/about/
http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_cara.php?idKategori=1
Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq
Al-Atsariyyah
Pihak ketiga selama ini dianggap
faktor utama yang memicu pertikaian dalam rumah tangga. Namun jika kita telisik
lebih dalam, sejatinya segala ketakserasian yang terjadi lebih disebabkan
akhlak dan perilaku suami atau istri sendiri. Sikap-sikap yang jauh dari
tuntunan agama yang dipraktikkan, alhasil, memupuk setiap perselisihan antara
suami dan istri yang kemudian menumbuhkan konflik yang bisa berbuah perceraian.
Dalam Al-Qur`an yang mulia termaktub
sebuah ayat yang berbunyi:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sungguh engkau (wahai Muhammad) berbudi pekerti (memiliki akhlak) yang agung.” (Al-Qalam: 4)
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sungguh engkau (wahai Muhammad) berbudi pekerti (memiliki akhlak) yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Ayat ini memuat pujian Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada Rasul-Nya yang pilihan, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kenyataannya memang tak ada manusia yang lebih sempurna akhlaknya
daripada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai suatu anugerah dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi taufik kepada beliau. Tidak
ada satu pun kebagusan dan kemuliaan melainkan didapatkan pada diri beliau
dalam bentuk yang paling sempurna dan paling utama. Hal ini pun diakui oleh
para sahabatnya yang menyertai hari-hari beliau, sebagaimana dinyatakan Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 5971)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 5971)
Bagaimana Anas tidak memberikan
sanjungan yang demikian, sementara ia telah berkhidmat pada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sejak usia sepuluh tahun dan terus menyertai beliau selama 9
tahun.1 Tak pernah sekalipun ia mendapat hardikan dan kata-kata kasar dari Nabi
yang mulia ini.
فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لـَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Aku berkhidmat (melayani keperluan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar maupun tidak. Demi Allah, terhadap suatu pekerjaan yang terlanjur aku lakukan, tak pernah beliau berkata, ‘Kenapa engkau lakukan hal tersebut demikian?’ Sebaliknya, bila ada suatu pekerjaan yang belum aku lakukan, tak pernah beliau berkata, ‘Mengapa engkau tidak lakukan demikian?’.” (HR. Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5968)
فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لـَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Aku berkhidmat (melayani keperluan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar maupun tidak. Demi Allah, terhadap suatu pekerjaan yang terlanjur aku lakukan, tak pernah beliau berkata, ‘Kenapa engkau lakukan hal tersebut demikian?’ Sebaliknya, bila ada suatu pekerjaan yang belum aku lakukan, tak pernah beliau berkata, ‘Mengapa engkau tidak lakukan demikian?’.” (HR. Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5968)
Demikian pengakuan Anas radhiyallahu
‘anhu.
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu:
“Dalam hadits ini ada keterangan tentang sempurnanya akhlak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bagus pergaulannya, kesabarannya yang luar biasa, kemurahan
hati, dan pemaafannya.” (Al-Minhaj, 15/71)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu
‘anha, ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir tentang akhlak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : {وَإِنَّكَ لَعَلىَ خُلُقٍ عَظِيْمٍ}؟
“Akhlak beliau adalah Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘Sungguh engkau (wahai Muhammad) berbudi pekerti (memiliki akhlak) yang agung’?” (HR. Ahmad, 6/88)
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : {وَإِنَّكَ لَعَلىَ خُلُقٍ عَظِيْمٍ}؟
“Akhlak beliau adalah Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘Sungguh engkau (wahai Muhammad) berbudi pekerti (memiliki akhlak) yang agung’?” (HR. Ahmad, 6/88)
Gambarannya, apa saja yang
diperintahkan Al-Qur`an, beliau lakukan. Dan apa saja yang dilarang Al-Qur`an,
beliau tinggalkan. Selain memang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menciptakan beliau dengan tabiat dan akhlak yang mulia seperti rasa malu,
dermawan, berani, penuh pemaafan, sangat sabar, dan lain sebagainya dari
perangai-perangai yang baik. (Bahjatun Nazhirin, 1/670)
Kebagusan akhlak ini, tampak dari diri beliau ketika bergaul dengan istrinya, sanak familinya, sahabatnya, masyarakatnya, bahkan dengan musuhnya. Tak heran masyarakat Quraisy yang paganis ketika itu memberi gelar pada beliau Al-Amin, orang yang terpercaya, jujur, tak pernah dusta lagi amanah, sebagai bentuk pengakuan terhadap salah satu pekerti beliau yang mulia.
Kebagusan akhlak ini, tampak dari diri beliau ketika bergaul dengan istrinya, sanak familinya, sahabatnya, masyarakatnya, bahkan dengan musuhnya. Tak heran masyarakat Quraisy yang paganis ketika itu memberi gelar pada beliau Al-Amin, orang yang terpercaya, jujur, tak pernah dusta lagi amanah, sebagai bentuk pengakuan terhadap salah satu pekerti beliau yang mulia.
Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersama Istrinya
Keberadaan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin, setiap harinya tersibukkan dengan
beragam persoalan umat, mengurusi dan membimbing mereka, bukanlah menjadi
alasan beliau untuk tidak meluangkan waktu membantu istrinya di rumah. Bahkan
didapati beliau adalah orang yang perhatian terhadap pekerjaan di dalam rumah,
sebagaimana persaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang apa
yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar untuk menunaikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676)
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar untuk menunaikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676)
Beliau ikut turun tangan meringankan
pekerjaan yang ada seperti kata istri beliau, Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Beliau manusia sebagaimana manusia yang lain. Beliau membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, 6/256. Lihat Ash-Shahihah no. 671)
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Beliau manusia sebagaimana manusia yang lain. Beliau membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, 6/256. Lihat Ash-Shahihah no. 671)
Sifat penuh pengertian, kelembutan,
kesabaran, dan mau memaklumi keadaan istri amat lekat pada diri Rasul. Aisyah radhiyallahu
‘anha berbagi cerita tentang kasih sayang dan pengertian beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ، فَاضْطَجَعَ عَلَى
الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ. وَدَخَلَ أَبُوْ
بَكْرٍ
فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: دَعْهُماَ. فَلَمَّا غَفَلَ
غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua budak perempuan yang sedang berdendang dengan dendangan Bu’ats2. Beliau berbaring di atas pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku dengan berkata, ‘Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata, ‘Biarkan keduanya’.3 Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada keduanya agar menyudahi dendangannya dan keluar. Keduanya pun keluar.” (HR. Al-Bukhari no. 949 dan Muslim no. 2062)
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua budak perempuan yang sedang berdendang dengan dendangan Bu’ats2. Beliau berbaring di atas pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku dengan berkata, ‘Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata, ‘Biarkan keduanya’.3 Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada keduanya agar menyudahi dendangannya dan keluar. Keduanya pun keluar.” (HR. Al-Bukhari no. 949 dan Muslim no. 2062)
وَكَانَ يَوْمُ
عِيْدٍ
يَلْعَبُ السُّوْدَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ:
تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ، خَدِّي
عَلَى
خَدِّهِ، وَهُوَ
يَقُوْلُ: دُوْنَكُمْ ياَ
بَنِي
أَرْفِدَةَ. حَتَّى
إِذَا
مَلِلْتُ، قَالَ:
حَسْبُكِ؟ قُلْتُ:
نَعَمْ.
قَالَ:
فَاذْهَبِي
“Biasanya pada hari raya, orang-orang Habasyah bermain perisai dan tombak (berlatih perang-perangan). Aku yang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (agar diperkenankan menonton permainan tersebut) dan beliau sendiri menawarkan dengan berkata, ‘Apakah engkau ingin melihat permainan mereka?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakangnya, pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan wahai Bani Arfidah4.’ Hingga ketika aku telah jenuh, beliau bertanya, ‘Cukupkah?’ ‘Iya’, jawabku. ‘Kalau begitu pergilah’, kata beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 950 dan Muslim no. 2062)
“Biasanya pada hari raya, orang-orang Habasyah bermain perisai dan tombak (berlatih perang-perangan). Aku yang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (agar diperkenankan menonton permainan tersebut) dan beliau sendiri menawarkan dengan berkata, ‘Apakah engkau ingin melihat permainan mereka?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakangnya, pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan wahai Bani Arfidah4.’ Hingga ketika aku telah jenuh, beliau bertanya, ‘Cukupkah?’ ‘Iya’, jawabku. ‘Kalau begitu pergilah’, kata beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 950 dan Muslim no. 2062)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini ada keterangan tentang sifat yang dimiliki Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa penyayang, penuh kasih, berakhlak yang
bagus, dan bergaul dengan baik terhadap keluarga, istri, dan selain mereka.” (Al-Minhaj,
6/424)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu
saat menafsirkan ayat: وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ menyatakan, “Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istri beliau. Wajahnya
senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu, bersikap lembut
terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama
istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu
‘anha berlomba lari, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau
terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ummul Mukminin Shafiyyah
radhiyallahu ‘anha berkisah bahwa suatu malam ia pernah mengunjungi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sedang i’tikaf di masjid
pada sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama
beliau beberapa waktu. Setelahnya, ia pamitan untuk kembali ke rumahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bangkit untuk mengantarkan
istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah Ummu
Salamah, lewat dua orang dari kalangan Anshar, keduanya mengucapkan salam lalu
berlalu dengan segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegur keduanya, “Pelan-pelanlah kalian dalam berjalan,
tak usah terburu-buru seperti itu, karena tak ada yang perlu kalian
khawatirkan. Wanita yang bersamaku ini Shafiyyah bintu Huyai, istriku.”
Keduanya menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah, tidaklah kami
berprasangka jelek padamu.” Beliau menanggapi, “Sesungguhnya setan berjalan
pada diri anak Adam seperti beredarnya darah, dan aku khawatir ia melemparkan
suatu prasangka di hati kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2035 dan Muslim no.
5643)
Akhlak
Mulia dalam Rumah Tangga
Tuturan di atas hendak memberikan
gambaran kepada pembaca tentang indahnya rumah tangga seorang muslim yang
memerhatikan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, sebagaimana rumah tangga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap
kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang
istri. Karena terkadang ada orang yang bisa bersopan santun, berwajah cerah dan
bertutur manis kepada orang lain di luar rumahnya, namun hal yang sama sulit ia
lakukan di dalam rumah tangganya. Ada orang yang bisa bersikap pemurah kepada
orang lain, ringan tangan dalam membantu, suka memaafkan dan berlapang dada,
namun giliran berhadapan dengan “orang rumah”, istri ataupun anaknya, sikap
seperti itu tak tampak pada dirinya.
Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada keluarganya maka hal ini tidak hanya berlaku
kepada para suami, sehingga para istri merasa suami sajalah yang tertuntut
untuk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tidak dapat dipahami seperti
itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera
rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yang paling utama
harus menunjukkan budi pekerti yang baik dalam rumah tangganya karena dia
sebagai qawwam, sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut untuk mendidik anak
istrinya di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka
sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Seorang istri pun harus memerhatikan
perilakunya kepada sang suami, sebagai pemimpin hidupnya. Tak pantas ia
“menyuguhi” suaminya ucapan yang kasar, sikap membangkang, membantah dan
mengumpat. Tak semestinya ia tinggi hati terhadap suaminya, dari mana pun
keturunannya, seberapa pun kekayaannya dan setinggi apa pun kedudukannya. Tak
boleh pula ia melecehkan keluarga suaminya, menyakiti orang tua suami, menekan
suami agar tidak memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataannya, banyak kita dapati
istri yang berani kepada suaminya. Tak segan saling berbantah dengan suami,
bahkan adu fisik. Ia tak merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami
dan tidak menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak
suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan
suaminya agar tidak memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat, ia mencela,
ia menyakiti… Istri yang seperti ini gambarannya jelas bukan istri yang
berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yang dinyatakan dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Dan bukan istri yang digambarkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhuma:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan) seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.” (HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57)
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan) seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.” (HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu
menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang perlu
memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang perbendaharaan harta
mereka yang terbaik, di mana harta ini lebih baik dan lebih kekal yaitu istri
yang shalihah, yang cantik lahir batin. Karena istri yang seperti ini akan
selalu menyertai suaminya. Bila dipandang suaminya, ia akan menyenangkannya. Ia
tunaikan kebutuhan suaminya bila suami membutuhkannya. Ia dapat diajak
bermusyawarah dalam perkara suaminya dan ia akan menjaga rahasia suaminya.
Bantuannya kepada suami selalu diberikan, ia menaati perintah suami. Bila suami
sedang bepergian meninggalkan rumah, ia akan menjaga dirinya, harta suaminya,
dan anak-anaknya. (‘Aunul Ma’bud, 5/57)
Oleh karena itu, wahai para istri,
perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah, akhlak yang baik
itu berat dalam timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan
pemiliknya ke dalam surga, sebagaimana dikabarkan dalam hadits berikut ini.
Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِئَ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yang baik. Dan sungguh Allah membenci orang yang suka berkata keji, berucap kotor/jelek.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 876)
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِئَ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yang baik. Dan sungguh Allah membenci orang yang suka berkata keji, berucap kotor/jelek.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 876)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ، قاَلَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، قَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Rasulullah ditanya tentang perkara apa yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga. Beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik.’ Ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau jawab, ‘Mulut dan kemaluan’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 289, At-Tirmidzi no. 2004, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ، قاَلَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، قَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Rasulullah ditanya tentang perkara apa yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga. Beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik.’ Ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau jawab, ‘Mulut dan kemaluan’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 289, At-Tirmidzi no. 2004, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
Bagi para suami hendaknya pula
memerhatikan pergaulan dengan istrinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Kata Anas radhiyallahu ‘anhu:
خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ ….
“Aku berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun….” (HR. Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5969)
2 Bu’ats adalah hari yang masyhur di antara hari-hari yang berlangsung dalam sejarah orang Arab. Pada hari tersebut terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj. Peperangan antara keduanya terus berlangsung selama 120 tahun, sampai datang Islam. Syair yang didendangkan dua anak perempuan tersebut berbicara tentang peperangan dan keberanian. Sementara keberanian diperlukan untuk membantu agama ini. Adapun nyanyian yang menyebutkan perbuatan keji, perbuatan haram dan ucapan yang mungkar maka terlarang dalam syariat ini. Dan tidak mungkin nyanyian seperti itu didendangkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau diam tidak mengingkarinya. (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 4/322)
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istrinya mendengarkan dendangan tersebut karena hari itu bertepatan dengan hari raya (Id). Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menampakkan kegembiraan, bahkan hal ini termasuk syiar agama, selama dalam koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil untuk menyatakan bolehnya bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dengan alat ataupun tanpa alat, sebagaimana anggapan kelompok Sufi. (Lihat penjelasannya dalam Fathul Bari, 2/570-571)
4 Sebutan untuk orang-orang Habasyah
5 Tempat untuk bersenang-senang. (Syarah Sunan An-Nasa`i, Al-Imam As-Sindi, 6/69)
6 Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena kebagusan akhlaknya secara batin, atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa`, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56)
7 Dengan perkara syar’i atau perkara biasa. (‘Aunul Ma’bud, 5/56)
8 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (‘Aunul Ma’bud, 5/56)
1 Kata Anas radhiyallahu ‘anhu:
خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ ….
“Aku berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun….” (HR. Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5969)
2 Bu’ats adalah hari yang masyhur di antara hari-hari yang berlangsung dalam sejarah orang Arab. Pada hari tersebut terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj. Peperangan antara keduanya terus berlangsung selama 120 tahun, sampai datang Islam. Syair yang didendangkan dua anak perempuan tersebut berbicara tentang peperangan dan keberanian. Sementara keberanian diperlukan untuk membantu agama ini. Adapun nyanyian yang menyebutkan perbuatan keji, perbuatan haram dan ucapan yang mungkar maka terlarang dalam syariat ini. Dan tidak mungkin nyanyian seperti itu didendangkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau diam tidak mengingkarinya. (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 4/322)
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istrinya mendengarkan dendangan tersebut karena hari itu bertepatan dengan hari raya (Id). Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menampakkan kegembiraan, bahkan hal ini termasuk syiar agama, selama dalam koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil untuk menyatakan bolehnya bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dengan alat ataupun tanpa alat, sebagaimana anggapan kelompok Sufi. (Lihat penjelasannya dalam Fathul Bari, 2/570-571)
4 Sebutan untuk orang-orang Habasyah
5 Tempat untuk bersenang-senang. (Syarah Sunan An-Nasa`i, Al-Imam As-Sindi, 6/69)
6 Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena kebagusan akhlaknya secara batin, atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa`, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56)
7 Dengan perkara syar’i atau perkara biasa. (‘Aunul Ma’bud, 5/56)
8 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (‘Aunul Ma’bud, 5/56)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Poltik Islam
Islam
bukanlah semata agama (a religion) namun juga merupakan sistem politik
(a political sistem), Islam
lebih dari sekedar agama. Islam mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan
politik. Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup
agama dan Negara secara bersamaan (M.Dhiaduddin Rais, 2001:5).
Nabi
Muhammad SAW adalah seorang politikus yang bijaksana. Di Madinah beliau
membangun Negara Islam yang pertama dan meletakkan prinsip-prinsip utama
undang-undang Islam. Nabi Muhammad pada waktu yang sama menjadi kepala agama
dan kepala Negara.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia pengertian politik sebagai kata benda ada tiga, yaitu :
(1) pengetahuan mengenai kenegaraan
(tentang sistem dan dasar pemerintahan)
(2) segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
(3) kebijakan, cara bertindak (dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah).
Politik itu
identik dengan siasah, yang secara pembahasannya artinya mengatur. Dalam fikih,
siasah meliputi :
1. Siasah
Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
2. Siasah
Dauliyyah ( Politik yang mengatur hubungan antara satu negara Islam
lainnya) 3.
Siasah
Maaliyah (Sistem ekonomi negara)
Kedaulatan
berarti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan
aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep Islam, kekuasaan
tertinggi adalah Allah SWT. Ekrepesi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang
dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki
kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang
berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Di samping
itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang
berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan
sebaik-baiknya. Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan
Al-Quran dan Sunnah Rasul.
2.2. Norma Politik dalam Islam
Dalam
pelaksanaan politik, Islam juga memiliki norma-norma yang harus diperhatikan.
Norma-norma ini merupakan karakteristik pembeda politik Islam dari system
poltik lainnya. Diantara norma-norma itu ialah :
1. Poltik
merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan, bukan dijadikan sebagai
tujuan akhir atau satu-satunya.
2. Politik
Islam berhubungan dengan kemashlahatan umat.
3. Kekuasaan
mutlak adalah milik Allah.
4. Manusia
diberi amanah sebagai khalifah untuk mengatur ala mini secara baik.
5. Pengangkatan
pemimpin didasari atas prinsip musyawarah.
6. Ketaatan
kepada pemimpin wajib hukumnya setelah taat kepada Allah dan Rasul .
7. Islam tidak
menentukan secara eksplisit bentuk pemerintahan Negara.
2.3. Kedudukan Politik
Dalam Islam
Terdapat
tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tentang kedudukan politik
dalam syariatislam. Yaitu :
Pertama,
kelompok yang menyatakan bahwa islamadalah suatu agama yang serbah
lengkap didalamnya terdapat pula antara lainsystem ketatanegaraan atau politik.
Kemudian lahir sebuah istilah yang disebutdengan fikih siasah (system
ketatanegaraan dalam islam) merupakan bagianintegral dari ajaran islam.
Lebih jauhkelompok ini berpendapat bahwa system ketatanegaraan yang harus
diteladaniadalah system yang telah dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW dan oleh
parakhulafa al-rasyidin yaitu sitem khilafah.
Kedua, kelompok
yangberpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya
agamatidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi
Muhammadhanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas
menyampaikanrisalah tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk
mendirikan danmemimpin suatu Negara.
Ketiga, menolak
bahwaislam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala
sistemketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana
pandanaganbarat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran
iniberpendirian bahwa dalam islam tidak teredapat sistem ketatanegaraan,
tetapaiterdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah
membuktikan bahwa nabi kecuali sebagai rasul, meminjam istilah harun nasution,
kepala agama, jugabeliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah
yaitu yastrib yangkemudian menjadi madinah al-munawwarah sebagai wilayah
kekuasaan nabi sekaligusmanjadi pusat pemerintahannya dengan piagam madinah
sebagai aturan dasarkenegaraannya. Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai
kepala negaradigantikan abu bakar yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh
sahabat,selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut
“khalifah”. Sistem“khalifah” ini berlangsung hingga kepemimpinan berada dibawah
kekuasaankhalifah terakhir, ali “karramah allahu wajhahu”.
2.4. Demokrasi Dalam Islam
Kedaulatan
mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan
manusia yang terkandung Dalamkonsep khalifah memberikan kerangka yang dengannya
para cendikiawan belakanganini mengembangkan teori politik tertentu yang
dianggap demokratis. Didalamnyatercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap
kedaulatan rakyat, tekanan padakesamaan derajat, manusia, dan kewajiban rakyat
sebsgai pengemban pemerintahan.
Demokrasi
islam dianggap sebagaisistem yang mengekuhkan konsep-konsep islam yang sudah
lama berakar, yaitumusyawarah {syura}, persetujuan {ijma’}, dan penilaian
interpretative yangmandiri {ijtihad} .
Musyawarah,
konsensus, dan ijtihadmerupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi
artikulasi demokrasi islamdalam kerangka keesaan tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia sebagaikhalifah-nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan
maknanya, namunlepas dari ramainya perdebatan maknanya didunia islam,
istilah-istilah inimemberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara
islam dandemokrasi di dunia kontemporer.
2.5. Masyarakat Madani
Masayarakat
madani adalah masyarakat yang beradap, menjunjung tinggi nilai-nilaikemanusiaan,
yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karenaitu didalam
ilmu filsafat, sejak filsafat yunani sampai msaa filsafat islamjuga dikenal
istilah madinah atau polis, yang berarti kota yaitu masyarakatyang maju dan
berperadaban. Masyarakat madina menjadi simbol idealisme yangdiharapkan oleh
setiap masyarakat.
Kata madani merupakan penyifatan terhadap kota madinah, yaitu sifat yang
ditunjukanoleh kondisi dan sisyem kehidupan yang berlaku di kota madinah .
kondisi dansistem kehidupan menjadi popular dan dianggap ideal untuk
menggambaraknmasyarakat yang islami, sekalipun penduduknya terdiri dari berbgai
macamkeyakinan. Mereka hidup dengan rukun, saling membantu, taat hukum, dan
menujjukankepercayaan penuh terhadap kepemimpinannya. aL-qur’an menjadi
konstitusi untukmenyelesaikan berbagai persoalan hidup yang terjadi diantara
penduduk madinah.
Perjanjian
madinah berisikesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-menolong,
menciptakankedamaian, dalam kehidupan social, menjadikan aL-qur’an sebagai
konstitu,menjadikan rasulullah SAW sebagai pemimpin yang ketaatan penuh
terhadapkeputusan-keputusannya, dan memberikan kebebaan bagi penduduknya untuk
memelukagama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat madani sebagai masyarakat
ideal memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) BerTuhan
b) Damai
c) Tolong-menolong
d) Toleran
e) Keseimbanagn antara hak dan kewajiban social
f) Berperadaban tinggi
g) Berakhlak mulia
2.6. Prinsip – Prinsip Politik Luar Negeri
Dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Dalam Al-Quran, ditemui beberapa
prinsip politik luar negeri dalam Islam, yaitu :
a. Saling
menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat, lihat QS.8:58, QS.9:4,
QS.16:91, QS.17:34.
b. Kehormatan
dan Integrasi Nasional, lihat QS.16:92
c. Keadilan
Universal (Internasional), lihat QS. 5:8.
d. Menjaga perdamaian abadi, lihat
QS.5:61.
e. Menjaga
kenetralan negara-negara lain, lihat QS.4:89,90.
f. Larangan
terhadap eksploitasi para imperialis, lihat QS.6:92.
g. Memberikan perlindungan
dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di negara. lihat QS.8:72.
h. Bersahabat
dengan kekuasaan-kekuasaan netral, lihat QS.60:8,9.
i. Kehormatan dalam hubungan
Internasional, lihat QS.55:60.
j.
Persamaan
keadilan untuk para penyerang, lihat QS.2:195, QS.16:126, dan QS.42:40.
Prinsip-prinsip dasar
siasyah dalam Islam meliputi antara lain :
1.
Musyawarah.
2.
Pembahasan
Bersama.
3. Tujuan
bersama, yakni untuk mencapai suatu keputusan.
4.
Keputusan
itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama.
5.
Keadilan.
6. Al-Musaawah
atau persamaan.
7. Al-hurriyyah
(kemerdekaan)
8.
Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat .
Prioritas kebijakan luar negeri
didasarkan pada nilai-nilai demokrasi modern didirikan di dunia. Keterkaitan
ini memungkinkan kita untuk memastikan dukungan internasional dalam
menyelesaikan prioritas kami. Berasal dari atas, kita merumuskan misi layanan
diplomatik dan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang penting dalam pemenuhan.
Mendasar melayani kepentingan nasional dan nilai-nilai berlabuh di Konsep
Keamanan Nasional dan dinyatakan dalam visi presiden yang mendorong tujuan
menyeluruh dari kebijakan luar negeri kita untuk meningkatkan keamanan dan
status internasional Georgia, memastikan Georgia 'tepat dan posisi terhormat
dalam sistem hubungan internasional, dan memajukan kepentingan negara di dunia
yang semakin mengglobal.
Dalam dunia sekarang ini saling bergantung, keamanan nasional dan kemakmuran tidak dapat dicapai dalam isolasi dari seluruh dunia. Untuk keamanan kami untuk menjadi abadi kita perlu mendukung keamanan global; kemerdekaan dan kebebasan kita bergantung pada penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara lain di dunia; kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi negara-negara lain dan daerah akan mempengaruhi kesejahteraan warga negara Georgia dan konsolidasi demokrasi di Georgia hanya dapat dicapai melalui penguatan perkembangan demokrasi pada skala global. We will pursue foreign policy that is conscious of these principles and faithful to these beliefs. Kami akan mengejar kebijakan luar negeri yang sadar akan prinsip-prinsip ini dan setia kepada keyakinan ini.
Untuk mencapai visi ini, kebijakan luar negeri Georgia abad ke-21 akan berusaha untuk mewujudkan tindakan internasional yang memajukan kepentingan nasional Georgia Georgia dan warga negara, serta memberikan kontribusi untuk membangun masyarakat dunia yang di dalamnya ada kedamaian dan keamanan abadi, sebuah memperluas demokrasi dan kemakmuran abadi.
Deklarasi dan artikulasi nilai-nilai inti dari Kementerian sangat penting untuk mencapai keunggulan organisasi dan pemenuhan misi dan tujuan kami.
Dalam melaksanakan kebijakan luar negeri, kita beristirahat di atas seperangkat nilai-nilai konstan yang mencerminkan apa Dinas Luar Negeri Georgia dan para karyawan percaya.
Kami mendukung nilai-nilai ini sebagai standar tinggi sehingga para pegawai di Kementerian, misi dan pelayanan konsuler luar negeri harus menjunjung tinggi dan mengamati dalam pekerjaan mereka. We will ensure that higher performance standards are achieved through integration of these values in achieving our priorities and goals as well as in everyday work. Kami akan memastikan bahwa standar kinerja yang lebih tinggi dapat dicapai melalui integrasi nilai-nilai ini dalam mencapai prioritas dan tujuan kita maupun dalam pekerjaan sehari-hari.
Mereka akan membimbing strategi kami untuk rekrutmen, evaluasi, dan pelatihan karyawan kami dan harus diinternalisasi oleh setiap anggota staf Dinas Luar Negeri.
Dalam dunia sekarang ini saling bergantung, keamanan nasional dan kemakmuran tidak dapat dicapai dalam isolasi dari seluruh dunia. Untuk keamanan kami untuk menjadi abadi kita perlu mendukung keamanan global; kemerdekaan dan kebebasan kita bergantung pada penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara lain di dunia; kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi negara-negara lain dan daerah akan mempengaruhi kesejahteraan warga negara Georgia dan konsolidasi demokrasi di Georgia hanya dapat dicapai melalui penguatan perkembangan demokrasi pada skala global. We will pursue foreign policy that is conscious of these principles and faithful to these beliefs. Kami akan mengejar kebijakan luar negeri yang sadar akan prinsip-prinsip ini dan setia kepada keyakinan ini.
Untuk mencapai visi ini, kebijakan luar negeri Georgia abad ke-21 akan berusaha untuk mewujudkan tindakan internasional yang memajukan kepentingan nasional Georgia Georgia dan warga negara, serta memberikan kontribusi untuk membangun masyarakat dunia yang di dalamnya ada kedamaian dan keamanan abadi, sebuah memperluas demokrasi dan kemakmuran abadi.
Deklarasi dan artikulasi nilai-nilai inti dari Kementerian sangat penting untuk mencapai keunggulan organisasi dan pemenuhan misi dan tujuan kami.
Dalam melaksanakan kebijakan luar negeri, kita beristirahat di atas seperangkat nilai-nilai konstan yang mencerminkan apa Dinas Luar Negeri Georgia dan para karyawan percaya.
Kami mendukung nilai-nilai ini sebagai standar tinggi sehingga para pegawai di Kementerian, misi dan pelayanan konsuler luar negeri harus menjunjung tinggi dan mengamati dalam pekerjaan mereka. We will ensure that higher performance standards are achieved through integration of these values in achieving our priorities and goals as well as in everyday work. Kami akan memastikan bahwa standar kinerja yang lebih tinggi dapat dicapai melalui integrasi nilai-nilai ini dalam mencapai prioritas dan tujuan kita maupun dalam pekerjaan sehari-hari.
Mereka akan membimbing strategi kami untuk rekrutmen, evaluasi, dan pelatihan karyawan kami dan harus diinternalisasi oleh setiap anggota staf Dinas Luar Negeri.
2.7. Prinsip-prinsip
dasar politik Islam
Sistem politik berdasarkan atas tiga (3)
prinsip yaitu :
a) Hakimiyyah
Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa
pengadilandan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak
mutlakAllah.
Dan Dialah
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhakdisembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala
puji di dunia dan di akhirat, danbagi-Nyalah segala penentuan dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (Al-Qasas: 70)
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa
pengertian-pengertian berikut:
○ Bahawasanya
Allah Pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalahTuhan yang menjadi
pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan
tunduk kepada sifat IlahiyagNya Yang Maha Esa.
○ Bahawasanya
hak untuk menghakimi dan meng adili tidak dimiliki olehsesiap kecuali Allah. Bahawasanya
hanya Allah sahajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukumsebab Dialah
satu-satuNya Pencipta.
○ Bahawasanya
hanya Allah sahaja yang memiliki hakmengeluarkan peraturan-peraturan sebab
Dialah satu-satuNya Pemilik.
○ Bahawasanya
hukum Allah adalah suatu yang benar sebabhanya Dia sahaja yang Mengetahui
hakikat segala sesuatu dan di tanganNyalahsahaja penentuan hidayah dan
penentuan jalan yang selamat dan lurus.
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa terasutama kepada sistem politik
Islam ialah tauhid kepada Allah di segi Rububiyyahdan Uluhiyyah.
b) Risalah
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapaorang lelaki di kalangan manusia
sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammads.a.w adalah suatu asas yang penting
dalam sistem politik Islam. Melaluilandasan risalah inilah maka para rasul
mewakili kekuasaan tertinggi Allahdalam bidang perundangan dalam kehidupan
manusia. Para rasul meyampaikan,mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah
dengan ucapan dan perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telahmemerintahkan agar manusia menerima
segala perintah dan larangan Rasulullahs.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada
perintah-oerintah Rasulullah s.a.w dantidak mengambil selain daripada
Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalamsegala perselisihan yang terjadi di
antara mereka. Firman Allah:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikanAllah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untukAllah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin danorang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamumaka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; danbertakwalah kepada Allah. SesungguhnyaAllah
sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr: 7)
Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hinggamereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudianmereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamuberikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.(An-Nisa’: 65)
c) Khalifah
Khilafah
bererti perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumiini adlah sebagai wakil
Allah. Oleh itu, dengan kekuasaanyang telah diamanahkanini, maka manusia
hendaklah melaksanakan undang-undang Allah dalam batas yangditetapkan. Di atas
landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemiliktetapi hanyalah
khalifah atau wakilAllah yang menjadi Pemilik yang sebenar.
Kemudian
Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di mukabumi sesudah mereka,
supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (Yunus: 14)
Seseorang
khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana ia benar-benar mengikuti
hukum-hukum Allah. Ia menuntun agar tugas khalifah dipegang oleh orang-orang
yang memenuhi syarat-syarat berikut:


3. Terdiridaripada orang-orang yang
berilmu, berakal sihat, memiliki kecerdasan, kearifanserta kemampuan intelek
dan fizikal.

Pemerintahan
baru wajib di patuhi kalau politik dan kebijaksanaannya merujuk kepada Al-Quran
dan hadist atau tidak bertentangan dengan keduanya.
2.8. PRINSIP-PRINSIP
UTAMA SISTEM POLITIK ISLAM
1) Musyawarah
Asas
musyawarah yang paling utamaadldah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan
oarang-oarang yang akanmenjawat tugas-tugas utama dalam pentadbiran ummah. Asas
musyawarah yang keduaadalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara
pelaksanaan undang-undang yangtelah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Asas musyawarah yangseterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan
bagi menetukan perkara-perkarabaru yang timbul di dalangan ummah melalui proses
ijtihad.
2) Keadilan
Prinsip ini
adalah berkaitan dengankeadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan
sistem ekonomi Islam. Dalampelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang
terkandung dalam sistem politikIslam meliputi dan merangkumi segala jenis
perhubungan yang berlaku dalamkehidupan manusia, termasuk keadilan di antara
rakyat dan pemerintah, di antaradua pihak yang bersebgketa di hadapan pihak
pengadilan, di antara pasangansuami isteri dan di antara ibu bapa dan
anak-anaknya.kewajipan berlaku adil danmenjauhi perbuatan zalim adalah di
antara asas utama dalam sistem sosial Islam,maka menjadi peranan utama sistem
politik Islam untuk memelihara asas tersebut.Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utamakerana dengannya dapat
dikukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
3) Kebebasan
Kebebasan
yang diipelihara olehsistem politik Islam ialah kebebasan yang berterskan
kepada makruf dankebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenaradalah
tujuan terpentingbagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi
asas-asas utama bagiundang-undang perlembagaan negara Islam.
4) Persamaan
Persamaan di
sini terdiri daripadapersamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak, persamaan
dalam memikultanggungjawab menurut peringkat-peringkat yang ditetapkan oleh
undang-undangperlembagaan dan persamaan berada di bawah kuatkuasa
undang-undang.
5) Hak
menghisab pihak pemerintah
Hak rakyat
untuk menghisab pihakpemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap tindak
tanduknya. Prinsip iniberdasarkan kepada kewajipan pihak pemerintah untuk
melakukan musyawarah dalamhal-hal yang berkaitan dengan urusan dan pentadbiran
negara dan ummah. Hakrakyat untuk disyurakan adalah bererti kewajipan setiap
anggota dalammasyarakat untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan
kemungkaran. Dalampengertian yang luas, ini juga bererti bahawa rakyat berhak
untuk mengawasi danmenghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak
pemerintah.
2.8. TUJUAN
POLITIK MENURUT ISLAM
Tujuan
sistem politik Islam adalahuntuk membangunkan sebuah sistem pemerintahan dan
kenegaraan yang tegak di atasdasar untuk melaksanakan seluruh hukum syariat
Islam. Tujuan utamanya ialah menegakkan
sebuah negara Islam atau Darul Islam. Dengan adanya pemerintahan yang
mendukungsyariat, maka akan tertegaklah Ad-Dindan berterusanlah segala
urusan manusia menurut tuntutan-tuntutan Ad-Dintersebut. Para fuqahak Islam
telah menggariskan 10 perkara penting sebagai tujuankepada sistem politik dan
pemerintahan Islam:
1) Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telahdisepakati oleh
ulamak salaf daripada kalangan umat Islam.
2) Melaksanakanproses
pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah dikalanganorang-orang
yang berselisih.
3) Menjagakeamanan
daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan aman dandamai.
4) Melaksanakanhukuman-hukuman
yang telah ditetapkan syarak demi melindungi hak-hak manusia.
5) Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataanbagi menghadapi
kemungkinan serangan daripada pihak luar.
6) Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam.
7) Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan sedekahsebagaimana yang
ditetapkan syarak.
8) Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripadaperbendaharaan negara
agar tidak digunakan secara boros atau kikir.
9) Melantik pegawai-pegawai yang cekap dan jujur bagimengawal kekayaan negara
dan menguruskan hal-ehwal pentadbiran negara.
10) Menjalankan pengawalan dan pemeriksaan yangrapi dalam hal-ehwal awam demi
untuk memimpin negara dan melindungi Ad-Din.
2.9. Syarat
Kepemimpinan Politik dalam Islam
Kepemimpinan
politik dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan oleh
ajaran agama. Penjelasan itu terdapat dalam surat An-Nisa’,(4):58-59.
Pada ayat itu disimpulkan bahwa terdapat beberapa syarat kepemimpinan politik dalam
Islam antara lain;
1. Amanah yaitu
bertanggung jawab dengan tugas dan kewenangan yang diemban
2.
Adil yaitu
mampu menempatkan segala sesuatu secara tepat dan proporsional
3.
Taat kepada
Allah dan Rasul
4. Menjadikan
quran dan sunnah sebagai referensi utama.
A. Hak Asasi
Manusia dalam Pandangan Islam
1. Sejarah hak
asasi manusia
Menurut Jan
Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak Asasi Manusia itu adalah
hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa secara kodrati diberi hak dasar yang
disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Dengan hak
asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan dan
sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Dilihat dari
sejarahnya, (yang dipelajari orang sekarang) umumnya pakar di Eropa
berpendapat, bahwa lahirnya hak asasi manusia dimulai dengan lahirnya Magna
Charta pada tahun 1215 di Inggris. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak
kebal hukum lagi. Dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi dan kondisi ini
merupakan embrio bagi lahirnya monarki konstituional yang berintikan
kekuasaan raja hanya sebagi symbol belaka.
Kalau kita
jujur kepada sejarah, sebenarnya hak asasi manusia sudah ada sejak abad ke
tujuh, tetapi betul-betul dipratekkandalam kehidupan. Pada zaman itu dikenal
dengan istilah perbudakan. Dengan lahirnya ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad, perbudakan mulai dihapuskan dengan cara memerdekakan mereka dari
budak.
Lahirnya
magna charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rihgts di Inggris pada
tahun 1689. pada saat itu mulai ada peraturan yang berintikan bahwa manusia
sama di muka hokum. Perkembangan hak asasi selanjutnya ditandai munculnya “The
American Declaration of Independence” yang lahir dari paham Rousseau dan
Monterquieu. Selanjutnya muncul pada tahun 1789 “The French Declaration”, dimana
hak-hak asasi lebih dirinci lahir yang kemudian The Rule of Law.
B. Perbedaan
prinsip antara konsep HAM dalam pandangan Islam dan Barat
Ada
perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandangan
Barat dan Islam. Hak asasi manusia menurut pandangan Barat semata-mata bersifat
antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Sedangkan hak
asasi manusia menurut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala
sesuatu berpusat kepada Tuhan.
Prinsip-prinsip
hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights
dilukiskan dalam berbagai ayat. Apabila prinsip-prinsip human rights yang
terdapat dalam universal declaration of Human Rights dibandingkan dengan
hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam ajaran Islam, maka dalam Al-Quran dan
As-Sunnah akan dijumpai antara lain, prinsip-prinsip human rights :
1) Martabat
manusia.
2) Prinsip
persamaan.
3) Prnsip
kebebasan menyatakan pendapat.
4) Prinsip
kebebasan beragama.
5) Hak atas
jaminan social.
6) Hak atas
harta benda.
2.10 Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan
Nasional
Kekuasaan
tanpa landasan moral, cepat atau lambat dipastikan akan berdampak buruk bagi
tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Upaya untuk membangun dan memelihara
kebersa¬maan tinggal sekadar retorika, yang mencuat justru ego ego berkedok
kemunafikan. Posisi dalam struktur pemerintahan, tidak lagi dianggap sebagai
amanah buat memperjuangkan nasib rakyat, melainkan lahan basah untuk memanjakan
hasrat priba¬di atau kepentingan golongan.
Akibatnya, demi menduduki jabatan tertentu, orang tak segan segan menghalalkan segala cara. Seperti mengeksploita¬si massa untuk unjuk kekuatan, political money untuk merek¬rut dukungan, memanipulasi angka perhitungan dalam pemilu, dan lain sebagainya. Bahkan kalau perlu rakyat dijadikan tumbal dalam rekayasa politik. Sehingga lambat laun lahirlah sebuah citra negatif: politik itu kotor!
Mencermati peta perpolitikan di Indonesia, kalau mau jujur, masih jauh dari gambaran menggembirakan. Nilai nilai kemanu¬siaan, etika moral, sering terabaikan. Dan, umat Islam (penyandang predikat khalifah di muka bumi) sangat tidak layak untuk berdiam diri menyaksikan wajah perpolitikan di negeri ini berlangsung corat marut. Harus ada rasa tergugah untuk melakukan perubahan konstruktif.
Munculnya pemikiran reformis dan kreatif dalam penyam¬paian pesan pesan kemanusiaan Islam inilah yang ingin diso¬sialisasikan Ahmad Syafii Maarif, dalam bukunya “Islam & Politik, Upaya Membingkai Peradaban”.
Syafii Maarif, optimis Islam akan mampu memberi corak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berwawasan moral. Asalkan Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan berpotensi dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban alternatif di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah masalah kemanusiaan yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis bila umat Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman. Menyikapi tantangan tersebut, hal paling mendasar adalah bahwa umat Islam tidak boleh terpecah belah oleh dua kutub pemikiran: antara ilmu agama dan ilmu sekuler. Dengan bekal perpaduan spritual dan intelektual, maka posisi umat Islam yang semula berada di buritan, dimasa mendatang dihar¬apkan menjadi lokomotif dalam membangun masyarakat bermoral yang diback up kemantapan ontologi.
Kalau mau menelusuri sejauhmana pengaruh Islam terhadap perpolitikan di Indonesia, akar sejarahnya boleh dikata cukup panjang. Sejak abad 13, sebelum para kolonial menceng-keramkan kekuasaannya di Nusantara ini, kita sudah mengenal beberapa kerajaan Islam seperti di Sumatera, Maluku, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTB. Namun yang paling monumental adalah saat perdebatan seputar usul konstitusi Indonesia. Daulah Islamiyah bersaing dengan Asas Pancasila. Format Piagam Jakarta, dengan tujuh kata kuncinya, yakni: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, hanya sempat bertahan selama 57 hari. Sebab pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila dite-tapkan sebagai dasar filosofis negara.
Langkah tersebut merupakan kompromi politik demi menja¬ga persatuan dan kesatuan, mengingat bangsa ini sangat plural, meski mereka yang beragama Islam. Dengan bahasa yang lugas, Syafii Maarif, penulis buku ini, menilai penamaan negara tidak terlalu fundamental. Yang penting, dalam kehidupan kolektif cita cita politik Islam dilaksanakan. Wawasan moral tentang kekuasaan itulah yang dimaksud aspirasi Islam. Bagi Islam, apa yang bernama kekuasaan politik haruslah dijadikan “kendaraan” penting untuk menca¬pai tujuan Islam seperti: penegakkan keadilan, kemerdekaan, humanisme egaliter, yang berlandaskan nilai nilai tauhid.
Sayangnya, sejak Orde Lama hingga tumbangnya Orde Baru kelompok kelompok santri yang tergabung dalam Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, Nahdhatul Ulama, Al Washliyah, PUI (Persatuan Umat Islam), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Nahdhatul Wathan, Masyumi dan lain lain telah lumpuh secara politik dan ekonomi, sehingga kurang terlatih untuk menjadi dewasa dalam peolitik nasional.
Di masa Orde Baru yang feodal serta otoritarian, teru¬tama anggota Korpri sekian lama mental mereka terpasung, sehingga tak punya peluang untuk menawarkan pemikiran alternatif. Mereka cenderung menjadi corong pemerintah. Tak heran, kalau dalam beberapa pemilu Golkar selalu tampil sebagai pemenang.
Demikian pula, di era reformasi ini, banyak melahirkan politisi politisi karbitan yang orientasi perjuangannya cuma untuk mengincar kursi jabatan. Mereka begitu gampang berkoar mencaplok slogan “demi kepentingan bangsa dan negara”, padahal tujuan akhir tak lain adalah untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Maka, dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya bagi kita semua untuk berpikir jernih, serius, tidak terombang ambing oleh pernyataan pernyataan politik yang a historis. Karena, semua itu penuh racun yang menghancurkan. Golongan santri tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggir sejarah, turut menari menurut irama genderang yang ditabuh pihak lain. Oleh sebab itu, kita perlu menyiapkan para pemain yang handal, berakhlak mulia, profesional, dan punya integritas pribadi yang tang¬guh dan prima (hal 81).
Dengan begitu, umat Islam di negara ini diharapkan tidak lagi termarginalisasi. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin, sehingga tidak mudah dicap sebagai ekstremis atau sempalan. aliansyah jumbawuya
Akibatnya, demi menduduki jabatan tertentu, orang tak segan segan menghalalkan segala cara. Seperti mengeksploita¬si massa untuk unjuk kekuatan, political money untuk merek¬rut dukungan, memanipulasi angka perhitungan dalam pemilu, dan lain sebagainya. Bahkan kalau perlu rakyat dijadikan tumbal dalam rekayasa politik. Sehingga lambat laun lahirlah sebuah citra negatif: politik itu kotor!
Mencermati peta perpolitikan di Indonesia, kalau mau jujur, masih jauh dari gambaran menggembirakan. Nilai nilai kemanu¬siaan, etika moral, sering terabaikan. Dan, umat Islam (penyandang predikat khalifah di muka bumi) sangat tidak layak untuk berdiam diri menyaksikan wajah perpolitikan di negeri ini berlangsung corat marut. Harus ada rasa tergugah untuk melakukan perubahan konstruktif.
Munculnya pemikiran reformis dan kreatif dalam penyam¬paian pesan pesan kemanusiaan Islam inilah yang ingin diso¬sialisasikan Ahmad Syafii Maarif, dalam bukunya “Islam & Politik, Upaya Membingkai Peradaban”.
Syafii Maarif, optimis Islam akan mampu memberi corak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berwawasan moral. Asalkan Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan berpotensi dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban alternatif di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah masalah kemanusiaan yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis bila umat Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman. Menyikapi tantangan tersebut, hal paling mendasar adalah bahwa umat Islam tidak boleh terpecah belah oleh dua kutub pemikiran: antara ilmu agama dan ilmu sekuler. Dengan bekal perpaduan spritual dan intelektual, maka posisi umat Islam yang semula berada di buritan, dimasa mendatang dihar¬apkan menjadi lokomotif dalam membangun masyarakat bermoral yang diback up kemantapan ontologi.
Kalau mau menelusuri sejauhmana pengaruh Islam terhadap perpolitikan di Indonesia, akar sejarahnya boleh dikata cukup panjang. Sejak abad 13, sebelum para kolonial menceng-keramkan kekuasaannya di Nusantara ini, kita sudah mengenal beberapa kerajaan Islam seperti di Sumatera, Maluku, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTB. Namun yang paling monumental adalah saat perdebatan seputar usul konstitusi Indonesia. Daulah Islamiyah bersaing dengan Asas Pancasila. Format Piagam Jakarta, dengan tujuh kata kuncinya, yakni: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, hanya sempat bertahan selama 57 hari. Sebab pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila dite-tapkan sebagai dasar filosofis negara.
Langkah tersebut merupakan kompromi politik demi menja¬ga persatuan dan kesatuan, mengingat bangsa ini sangat plural, meski mereka yang beragama Islam. Dengan bahasa yang lugas, Syafii Maarif, penulis buku ini, menilai penamaan negara tidak terlalu fundamental. Yang penting, dalam kehidupan kolektif cita cita politik Islam dilaksanakan. Wawasan moral tentang kekuasaan itulah yang dimaksud aspirasi Islam. Bagi Islam, apa yang bernama kekuasaan politik haruslah dijadikan “kendaraan” penting untuk menca¬pai tujuan Islam seperti: penegakkan keadilan, kemerdekaan, humanisme egaliter, yang berlandaskan nilai nilai tauhid.
Sayangnya, sejak Orde Lama hingga tumbangnya Orde Baru kelompok kelompok santri yang tergabung dalam Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, Nahdhatul Ulama, Al Washliyah, PUI (Persatuan Umat Islam), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Nahdhatul Wathan, Masyumi dan lain lain telah lumpuh secara politik dan ekonomi, sehingga kurang terlatih untuk menjadi dewasa dalam peolitik nasional.
Di masa Orde Baru yang feodal serta otoritarian, teru¬tama anggota Korpri sekian lama mental mereka terpasung, sehingga tak punya peluang untuk menawarkan pemikiran alternatif. Mereka cenderung menjadi corong pemerintah. Tak heran, kalau dalam beberapa pemilu Golkar selalu tampil sebagai pemenang.
Demikian pula, di era reformasi ini, banyak melahirkan politisi politisi karbitan yang orientasi perjuangannya cuma untuk mengincar kursi jabatan. Mereka begitu gampang berkoar mencaplok slogan “demi kepentingan bangsa dan negara”, padahal tujuan akhir tak lain adalah untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Maka, dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya bagi kita semua untuk berpikir jernih, serius, tidak terombang ambing oleh pernyataan pernyataan politik yang a historis. Karena, semua itu penuh racun yang menghancurkan. Golongan santri tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggir sejarah, turut menari menurut irama genderang yang ditabuh pihak lain. Oleh sebab itu, kita perlu menyiapkan para pemain yang handal, berakhlak mulia, profesional, dan punya integritas pribadi yang tang¬guh dan prima (hal 81).
Dengan begitu, umat Islam di negara ini diharapkan tidak lagi termarginalisasi. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin, sehingga tidak mudah dicap sebagai ekstremis atau sempalan. aliansyah jumbawuya
Reaksi:
|
Kontribusi agama Islam
dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara ialah :
1) Politik ialah: Kemahiran
2) Menghimpun kekuatan
3) Meningkatkan kwantitas
dan kwalitas kekuatan
4) Mengawasi kekuatan dan
5) Menggunakan kekuatan,
untukmencapai tujuan kekuasaan tertentu didalamnegara atau institut lainnya.
Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan Nasional sudah dimulai semenjak
masa penjajahan (prakemerdekaan).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia diciptakan Allah dengan sifat bawaan ketergantungan kepada-Nya di
samping sifat-sifat keutamaan, kemampuan jasmani dan rohani yang memungkinkan
ia melaksanakan fungsinya sebagai khalifah untuk memakmuran bumi. Namun
demikian, perlu dikemukakan bahwa dalam keutamaan manusia itu terdapat pula
keterbatasan atau kelemahannya. Karena kelemahanya itu, manusia tidak mampu
mempertahankan dirinya kecuali dengan bantuan Allah.
Bentuk bantuan Allah itu terutama berupa agama sebagai pedoman hidup di
dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan di akhirat nanti. Dengan bantuan-Nya
Allah menunjukkan jalan yang harus di tempuh manusia untuk mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup manusia hanya dapat terwujud jika manusia mampu
mengaktualisasikan hakikat keberadaannya sebagai makhluk utama yang bertanggung
jawab atas tegaknya hukum Tuhan dalam pembangunan kemakmuran di bumi untuk itu
Al-Qur'an yang memuat wahyu Allah, menunjukkan jalan dan harapan yakni (1) agar
manusia mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah (sifat asal atau
kesucian)nya, (2) mewujudkan kebajikan atau kebaikan dengan menegakkan hukum,
(3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan pribadi, dan pada saat yang
sama memelihara diri atau membebaskan diri dari kekejian, kemunkaran dan
kesewenang-wenangan. Untuk itu di perlukan sebuah system politik sebagain
sarana dan wahana (alat untuk mencapai tujuan) yaitu Politik Islam.
B.
Saran
Islam
sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran
utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi
kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan
pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam
berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini dengan
politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang
adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan
masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek
mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan politik.
DAFTAR PUSTAKA
·
Tim Dosen
PAI UNP.2006.Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan TinggiUmum, hal
148-151
·
M.Dhianddin
Rais.2001.Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani. Hal 4-6
·
Rustam,
Rusyja, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Andalas Padang. Pendidikan
Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum, hal 189-193
·
Nurcholish
Madjid, 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta:
Paramadina, 1999.
·
Anwar,
Fuadi, dkk. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum, Padang :
2008
·
Lopa,
Baharuddin, 1989, Al-Quran dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta
● Hasby, Subky,
dkk.2007. BUKU DARAS.PPA Universitas Bramijaya ; Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar