KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan taslim kami haturkan kepada
junjungan Nabiyullah Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang patut kita
teladani.
Ucapan terima kasih kami haturkan
kepada dosen pengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, Ibu Andryani,
S.Pd.I., M.Pd.I yang telah membimbing kami dan memberi kami kepercayaan untuk
membahas salah satu materi Sejarah Peradaban Islam tentang “Masa Disintegrasi (1000-1250 M)”.
Akhir kata, “Tiada Gading yang Tak
Retak”, kami menyadari makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, maka dariitu
kami harapkan kritik dan saran dari Ibu Dosen dan teman-teman.
Samata, 24-Oktober-2014
Kelompok III,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………..i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………...ii
BAB I:PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang…………………………………………………………………….1
b.
Rumusan
Masalah………………………………………………………………...2
c.
Tujuan…………………………………………………………………………….2
BAB II: PEMBAHASAN
a.
Dinasti-dinasti yang Memerdekakan
Diri dari Baghdad………………………...3
b.
Perebutan Kekuasaan di Pusat
Pemerintahan…………………………………….7
c.
Perang
Salib……………………………………………………………………....19
d.
Sebab-sebab Kemunduran Pemerintahan
Bani Abbas………………………….22
BAB III: PENUTUP
a.
Kesimpulan………………………………………………………………………29
b.
Kritik dan
Saran…………………………………………………………………29
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………......30
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagaimana dijelaskan pada pemateri sebelumnya, hanya pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada
periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di
bidang politik.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan
gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang
merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di mana-mana, baik
gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun,
semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi
gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai
pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada di tangan khalifah. Keadaan
ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu
para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang
lain.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar
yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan
dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan
khalifah dan faktorlainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal
Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di
tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang
didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini,
meskipun setelah itu usianya masih bisa bertahan lebih dari empat ratus tahun.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Dinasti-dinasti apa saja yang memerdekakan diri dari
Baghdad?
2. Bagaimana peristiwa perebutan Kekuasaan di pusat
pemerintahan?
3. Bagaimana peristiwa terjadinya Perang salib?
4. Apa sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani abbas?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui dinasti-dinasti apa saja yang memerdekakan
diri dari Baghdad.
2. Untuk mengetahui peristiwa perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan.
3. Untuk mengetahui peristiwa Perang Salib.
4. Untuk mengetahui sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani
Abbas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DINASTI-DINASTI YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai
terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik
Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani
Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai
dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas
wilayah kekuasaan Islam, hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada
pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol
dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan
kebanyakan bersifat nominal. Bahkan, dalam kenyataanya, banyak daerah yang
tidak dikuasai khalifah.[1][1] Sebenarnya, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan
gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai
dengan pembayaran upeti.[2][2]
Ada kemungkinan bahwa para khalifah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti.
Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk kepadanya[3][3], kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan
pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, provinsi-provinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas.
Provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka
menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan
yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan
diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti sang khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan
berusaha menguasai khalifah itu sendiri. Selain itu, datangnya
pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuata militer di provinsi-provinsi tertentu
yang membuat mereka benar-benar independen.[4][4]
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami
kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang
professional di bidang kemiliteran, khusunya tentara Turki dengan. Pengangkatan
anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi
ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada periode pertama
pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa
gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Tampaknya, para khalifah
tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan
itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti
dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh
menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari
kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya:
a. Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M),
b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M),
c. Samaniyah di Transoxania, (261-318 H/873-998 M),
d. Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),
e. Buwaihiyyah, (320-447 H/932-1055 M).
a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M),
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M),
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M),
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1) Seljuk besar atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din
Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai
Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M),
2) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M),
3) Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M),
4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M),
5) Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700
H/1077-1299 M)
a. Al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M),
b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M),
c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
a. Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M),
b. Aghlabiyyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M),
c. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M),
d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M),
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M),
f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M),
g. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M),
h. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah di Spanyol,
b. Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya
persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping
latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada yang Sunni.
Factor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas
pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:[9][9]
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara
komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan
khalifah terhadap mereka sangat tinggi.
3. Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan
untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun,
khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
B. PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas
menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya
juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang
terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Nabi Muhammad SAW memang tidak menentukan bagaimana cara
pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau nampaknya, menyerahkan
masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang
di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam
perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah
Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung aman
dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat
ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi
pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani
Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus
berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai
pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan
semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan,
Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan
kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu
adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela
terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu,
menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya
pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk
menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah,
agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat
menggantikan posisi Ali.[10][10]
Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah, gubemur
Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil
mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini
bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin
pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah
di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya
pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, Abdullah
ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya
menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan
kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau
bani Abbas.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan
seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada
masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya,
meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang
merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka
khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang
memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada
periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada
di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu
Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan
Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas
militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.[11][11]
Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang
panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka
kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy .Karena
prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua
saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.[12][12] Dari
al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali
berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai
pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di
Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan,
dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah
Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan
negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi
ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut
kekuasaan di pusat pemerintahan.[13][13]
Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan
Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta
bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu
dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334
H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi
Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah.
Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di
Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di
bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.[14][14]
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini,
para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih.[15][15]
Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani
Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama
masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah
dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas
kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah
kota dengan nama Dar al-Mamlakah.[16][16]
Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz,
tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta.[17][17] Dengan
kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya
memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak,
Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih
mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak
bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina
(980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w.
1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa.
Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid,
beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya.[18][18]
Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian,
perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi
pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara
anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat.
Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah
dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amIr
al-umara.[19][19]
Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu
faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara
golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara
dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala
jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke
permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.[20][20]
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani
Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan
kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah
semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di
Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang
memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir,
Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di
Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari
tangan Bani Buwaih.[21][21]
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari
perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan
Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan
al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat
sewenang-wenang terhadapal Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani
Abbas; bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk
menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek
dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember
1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad.[22][22]
Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan
Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat
khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun
suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah
mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka
belum bersatu.[23][23]
Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut
orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja
daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk
diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja
Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk.
Namun, sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya.
Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya
ia bermigrasi ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah
daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya
atau Sihun). Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah
yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika
dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan
memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh
dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh
anaknya, Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya Mikail, ditangkap oleh
penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek.
Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa
dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan
daerah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan
berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat
pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad.[24][24] Di saat
kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan
posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan
Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray,
dan Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti
Seljuk berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan
setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad
dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul
Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya.
Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan
dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus
menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan
mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk
berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah
(465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1
094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11
03-1117 M),dan Abu Haris Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini
dikena1 dengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung).
Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah
sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yang
sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat sampai pusat
kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam
gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart.
Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri
dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan
dikuasainya Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk
melakukan gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil.[25][25]
Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp
Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H),
didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu
putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun
1094 M/487 H.
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini
sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki,
sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:[26][26]
1.
Seljuk Besar yang menguasai
Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang
lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2.
Seljuk Kirman berada di bawah
kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh
yang memerintah dua belas orang.
3.
Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin
pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut
diperintah oleh sembilan syekh.
4.
Seljuk Syria, diperintah oleh
keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh
yang memerintah lima orang.
5.
Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga
Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang memerintah seluruhnya
17 orang.
Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh
gubernur yang bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan
jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih.
Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai
berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu
oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai
berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad.
Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut
Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala
perguruan tinggi di kemudian hari.[27][27]
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah
al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam
bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din
al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.
Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan
fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Malik Syah terkenal dengan
usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi
dan jalan raya dibangunnya.[28][28]
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk
wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan
kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan
diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga
melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan
diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain,
sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk
negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah
pada tahun 590 H/l199 M.
C. PERANG
SALIB
Perang
Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat
Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci[29][29], untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh
Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat
kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan,
peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah
peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara
Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz,
al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian
mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat
merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang
berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat
menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah
suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
1.
Periode Pertama
Pada
musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis
dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib
yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan
besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun
1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I
dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai
Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi
rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan
mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait
al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota
Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka
mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.[30][30]
2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan
Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144
M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin
Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan
orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III
menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan
raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah
Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki.
Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri
melarikan diri pulang ke negerinya.[31][31]
Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin
al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M.
Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem
pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum
muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana
balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja
Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja
Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan
berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian
dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki
Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara
salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan
diganggu.[32][32]
3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini
dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir
lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari
orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki
Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia
melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick
menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan
kepada Kristen di Syria.[33][33]
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan
posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun.
Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291
M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti
di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
D. SEBAB-SEBAB
KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS
Di
samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan Khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Khilafah Abbasiyah
berdiri, Dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut
Stryzewska[34][34],
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada
orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan
Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya nashabiyah(kesukuan). Dengan
demikian, Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas nashabiyah tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.[35][35]
Selain
itu wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti MaroKko, Mesir, Syria, Irak, Persia,
Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada
waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam
tersebut dengan kuat.[36][36]
Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa
lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah. Fanatisme kebangsaan ini nampaknya
dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan
sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas,
mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi
pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar,
mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas
rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.[37][37]
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan
sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah naik tahta,
dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan BaniAbbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.[38][38]
Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj semacam pajak
hasil bumi. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan
negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan
para pejabat melakukan korupsi.[39][39]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan
persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai,
kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan
Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk
mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah.[40][40]
Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemic tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah
contoh konflik bersenjata itu.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap
menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai
aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara
keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.
Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husain di Karbala dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.) kembali memperkenankan orang syi'ah
"menziarahi" makam Husain tersebut.[41][41] Syi'ah
pernah berkuasa di dalam Khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari
seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah Fathimiyah di Mesir
adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik
yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan
zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam
Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh
golongan Ahlus Sunnah. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh
al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinastiAbbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan
Mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa
al-Mutawakkil (847-861) aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan Ahlus Sunnah kembali naik daun.
Aliran
Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Dinasti Buwaih. Namun pada masa Dinasti
Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilahmulai
dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh
subur dan berjaya.
4.
Ancaman dari Luar
Apa yang
disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dana dan akhirnya hancur :
Pertama,
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak korban. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II(1088-1099 M)
mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[42][42]
Kedua,
serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh Perang Salib juga
terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi
oleh orang-orang Buddha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan
pusat-pusat islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[43][43]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disintegrasi merupakan suatu keadaan
yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab
terjadinya disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam di masa lampau yaitu di
antaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan dan
munculnya
tiga kerajaan besar Islam.
B. KRITIK DAN SARAN
Kami sadar makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kami harap kritik dan saran dari Bapak/Ibu dosen serta teman-teman
untuk lebih baiknya makalah ini.
Kami
menyarankan kepada kita semua untuk mempelajari dan memahami masa disintegrasi
kekhalifahan Islam agar kita mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap
keutuhan dan kesatuan kita sebagai umat Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014).
Supriyadi
Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:Pustaka Setia, 2008).
Rama Bahaking, Sejarah Pendidikan dan Peradaban Islam
dari Masa Umayah Hingga Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Cakrawala
Publishing: 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar