Rabu, 04 Januari 2017

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA DISINTEGRASI (1000-1250 M)



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan taslim kami haturkan kepada junjungan Nabiyullah Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang patut kita teladani.     
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, Ibu Andryani, S.Pd.I., M.Pd.I yang telah membimbing kami dan memberi kami kepercayaan untuk membahas salah satu materi Sejarah Peradaban Islam tentang  “Masa Disintegrasi (1000-1250 M)”.
Akhir kata, “Tiada Gading yang Tak Retak”, kami menyadari makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, maka dariitu kami harapkan kritik dan saran dari Ibu Dosen dan teman-teman.

Samata, 24-Oktober-2014

Kelompok III,



DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………..i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………...ii
BAB I:PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang…………………………………………………………………….1
b.       Rumusan Masalah………………………………………………………………...2
c.       Tujuan…………………………………………………………………………….2
BAB II: PEMBAHASAN
a.       Dinasti-dinasti yang Memerdekakan Diri dari Baghdad………………………...3
b.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan…………………………………….7
c.       Perang Salib……………………………………………………………………....19
d.       Sebab-sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas………………………….22
BAB III: PENUTUP
a.       Kesimpulan………………………………………………………………………29
b.       Kritik dan Saran…………………………………………………………………29
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………......30

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Sebagaimana dijelaskan pada pemateri sebelumnya, hanya pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada di tangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktorlainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bisa bertahan lebih dari empat ratus tahun.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Dinasti-dinasti apa saja yang memerdekakan diri dari Baghdad?
2.      Bagaimana peristiwa perebutan Kekuasaan di pusat pemerintahan?
3.      Bagaimana peristiwa terjadinya Perang salib?
4.      Apa sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani abbas?
C.   TUJUAN
1.      Untuk mengetahui dinasti-dinasti apa saja yang memerdekakan diri dari Baghdad.
2.      Untuk mengetahui peristiwa perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
3.      Untuk mengetahui peristiwa Perang Salib.
4.      Untuk mengetahui sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani Abbas.






BAB II
PEMBAHASAN
A.   DINASTI-DINASTI YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam, hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan, dalam kenyataanya, banyak daerah yang tidak dikuasai khalifah.[1][1] Sebenarnya, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.[2][2]
Ada kemungkinan bahwa para khalifah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya[3][3], kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti sang  khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri. Selain itu, datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuata militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.[4][4]
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya tentara Turki dengan. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya:
1.      Yang berbangsa Persia:[5][5]
a.       Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M),
b.       Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M),
c.       Samaniyah di Transoxania, (261-318 H/873-998 M),
d.       Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),
e.       Buwaihiyyah, (320-447 H/932-1055 M).
2.      Yang berbangsa Turki:[6][6]
a.       Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M),
b.       Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M),
c.       Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M),
d.       Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1)  Seljuk besar atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M),
2)  Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M),
3)  Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M),
4)  Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M),
5)  Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M) 
3.      Yang berbangsa Kurdi:[7][7]
a.       Al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M),
b.       Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M),
c.       Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
4.      Yang berbangsa Arab:[8][8]
a.       Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M),
b.       Aghlabiyyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M),
c.       Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M),
d.       Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M),
e.       Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M),
f.        Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M),
g.       Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M),
h.      Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5.      Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a.       Umawiyah di Spanyol,
b.       Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada yang Sunni.
Factor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:[9][9]
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah terhadap mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
B.    PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Nabi Muhammad SAW memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau nampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[10][10] Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah, gubemur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.[11][11] Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.[12][12] Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan.[13][13] Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.[14][14] Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih.[15][15] Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.[16][16] Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta.[17][17] Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya.[18][18] Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amIr al-umara.[19][19] Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.[20][20]
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.[21][21]
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad.[22][22] Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu.[23][23] Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk.
Namun, sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya Mikail, ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad.[24][24] Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil.[25][25] Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:[26][26]
1.                  Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2.                  Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3.                  Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4.                  Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5.               Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.
Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.[27][27]
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.
Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Malik Syah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya.[28][28]
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.
C.   PERANG SALIB
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci[29][29], untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
1.        Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.[30][30]
2.        Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.[31][31] Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.[32][32]
3.        Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria.[33][33] Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
D.   SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS
Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.       Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Khilafah Abbasiyah berdiri, Dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska[34][34], ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya nashabiyah(kesukuan). Dengan demikian, Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.[35][35]
Selain itu wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti MaroKko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.[36][36] Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah. Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.[37][37] Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan BaniAbbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat.
2.      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.[38][38] Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj semacam pajak hasil bumi. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[39][39] Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3.      Konflik Keagamaan
 Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah.[40][40] Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemic tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husain di Karbala dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.) kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husain tersebut.[41][41] Syi'ah pernah berkuasa di dalam Khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan Ahlus Sunnah. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinastiAbbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861) aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Ahlus Sunnah kembali naik daun.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Dinasti Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilahmulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
4.      Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dana  dan akhirnya hancur :
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[42][42]
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh Perang Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Buddha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[43][43]





















BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam di masa lampau yaitu di antaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad,  perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan dan munculnya tiga kerajaan besar Islam.
B.    KRITIK DAN SARAN
Kami sadar makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami harap kritik dan saran dari Bapak/Ibu dosen serta teman-teman untuk lebih baiknya makalah ini.
Kami menyarankan kepada kita semua untuk mempelajari dan memahami masa disintegrasi kekhalifahan Islam agar kita mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap keutuhan dan kesatuan kita sebagai umat Islam.










DAFTAR PUSTAKA
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:Pustaka Setia, 2008).
Rama Bahaking, Sejarah Pendidikan dan Peradaban Islam dari Masa Umayah Hingga Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Cakrawala Publishing: 2011).














































Tidak ada komentar:

Posting Komentar