BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem pemerintahan Indonesia
mengalami perubahan mendasar pada tahun 1999 yaitu dengan diberlakukan-nya
sistem desentralisasi. Perubahan tata aturan pemerintahan di Indonesia pada
hakekatnya merupakan upaya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good
Governance. Salah satu tujuan Good Governance adalah mendekatkan
pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan,
permasalahan, keinginan, dan kepentingan serta aspirasi masyarakat dapat
dipahami secara baik dan benar oleh pemerintah. Sehingga pemerintah mampu
menyediakan layanan masyarakat secara efisien, mampu mengurangi biaya,
memperbaiki output dan penggunaan sumber daya manusia secara lebih
efektif.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan
keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menyusun organisasi perangkat
daerahnya. Dasar utama
penyusunan
perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan
harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.
Dengan perubahan terminologi
pembagian urusan pemerintah yang bersifat kongruen berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi
fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Pembentukan kelembagaan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2003
pasal 120 yang mengungkapkan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan dan kelurahan.
Dengan membentuk kelembagaan, maka
pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan secara efisien untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan kelembagaan
pemerintah daerah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam kebijakan
tersebut tergambar bahwa perangkat daerah terbagi atas lima unsur yaitu :
1. Unsur
staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam
Sekretariat.
2. Unsur
pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat.
3. Unsur
perencana yang diwadahi dalam bentuk badan.
4. Unsur
pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
edaerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah.
5. Unsur
pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dinamika tuntutan masyarakat akan
kualitas pelayanan menuntut pemerintah daerah untuk melakukan pemerintahan
daerah kelembagaan sehingga bentuk kelembagaan daerah yang dibuat akan lebih
efisien. Karakter ini ditunjukkan dengan struktur kelembagaan yang ramping.
Kelembagaan yang besar, akan memungkinkan terjadinya overlap implementasi
tugas pokok dan fungsi antar organisasi yang ada. Banyaknya keragaman
organisasi kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah daerah menciptakan potensi terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas. Kondisi ini
selain menciptakan sulitnya koordinasi pada tatanan implementasi kebijakan
publik juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumber daya. Banyaknya
keragaman organisasi yang dibangun juga menciptakan semakin banyak kemungkinan
terciptanya garis konflik diantara organisasi kelembagaan itu sendiri.
Organisasi
pemerintah yang ramping akan menghasilkan kualitas pelayanan masyarakat yang
lebih berkualitas serta memudahkan bagi penerima layanan. Kondisi ini
menjadikan kelembagaan yang tidak berbelit-belit serta prosedur pelayanan yang
mudah dipahami oleh masyarakat serta memberikan kejelasan dan kepastian hukum
bagi masyarakat.
Pada sebuah
organisasi pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas dan
penyelenggaraan pemerintahan, dipengaruhi oleh kepemimpinan, melalui
kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas organisasi pemerintahan yang memadai,
maka penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) akan
terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan salah satu sebab
keruntuhan kinerja kelembagaan di Indonesia.(Istianto, 2009: 2)
Kepemimpinan (leadership)
dapat dikatakan sebagai cara dari seorang pemimpin (leader) dalam
mengarahkan, mendorong dan mengatur seluruh unsur-unsur di dalam kelompok atau
organisasinya untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang diinginkan sehingga
menghasilkan kinerja pegawai yang maksimal. Dengan meningkatnya kinerja pegawai
berarti tercapainya hasil kerja seseorang atau pegawai dalam mewujudkan tujuan
organisasi.
Kepemimpinan yang
ada di Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang baik sehingga Indonesiadapat
menciptakan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat yang ada di wilayah
tersebut. Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan di Indonesia adalah
peningkatan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya. Hal ini telah
menjadi salah satu kebijaksanaan pokok pemerintah guna meningkatkan dan
sekaligus menyerasikan pertumbuhan dan perkembangan pada setiap daerah di
seluruh wilayah Indonesia.
Pada awal-awal pembangunan dilaksanakan, peranan
pemerintah biasanya sangat dominan. Bahkan di negara yang menganut paham sosialis
murni, seluruh kegiatan pembangunan adalah tangung jawab pemerintah. Namun
demikian
partisipasi masyarakat dalam usaha pembangunan sangat
diperlukan. Kartasasmita (1997) menyebutkan bahwa studi empiris menunjukkan
bahwa kegagalan pemba-ngunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran, karena
kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat
menentang upaya pembangunan.
Menggerakkan
partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan
pembangunan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar
dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian menjadi tugas penting
manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan dan menciptakan iklim yang
mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pendekatan strategi pembangunan pada
kemandirian masyarakat (self-help strategy) oleh Slamet (1994)
dijelaskan sebagai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola dan
mengorganisasikan sumber-sumber lokal, baik yang bersifat materiil, pikiran
maupun tenaga. Pemberian bantuan yang berasal dari luar, baik yang bersifat teknis
maupun keuangan tetap dimungkinkan, tetapi dengan jumlah yang terbatas.
Pembangunan di
Indonesia mencakup banyak kegiatan yang beraneka ragam yang semuanya itu
dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat.
Perwujudannya dapat bermacam-macam, seperti pelayanan kesehatan, penyuluhan,
bantuan teknis, penyediaan kebutuhan air, listrik, jalan, perumahan sampai
dengan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat. Salah satu
perwujudan dari pembangunan tersebut yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah pembangunan prasarana jalan.
Perkembangan
pembangunan jalan sangat erat hubungannya dengan per-kembangan umat manusia di
bidang ekonomi, sosial, budaya dan teknologi, sedangkan perkembangan teknik
jalan seiring dengan perkembangan teknologi yang ditemukan dan dikuasai oleh
manusia. Oleh karena itu proses pembangunan jalan mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Era globalisasi yang
ditunjukkan oleh berbagai kemajuan teknologi khususnya dibidang informasi,
komunikasi dan transportasi telah memperluas jangkauan kegiatan ekonomi
masyarakat yang menuntut tersedianya prasarana yang dapat
mempercepat mobilitas barang, jasa dan manusia. Perluasan jaringan jalan
merupakan salah satu usaha yang dapat mempercepat mobilitas penduduk, arus
barang dan jasa serta informasi dalam jumlah yang besar.
Perkembangan teknologi yang cukup
tinggi memperbesar tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan prasarana
transportasi. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang harus dihadapi oleh
Pemerintah dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat, memperkuat
daya saing dan meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat, karena prasarana
transportasi khususnya prasarana jalan merupakan prasarana penunjang bagi
tumbuh dan berkembang-nya sektor-sektor lain di bidang ekonomi.
Keinginan dan tuntutan (demand)
yang berkembang ditengah-tengah masya-rakat perlu mendapat perhatian yang cukup
dan mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya, oleh karena itu pembentukan
kebijaksanaan (policy formation) harus terus menerus mendapat perhatian.
Pembangunan merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan terus menerus
dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik.
Usaha pembaharuan untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik harus dilakukan
secara bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah, karena pada dasarnya
kebijaksanaan pemerintah merupakan perpaduan dan pemadatan/ kristalisasi
daripada pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan rakyat dan golongan-golongan
dalam masyarakat sebagaimana dikatakan Dimock (1958) dalam Soenarko (2000) “Public
policy is the reconciliation and cristallization of the views and wants of many
people and groups in the body social”. Namun demikian di negara-negara
berkembang pada umumnya peranan pemerintah lebih aktif dibanding dengan peranan
masyarakat secara langsung Tjokroamodjojo (1988).
Selain itu penetapan tujuan-tujuan
pembangunan yang hendak dicapai harus merupakan suatu usaha yang dilakukan
semua fihak yang merasa perlu untuk membantunya, “The determining of
objectives for administrasion activity is ane enterprise to which all operating
levels may contribute” (John D. Millet dalam Soenarko , 2000)
Keaktifan pemerintah dalam proses
penataan kelembagaan hendaknya disertai dengan usaha untuk memperbesar peranan
masyarakat atau usaha pemberdayaan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan, karena tanpa
keterlibatan masyarakat akan terjadi kekurangefektifan pembangunan.
Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti
keter-libatan dalam penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah, keterlibatan dalam memikul beban dan tangungjawab
dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dan keterlibatan dalam memetik hasil dan
manfaat secara berkeadilan (Tjokro-amidjojo, 1992).
Dukungan masyarakat terhadap
pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
keberhasilan dan kega galan setiap program pembangunan. Oleh karena itu
dukungan masyarakat hendaknya selalu mendapat perhatian dan selalu diusahakan
keberadaanya dalam setiap kesempatan.
Idealnya, besarnya kebutuhan masyarakat terhadap
sesuatu diikuti dengan besarnya partisipasi dalam proses pencapaiannya.
Partisipasi yang dimaksud adalah partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan
maupun pemeliharaannya atau par-tisipasi dalam keseluruhan tahapan pembangunan
(Soenarko, 1998). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap sesuatu sebanding dengan apa yang diperbuatnya.
Pembangunan Prasarana jalan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Tingkat Daerah Kabupaten
menempati prioritas yang cukup tinggi. Salah satu contoh adalah besarnya anggaran
pembangunan prasarana jalan tahun anggaran 1999/2000 di Kabupaten Bone adalah
sebesar 99% dari anggaran sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, atau
sebesar 33,7% dari anggaran pembangunan yang tercantum dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Besarnya kontribusi anggaran yang
dialokasikan ke sektor transportasi di Kabupaten Nganjuk tersebut seiring
dengan diberlakukannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,
dimana dituntut kesiapan setiap daerah dalam menyelenggarakan pemerintaha di
daerah. Akan tetapi permasalahan yang terjadi di lapangan adalah: apakah
program kegiatan pembangunan prasarana jalan tersebut akan diiringi dengan
1.2
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
pola restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah guna
mewujudkan Good Governance ?
2. Faktor-faktor
apa sajakah yang mempengaruhi pola restrukturisasi birokrasi yang dilakukan
oleh pemerintah daerah guna mewujudkan Good Governance ?
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 KONSEP PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam era persaingan yang semakin
ketat, setiap organisasi harus senantiasa mengevaluasi kinerjanya, melakukan
partisipasi masyarakat. perbaikan, agar tetap berkembang dan dapat bersaing.
Perbaikan ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Tujuannya adalah agar
organisasi itu semakin berkembang, dapat bersaing dan minimal dapat
mempertahankan kualitas yang sulit diprediksi. Salah satu strategi untuk
memperbaiki dan memaksimalkan kinerja organisasi adalah pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah organisasi
ditujukan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi organisasi. Hal ini
dilakukan dengan cara menata kembali struktur organisasi menjadi lebih baik.
Hal ini sesuai dengan definisi pemerintahan daerah yang diuraikan berikut.
Pemerintahan daerah, sering disebut sebagai downsizing
atau delayering, melibatkan pengurangan di bidang tenaga kerja, unit
kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur
organisasi. Pengurangan ini diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan
efektifitas (David, F, 1997).
Strategi pemerintahan daerah
digunakan untuk mencari jalan keluar bagi organisasi yang tidak berkembang,
sakit atau adanya ancaman bagi organisasi, atau industri diambang pintu
perubahan yang signifikan. (Mintzberg & Quinn, 1996). Pemerintahan
daerah perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja
organisasi (Djohanputro, 2004).
Pemerintahan daerah merupakan suatu
kegiatan yang sangat terkait dengan kemajuan suatu organisasi untuk
mempertahankan keberadaannya. Suatu organisasi yang di dalamnya terdapat
sekelompok manusia menunjukkan perilaku yang menggambarkan keterkaitan antara
manusia dan organisasi tersebut. Sedarmayanti (2000:39) mengungkapkan bahwa
perilaku organisasi terdiri atas dua aspek yaitu pengaruh organisasi terhadap
manusia dan pengaruh manusia terhadap organisasi.
Pemerintahan daerah organisasi
berarti juga proses merubah, memperluas atau memperkecil organisasi sesuai
visi, misi, tujuan dan sasaran yang akan dicapai oleh organisasi agar
memberikan kontribusi positif bagi public maupun customers sehingga
kepuasan masyarakat dan pelanggan (public and customers satisfaction)
yang merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan public service dapat
terpenuhi.
Perubahan organisasi merupakan
beralihnya kondisi organisasi dari kondisi yang berlaku kini menuju kondisi
masa yang akan datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitasnya. Perubahan
merupakan sesuatu hal yang harus terjadi dalam suatu organisasi karena tuntutan
perkembangan zaman. Sedarmayanti (2000:44) mengungkapkan bahwa untuk dapat
tetap bertahan dan berkembang, maka organisasi harus terus tumbuh dan
mengadakan penyesuaian. Organisasi harus berinovasi, mengembangkan sesuatu yang
baru, berekspansi ke pasar yang baru, menata kembali status hukum, organisasi,
dan struktur permodalan termasuk mem-perkenalkan dan memanfaatkan teknologi
baru, mengubah metode dan praktek kerja.
Perubahan organisasi dapat terjadi
secara tidak direncanakan atau spontan dan dapat pula terjadi secara
direncanakan. Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah reaksi langsung
terhadap keadaan nyata organisasi yang dibandingkan dengan tujuan organisasi.
Perubahan organisasi dapat disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal (Sedarmayanti, 2000:45). Secara internal,
perubahan organisasi menyangkut perubahan teknologi, karyawan atau struktur.
Sedang secara eksternal, berkaitan dengan ancaman dan peluang yang terjadi di
luar organisasi dan dapat mempengaruhi kegiatan dalam organisasi. Apabila
perubahan dikelola secara tidak benar, maka akan menyebabkan menurunnya
semangat kerja personil serta dapat menimbulkan konflik dalam organisasi.
Winardi (2004:4) mengungkapkan bahwa
upaya perubahan organisasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri
dari 3 fase yaitu fase pencairan (unfreezing), fase perubahan (changing)
dan fase pembekuan kembali (refreezing). Fase I merupakan tahapan dimana
orang mempersiapkan sebuah situasi untuk perubahan. Fase II adalah mencakup
tindakan modifikasi tugas-tugas, struktur, teknologi serta personil. Sedang
fase III adalah upaya menstabilkan perubahan untuk memelihara perilaku individu
dan organisasi.
Dalam melakukan perubahan organisasi
terdapat 3 cara untuk mencapai hasil secara tepat. Cara tersebut adalah reengineering,
pemerintahan daerah, dan inovasi (Winardi, 2004:9). Reengineering mencakup
upaya untuk memikirkan kembali dan mendesain proses bisnis guna meningkatkan
efektivitas organisasi. Kegiatan ini merupakan penataan ulang secara
fundamental untuk mendapatkan perbaikan kinerja seperti biaya, kualitas, dan
pelayanan. Kegiatan reengineering dilakukan terhadap hal yang bersifat
mendasar. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang bersifat
terobosan baru yang berorientasi pada masa depan. Olehnya itu, dilakukan
perubahan visi, misi, tujuan organisasi serta operasional organisasi.
Pemerintahan daerah organisasi dapat
berarti sempit dan dapat pula secara luas. Sedarmayanti (2000:71) menguraikan
bahwa pemerintahan daerah organisasi dalam arti sempit meliputi kinerja
organisasi, kerjasama operasional, sistem dan prosedur kerja serta
pendelegasian wewenang dan otonomi. Sedangkan pemerintahan daerah organisasi
dalam arti luas, mencakup seluruh aspek yang dimiliki perusahaan yaitu meliputi
sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan sumber daya lainnya termasuk
sarana dan prasarana.
Selanjutnya Winardi (2004:9)
meng-uraikan bahwa pada langkah pemerintahan daerah, terdapat dua macam langkah
inti kegiatan yaitu organisasi yang ber-sangkutan mengurangi tingkat
diferensiasi dan integrasinya, dengan jalan meniadakan divisi-divisi,
departemen-departemen atau tingkatan di dalam hierarki serta melaksanakan
kegiatan downsizing dengan jalan mengurangi jumlah karyawannya, guna
menekan biaya operasi.
Dalam pemerintahan daerah, diharap-kan tercapai
kinerja organisasi yang optimal, kerjasama yang kondusif, serta operasional
yang berjalan lancar. Kinerja yang optimal dapat tercapai dengan dukungan
personil dan prestasi kelompok. Selanjutnya kerjasama operasional diharapkan
dapat lebih harmonis dan situasi kerja akan lebih kondusif. Pemerintahan daerah
juga menyangkut pendelegasian wewenang atau penataan kembali struktur organisasi
sehingga organisasi menjadi responsif dan adaptif terhadap perubahan yang
terjadi.
Inovasi merupakan suatu proses dimana
organisasi memanfaatkan keterampilan dan sumber daya mereka untuk mengembangkan
barang-barang dan jasa baru, atau untuk mengembangkan produk dan sistem
pengoperasian baru, hingga dengan demikian mereka lebih baik dapat bereaksi
terhadap kebutuhan pelanggan mereka.
Adapun target dari kegiatan pemerintahan daerah
diungkapkan oleh Winardi (2004:97) yaitu individu, teknologi, struktur, proses-proses,
kultur dan manajemen. Hal senada diungkapkan oleh Leavitt dalam Sutarto
(2002:415) bahwa organisasi dapat dilakukan perubahan dalam hal struktur,
teknologi dan orang.
Individu atau orang yang terlibat
dalam organisasi dapat mempengaruhi struktur organisasi. Kemampuan dan cara
berpikir individu, serta kebutuhan mereka untuk bekerja sama mempengaruhi,
wewenang dan hubungan antara satuan-satuan kerja juga mempengaruhi struktur
organisasi. Selanjutnya pemerintahan daerah teknologi menyangkut perbaikan
peralatan serta fasilitas-fasilitas dan metode untuk memperlancar kegiatan
organisasi. Selain itu kegiatan ini juga harus didukung dengan perbaikan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku individu yang menunjang
pemanfaatan teknologi.
Struktur organisasi adalah pengaturan
antar hubungan bagian-bagian dari komponen dan posisi dalam suatu organisasi
(Harjito:1995). Dengan struktur organisasi yang jelas, maka komponen dan posisi
pendukung organisasi dapat diuraikan secara jelas. Selain itu, struktur juga
menggambarkan kegiatan koordinasi dan kewenangan yang dimiliki oleh unit
organisasi.
Kultur organisasi mewakili sebuah
pola kompleks berupa keyakinan, ekspektasi-ekspektasi, ide-ide, nilai-nilai,
sikap, dan perilaku yang dirasakan dan diyakini secara bersama oleh para
anggota suatu organisasi. (Winardi:2004). Perilaku rutin yang terjadi sewaktu
orang berinteraksi seperti, misalnya ritual-ritual keorganisasian,
seremoni-seremoni, dan bahasa yang umumnya digunakan, Norma-norma yang dianut
oleh kelompok-kelompok kerja pada seluruh organisasi yang bersangkutan seperti
upah layak untuk pekerjaan yang dilaksanakan.
Nilai-nilai dominan yang dianut oleh
organisasi seperti, kualitas produk atau kepemimpinan harga. Falsafah yang
mengarahkan kebijakan-kebijakan suatu organisasi terhadap karyawan dan para
pelanggan mereka. Peraturan-peraturan permainan, untuk melaksanakan tata
pergaulan di dalam organisasi ber-sangkutan, atau tata cara yang perlu dipahami
dan dipelajari oleh seorang karyawan baru, agar ia diterima oleh para anggota
lainnya di dalam organisasi tersebut. Perasaan atau iklim yang timbul di dalam
sebuah organisasi oleh karena tata susunan fisiknya, dan cara dengan apa para
anggota organisasi tersebut berinteraksi dengan para pelanggan, atau dengan pihak
luar lainnya.
Manajemen organisasi bertujuan untuk
mengembangkan partisipasi (karyawan) dalam kegiatan pemecahan masalah oleh para
karyawan pada tingkatan lebih rendah guna menggantikan sebuah pendekatan dari
atas ke bawah. Selain itu pentingnya koordinasi diuraikan oleh Hardjito
(1995:47) bahwa koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan dari satuan-satuan terpisah (unit-unit) suatu organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Dengan koordinasi yang baik, maka
partisipasi setiap individu dalam organisasi dapat dikembangkan.
2.2 PENATAAN KELEMBAGAAN
Kelembagaan berasal dari kata bureaucracy
(Bahasa Inggris, bureau cracy), diartikan sebagai suatu organisasi
yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang
berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi
yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi
serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram.
Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang
fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus
dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki
kekuasaan. (Wikipedia, 2008).
Kelembagaan sebagai suatu sistem
organisasi formal dimunculkan pertama sekali oleh Max Weber pada tahun 1947,
menurutnya kelembagaan merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Max
Weber mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai
oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi
ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut
(Sinambela, 2008:53).
Ciri organisasi yang mengikuti sistem
kelembagaan ini adalah pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal,
kekuasaan hirarkis, peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi.
Cita-cita utama dari sistem kelembagaan adalah mencapai efisiensi kerja yang
seoptimal mungkin. Menurut Weber organisasi kelembagaan dapat digunakan sebagai
pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada
sasarannya, karena organisasi kelembagaan punya struktur yang jelas tentang
kekuasaan dan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat
memberi perintah untuk men-distribusikan tugas kepada orang lain.
Hal senada diungkapkan oleh Nugroho
(2004:28) bahwa kelembagaan dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri
sipil. Ungkapan ini menekankan pentingnya peran sumber daya manusia dalam
konteks kelembagaan. Kelembagaan merupakan lembaga yang memiliki kemampuan
besar
dalam menggerakkan organisasi, karena kelembagaan ditata
secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi.
Kelembagaan merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan
di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks (Sinambela, 2008:53).
Kelembagaan
memainkan peranan aktif di dalam proses politik di kebanyakan negara dan
kelembagaan menggunakan banyak aktifitas-aktifitas, diantaranya usaha-usaha
paling penting berupa implementasi Undang-Undang, persiapan proposal
legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan masalah-masalah
profesional, dan membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M. Levine dalam
Aisyah, 2003).
Adapun ciri
kelembagaan yang dapat mencapai tujuan negara diungkapkan oleh Widodo (2001:80)
bahwa kelembagaan publik dalam era sekarang ini harus dapat bekerja secara
efisien, efektif, kompetitif, responsif dan adaptif. Selain itu, kelembagaan
publik harus mempunyai struktur dan prosedur yang fleksibel, juga harus
mempunyai kemauan dan kemampuan yang diperlukan untuk memperkembangkan diri,
menyesuaikan diri dengan situasi dinamis dan ketidakpastian lingkungan.
Max Weber
berpendapat bahwa kelembagaan adalah suatu bentuk organisasi yang paling
efisien dan rasional. Hal itu digambarkan dengan menunjukkan apa yang menjadi
karakteristik kelembagaan, yaitu :
a.
Kewenangan yang
berjenjang sesuai dengan tingkatan organisasi;
b.
Spesialisasi tugas,
kewajiban, dan tanggung jawab;
c.
Posisi didesain sebagai
jabatan;
d.
Penggantian dalam jabatan
secara terencana;
e.
Jabatan bersifat impersonal;
f.
Suatu sistem aturan dan
prosedur yang standar untuk menegakkan disiplin dan pengendaliannya;
g.
Kualifikasi yang rinci
mengenai individu yang akan memangku jabatan;
h.
Perlindungan terhadap
individu dari pemecatan.
Uraian tersebut
lebih diperjelas oleh Nugroho (2004:28) bahwa kelembagaan mempunyai 10 ciri
yaitu:
1)
Para anggotanya (staf)
secara pribadi bebas, dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari
jabatan-jabatannya;
2)
Terdapat hierarki jabatan
yang jelas;
3)
Fungsi-fungsi jabatan
diperinci dengan jelas;
4)
Para pejabat diangkat
berdasarkan kontrak;
5) Penyeleksian atas dasar kualifikasi
profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui
ujian;
6) Anggotanya
digaji dengan uang dan biasanya mempunyai hak-hak pensiun;
7) Pekerjaan
pejabat ialah pekerjaannya yang satu-satunya;
8) Terdapat
suatu struktur karier dan kenaikan pangkat adalah yang mungkin baik melalui
senioritas ataupun prestasi dan sesuai dengan penilaian para atasan;
9) Pejabat
tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula
sumber-sumber yang menyertai kedudukan itu, dan;
10) Pejabat
tunduk kepada pengendalian yang dipersatukan dan kepada sistem disipliner.
Kemampuan untuk menunjukkan ciri
tersebut tergantung pada pelaku kelembagaan atau aparat untuk berfikir dinamis
dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu setiap aparat
hendaknya memiliki semangat kerja yang tinggi serta didukung oleh sumberdaya
dan dana dalam pencapaian tujuan negara.
Berdasarkan perbedaan tugas pokok
atau misi yang mendasari organisasinya, Syukur Abdullah dalam Alfian (1991:229)
menjelaskan bahwa kelembagaan dibedakan dalam tiga kategori, yaitu :
a. Kelembagaan
pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintah yang menjalankan
tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari
tingkat pusat sampai daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa).
Tugas-tugas tersebut lebih bersifat “mengatur” (regulative function).
b. Kelembagaan
pembangunan yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang
atau sektor khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian,
kesehatan, pendidikan, industri dan lain-lain. Fungsi pokoknya adalah fungsi
pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive
function).
c. Kelembagaan
pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya merupakan bagian yang
langsung berhubungan dengan masyarakat. Dalam kategori ini dapat disebutkan
antara lain rumah sakit, sekolah, kantor koperasi, bank rakyat tingkat desa,
kantor atau unit pelayanan departemen sosial, transmigrasi dan berbagai unit
organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas
nama pemerintah. Fungsi utama-nya ialah pelayanan (service) langsung kepada
masyarakat. Termasuk dalam konsep ini ialah apa yang disebut oleh Michael
Lipsky sebagai kelembagaan di lapangan tugas dan berhubungan langsung dengan
warga masyarakat.
Pelaksanaan fungsi sebagai pelayanan
terhadap masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kemampuan profesional, serta
manajemen dan organisasi (capacity and capability institutional) yang
berorientasi pada pelaksanaan pembangunan secara terpadu, lancar, dan integral
dengan pendekatan administratif, karena itu, kelembagaan sebagai public servis
harus mampu menyeimbangkan antara kekuasaan dan tanggung jawab (power and
responsibility), sehingga fungsi-fungsi yang dijalankannya memperoleh
kedudukannya.
Dalam menjalankan fungsinya
pemerintahan, kelembagaan pemerintahan yang terstruktur dalam suatu wadah
organisasi, melakukan proses (kegiatan) dan perilaku (nilai), kelembagaan
pemerintahan harus memiliki kemampuan profesional, kualifikasi administrasi
atau manajerial, dan hierarki yang jelas untuk melaksanakan kekuasaan dan
tanggung jawab sebagai abdi masyarakat.
Kelembagaan mengandung prinsip
hierarki, sehingga dalam pelaksanaannya ada kelembagaan pemerintahan lokal dan
kelembagaan pemerintahan sentral. Kelembagaan lokal merupakan per-panjangan
tangan kelembagaan sentral dalam memberikan akses. Pelayanan pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Kedudukan kelembagaan pemerintahan lokal dalam kaitannya
dengan isu demokrasi, otonomi, dan keterbukaan sangat strategis. Dikatakan
strategis karena kelembagaan lokal menjadi ujung tombak untuk menumbuhkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan nasional maupun daerah.
Selain itu, budaya kelembagaan sangat
mempengaruhi kinerja dari kelembagaan tersebut. Budaya organisasi (kelembagaan)
merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan
organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan
(Siagian, 1995). Oleh karena itu budaya organisasi kelembagaan akan menentukan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh oleh para anggota organisasi dan
selanjutnya juga dapat menentukan batas-batas normatif perilaku anggota
organisasi.
Budaya ini juga mengatur tentang
sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi dan menentukan
gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Setiap kelembagaan
harus menentukan cara-cara kerja yang tepat untuk mencapai efektifitas dan
efisiensi. Suryono (2003) menguraikan bahwa peran penting yang dimainkan oleh
budaya organisasi (kelembagaan) adalah membantu menciptakan rasa memiliki
terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi, menciptakan
keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat di dalamnya,
membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial, dan menemukan
pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk
dalam keseharian.
2.3 ANALISIS SWOT TERHADAP STRUKTUR
PENATAAN KELEMBAGAAN DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
2.3.1 Analisis Terhadap Struktur
Untuk mengetahui
penataan kelembagaan dalam pemerintahan daerah terutama dalam analisis struktur
maka diperlukan sebuah pendekatan analisis SWOT. Dapat diuraikan melalui
kutipan-kutipan yang diperoleh dengan melakukan interview kepada beberapa
informan kunci dan ahli yang telah ditetapkan pada penelitian ini.
Secara umum,
kekuatan (strength) penataan kelembagaan melalui analisis struktur dapat
diketahui dari keseriusan Pemerintah Daerah di Indonesia untuk menyesuaikan
antara kewenangan dengan kesesuaian struktur yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Pola kesesuaian struktur itu dijabarkan ke dalam organisasi melalui
bidang masing-masing sehingga setiap orang atau pimpinan dapat merasakan
kesesuaian pekerjaan mereka dengan pola kewenangan yang diberikan. Sehingga
tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak melakukan yang terbaik dalam rangka memegang
amanah memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inilah
buah dari adanya kebijakan Pemerintah untuk terus melakukan strukturisasi pada
setiap lini dan pekerjaan.
Pada hal lain,
kekuatan (strength) penataan kelembagaan selama ini adalah dengan
menerapkan dan membentuk struktur berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 yang sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Hal ini mengindikasikan
bahwa Pemerintah Daerah dapat menjalankan kebijakan desentralisasi yaitu adanya
kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Namun kewenangan ini menjadi dilematis atau akan berpeluang lemah (weakness)
bila pekerjaan itu tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah daerah akibat overload
(kelebihan pekerjaan).
Pada hal lain
adanya pola kewenangan pusat ke daerah melalui desentralisasi tersebut membuka
peluang (opportunity) sekaligus ancaman (treath) akibat
ketidakefektifan dan membuka peluang KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) hal ini dapat terjadi karena Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan yang sangat luas dan sulit untuk dikontrol.
2.3.2 Analisis Terhadap Teknologi
Untuk
mengetahui penataan kelembagaan terutama mengetahui bagaimana analisis
teknologi berlangsung maka penulis memaparkannya melalui pendekatan analisis
SWOT. Pendekatan ini digunakan untuk menjawab bagaimana kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman itu berlangsung dalam ranah restrukturisasi bidang
teknologi Pemerintah Daerah Di Indonesia. Dari hasil wawancara maka diperoleh
hasil tersebut berdasarkan jawaban dari kutipan wawancara pada pembahasan
sebelumnya.
Secara
umum, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Di Indonesia dalam menyediakan
peralatan dan fasilitas teknologi adalah sesuatu yang bermanfaat (strength).
Kekuatan ini bisa menjelma karena kemampuan mengadopsi teknologi dalam membantu
kegiatan operasional organisasi atau setiap bidang dalam lingkungan Pemerintah
daerah di Indonesia. Ketersediaan fasilitas juga menjadi jawaban atas
keterlambatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat selama ini.
Kekuatan
lain (strength) adalah komitmen pemerintah untuk terus melakukan inovasi
dalam pelayanan dengan mengadopsi alat teknologi yang lebih berpihak kepada
pelayanan yang efektif dan efisien sehingga memberi dampak positif kepada
pemerintahan yang sementara berjalan. Dan terutama kepada pimpinan setingkat
Bupati dan perangkatnya. Ketersediaan sarana dan prasarana teknologi seperti
alat komunikasi, kendaraan dinas serta sarana lainnya menguatkan bahwa
pemerintah bersungguh-sungguh melakukan perbaikan.
2.3.3 Analisis terhadap Personil
Untuk
menganalisis melalui pendekatan SWOT terhadap personil. Maka penulis memperoleh
gambaran dari hasil wawancara dengan beberapa informan. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa kesadaran Pemerintah Daerah di Indonesia melakukan
restrukturisasi melalui pendayagunaan aparat atau personil diwujudkan dalam
bentuk mengikutsertakan mereka dalam diklat, keterampilan menjalankan tugas
birokrasi, serta kemudahan bekerja sama dalam satu tim. Hal ini menjadi
kekuatan (strength) bagi Pemerintah Daerah Di Indonesia dalam pencapaian
tujuan bersama organisasi.
Hal lain yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah di Indonesia adalah memberikan kesempatan
kepada setiap personil untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebagai
upaya menjawab tantangan (opportunity) ke depan yang lebih membutuhkan
kecepatan dalam mengambil sebuah keputusan serta meningkatkan kedisiplinan
mereka akan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Serta motivasi yang
tinggi untuk meningkatkan kinerja mereka.
2.4 ANALISIS SWOT TERHADAP FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PENATAAN KELEMBAGAAN DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
2.4.1 Faktor Internal
1. Kekuatan (Strength)
Bila kita
mencermati dari apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia selama
ini adalah sebuah kekuatan yang sangat penting dalam upaya restrukturisasi
birokrasi. Kemampuan Pemerintah Daerah melakukan strukturisasi, teknologi, dan
personil adalah sebuah keputusan yang baik untuk memperbaiki semua yang
berkenaan dengan peningkatan kinerja dan terutama memberikan pelayanan bagi
masyarakat. Dengan adanya tingkat pelayanan yang baik kepada masyarakat
menjadikan pemerintah semakin mempunyai legitimasi dalam menjalankan roda
pemerintahan. Dan pada akhirnya kepercayaan untuk melanjutkan pemerintahan
kedua kalinya dapat diwujudkan.
2. Kelemahan (Weakness)
Pola penataan
kelembagaan ter-kendala dari beberapa hal terutama masih adanya sebahagian
personil dalam pemerintahan yang kurang memberikan apriori terhadap roda
pemerintahan. Hal ini penulis dapatkan dari hasil kajian sebelumnya pada saat
mentabulasi jawaban pada saat wawancara. Dari hasil wawancara tersebut masih
ada personil yang kurang mendukung keputusan yang diambil oleh pemerintah
daerah saat ini. Hal ini bila dibiarkan akan menggembosi pemerintahan yang
solid.
2.4.2 Faktor Eksternal
1. Peluang (Oppurtunity)
Banyak peluang
yang diterima Pemerintah Daerah terutama setelah pemerintah pusat memberikan
kewenangan penuh untuk mengelola sendiri daerahnya. Sehingga memberikan peluang
untuk menata sendiri daerahnya. Hal ini mem-berikan peluang lain untuk
memberdayakan seluruh personil yang ada dalam lingkungan pemerintahannya.
Selain itu, peluang untuk meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat lebih
luas dan terintegrasi.
2. Ancaman (Treath)
Ancaman itu tetap
ada, mulai dari penggembosan dari aparat sendiri untuk tidak memberikan
kesungguhan hati untuk bekerja karena ada unsur politik yang bekerja di
dalamnya. Dalam setiap organisasi hal seperti ini adalah lumrah namun bila
dibiarkan maka akan menjadi ancaman di masa yang akan datang. Selain itu ancaman
lain adalah dengan sistem desentralisasi membuka peluang KKN bagi penguasa di
setiap daerah yang justru menambah parah manajemen pemerintahan yang terbina
selama ini, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat kembali menurun dan
melemah.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan
Analisis SWOT terhadap Pola penataan kelembagaan sebagai berikut :
Tabel
2. Analisis SWOT Terhadap Pola Penataan Kelembagaan

Gambaran hasil penelitian
menunjuk-kan bahwa restrukturisasi birokrasi memudahkan masyarakat untuk
mengetahui penggunaan dana publik.
Dalam upaya peningkatan akuntabilitas, maka Pemerintah
Daerah di Indonesia melakukan kontrol dalam pelaksanaan pemerintahan. Dengan
unsur ini pemerintah wajib untuk memper-tanggungjawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan. Hal ini terkait dengan
salah satu tujuan pembangunan yaitu terciptanya suasana politik yang kondusif.
Dari hasil wawancara terhadap
informan dan hasil observasi langsung di lapangan serta variabel yang diteliti,
maka dapat dianalisis dengan analisis SWOT sebagai berikut :
Kekuatan (Strength) yang merupakan faktor
penunjang internal :
1. PP
Nomor 41 Tahun 2007 sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemda Di
Indonesia.
2. Struktur
yang sederhana dapat mengakomodir kebutuhan daerah.
3. Fasilitas
yang ada dapat mempermudah pelaksanaan tugas pokok yang berdampak pada
pencapaian Good Governance.
4. Aparat
mampu menjalankan tugas pokok Birokrasi Pemerintah Daerah.
5. Organisasi
yang ada setelah restrukturisasi dapat mempermudah aparat untuk mengembangkan
kemampuannya.
6. Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dapat memberikan kepastian hukum pada masyarakat.
7. Pola
restrukturisasi birokrasi mempermudah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk
memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat.
8. Pola
restrukturisasi memudahkan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab pada
publik.
Kelemahan (Weaknesses) yang merupakan faktor
penghambat internal :
1. Adanya
tugas pokok yang serupa pada beberapa organisasi Pemda Di Indonesia yang
dibentuk.
2. Sarana
pendukung lain pada Pemda belum maksimal.
3. Pola
restrukturisasi yang dibentuk member dampak perubahan kebutuhan sarana pada
beberapa unit organisasi.
4. Keterbatasan
dana dalam menjalankan tugas pokok birokrasi.
5. Motivasi
aparat masih kurang dalam bekerjasama dengan tim kerja untuk pencapaian tujuan
organisasi.
6. Masih
kurangnya penyuluhan hukum terhadap masyarakat.
7. Transparansi
dan akuntabilitas aparat Pemda belum optimal.
Peluang (Opportunity) yang merupakan faktor
penunjang eksternal :
1. Pola
restrukturisasi Birokrasi Pemda Di Indonesia telah mengarah pada pelaksanaan Good
Governance.
2. Kesesuaian
struktur kelembagaan yang ada dengan potensi daerah telah memberikan kemudahan
kegiatan pelayanan masyarakat secara bertahap.
3. Organisasi
yang dibentuk dapat melakukan pengelolaan potensi daerah seperti pengelolaan
sumber daya alam sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
4. Ketersediaan
sarana pendukung dapat mempermudah pelaksanaan tugas dan kinerja optimal.
5. Kemampuan
aparat dapat dicapai dengan kegiatan Diklat secara kontinyu serta peningkatan
pendidikan S1 dan S2.
6. Pola
restrukturisasi birokrasi dapat berimplikasi terhadap kejelasan hukum bagi
masyarakat.
7. Kemudahan
masyarakat memperoleh informasi yang jelas dapat mewujudkan Good Governance dan
kemudahan masyarakat mengetahui penggunaan dana Publik.
8. Pemda
di Indonesia akan merevisi kelembagaan yang overlap dalam pelaksanaan
tugas.
Ancaman (threat) yang merupakan faktor
penghambat eksternal :
1. Overlap
pelaksanaan
tugas memberikan indikasi akan kualitas birokrasi yang kurang baik.
2. Sulitnya
membangun koordinat antar instansi terkait propinsi dan pusat.
3. Kebutuhan
daerah belum terungkap secara sistematis.
4. Kepercayaan
masyarakat terhadap aparat Pemda di Indonesia mulai menurun.
5. PP
Nomor 41 Tahun 2007 belum sepenuhnya mengarah pada pelaksanaan Good
Governance.

Gambar
2. Diagram Analisis SWOT
Keterangan :
Kuadran
1. Ini
merupakan situasi yang sangat menguntungkan Pemda Di Indonesia disamping
memiliki peluang dan kekuatan, sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan PP
Nomor 41 Tahun 2007. Untuk tetap merevisi kelembagaan yang ada secara utuh ke
depan untuk terwujud-nya Good Governance.
2. Meskipun
menghadapi ber-bagai ancaman Pemda di Indonesia masih memiliki kekuatan dari
segi Internal, Strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan pola restrukturisasi yang telah ada
dapat dikembangkan dengan pembenahan birokrasi.
3. Pemda
di Indonesia meng-hadapi peluang yang sangat besar tetapi di lain pihak Pemda
menghadapi kendala/ kelemahan internal, strategi yang diambil adalah
meminimalkan masalah-masalah internal Pemda, sehingga dapat merebut peluang
yang lebih baik, dalam mewujudkan Good Governance.
4.
Pemda di Indonesia dalam situasi yang
sangat tidak menguntungkan karena meng-hadapi berbagai ancaman dan kelemahan
internal, sehingga dapat menghambat pelaksanaan Good Governance.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan dalam
penelitian ini, maka penulis memberikan simpulan setelah dianalisis dan dibahas
sebagai berikut :
1. Pola
restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah guna mewujudkan
Good Governance masih relevan dengan pelaksanaan dan pembagian
kewenangan dalam pola strukturisasi hal ini bisa dilihat dan dikaji dari hasil
analisis dan pembahasan sebelumnya yang menurut sebahagian besar responden.
Kemudian dalam hal penerapan dan pengadaan fasilitas teknologi mendapat
perhatian responden bahwa masih layak dan mampu menjadi penunjang dalam
operasional. Sementara dalam hal penempatan personil bisa dijadikan sebagai
acuan bahwa personil sudah mampu bersinergi dengan tugas dan tanggungjawabnya,
begitu pula dalam melakukan kerja sama sebagai satu kesatuan organisasi (team
work)
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pola restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah
daerah guna mewujudkan Good Governance dapat dikaji dari berbagai segi,
diantaranya masalah kepastian hukum. Menurut sebagian responden bahwa hal itu
sudah dilakukan berdasarkan keadilan dan perberlakuan hak dan kewajiban yang
sama. Dalam ranah transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah telah
berhasil menjadikan sebagai pola yang terbuka dan dapat diakses juga
mengedepankan bentuk manajemen yang terbuka sebagai bentuk pertanggung jawaban
moral
3.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian serta
pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis dapat memberikan saran-saran untuk
menjawab simpulan sebagai berikut :
1. Pola
restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Di Indonesia
adalah sesuatu yang patut kita dukung karena hal ini juga berdampak kepada
pelayanan masyarakat serta pelayanan kerja yang efektif dan efisien dalam
mewujudkan Good Governance itu sendiri. Hal ini juga sesuai dengan PP
No. 41 Tahun 2008 yang mengatur tentang hal strukturisasi, penyediaan fasilitas
teknologi serta penempatan dan pemberdayaan personil.
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pola restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah
daerah guna mewujudkan Good Governance Dalam penelitian ini, Pemerintah
Daerah Di Indonesia mencoba memberi ruang yang sebesar-besarnya kepada
kepastian hukum agar harmonisasi roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik
yang pada akhirnya menjadi kekuatan (Strength) sekaligus mewujudkan
peluang (Oppurtunity) dalam mewujudkan Good Governance. Kendati
pelaksanaan transparansi pada level bawah tetapi dengan semangat untuk hal
tersebut akan dapat dilakukan sepanjang Pemerintah Daerah bersungguh-sungguh
sehingga menjadi bentuk pertanggungjawaban moral bagi birokrasi yang dipimpin
serta masyarakat yang dilayani.
Masih perlunya revisi kelembagaan
pada pelaksanaan tugas yang mendalami tumpang tindih antara Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) satu dengan SKPD lainnya. Perbaikan struktur
organisasi, teknologi dan personil diharapkan dapat mewujudkan Good Governance.
Restrukturisasi birokrasi yang dilakukan Pemda di Indonesia harus disertai
dukungan ketersediaan sarana dan kejelasan metode/aturan kerja. Pola
restrukturisasi birokrasi yang telah ada hendaknya lebih ditingkatkan lagi
melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mewujudkan Good Govermance
Pemda di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
________,
2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Aisyah,
Dara, 2003, Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi, http://library.usu.ac.id/download/fisip/admnegara-aisyah.pdf.
Usu Digital Library, Diakses tanggal 18 Oktober 2016.
Alfian dan Nazaruddin Syamsyuddin, 1991, Profil
Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafit, Jakarta.
Arikunto, Suharsimin, 2002, Prosedur
Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Rineka Cipta, Jakarta.
David, Fred R, 1997, Strategic
Management. Prentice-Hall International, Inc. New Jersey.
Djohanpuro, Bramantyo, MBA, PhD, 2004, Restrukturisasi
Perusahaan Berbasis Nilai. Strategi Menuju Keunggulan Bersaing. Penerbit
PPM, Jakarta.
Hardjito,
Dydiet, 1995, Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, Raja
Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi, diakses tanggal
28 November 2008.
Mardiasmo,
2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta.
Nazir, Moch, 1999, Metode Penelitian,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nisjar
S., Karhi, 1997, Beberapa Catatan Tentang Good Governance, dalam Jurnal
Administrasi dan Pembangunan, Jakarta.
Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik
Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Porter, Michael E. 1997, How
Competitive Forces Shape Strategy. Dalam tulisan Mintzberg, H. & Quinn,
James, B.1996 : The Strategy Process: Concepts, Contexts, Cases.
Prentice-Hall International, Inc. New Jerswy.
Riduwan. 2004, Metode dan Teknik
Menyusun Tesis, Alfabeta, Bandung.
Sedarmayanti,
2000, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Mandar Maju, Bandung.
Siagian, Sondang, 1995, Teori
Pengembangan Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta.
Sinambela,
Lijan Poltak dkk, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Teori Kebijakan, dan
Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta.
Suryono, Agus, 2003, Budaya Birokrasi
Pelayanan Publik, http://publik. brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile.
Diakses tanggal 30 November 2008.
Sutarto, 2002, Dasar-Dasar Organisasi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance :
Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Jakarta.
Winardi, 2004, Manajemen Perubahan
(Management of Change), Prenada Media, Jakarta.
Peraturan
perundang-undangan :
● Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
●
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar