Rabu, 04 Januari 2017

Etika Administrasi Dan Penerapannya di Indonesia






BAB I
PENDAHULUAN
11  Latar Belakang
Lebih dari dua abad yang lalu, sebuah akademi di kota Dijon Prancis mengadakan sayembara tertulis untuk menjawab pertanyaan sederhana, apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan memberikan sumbnagan bagi perbaikan moraltas manusia. Seseorang bernama Jean – Jacques Rousseau dengan lantang menjawab pertanyaan tersebut dengan “Tidak” pertanyaan yang diajukan akademi Dijon ini begitu sederhana, sebagaimana jawabannya. Namun, Implikasinya demikian luas. Karena karya tulisnya untuk Akademi Dijon yang menentang arus kemudian nama Rousseau bnayak disebut – sebut sebagai filusuf brilian dari eropa.
Kegalauan pikiran Rousseau mengenai relevansi moralitas bagi kemajuan seni dan ilmu pengetahuan bisa dipahami jika kita melihat latar belakang sejarah pada waktu itu, pada pemulaan abad ke- 18 seni dan budaya di prancis sudah demikian maju jika dibandingkan dengan negara lain. Sikap masyarakat tidak lagi terbelenggu fatalisme dan ajaran – ajaran dogmatis, rasionalitas dijunjung tinggi dimana – mana namun kenyataan lain begitu kontradiktif. Louis XIV dengan congkak ingin mengukuhkan absolutisme monarki melalui ucapannya “negara adalah aku”. Sementara itu ketidakadilan pemungutan pajak tanpa begitu mencolok kaum ningrat dibebaskan dari pajak yang begitu tinggi, sedangkan rakyat kecil dikenai pajak begitu tinggi. Para penguasa yang korup cenderung menghamburkan uang negara.
Dari penjelasan diatas jelas mengatakan kemjauan seni ilmu pengetahuan, dan tekhnologi tidak dapat dijadikan cerminan kemajuan di bidang moralitas. Itulah sebabnya rousseau menganjurkan supaya manusia kembali ke alam yaitu bahwa moralitas yang asli  benar – benar manusia itu ditemukan dalam manusia yang masih alamiah dan harus identik dengan dirinya sendiri. Begitupun di indonesia, persoalaan – persoalaan etis memungkinkan berbagai macam alternatif yang mengandung konsekuensi yang berbeda. Oleh sebab itu pemahaman moral yang mendalam sangat dibutuhkan untuk membuat pilihan alternatif yang paling tepat, suatu pemahaman yang tidak hanya mensyaratkan pengetahuan teoritis dan rasionalitas nilai tetapi juga keterlibatan kognitif serta kepekaan rohani dan penglaman empiris dalam memecahkan persoalaan – persoalaan moral.



I.2. Rumusan Masalah
Untuk lebih mudah memahami makalah ini maka dirumuskan masalah sebagai  berikut
1. pengertian etika ?
 2.ruang lingkup etika administrasi Negara ?
3.  etika administrasi dalam prakteknya ?

1.2 Identifikasi masalah

1. Memperbaiki penerapan etika para administrator di Indonesia.
2. Pentingnya moral dan etika dilingkup administrasi negara.
3. Etika administrasi dalam implementasinya.




        BAB II
         Pembahasan


2.1 Pengertian etika
Etika berasal dari bahasa Yunani: etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isyilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya.Moril bisa berarti semangat atau doronganbatin.  Dalam kaitannya dalam prilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.
Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat.
Sebagai suatu bidang studi, kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam ilmu administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya etika administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da memegang jabatannya.
Etika administrasi Negara karena menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral yang luhur pula. Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang yang sangat tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi pangkal pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.
Adapun secara substantif Bidang Studi Etika Administrasi Negara diadakan untuk mengetahui beberapa hal berikut :
  • Tujuan ideal administrasi
  • Ciri-ciri administrasi yang baik
  • Penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada administrator
  • Perbandingan bentuk-bentuk administrasi yang baik dan buruk
Ada 3 prinsip yang harus dipegang agar sebuah Administrasi dapat dikatakan baik yakni:
Prinsip Pelayanan kepada Masyarakat
Prinsip utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, dari sini dapat dipahami bahwa pemerintah ada memang untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip Keadilan Sosial dan Pemerataan
Prinsip ini berhubungan dengan distribusi pelayanan yang harus sesuai, tidak “pilih kasih” dan relatif merata di seluruh wilayah sebuah negara/ pemerintahan.
Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Maksudnya adalah setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan kesejahteraan dan bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada umumnya.

2.2 Lingkup Etika Administrasi Negara
Persoalan-persoalan etis yang dibahas dalam etika Administrasi yang sekaligus menjadi ruang lingkup dari Etika Administrasi itu sendiri menurut J. Alder antara lain :
  • Apakah ukuran-ukuran dari administrasi yang baik ?
  • Apakah sifat dasar dari administrasi yang jelek ?
  • Apakah ada bentuk/model Administrasi yang baik atau jelek?
  • Apakah keberhasilan administrasi ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu efisiensinya dalam melaksanakan tugas?
Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses administrasi Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik  bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.
Kode etik bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi karena bagaimanapun juga organisasi hanya akan dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja didalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.
Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau menghapal sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan, pengkhayatan, serta pengalaman dari apa yang mereka ucapkan itu yan lebih penting. Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Ada delapan unsur penilaian pegawai yaittu: Kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa, kepemimpinan.

2.3   Etika Administrasi Dalam Praktiknya
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (Agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi.
Begitu pula dengan etos kerja dan etika administrasi negara. Etos kerja merupakan masalah penting karena masalah ini agaknya masih menjadi titik kelemahan dalam upaya mencapai produktivitas pejabat publik yang tinggi. Dan Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
 Akhirnya, persoalan kode etik menjadi pelengkap yang penting dalam kajian etika administrasi. Unsur-unsur administrasi negara bukan hanya pejabat-pejabat yang memiliki otoritas tinggi untuk membuat keputusan strategis tetapi juga aparat-aparat  teknis yang langsung berhadapan dengan tugas-tugas yang sangat teknis. Oleh karena itu, kode etik atau kode-kode etik administrasi juga berlaku bagi pejabat-pejabat yang membidangi pekerjaan-pekerjaan operasional, ketatausahaan, atau administrasi dalam arti sempit.
Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya. Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan ma ajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan Law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal administration) yang akan mengabaikan Law Enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan Law Enforcement terdapat :
1. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya aparaturnya.
2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan.
3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya.
4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (Reinventing government).
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik  bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses administrasi. Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa. Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja - putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya untuk menaruh perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika administrasi negara yang tujuannya adalah untuk menyelengarakan kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan dengan baik oleh para penyelenggara negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa pun dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika administrasi negara tidak secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi negara maka dapat diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada kehidupan berbangsa. 
Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa. Khususnya Etika Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka tercipta suatu ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit diselesaikan di Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut sistem demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ternyata harus terpuruk karena pada kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan pemerintah hanya memikirkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Adanya ‘budaya’ korupsi yang telah sejak lama menodai penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia menunjukkan bahwa etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang berhubungan langsung dengan kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik dan pemerintah sama sekali tidak diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari baik buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan kemudian etika administrasi negara tersebut sangat menentukan bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan pemerintah.
Analisis etika administrasi negara sebagai sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen, praktek kepegawaian (berkaitan dengan 8 unsur administrasi negara).
Dalam etika publik, setidaknya ada tiga perhatian (concern), antara lain; 
1. Pelayan publik yang berkualitas dan relevan.
2. Dimensi normatif dan dimensi reflektif (bagaimana bertindak) menciptakan suatu institusi yang adil.
3. Modalitas etika, menjembatani agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata (sistem, prosedur, sarana yang memudahkan tindakan etika).
Berdasarkan concern etika publik tersebut, dapat dilihat adanya suatu sistem sensor yang menandai keberadaan etika administrasi negara. Untuk melihat apakah pelayan publik berkualitas dan relevan, apakah dimensi normatif dan reflektif sudah berjalan baik dan meciptakan suatu institusi yang adil dan apakah modalitas etika sudah menjadi tindakan nyata membuat adanya suatu sistem sensor yang menjadi penilai bagi perhatian publik yang ada. 
8 unsur administrasi negara, yaitu; organisasi, manajemen, komunikasi, kepegawaian, perbekalan, keuangan, ketatausahaan, dan hubungan masyarakat merupakan unsur-unsur yang tak dapat terlepas dari etika administrasi negara. Sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen, praktek kepegawaian apabila dijalankan sesuai etika administrasi negara maka akann berlangsung dengan baik dan akan jauh lebih mudah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu organisasi yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan kerjasama yang biasanya dilakukan dengan adanya kelompok-kelompok kerja yang kemudian juga berhubungan dengan proses manajemen memperlihatkan bahwa etika administrasi negara lah yang paling berperan. Karena sekalipun suatu organisasi telah menetapkan peraturan beserta sistem manajemennya akan menjadi tidak berguna ketika ternyata etika administrasi negara tidak diperhatikan.
2.3.1 Karakteristik Good Governance dalam Menata Ulang Manajemen Pemerintahan
karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut :
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berassosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani stakeholders.
5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance.
2.3.2  Perilaku Birokrasi Pemerintahan
Perilaku birokrasi jauh berbeda jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama dengan hubungan pemerintahan. Ketika Birokrasi Pemerintahan bertindak keluar, terjadilah hubungan birokratik pemerintahan, tetapi hubungan ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah dan manusia bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Dalam era reformasi, banyak “mal praktik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance


Kesimpulan
Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998:139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi “good governance”. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Karakteristik atau unsur utama penyelenggaraan manajemen kepemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparasi (tranparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (rule of law) ‘Bhata dalam nisjar (1997:119)’.
Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya.ada tiga konsep penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas (Darwin, 1997:72)
Namun dalam kenyataannya, tak sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.
Penyebab utama munculnya mal-administrasi (bureaupathology) menurut Islamy (1998:14) adalah rendahnya profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil.

DAFTAR PUSTAKA

2.      http://anggia-megani.blogspot.com/2011/11/analisis-hubungan-etika-dan.html
5.       http://www.scribd.com/doc/30385579/Studi-Dan-Lingkup-Etika-Administrasi-Negara
6.      Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A, 2008. Filsafat Administrasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar