BAB I
PENDAHULUAN
11 Latar Belakang
Lebih dari dua abad yang lalu, sebuah
akademi di kota Dijon Prancis mengadakan sayembara tertulis untuk menjawab
pertanyaan sederhana, apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan
memberikan sumbnagan bagi perbaikan moraltas manusia. Seseorang bernama Jean –
Jacques Rousseau dengan lantang menjawab pertanyaan tersebut dengan “Tidak”
pertanyaan yang diajukan akademi Dijon ini begitu sederhana, sebagaimana jawabannya.
Namun, Implikasinya demikian luas. Karena karya tulisnya untuk Akademi Dijon
yang menentang arus kemudian nama Rousseau bnayak disebut – sebut sebagai
filusuf brilian dari eropa.
Kegalauan pikiran Rousseau mengenai
relevansi moralitas bagi kemajuan seni dan ilmu pengetahuan bisa dipahami jika
kita melihat latar belakang sejarah pada waktu itu, pada pemulaan abad ke- 18
seni dan budaya di prancis sudah demikian maju jika dibandingkan dengan negara
lain. Sikap masyarakat tidak lagi terbelenggu fatalisme dan ajaran – ajaran
dogmatis, rasionalitas dijunjung tinggi dimana – mana namun kenyataan lain
begitu kontradiktif. Louis XIV dengan congkak ingin mengukuhkan absolutisme
monarki melalui ucapannya “negara adalah aku”. Sementara itu ketidakadilan pemungutan
pajak tanpa begitu mencolok kaum ningrat dibebaskan dari pajak yang begitu
tinggi, sedangkan rakyat kecil dikenai pajak begitu tinggi. Para penguasa yang
korup cenderung menghamburkan uang negara.
Dari penjelasan diatas jelas mengatakan
kemjauan seni ilmu pengetahuan, dan tekhnologi tidak dapat dijadikan cerminan
kemajuan di bidang moralitas. Itulah sebabnya rousseau menganjurkan supaya
manusia kembali ke alam yaitu bahwa moralitas yang asli benar – benar
manusia itu ditemukan dalam manusia yang masih alamiah dan harus identik dengan
dirinya sendiri. Begitupun di indonesia, persoalaan – persoalaan etis
memungkinkan berbagai macam alternatif yang mengandung konsekuensi yang
berbeda. Oleh sebab itu pemahaman moral yang mendalam sangat dibutuhkan untuk membuat
pilihan alternatif yang paling tepat, suatu pemahaman yang tidak hanya
mensyaratkan pengetahuan teoritis dan rasionalitas nilai tetapi juga
keterlibatan kognitif serta kepekaan rohani dan penglaman empiris dalam
memecahkan persoalaan – persoalaan moral.
I.2. Rumusan Masalah
Untuk
lebih mudah memahami makalah ini maka dirumuskan masalah sebagai berikut
1.
pengertian etika ?
2.ruang
lingkup etika administrasi Negara ?
3.
etika administrasi dalam prakteknya ?
1.2 Identifikasi masalah
1. Memperbaiki penerapan etika para administrator di
Indonesia.
2. Pentingnya moral dan etika dilingkup administrasi
negara.
3. Etika administrasi dalam implementasinya.
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian etika
Etika berasal dari bahasa Yunani: etos,
yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin:
mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isyilah ini
muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari
pengertian asalnya.Moril bisa berarti semangat atau doronganbatin. Dalam
kaitannya dalam prilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan
bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia
dilakukan.
Etika administrasi Negara yaitu
bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para
administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan
tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas
etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan
oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi
kepentingan rakyat.
Sebagai suatu bidang studi,
kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam ilmu administrasi
Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan
demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti
halnya ilmu administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya etika
administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da memegang
jabatannya.
Etika administrasi Negara karena
menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan bangsa yang
demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan
demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan
moral yang luhur pula. Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu
sampai sekarang yang sangat tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika
administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi pangkal
pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.
Adapun secara substantif Bidang
Studi Etika Administrasi Negara diadakan untuk mengetahui beberapa hal berikut
:
- Tujuan ideal administrasi
- Ciri-ciri administrasi yang baik
- Penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada administrator
- Perbandingan bentuk-bentuk administrasi yang baik dan buruk
Ada 3 prinsip yang harus dipegang agar sebuah Administrasi dapat dikatakan
baik yakni:
Prinsip Pelayanan kepada Masyarakat
Prinsip utama prinsip demokrasi
adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa
rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, dari
sini dapat dipahami bahwa pemerintah ada memang untuk memberi pelayanan kepada
masyarakat.
Prinsip Keadilan Sosial dan Pemerataan
Prinsip ini berhubungan dengan
distribusi pelayanan yang harus sesuai, tidak “pilih kasih” dan relatif merata
di seluruh wilayah sebuah negara/ pemerintahan.
Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Maksudnya adalah setiap pejabat
pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan kesejahteraan dan
bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan
karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada
umumnya.
2.2 Lingkup Etika Administrasi Negara
Persoalan-persoalan etis yang
dibahas dalam etika Administrasi yang sekaligus menjadi ruang lingkup dari
Etika Administrasi itu sendiri menurut J. Alder antara lain :
- Apakah ukuran-ukuran dari administrasi yang baik ?
- Apakah sifat dasar dari administrasi yang jelek ?
- Apakah ada bentuk/model Administrasi yang baik atau jelek?
- Apakah keberhasilan administrasi ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu efisiensinya dalam melaksanakan tugas?
Dari sini dapat
diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai
dalam proses administrasi Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang
bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah
tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode etik biasanya
dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi negara berada
diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi negara
tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman
bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah
bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik
dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak
luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan
kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik bukan dari sanksi fisik
melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai
filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu
kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan
nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak
terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus.
Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya
setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi
moral.
Kode etik bisa menjadi sarana untuk
mendukung pencapaian tujuan organisasi karena bagaimanapun juga organisasi
hanya akan dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang
bekerja didalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.
Seorang pegawai atau pejabat akan
mengucapkan atau menghapal sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan,
pengkhayatan, serta pengalaman dari apa yang mereka ucapkan itu yan lebih
penting. Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari
seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1979
tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Ada delapan unsur
penilaian pegawai yaittu: Kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan,
kejujuran, kerja sama, prakarsa, kepemimpinan.
2.3 Etika
Administrasi Dalam Praktiknya
Etika merupakan seperangkat nilai
sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan
dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk
menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam
menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat
sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan
baik, atau buruk.
Akuntabilitas administrasi negara
dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (Agencies) dan
birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan
dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari
akuntabilitas administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu
bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang
diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan
terhadap harapan-harapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi.
Begitu pula dengan etos kerja dan etika administrasi
negara. Etos kerja merupakan masalah penting karena masalah ini agaknya masih
menjadi titik kelemahan dalam upaya mencapai produktivitas pejabat publik yang
tinggi. Dan Etika administrasi negara merupakan salah satu
wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi
tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara
menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam
menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika
administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai
pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai
standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik
atau buruk.
Akhirnya, persoalan kode etik
menjadi pelengkap yang penting dalam kajian etika administrasi. Unsur-unsur
administrasi negara bukan hanya pejabat-pejabat yang memiliki otoritas tinggi
untuk membuat keputusan strategis tetapi juga aparat-aparat teknis yang
langsung berhadapan dengan tugas-tugas yang sangat teknis. Oleh karena itu,
kode etik atau kode-kode etik administrasi juga berlaku bagi pejabat-pejabat
yang membidangi pekerjaan-pekerjaan operasional, ketatausahaan, atau administrasi
dalam arti sempit.
Karena masalah etika negara
merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai tindakan
administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal
administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara
mengatasinya. Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas
dari birokrasi dan ma ajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan
dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas
sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing
government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang
sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan
berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Pada kepemerintahan yang bersih (clean
good governance) terkait dengan Law enforcement dalam menjalankan
tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal
administration) yang akan mengabaikan Law Enforcement pada penataan
ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan Law Enforcement terdapat
:
1. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh
kualitas sumber daya aparaturnya.
2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus
diberlakukan.
3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk
mengaktualisasikan kinerjanya.
4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary),
demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan
Indonesia (Reinventing government).
Pembicaraan tentang kode etik bagi
orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali
membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode
etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi
negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai
pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu
diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan
fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau
hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk
mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik
bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat,
dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau
konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang
timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan
mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian
pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya
memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi
karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan
mengandung konsekuensi moral.Dari sini dapat diketahui bahwa
lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses
administrasi. Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan
berbangsa. Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa
yang digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas pada
suatu disiplin ilmu saja - putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih
jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya
untuk menaruh perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi
ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara
dikenal etika administrasi negara yang tujuannya adalah untuk menyelengarakan
kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan dengan baik
oleh para penyelenggara negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa
pun dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika administrasi
negara tidak secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi negara
maka dapat diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada kehidupan
berbangsa.
Etika sebagai
penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa. Khususnya Etika
Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis
yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat;
menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima
pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok
orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan
mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah
melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah
masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebaliknya,
saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka
tercipta suatu ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks
yang sulit diselesaikan di Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya
Indonesia yang menganut sistem demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif
dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ternyata harus terpuruk karena pada
kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan pemerintah hanya memikirkan
kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Adanya ‘budaya’ korupsi yang telah
sejak lama menodai penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia menunjukkan
bahwa etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para penyelenggara
negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang berhubungan langsung dengan
kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik dan
pemerintah sama sekali tidak diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah,
perlu adanya kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika
administrasi negara yang mendasari baik buruknya suatu penyelenggaraan negara,
dan kemudian etika administrasi negara tersebut sangat menentukan bagaimana
etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan pemerintah.
Analisis etika
administrasi negara sebagai sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen,
praktek kepegawaian (berkaitan dengan 8 unsur administrasi negara).
Dalam etika
publik, setidaknya ada tiga perhatian (concern), antara lain;
1. Pelayan publik yang
berkualitas dan relevan.
2. Dimensi normatif dan dimensi
reflektif (bagaimana bertindak) menciptakan suatu institusi yang adil.
3. Modalitas etika, menjembatani
agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata (sistem, prosedur, sarana yang
memudahkan tindakan etika).
Berdasarkan
concern etika publik tersebut, dapat dilihat adanya suatu sistem sensor yang
menandai keberadaan etika administrasi negara. Untuk melihat apakah pelayan
publik berkualitas dan relevan, apakah dimensi normatif dan reflektif sudah
berjalan baik dan meciptakan suatu institusi yang adil dan apakah modalitas
etika sudah menjadi tindakan nyata membuat adanya suatu sistem sensor yang
menjadi penilai bagi perhatian publik yang ada.
8 unsur
administrasi negara, yaitu; organisasi, manajemen, komunikasi, kepegawaian,
perbekalan, keuangan, ketatausahaan, dan hubungan masyarakat merupakan
unsur-unsur yang tak dapat terlepas dari etika administrasi negara. Sistem
sensor, praktek organisasi, praktek manajemen, praktek kepegawaian apabila
dijalankan sesuai etika administrasi negara maka akann berlangsung dengan baik
dan akan jauh lebih mudah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu organisasi
yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan kerjasama yang biasanya dilakukan
dengan adanya kelompok-kelompok kerja yang kemudian juga berhubungan dengan
proses manajemen memperlihatkan bahwa etika administrasi negara lah yang paling
berperan. Karena sekalipun suatu organisasi telah menetapkan peraturan beserta
sistem manajemennya akan menjadi tidak berguna ketika ternyata etika
administrasi negara tidak diperhatikan.
2.3.1 Karakteristik Good Governance dalam Menata Ulang Manajemen Pemerintahan
karakteristik good governance
yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut :
1. Participation. Setiap
warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berassosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan
dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga
dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani stakeholders.
5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan
terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun
prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan
lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan
sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil
society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas
ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah
keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan
pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan
efektif, dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga
domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good
governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good
governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem
administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good governance dapat
dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan
dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good
governance.
2.3.2 Perilaku Birokrasi Pemerintahan
Perilaku birokrasi jauh berbeda
jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama
dengan hubungan pemerintahan. Ketika Birokrasi Pemerintahan bertindak keluar,
terjadilah hubungan birokratik pemerintahan, tetapi hubungan ini tidak identik
dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah
dan manusia bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi
sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Dalam era reformasi, banyak “mal praktik” pada tubuh birokrasi yang selama
era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek
dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada
kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law
enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara
dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang
pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance
Kesimpulan
Pemerintah pada hakekatnya adalah
pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri,
tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi
mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998:139). Paradigma penyelenggaraan
pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi
“good governance”. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih
menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan
“good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (government) atau
negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam
intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Karakteristik atau unsur utama
penyelenggaraan manajemen kepemerintahan yang baik adalah penting adanya
akuntabilitas (accountability), transparasi (tranparancy), keterbukaan
(oppeness), dan law enforcement (rule of law) ‘Bhata dalam nisjar
(1997:119)’.
Administrasi negara (birokrasi
publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik
dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya.ada tiga konsep
penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu
akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas (Darwin, 1997:72)
Namun dalam kenyataannya, tak
sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang
tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme,
tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya
lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan
hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.
Penyebab utama munculnya
mal-administrasi (bureaupathology) menurut Islamy (1998:14) adalah rendahnya
profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan
terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif,
berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik
di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang
diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan
adil.
DAFTAR PUSTAKA
2. http://anggia-megani.blogspot.com/2011/11/analisis-hubungan-etika-dan.html
5. http://www.scribd.com/doc/30385579/Studi-Dan-Lingkup-Etika-Administrasi-Negara
6. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A,
2008. Filsafat Administrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar