Hukum
mempunyai kaitan yng sangat erat dengan msyarakat. Hukum adalah salah satu
instrumen pengendalian sosial. Oleh karena itu, di mana ada masyarakat di situ
ada hukum. Hukum dengan demikian adalah bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat manusia. Betapapun primiifnya, masyarakat senantiasa
berada dalam kehidupan yang dikendalikan oleh sistem hukum tertentu.[1] Namun
persepsi masyarakat terhadap hukum tidak selalu sama. Persepsi masyarakat
terhadap hukum, bagaimanapun, dipengaruhi oleh filsafat dan nilai-nilai, dan
persepsi itu untuk selanjutnya membentuk sikap dan kesadaran terhadap hukum.[2]
Persepsi yang tepat terhadap hukum akan menimbulkan rasa hormat dan kesadaran
hukum yang positif.
Idealnya
hukum itu mesti berfungsi sebagai “agent of change” atau “alat at-taghyir”
(sarana pembentuk, penentu, pelopor dan perubah) terhadap prilaku masyarakat.
Hal ini akan tercapai bila hukum tersebut terlebh dahulu mengambil tempat
sebagai social control dan social enginering. Suatu hal yang fital dalam
mewujudkan idealitas adalah kesadaran hukum. Terlepas dari hal itu semua, ada
hal terpenting yang tidak boleh terabaikan yakni jika ingin memberlakukan suatu
hukum pada suatu wilayah atau negara, maka terlebih dahulu hukum itu diproses
menjadi hukum yang positif dalam arti “legis”, “legality”, dan “Qanuniyah”,
yang dalam istilah hukum Islam disebut dengan at-Taqnin. Makalah ini membahas
tentang permasalahan taqnin dari mulai pengertian, sejarah dan perkembangannya
di negara-negara Islam dan dampak negatif serta positifnya.
B.
Pengertian Taqnin
At-taqnin
seakar kata dengan qanun yang berasal dari bahasa Yunani “canon”, kemudian
masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Siryani). Secara etimologis, qanun
berarti “ukuran segala sesuatu” (al-mistarah). Dalam perkembangan selanjutnya
kata ini digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qaidah). Pengertian
inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai sekarang di Eropa.
Ulama
fiqh mengemukakan bahwa secara terminologis at-taqnin bisa diartikan sebagai
penetapan –oleh penguasa- sekumpulan Undang-Undang yang mempunyai daya dan
memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau
bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan
undang-undang untuk mengatur masalah tertentu. Selanjutnya Imam Muhammad Abu
Zahrah, seorang pakar hukum Islam Mesir dan mantan rektor Universitas al-Azhar,
mendefinisikannya sebagai hukum-hukum Islam dalam bentuk buku atau kitab
undang-undangg yng tersusun rapi, praktis dan sistematis, kemudian ditetapkan
dan diundang-undangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang megikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh suluruh
warga negara.[3]
C.
Sejarah dan Perkembangan Taqnin
Pemikiran
tentang at-taqnin dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulfa
ar-Rasyidun (empat khalifah besar), ketika Umar bin al-Khattab mengajukan
usulan kepada khalifah Abu Bakar Siddiq untuk membukukan Alquran. Kemudian pada
zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, dilakukan pula at-taqnin
terhadap sunah Rasulullah SAW.
Adapun
ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh Abu
Muhammad “Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far
al-Mansur (memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan
oleh Ibnu al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat
kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak
dicapai dalam at-taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas
tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyaraka; dan untuk membantu
para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang
dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu
al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul
kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah. [4]
Dalam
buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim
di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam
kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar
hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan
diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan
kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya
menghilangkan sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika itu.
Salah
satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah perkembangan wilayah
Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai
persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para Ulama Islam
sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.[5]
Akan
tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan
bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka
keterpakuan pada hukum yang teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan
pemilihan hukut yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula
dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini,
pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya,
Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta kepadanya untuk
menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula Imam Malik
secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan :
“Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Teapi,
khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitb yang akan
disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyahdan mempunyai
kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik
untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi
permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai
dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-Mahdi,
utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini
merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban
Imam Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang
terkandung dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud
diberbagai tempat dan budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi
hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh kerajaan
Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama
dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum perdata
kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki
Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah
memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum
yang dihimpun oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang
muamalah dan berasal dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan
Suriah, yang tidak tunduk kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima
kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua daerah itu
bermazhab Syafi’i.[6]
Setelah
perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab.
Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan
diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini
merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada
tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi
hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam
(fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan
antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi
hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania
pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976.
Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula
pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada
tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun
1967 dan negara-negara Islam lainnya.[7]
Sekalipun
yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara tersebut,
khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa
tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah
negara-negara Islam dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum
Eropa, ulama dan pakar hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk
melakukan kodifikasi hukum Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.
D.
Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide
Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak terlepas
sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya. Mereka
melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta
positif kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Dalam
pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum
Islam tersebut antara lain:
1.
Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya
senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan
hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa
terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh
Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk
menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu.
Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan
zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum
lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu,
kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2.
Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan
upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku
pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya
pun mandek.
3.
Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa
memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada
kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam
masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya,
sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu
berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya
fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah
(perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu
hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga
negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan
hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut
melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping
sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1.
memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya.
Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat
yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum,
para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam
literatur fiqh.
2.
Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam
penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga
perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan
pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti
ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum
yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali
atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan
kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat
yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila
di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat
mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.
menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini
menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum
dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan
antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan
umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan
antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili,
ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum
di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena
tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab,
khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya,
kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari
ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan
penerapan sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi
dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan
materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu
Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi
masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun
ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut,
seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam
di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri
masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan
politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan
kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum
perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara,
administrasi negara dan keuangan negara.
E.
Taqnin (Kodifikasi hukum Islam) di Indonesia
Kodifikasi
hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan, tetapi
statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena teori resepsi sangat
berpengaruh dalam hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi
tersebut dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang
Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan
PP No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan dan
perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kemudian
muncul lagi Undang-Undang peradilan agama (UU No. 7/1989). Undang – undang ini
pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia,
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki kedudukan samam dan wewenang
secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya.
Selanjutnya,
keluar pula Inpres RI No. 1/1991 tentang Kompilasi hukum Islam dibidang hukum
perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah. Lahirnya kompilasi
hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya
penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di
lingkungan peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Dengan adanya KHI tersebut
semua produk hukum yang keluar dari lingkungan Peradilan Agama harus berpedoman
dan mengacu kepada KHI tersebut.[9]
Sebelum
muncul UU No. 1/1974, UU No 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia
telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun
semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga
kodifikasi hukum Islam diatas merupakan produk putra-putra Indonesia, yang
menyangkut hukum Islam di Indonesia.
F.
Penutup
Taqnin
atau yang sekarang biasa disebutkan sebagai kodifikasi merupakan upaya untuk
memproses sekumpulan Undang-Undang yang akan ditetapkan –oleh penguasa- sebagai
hukum positif yang mempunyai daya dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama
manusia dalam suatu masyarakat” atau bisa juga diartikan secara khusus sebagai
“penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah
tertentu.
Sejarah
kodifikasi hukum Islam dimulai dari kekhalifahan Abu Bakar yang menerima
anjuran Umar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran yang tercecer
diberbagai tempat, yang kemudian disempurnakan pada masa khalifah Usman. Khusus
untuk taqnin fiqh (kodifikasi hukum Islam) yang dalam artian berusaha untuk
diberlakukan secara serempak diwilayah Islam, dimulai oleh pemerintahan
khalifah Abbasiah tepatnya saat pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur. Kodifikasi
hukum Islam tersebut ditulis oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta’. Namun
dalam pemberlakuannya bagi seluruh kawasan yang dibawah naungan kekhalifahan
Bani Abbasyiah banyak mengalami kendala dan penolakan dari berbagai pihak
terutama pengikut mazhab Hanafi. Sejarah kodifikasi hukum Islam di Indonesia
sudah ada sejak zaman penjajahan. Hasil dari kodifikasi yang teranyar adalah
kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan utama bagi penyelesaian konflik yang
ada dalam wewenang pengadilan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar