Kamis, 05 Januari 2017





A.   Latar Belakang

Sepanjang sejarah, Tauhid digunakan untuk menetapkan dan menerangkan segala apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya. Perkembangan Tauhid mengalami beberapa tahapan sesuai dengan  dengan perkembangan manusia, yang dimulai pada masa nabi Adam, Rasulullah SAW, masa Khullafaurrasyidin, sampai sekarang, walaupun demikian dari nabi Adam hingga sekarang aqidah dalam islam tetap satu yaitu mengesakan Tuhan.


B.    Rumusan Masalah

a)   Bagaimana kesatuan aqidah islam?
b)   Jalan apa yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan aqidah islam?
c)   Bagaimana keberagaman aqidah dalam islam dan permasalahannya
d)   Tujuan adanya agama dan pengertian islam


C.   Tujuan

a)   Mengetahui kesatuan aqidah islam
b)   Mengetahui jalan yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan aqidah islam?
c)   Mengetahui keberagaman akidah dalam islam dan permasalahannya?
d)   Mengetahui pengertian agama dan pengertian islam
















BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Aqidah
Aqidah berasal dari bahasa arab yaitu ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan. ‘Aqdan berati simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh.Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi antara arti aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh didalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Sedangkan aqidah menurut istilahsecara umum yaitu keimanan yang pasti kepada Allah dan apa saja yang wajibdiimani dalam hal rububiyah, uluhiyah,serta nama-nama dan sifat-sifatNya, iman kepada para malaikat, kitab-kitab , para rasulNya, hari kiamat dan iman kepada takdir Allah yang baik ataupun yang buruk dan beriman dengan apa saja yang datang dari nash Al-Quran dan As-Sunnah yang sahih dari perkara dasar-dasar agama, hal yang berkaitan dengan perkara yang gaib yang diberitakannya, serta apa saja yang telah di sepakati oleh para salafus Sholeh.
Dengan demikian pengertian aqidah tidak keluar dari pengertian Iman menurut istilah, sebagaimana pertanyaan malaikat Jibril kepada Rasulullah.

Secara terminologi terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama Islam, antara lain:
a. Menurut Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-rasail:
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
b. Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah.Kebenaran itu dipastikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih proporsional, yaitu:
1) Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing intrumen tersebut pada posisi sebenarnya.
2) Keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pencampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak dan kesamaran.Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
3) Aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya kesekarasan dan kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat batiniyah.Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriyah dan batiniah.
4) Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.


2. Dasar Aqidah Islam
            Dasar dari aqidah ini adalah ajaran islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber hukum dalam islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Al-Quran dan Al-Hadis adalah pedoman hidup dalam islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia.
            Dasar aqidah yang utama adalah Al-Quran, islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al-Quran, karena Al-Quran merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim, sebagaimana firman Allah SWT
Artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan.Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
(Q.S Al-Maidah:15-16)
            Dasar aqidah yang kedua adalah Al-Hadis, untuk memahami Al-Quran lebih terperinci, umat islam diperimtahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh setiap umat islam.


3. Tujuan Aqidah Islam
            Tujuan Aqidah islam adalah :
A. Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang ada sejak lahir
Hal ini karena manusia sejak dalam roh sudah mempunyai fitrah ketuhanan, sebagaimana firman Allahah SWT :

Artinya:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman)’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi ‘. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari Kiamat , kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini ( keesaan Tuhan)’, atau agar kamu tidak mengatakan , ‘Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan Tuhansejak  dahulu, sedang kami ini anak-anak keturunan yang (dating) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu
(Q.S Al-Araf:172-173)
B. Menjaga manusia dari kemusyrikan
Kemungkinan manusia untuk terperosok ke dalam kemusyrikan terbuka lebar, baik secara terang-terangan (syirik jali) maupun secara sembunyi-sembunyi (syirik khafi).Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan tersebut, diperlukan tuntutan yang jelas tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

C. Menghindari diri dari pengaruh yang menyesatkan
Walaupun manusia diberi oleh Allah kelebihan berupa akal pikiran, manusia sering tersesat oleh akal pikirannya sendiri, oleh karena itu akal pikiran manusia perlu dibimbing oleh aqidah Islam agar manusia terbebas dari kehidupan yang sesat.



Keistimewaan Aqidah Islam
Menurut Syeh Muhammad Ibrahim Al-Hamd, aqidah islam yang tercermin didalam aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun. Hal itu tidak mengherankan karena aqidah tersebut diambil dari wahyu yang tidak tersentuh kebatilan dari arah manapun datangnya. Keistimewaan tersebut, antara lain sebagai barikut :
1.    Sumber Pengambilannya adalah Murni
Hal itu karena aqidah islam berpegang pada Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’/Shalafush Salih. Jadi, aqidah islam diambil dari sumber aqidah yang jernih dan jauh dari kekeruhan hawa nafsu dan syahwat. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai madzhab, millah, dan ideologi lainnya di luar aqidah islam.
2.    Berdiri di atas Fondasi Penyerahan Diri Kepada Allah dan RasulNya
Hal itu karena aqidah bersifat gaib, dan yang gaib tersebut bertumpu pada penyerahan diri. Dus, kaki islam tidak akan berdiri tegak, melainkan di atas penyerahan diri dan kepasrahan. Jadi, iman kepada yang gaib merupakan salah satu sifat terpenting bagi orang-orang mukmin yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Firman Allah SWT
Artinya
“ Alif laam miim. Kitab ini tidak ada keraguan padanyapetunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salata, dan men menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka.”
( Q.S Al-Baqoroh:1-2 )
Sebab, akal tidak mampu memahami yang gaib dan tidak mampu secara mandiri mengetahui syariat secara rinci, karena kelemahan dan keterbatasannya.Sebagaimana pendengaran manusia yang terbatas, penglihatannya yang terbatas, dan kekuatan yang terbatas, akalnya pun terbatas sehingga tidak ada pilihan lain, selain beriman kepada yang gaib, dan berserah diri kepada Allah SWT.




3.    Sesuai dengan Fitrah yang Lurus dan Akal yang Sehat
Aqidah islam sesuai dengan fitrah yang sehat dan selaras dengan akal yang murni. Akal murni yang bebas dari pengaruh syahwat dan syubhat tidak akan bertentangan dengan nash yang sahih dari cacat.
Adapun aqidah-aqidah lainnya adalah halusiinasi dan asumsi-asumsi yang membutakan fitrah dan membodohkan akal, oleh karena itu jika seseorang bisa melepaskan diri dari segala macam aqidah dan hatinya menjadi kosong dari kebenaran dan kebatilan, kemudian ia mengamati segala jenis aqidah yang benar maupun yang salah dengan adil, fair, dan pemahaman yang benar. Niscaya ia akan melihat kebenaran dengan jelas dan mengetahui bahwasanya orang yang menganggap sama antara aqidah yang benar dan yang tidak benar ibarat orang yang menganggap sama antara malam dan siang.
4.    Jelas, Mudah, dan Terang
Aqidah islam adalah aqidah yang mudah dan jelas, sejelas matahari di tengah siang hari. Tidak ada kekaburan, kerumitan, kehancuran, maupun kebengkokan didalamnya.Karena, lafazh-lafazhnya begitu jelas dan makna-maknanya demikian terang, sehingga bisa dipahami oleh orang yang berilmu maupun orang awam, anak kecil maupun orang tua. Rasullullah SAW. membawakannya dalam kondisi yang putih bersih. tidak ada yang menyimpang darinya, selain orang yang binasa. Salah satu kejelasannya adalah sebuah kitab yang sangat populer di dalam hadis tentang jibril. Hadis ini memaparkan pokok-pokok ajaran islam denan sangat mudah, ringan, jelas, dan terang.
Dalil-dalil lain seperti itu sangat banyak jumlahnya.Begitu pasti, nyata, dan jelas.Maknanya merasuk kedalam pemahaman dengan penglihatan awal dan pandangan pertama. Semua oran bisa memahaminya. Karena dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah bagaikan makanan yang dimanfaatkan oleh setiap manusia, bahkan seperti air yang bermanfaat bagi anak-anak, bayi, orang yang kuat maupun orang yang lemah.Dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah sangat nikmat dan jelas, sehimgga bisa mmuaskan dan menenangkan jiwa, serta mwnanamkan kejadian yang benar dan tegas didalam hati.
Tidakkah anda memikirkan bahwa yang mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikannya lagi. Allah Ta’ala berfirman:
“ dan dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya lah sifat yang maha tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang mahaperkasa lagi mahabijaksana. ( Ar-Rum:27 )
Manajemen di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa berjalan dengan tertib bilamana ditangani oleh banyak manajer.Bagaimana pula dengan alam semesta? Allah Ta’ala berfirman:
“ sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Maka mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.”
( Q.S Al-Anbiya:22)
            Dalil-dalil itu bagaikan air yang digunakan oleh Allah atas segala sesuatu yang hidup.
5.    Bebas dari Kehancuran, Paradoks dan Keburukan
Di dalam aqidah islam tidak ada tempat untuk hal-hal semacam itu. Bagaimana tidak? Aqidah islam adalah wahyu yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun arah datangnya. Sebab, kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks maupun kabur, melainkan serupa satu sama lain dan saling menguatkan.
Adapun kebatilan justru sebaliknya. Anda menemukan bagian yang satu , bagian yang lain, dan para pendukungnya benar-benar paradoks. Bahkan, Anda bisa menemukan salah seorang dari mereka mengalami paradoks dengan dirinya sendiri, dan ucapan-ucapannya tanpak serampangan.
6.    Umum, Universal dan Berlaku untuk Segala Zaman, Tempat, Umat, dan Keadaan
Aqidah islsam bersifat umum, universal, dan berlaku untuk segala zamn, tempat, umat dan keadaan.Ia berlaku bagi generasi awal maupun belakangan, bangsa Arab maupun non- Arab. Bahkan segala urusan tidak dapat berjalan tanpa aqidah islam.
7.    Kokoh, Stabil, dan Kekal
            Aqidah islam adalah aqidah yang kokoh, stabil, dan kekal. Aqidah islam sangat kokoh ketika menghadapi pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh musuh-musuh islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lain. Setiap kali mereka menganggap bahwa tulangnya sudah rapuh, baranya sudah redup, dan apinya sudah padam, ternyata ia kembali muda, terang dan jernih.
            Aqidah islam akan tetap kokoh sampai hari kiamat dan senantiasa dilindungi oleh Allah. Dia ditransfer dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya tanpa mengalami perubahan, penggantian, penambahan maupun pengurangan.
            Bagaimana tidak, sedangkan Allah yang langsung menangani pemeliharaan dan eksistensinya dan tidak menyerahkan hal itu kepada salah satu makhluknya.
8. Selamat dan Sentosa
            Karena As-Sunnah adalah bahtera keselamatan, barangsiapa berperang teguh padanya, niscaya akan selamat dan sentosa; dan barang siapa yang meninggalkannya, niscaya akan tenggelam dan celaka.
9. Aqidah Islam adalah Akidah Persaudaraan dan Persatuan
            Umat islam di berbagai belahan dunia tidak akan bersatu akan memiliki kalimat yang sama, kecuali dengan berpegang teguh pada akidah mereka dan mengikuti akidah tersebut. Sebaliknya, mereka tidak akan berselisih dan berpecah belah melainkan karena kejauhan mereka dari kejauhan mereka dari akidah itu dan penyimpangan mereka dari jalannya.
            Ini adalah fakta yang diketahui dengan benar oleh musuh-musuh islam pada masa lalu dan pada masa kini. Oleh karena itu, mereka telah dan terus menerus melakukan serangan dahsyat yang bertujuan melemahkan akidah yang tertanam di dalam jiwa umat islam sehingga mereka akan dilanda perpecahan (friksi) diantara sesamanya dan barisa mereka dipenuhi dengan perselisihan. Oleh karena itu, mereka mudah dikalahkan.
10. Istimewa
            Aqidah Islam adalah yang istimewa dan pemeluknya pun adalah orang-orang istimewa karena jalan mereka adalah lurus dan tujuan mereka jelas.
11. Melindungi Para Pemeluknya dari Tindakan Kekacauan, dan Kehancuran
            Karena manhaj-nya satu. Prinsipnya jelas, tetap, dan tidak berubah ubah sehingga pemeluknya pun selamat dari tindakan mengikuti hawa nafsu dan tindakan serampangan dalam membagi wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), cinta dan ukur yang detail dan tidak pernah salah. Oleh karena itu, pemeluknya pasti selamat dari cerai berai, tersesat jaln, dan kehancuran.Mereka mengetahui siapa yang harus dijadikan sebagi teman dan siapa yang hars diposisikan sebagai musuh. Mereka juga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

12. Memberikan Ketenangan jiwa dan pikiran Para Pemeluknya
            Tidak ada ketenangan di dalam jiwa dan tidak ada kegalauan di dalam pikiran. Sebab, akidah ini bisa menyambungkan seorang mukmin dengan seorang penciptanya sehingga ia merasa rela menjadikannya sebagai rabb Yang Maha Mengatur dan sebagai Hakim Yang Maha menetapkan hukum. Oleh karena itu,hatinya merasa tenang dengan ketentuan-Nya, dadanya lapang menerima keoutusan-Nya, dan pikirannya terang dan mengenal-Nya.
13. Berpengaruh terhadap Perilaku, Akhlak (moralitas), dan mu’amalah
            Akidah ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hal-hal tersebut karena manusia dikendalikan dan diarahkan oleh akidah(ideologi)nya. Sesungguhnya, penyimpangan di dalam perilaku, akhlak, dan mu’amalah merupakan akibat dari penyimpangan di dalam akidah.Hal ini karena perilaku-pada ghalibnya-adalah buah dari akidah yang diyakini oleh sesorang yang efek dari agama yang dianutnya.
            Akhidah Islam memrintahkan kepada para penganutnya agar mengerjakan segala macam kewajiban dan melarangnya dari segala macam keburukan.Ia memrintahkan berbuat adil dan berjalan lurus, serta melarang berbuat zalim dan menyimpang.
14. Mengantarkan Kepada Pembentukan Umat yang Kuat
            Umat ( yang memeluk agama islam) akan mengorbankan apa saja untuk memperkokoh agamanya dan memperkuat pilar-pilarnya. Mereka tidak memedulikan apa pun yang menimpa mereka dalam rangka memperjuangkan hal itu. Mereka pun tidak akan gentar menghadapi orang-orang yang suka menoror maupun orang yang suka melecehkan.
15. Membangkitkan Rasa Hormat kepada Al-Quran dan As-Sunnah di dalam Jiwa Orang Mukmin
            Di bawah naungan akidah islam, keamanan dan kehidupan yang mulia akan terwujud. Hal itu karena Ia berdiri di atas fondasi iman kepada Allah dan kewajiban untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah semata, tanpa beribadah kepada yang lain. Tidak ada keraguan bahwa hal itu merupakan faktor penyebab terciptanya keamanan, kebaikan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.Sebab, keamanan adalah kawan seiring iman sehingga manakala tidak ada iman, keamanan pun tidak ada.
orang-orang yang bertakwa dan beriman meiliki keamanan dan petunjuk yang sempurna di masa kini (dunia) dan dimasa mendatang (akhirat).Sebaliknya, orang-orang yang suka berbuat syirik dan maksiat adalah orang-orang yang selalu dilipiti ketakutan.Hal ini karena mereka lah orang-orang yang setiap saat diancam dengan hukuman dan siksaan.
16. Membuat Hari Penuh dengan Tawakal Kepada Allah
            Aqidah Islam memerintahkan kepada setap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya tawakal kepada Allah.Tawakal, menurut istilah syara’ berarti menghadangkan hati kepada Allah ketika bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya.Itulah esensi dan hakikat tawakal.
Tawakal terwujud dengan melaksanakan sebab sebab usaha yang di perintahkan.Barang siapa mengabaikannya, tawakalnya tidak sah.Jadi, tawakal tidak mengajak pada pengangguran atau mengurangi pekerjaan. Bahkan, tawakal mempengaruhi dalam memacu semangat orang orang besar untuk lebih giat lagi dalam bekerja, dan memotivasi orang lain.
17. mengantarkan pada kejayaan dan kemuliaan
            Aqidah yang benar akan mengantarkan penganut nya pada kejayaan dan kemuliaan, serta keberanian baik secara lisan ataupun perbuatan. Jika seseorang merasa yakin bahwa Allah adalah tuhan yang maha memberi manfaat, maha mendatangkan bahaya, maha memberi dan maha menahan, yakin bahwa orang yang merasa mulia dengan-Nya  adalah orang mulia, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa seluruh makhluk membutuhkan kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi manfaat atau mendatangkan bahaya, semua itu memberinya kekuatan dengan seizin Allah, membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak takut kepada selain-Nya, dan tidak berharap melainkan daari  kemurahan-Nya.
Jika seseorang berserah diri kepada-Nya, ia akan mendapatkan keamanan, dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Hal ini karena ia telah meletakkan jiwanya di dalam brankas yang kuat, dan menyembunyikannya di sudut yang yang kokoh, sehingga tidak bisa di jamah oleh tangan tangan usil dan jahil.
     Dengan demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan hatinya kepada makhluk manapun untuk mendapatkan keuntungan, dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah sajalah yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang tidak bisa didapat oleh orang yang tidak mencapai derajatnya.

4. Kesatuan Aqidah
A. Kesatuan Aqidah semenjak Nabi Adam A.S hingga Nabi Muhammad SAW.
Manusia, sejak masa azali telah dimintai kesaksiannya tentang siapa Tuhan mereka.Ketika nabi Adam diturunkan kebumi, beliau membawaaqidah serta ketauhidan itu.Aqidah tauhid ini beliau ajarkan kepada anak cucunya sampai turun temurun.Ketika nabi Adam wafat, diantara cucu-cucu beliau terdapat beberapa orang yang menyimpang dari aqidah ini karena godaan syaitan.Dari penyimpanan aqidah inilah kelak lahir kepercayaan-kepercayaan yang sesat dan menyimpang dari agama yang benar.Jumlah mereka yang tersesat itu dari hari kehari semakin bertambah, sedangkan aqidahnya pun semakin jauh dari sumbernya yang asli. Untuk mengembalikan aqidah yang sesat itu, Allah mengutus seorang rasul yang dipilihnya dari kalangan anak cucu adam dengan membawa aqidah tauhid yang semenjak dulu telah tiada. Rasul baru ini lalu menyampaikan ajaran yang dulu dibawa oleh nabi Adam.Umat manusia pun, yang waktu itu jumlahnya belum begitu banyak, sebagian kembali kepada aqidah tauhidnya.Namun adapula yang tetap berpegang pada aqidahnya yang telah sesat itu.Ibarat domba-domba, saat mereka diawasi dan diasuh oleh penggembalanya, mereka tenang dan tertib. Namun, begitu penggembalanya pergi,serta merta, domba-domba itupun berpencaran, dan tidak jarang menjadi tersesat dan hilang. Begitulah, pada saat rasul sesudah nabi adam itu dipanggil menghadap Allah untuk selamanya, sebagian dari umatnya ada yang menyimpang dari aqidah yang diajarkannya. Sementara itu, jumlah manusia pun terus bertambah dari waktu kewaktu. Pada saat kesesatan itu sudah demikian nyata, Allah mengutus lagi seorang rasul untuk mengembalikan anak cucu adam itu pada aqidahnya yang benar. Bila sudah demikian, Allah pun mengutus pula seorang rasul dengan membawa ajaran yang sama, aqidah ketauhidan. Begitulah seterusnya, nabi dan rasul silih berganti datang dan pergi, nabi Adam wafat, tampil nabi Idris, nabi Idris wafat, datang nabi Nuh, nabi Nuh wafat, diutus pula nabi Shalih dan seterusnya bersambung panjang membentuk garis vertikal dari nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Adapun anak cucu adam yang menyimpang dari aqidah yang benar, membentuk cabang dan ranting-ranting yang terus berkembang menjadi beribu-ribu agama dan kepercayaan yang sesat.
Tidak semua rasul yang diutus Allah itu mendapat sambutan yang baik dari umatnya.Hampir seluruhnya mendapat tantangan dari umatnya, dan bahkan adapula yang diusir dari negerinya, disiksa, dan dibunuh.Sekalipun demikian, selalu ada pengikutnya yang melanjutkan ajaran para rasul itu.
Dengan demikian, hakikatnya aqidah tauhid merupakan aqidah yang satu yang merentang panjang dari Adam hingga nabi Muhammad SAW, itulah yang dimaksud dengan kesatuan aqidah dalam sejarah umat manusia ini.Adapun ajaran-ajaran agama yang tidak mencerminkan ketauhidan, hanyalah merupakan penyimpangan dari aqidah ketauhidan yang satu itu.Adanya kepercayaan terhadap zat yang maha tinggi dikalangan berbagai bangsa primitif seperti yang selama ini dibuktikan oleh para ahli selain menjadi bukti bahwa beragama itu merupakan naluri manusia sekaligus bisa dinyatakan sebagai sisa-sisa aqidah tauhid yang dibawa oleh para nabi terdahulu serta membantah kebenaran teori evolusi dalam kepercayaan umat manusia.Kalaupun ada yang bisa disebut evolusi hal itu terdapat pada peningkatan dan penyempurnaan syariat yang ditetepakan Allah utnuk mengatur kehidupan manusia. Syariat itu dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia, sedangkan kehidupan ituterus berkembang dari waktu kewaktu maka syariat yang ditetapkan oleh Allah terlihat mengalami peningkatan dan penyempurnaan, pada masa nabi Adam, ketika jumlah manusia masih bisa dihitung dengan jari, syariat Allah membenarkan pernikahan antara saudara kandung  sendiri. Akan tetapi, pada saat manusia sudah berkembang menjadi umat yang besar syariat Allah yang berkaitan hal ini kemudian disempurnakan. Demikian pula syariat yang berkenaan dengan aspek kehidupan lain yang mencapai puncak kesempurnaannya pada saat kerasulan nabi Muhammad SAW. Itulah makna firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah Ayat 213 yang artinya “ manusia itu adalah ummat yang satu (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab,yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendaknya. Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya kejalan yang lurus”
Allah juga berfirman dalam surah Al-Mu’minun ayat 52-53 yang artinya “ sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu maka bertakwalah kepadaku. Kemudian, mereka pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan tiap-tiap golongan merasa bangsa dengan apa yang ada pada sisi mereka (maisng-masing)”.
Begitu juga firman Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 163-164 yang artinya “ sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman, dan kami berikan Zabur kepada daud, dan kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Apa yang biasa ditarik dari ketiga ayat tersebut diatas, dan juga berbagi ayat lain yang sejenis adalah para nabi itu semuanya menyerukan ajaran yang sama yakni Tauhid.
B. Jalan yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan Aqidah
Telah disebutkan bahwa para rasul diutus oleh Allah untuk memurnikan aqidah umat manusia.Ajaran aqidah yang mereka bawa bisa dibilang ringan dan mudah.Di samping itu, ajaran-ajaran yang mereka bawa itu mudah dimengerti, dipahami, dan diterima dengan akal sehat, Para rasul tersebut menyuruh umatnya mengarahkan pandangannya untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Seperti rasul-rasul terdahulu, Nabi Muhammad SAW pun menanamkan aqidah itu dalam hati dan jiwa umatnya.Beliau menyuruh umatnya agar pandangan dan pemikiran mereka diarahkan dan ditujukan kejurusan ini.Akal mereka digerakkan dan fitrah mereka dibangunkan sambil mengusahakan penanaman aqidah itu dengan memberikan didikan, lalu disuburkan dan dikokohkan, sehingga dapat mencapai puncak kebahagiaan yang dicita-citakan.
Rasulullah SAW. Dapat mengubah umatnya yang semula menyembah berhala dan patung, melakukan syirik dan kufur, menjadi umat yang berakidah tauhid, mengesakan Tuhan seru sekalian alam.Hati mereka dipompa dengan keimanan dan keyakinan.Beliau dapat pula membentuk sahabat-sahabatnya menjadi pemimpin yang harus diikuti dalam hal perbaikan akhlak dan budi bahkan menjadi pembimbing kebaikan dan keutamaan.Lebih dari itu lagi, beliau telah membentuk generasi dari umatnya sebagai suatu bangsa yang menjadi mulia dengan sebab adanya keimanan dalam dada mereka, berpegang teguh pada hak dan kebenaran.Pada saat itu umat yang berada dibawah pimpinannya, bagaikan matahari dunia, dan mengajak kesejahteraan dan keselamatan pada seluruh umat manusia.
Allah SWT. Membuat kesaksian pada generasi itu bahwa mereka benar-benar memperoleh ketinggian dan keistimewaan yang khusus, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’aruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
(Q.S Ali –Imran:110)
Keimanan yang dimiliki oleh sebagian sahabat Nabi SAW.Itu mencapai tingkat yang dapat dikatakan, “Andaikata tabir pun disingkapkan, tidaklah bertambah keyakinanku”.Maksudnya ialah sudah penuh dan berada di puncak yang tertinggi, sekalipun tabir kegaiban terbuka, keyakinan itu tidak ditambah lagi.

C. Keragaman Aqidah dalam Islam dan permasalahannya
Semenjak kadaulatan Negara Tauhid berdiri di bawah pimpinan RasulAllah yang terakhir yakni, Nabi Muhammad SAW, keadaan aqidah tetap dalam kesuciaannya yang berasal dari wahyu  ilahi dan ajaran-ajaran yang diberikan dari langit. Dasar utamanya  yang digunakan sebagai pedoman adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis. Pada tingkat permulaan, yang dituju ialah memberikan didikan dalam watak dan tabiat, meluhurkan sifat-sifat yang bersangkutan dengan gharizah qalbu dan cara didikan yang harus dilalui dan ditempuh. Maksudnya ialah setiap manusia dari kalangan masyarakat itu dapat memperoleh keluhuran yangsesuai dengan kehormatan dan kemuliaan dirinya sehingga tumbuhlah suatu kekuatan secara otomatis yang amat kokoh dalam kehidupan.
Selanjutnya, setelah datang masa pertikaian yang banyak berdasarkan siasat dan politik, apalagi setelah adanya hubungan dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan ajaran-ajaran agama lain, kemudian memaksa otak manusia untuk menyelami sesuatu yang tidak kuasa dicapainya, itulah yang menjadi sebab pokok terjadinya pergantian atau penyelewengan dari jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul. Ini pula yang merupakan sebab utama keimanan yang asalnya cukup luas dan mudah diterima, serta amat tinggi nilainya lalu menjadi berbagai macam pemikiran yang berisikan atau menjadi bahan kiasan yang banyak diperselisihkan menurut ketentuan mantik atau ilmu bahasanya, juga menjadi pokok perdebatan dan perselisihan pendapat yang tidak berujung dan berpangkal sama sekali.
Ajaran keimanan yang sudah berubah itu, akhirnya tidak lagi mencerminkan keimanan yang dapat menjadikan jiwa kembali suci, amal perbuatan menjadi mulia dan baik, atau memberi semangat gerak pada perseorangan dapat memberi daya hidup pada umat dan bangsa.
Sebagai akibat dari perselisihan dalam berbagai persoalan siasat dan politik, terjadi penyelewengan ajaran-ajaran tauhid yang dibawa oleh para rasul, dan paham pemikiran madzhab-madzhab itu berpecah-belah menjadi beberapa golongan.Para tokohnya, kemudian memberikan pengajaran yang berlainan, berbeda antara satu dan lainnya.
Setiap ajaran mencerminkan corak tersendiri dari cara pemikiran tertentu. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang mereka milikidan mereka pegang sajalah yang benar, sedangkan yang lain, yang tidak sepaham dengannya, adalah salah. Demikianlah, anggapan setiap golongan.Bahkan, ada anggapan yang lebih ekstrem lagi, yakni siapa saja yang tidak masuk ke dalam golongan kelompoknya dianggap ke luar dari Islam (kafir).
Oleh karena itu, muncullah paham-paham seperti: paham ahli hadis, paham Asy’ariyah, paham Maturidiah, paham Mu’tazilah, paham Syi’ah, paham Jahamiah, dan masih banyak lagi paham lainnya. Bahkan, di antara mereka terjadi perselisihan antara kaum ‘Asy’ariyah dengan kaum Mu’tazilah.
Pokok utama yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan perbedaan pendapat tersebut, berkisar dalam hal-hal:
1. Apakah keimanan itu hanya sebagai kepercayaan saja ataukah kepercayaan yang ada hubungannya dengan amal perbuatan?
2. Apakah sifat-sifat Allah SWT. Yang dzatiah itu kekal ataukah dapat lenyap darinya?
3. Manusia itu masayyardan mukhayyat?
4. Apakah wajib atas Allah SWT. Itu mengerjakan yang baik atau yang terbaikkah yang wajib?
5. Apakah baik atau buruk itu dapat dikenal dengan akal atau dengan syari’at?
6. Apakah Allah SWT. Itu wajib memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksakepada orang yang bermaksiat ataukah tidak wajib sedemikian?
7. Apakah Allah SWT. Dapat dilihat di akhirat nanti ataukah hal itu mustahilsama sekali?
8. Bagaimanakah hukum seseorang yang menumpuk-numpuk dosa besar sehingga matinya tidak bertobat?

Masih banyak lagi persoalan yang merupakan bahan perselisihan pendapat berbagai golongan kaum mukminin yang menyebabkan tersobek-sobeknya umat Islam menjadi berbagai golongan dan partai
Benar-benar sangat menyedihkan sebab hasil dari pertengkaram yang tidak berujung pangkal ini adalah kaum muslimin membuat suatu kesalahan yang amat besar, suatu kekeliruan yang amat berbahaya.
Aqidah yang semula teguh dan mantap telah menjadi goyah dan goncang dalam hati.Keimanan pun tidak meresap dalam jiwa sehingga aqidah itu tidak lagi dapat menguasai jalan kehidupan yang harus ditempuh oleh setiap umat muslim dan kehidupan yang harus ditempuh oleh setiap umat muslim dan bahkan keimanan itu sendiri tidak dapat lagi menjadi pusat pemerintahan yang menjiwai segala tindak dan langkahnya orang yang mengaku sebagai pemeluknya.
Sebagai kelanjutan dari aqidah yang sudah lemah itu, lalu kelemahan itu merata pula pada pribadi perseorangan, keluarga, masyarakat, dan negara, bahkan pengaruh kelemahan tersebut mengenai pula segala segi kehidupan umat manusia.Kelemahan itu merayap di segenap penjuru, sehingga umat itu menurun kepada generasi-generasi yang berikutnya, tidak pula dapat memberikan pertanggungjawabannya, baik ke dalam maupun ke luar.
Umat islam tidak lagi menetapi sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Menjadi pribadi yang cukup cakap untuk menjadi pemimpin umat serta pemberi petunjuk kepada seluruh bangsa di dunia.Ini merupakan akibat dari kelemahan yang datang bertubi-tubi sebagaimana diuraikan di atas.


5. Agama
          A. Pengertian Agama
Para pakar memiliki beragama pengertian tentang agama.Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India.Agama terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau.Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan ketertiban.


Ada pula yang menyatakan bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu yang berarti “tidak”, dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu memang tidak salah karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa.Sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal.


Ada juga  yang menyatakan bahwa agama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa Bali disebut genah.  Sementarama berarti matahari, terang atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama adalah pelajaran yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana Tuhan dianggap bersifat rahasia.

Kata tersebut juga kerap berawalan i dan atau u,  dengan demikian masing-masing berbunyi igama  dan ugama. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugamaadalah koda kata yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknaiagama  sebagai peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia denga raja. Sedangkanigama adalah tata cara yang mengatur hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementaraugama dipahami sebagai tata cara yang mengatur hubungan antamanusia.

Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki kesamaan makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman, dan go dalam bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi. Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami perubahan makna.
 Dari bermakna pergi  berubah menjadi jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta, Belanda, Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.

Selain itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi  dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu.Religious (Inggris) berarti kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.

Menurut Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya berasala dari akar kata yang sama, yaitu religare   yang berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang berarti “menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang oleh pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan sebab itu mereka melihatreligio sebagai usaha manusia yang hendak memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri lagi. 

Sedangkan arti yang pertama, religare, dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik).Erasmus dari Rotterdam (1469-1539) menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar terhadap Tuhan.Benar pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia yang mempercayainya.Agama (religio) dalam artireligare juga berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam sekitarnya.

Sementara Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare” yang berarti “mengikat” merupakan lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan “janganlah kamu”, yang menunjukkan suatu pembatasan dan bukan pembebasan .

Agama juga disebut dengan istilah din. Dalam bahasa Semit, din  berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.

Bila lafal din disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu dari Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena dipandang manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa juga berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan dengan manusia. Ad-din berarti millah, yaitu mengikat.

Maksud agama ialah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa, hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat, seperti dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi para pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad).

Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu  mendapat perhatian bisa memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima unsure itu adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.


Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat fii Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan bahwa nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu) yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-masing.

Mukti Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.Mukti Ali membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum.Mehdi Ha’iri Yazdi berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak sebegai kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus perhatian dan kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa perhatian yang cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.

Harun Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia; (3) mengikatkan diri  pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.


B. Fungsi Dan Tujuan Agama

Menurut Abuddin Nata sekurang-kurangnya hanya ada tiga alasan perlunya manusia terhadap agama, yakni: 

Pertama, latar belakang fitah manusia.Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buta pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan manusia.

Kedua, alasan lain mengapa manusia perlu beragama menurut  Abuddin Nata adalah kelemahan dan kekurangan  manusia. Alasan inipun kelihatannya bisa diterima, di samping karena keterbatasan akal manusia untuk menentukan hal-hal yang di luar kekuatan pikiran manusia itu sendiri, juga karena manusia sendiri merupakan makhluk dha’if (lemah) yang sangat memerlukan agama.

Ketiga, adanya tantangan manusia.Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan syetan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya memalingkan manusia dari Tuhan.


C. Dimensi (Unsur-Unsur) Agama

Demikian kompleksnya pendefinisian agama.Definisi yang dikemukakan para ahli itu pun tidak selalu komprehensif.Sebagian tampak parsial karena hanya menyangkut sebagian dari realitas agama.Definisi adalah suatu batasan, sementara agama tak bisa dibatasi.Namun, untuk memudahkan, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang lazim menyangga suatu agama. Harun Nasution menyimpulkan, agama memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

Pertama, kekuatan gaib.Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada keuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong.Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut.Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan laranagan keuatan gaib itu.Mengacu pada unsur yang pertama, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris atau supra empiris.

Kedua, keyakinan bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.

Ketiga, respons manusia yang bersifat emosional.Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti pada agama-agama primitive atau perasaan cinta seperti agama-agama monoteisme.Selanjutnya, respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitf, atau pemujaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi, respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

Keempat, paham adanya yang kudus dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Dari segi psikologi, L. B. Brown mengatakan dalam bukunya Psychology and Religionmemberikan lima variabel agama, yang meliputi:

Pertama, tingkah laku (behaviour) atau praktek-praktek yang menggambrakan keadaan agama, dikembangkan biasanya melalui kerap tidaknya pergi ke gereja, membaca injil dan sebagainya.

Kedua, renungan suci dan iman (belief), iman biasanya dihubungkan dengan kerangka kepercayaan yang umum dan yang khusus tertentu.

Ketiga, perasaan keagamaan atau pengalaman (experience) dan kesadaran tentang sesuatu yang transeden yang dapat memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan keagamaan.

Keempat, keterikatan (involvement) dengan suatu jama’ah yang menyatakan diri sebagai institusi nilai, sikap atau kepercayaan.

Dan yang kelimaconsequential effects dari pandangan-pandangan keagamaan dalam tingkah laku yang non-agama dan dalam tingkah laku moral.


Pengertian Islam
Jika kita perhatikan dalam kamus, arti kata islam tidak keluar dari makna inqiyad (tunduk) dan istislam (pasrah). (al-Mu’jam al-Wasith, 1/446).
Diantara penggunaan makna bahasa ini, Allah sebutkan dalam al-Quran ketika menceritakan penyembelihan Ismail yang dilakukan Nabi Ibrahim,
Ketika keduanya telah pasrah dan dia meletakkan pelipisnya. Kami panggil dia, ‘Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi wahyu itu…(QS. as-Shaffat: 103)
Islam adalah pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya. (Tsalatsah al-Ushul, 1/189)
Mengapa harus berlepas diri dari syirik?
Jelas, karena tidak ada manfaatnya orang yang mengaku islam, namun dirinya masih berbuat kesyirikan atau kekufuran. Sementara keduanya adalah lawan bagi ajaran islam.

Nama dari Al-Quran
Allah ta’ala sendiri memberi nama agama ini dengan islam. Allah berfirman,
Sesungguhnya agama yang diterima Allah, hanyalah islam. (QS. Ali Imran: 19)
Dalil tentang nama ini juga disebutkan dalam ayat yang lain.
Allah juga memberi nama pengikut islam dengan kaum muslimin. Allah berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)telah menamai kamu sekalian dengan kaum muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.. (QS. al-Hajj: 78)

Di Balik Nama Islam

Semua aliran dan semua agama punya nama. Dan jika kita perhatikan, hampir semua nama agama dan aliran itu kembali kepada sosok tertentu atau kelompok tertentu. Seperti nasrani, diambil dari nama bangsa Nashara, Yahudi diambil dari nama kabilah Yahudza, Budha diambil dari kata Budhis, dst.
Berbeda dengan islam. Nama ini tidak dikembalikan pada nama sosok atau tokoh tertentu atau suku tertentu. Karena nama ini menunjukkan isi ajarannya. Karena itulah, dalam sejarah agama, tidak dikenal istilah pencetus islam, atau pendiri islam. Disamping ajarannya lebih menyeluruh, bisa diikuti semua kelompok masyarakat.

Islam Ada Dua

Dengan melihat definisi islam, yang intinya adalah pasrah dan tunduk pada semua aturan Allah, para ulama membagi islam menjadi dua,
Pertama, islam dalam arti umum
Yang dimaksud islam dalam arti umum adalah semua ajaran para nabi, yang intinya mentauhidkan Allah dan mengikuti aturan syariat yang berlaku ketika itu.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
Islam dalam arti umum adalah menyembah Allah sesuai dengan syariat yang Dia turunkan, sejak Allah mengutus para rasul, hingga kiamat
Berdasarkan pengertian ini, berarti agama seluruh Nabi dan Rasul beserta pengikutnya adalah islam. Meskipun rincian aturan syariat antara satu dengan lainnya berbeda.
Diantara dalil mengenai islam dalam makna umum, dalam al-Quran, Allah menyebut Ibrahim dan anak keturunannya, orang-orang islam.
Kedua, islam dalam arti khusus
Islam dalam arti khusus adalah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat beliau menghapus syariat sebelumnya yang bertentangan dengannya .

Imam Ibnu Utsaimin menyebutkan
Islam dengan makna khusus adalah islam setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khusus dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus semua agama sebelumnya. Sehingga pengikutnya adalah orang islam, sementara yang menyimpang dari ajaran beliau, bukan orang islam. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)
Pengikut para nabi terdahulu, mereka muslim ketika syariat nabi mereka masih berlaku. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, syariat mereka tidak berlaku, sehingga mereka bisa disebut muslim jika mengikuti syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai permisalan, ketika ada orang nasrani yang mengikuti ajaran Isa lahir batin. Dia komitmen dengan ajaran paling otentik yang disampaikan Isa, kecuali satu masalah, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dia tidak mau mengikuti beliau, maka orang ini bukan muslim.













BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt, melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad SAW.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.


B. SARAN
Semoga apa yang telah kami sajikan tadi dapat diambil intisarinya yang kemudian diamalkan juga semoga berguna bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.










DAFTAR PUSTAKA

·        http://www.konsultasisyariah.com
·        Ya’qub Hamzah, Pemurnian Aqidah dan Syriah Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Surabaya, 1988.
·        Muhammad Bin Abdul Wahhab, Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik, Bina Ilmu, 1987.
·        Prof. Dr. H. Rpsihon Rozak, M.ag., Akidah akhlak, pustaka setia, 2008.
·        Abu Zahrah Muhammad, Hakikat Akidah Quran, Pustaka Progresif, Bandung, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar