A.
Latar
Belakang
Sepanjang sejarah, Tauhid digunakan untuk menetapkan dan menerangkan
segala apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya. Perkembangan Tauhid mengalami
beberapa tahapan sesuai dengan dengan perkembangan manusia, yang dimulai
pada masa nabi Adam, Rasulullah SAW, masa Khullafaurrasyidin, sampai sekarang, walaupun demikian dari nabi Adam
hingga sekarang aqidah dalam islam tetap satu yaitu mengesakan Tuhan.
B. Rumusan
Masalah
a)
Bagaimana
kesatuan aqidah islam?
b)
Jalan apa yang ditempuh
para Rasul dalam menanamkan aqidah islam?
c)
Bagaimana
keberagaman aqidah dalam islam dan permasalahannya
d)
Tujuan
adanya agama dan pengertian islam
C. Tujuan
a) Mengetahui
kesatuan aqidah islam
b) Mengetahui
jalan yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan aqidah islam?
c) Mengetahui
keberagaman akidah dalam islam dan permasalahannya?
d) Mengetahui
pengertian agama dan pengertian islam
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Aqidah
Aqidah berasal dari
bahasa arab yaitu ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan. ‘Aqdan berati simpul, ikatan,
perjanjian, dan kokoh.Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi
antara arti aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh didalam
hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Sedangkan aqidah
menurut istilahsecara umum yaitu keimanan yang pasti kepada Allah dan apa saja
yang wajibdiimani dalam hal rububiyah, uluhiyah,serta nama-nama dan
sifat-sifatNya, iman kepada para malaikat, kitab-kitab , para rasulNya, hari
kiamat dan iman kepada takdir Allah yang baik ataupun yang buruk dan beriman
dengan apa saja yang datang dari nash Al-Quran dan As-Sunnah yang sahih dari
perkara dasar-dasar agama, hal yang berkaitan dengan perkara yang gaib yang
diberitakannya, serta apa saja yang telah di sepakati oleh para salafus Sholeh.
Dengan demikian
pengertian aqidah tidak keluar dari pengertian Iman menurut istilah,
sebagaimana pertanyaan malaikat Jibril kepada Rasulullah.
Secara terminologi
terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama Islam,
antara lain:
a. Menurut
Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-rasail:
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)
adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati,
mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit
pun dengan keragu-raguan”.
b. Menurut
Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
“Aqidah adalah
sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fitrah.Kebenaran itu dipastikan di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di
atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu
pemahaman mengenai aqidah yang lebih proporsional, yaitu:
1) Setiap manusia memiliki fitrah mengakui
kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya
manusia menempatkan fungsi masing-masing intrumen tersebut pada posisi
sebenarnya.
2) Keyakinan yang kokoh itu mengandaikan
terbebas dari segala pencampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit.
Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak dan
kesamaran.Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus
memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah
meyakini dalil-dalil kebenaran.
3) Aqidah tidak boleh tidak harus mampu
mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian,
hal ini mensyaratkan adanya kesekarasan dan kesejahteraan antara keyakinan yang
bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat batiniyah.Sehingga tidak
didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriyah dan batiniah.
4) Apabila seseorang telah meyakini suatu
kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang
bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
2. Dasar
Aqidah Islam
Dasar
dari aqidah ini adalah ajaran islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber
hukum dalam islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Al-Quran dan Al-Hadis adalah
pedoman hidup dalam islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya
suatu perbuatan manusia.
Dasar
aqidah yang utama adalah Al-Quran, islam mengajarkan agar umatnya melakukan
perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut
dikatakan dalam Al-Quran, karena Al-Quran merupakan firman Allah, maka
kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim, sebagaimana firman Allah SWT
Artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak
pula yang dibiarkannya.Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan
kitab yang menerangkan.Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
(Q.S Al-Maidah:15-16)
Dasar
aqidah yang kedua adalah Al-Hadis, untuk memahami Al-Quran lebih terperinci,
umat islam diperimtahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku
Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh setiap
umat islam.
3. Tujuan
Aqidah Islam
Tujuan Aqidah islam adalah :
A. Memupuk
dan mengembangkan dasar ketuhanan yang ada sejak lahir
Hal
ini karena manusia sejak dalam roh sudah mempunyai fitrah ketuhanan,
sebagaimana firman Allahah SWT :
Artinya:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman)’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab, ‘Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi ‘. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
pada hari Kiamat , kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini ( keesaan Tuhan)’, atau agar kamu tidak
mengatakan , ‘Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan
Tuhansejak dahulu, sedang kami ini
anak-anak keturunan yang (dating) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu
(Q.S Al-Araf:172-173)
B. Menjaga
manusia dari kemusyrikan
Kemungkinan
manusia untuk terperosok ke dalam kemusyrikan terbuka lebar, baik secara
terang-terangan (syirik jali) maupun secara sembunyi-sembunyi (syirik
khafi).Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan tersebut, diperlukan tuntutan
yang jelas tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
C. Menghindari diri dari
pengaruh yang menyesatkan
Walaupun
manusia diberi oleh Allah kelebihan berupa akal pikiran, manusia sering
tersesat oleh akal pikirannya sendiri, oleh karena itu akal pikiran manusia
perlu dibimbing oleh aqidah Islam agar manusia terbebas dari kehidupan yang
sesat.
Keistimewaan Aqidah Islam
Menurut
Syeh Muhammad Ibrahim Al-Hamd, aqidah islam yang tercermin didalam aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah memiliki sejumlah
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun. Hal itu tidak
mengherankan karena aqidah tersebut diambil dari wahyu yang tidak tersentuh
kebatilan dari arah manapun datangnya. Keistimewaan tersebut, antara lain
sebagai barikut :
1.
Sumber
Pengambilannya adalah Murni
Hal
itu karena aqidah islam berpegang pada Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’/Shalafush
Salih. Jadi, aqidah islam diambil dari sumber aqidah yang jernih dan jauh dari
kekeruhan hawa nafsu dan syahwat. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai
madzhab, millah, dan ideologi lainnya di luar aqidah islam.
2.
Berdiri
di atas Fondasi Penyerahan Diri Kepada Allah dan RasulNya
Hal itu karena aqidah bersifat gaib,
dan yang gaib tersebut bertumpu pada penyerahan diri. Dus, kaki islam tidak
akan berdiri tegak, melainkan di atas penyerahan diri dan kepasrahan. Jadi,
iman kepada yang gaib merupakan salah satu sifat terpenting bagi orang-orang
mukmin yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Firman Allah SWT
Artinya
“ Alif laam miim. Kitab
ini tidak ada keraguan padanyapetunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka
yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salata, dan men menafkahkan
sebagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka.”
( Q.S Al-Baqoroh:1-2 )
Sebab, akal tidak mampu memahami yang
gaib dan tidak mampu secara mandiri mengetahui syariat secara rinci, karena
kelemahan dan keterbatasannya.Sebagaimana pendengaran manusia yang terbatas,
penglihatannya yang terbatas, dan kekuatan yang terbatas, akalnya pun terbatas
sehingga tidak ada pilihan lain, selain beriman kepada yang gaib, dan berserah
diri kepada Allah SWT.
3.
Sesuai
dengan Fitrah yang Lurus dan Akal yang Sehat
Aqidah islam sesuai dengan fitrah
yang sehat dan selaras dengan akal yang murni. Akal murni yang bebas dari
pengaruh syahwat dan syubhat tidak akan bertentangan dengan nash yang sahih
dari cacat.
Adapun aqidah-aqidah lainnya adalah
halusiinasi dan asumsi-asumsi yang membutakan fitrah dan membodohkan akal, oleh
karena itu jika seseorang bisa melepaskan diri dari segala macam aqidah dan
hatinya menjadi kosong dari kebenaran dan kebatilan, kemudian ia mengamati
segala jenis aqidah yang benar maupun yang salah dengan adil, fair, dan
pemahaman yang benar. Niscaya ia akan melihat kebenaran dengan jelas dan
mengetahui bahwasanya orang yang menganggap sama antara aqidah yang benar dan
yang tidak benar ibarat orang yang menganggap sama antara malam dan siang.
4.
Jelas,
Mudah, dan Terang
Aqidah islam adalah aqidah yang mudah
dan jelas, sejelas matahari di tengah siang hari. Tidak ada kekaburan,
kerumitan, kehancuran, maupun kebengkokan didalamnya.Karena, lafazh-lafazhnya
begitu jelas dan makna-maknanya demikian terang, sehingga bisa dipahami oleh
orang yang berilmu maupun orang awam, anak kecil maupun orang tua. Rasullullah
SAW. membawakannya dalam kondisi yang putih bersih. tidak ada yang menyimpang
darinya, selain orang yang binasa. Salah satu kejelasannya adalah sebuah kitab
yang sangat populer di dalam hadis tentang jibril. Hadis ini memaparkan
pokok-pokok ajaran islam denan sangat mudah, ringan, jelas, dan terang.
Dalil-dalil lain seperti itu sangat
banyak jumlahnya.Begitu pasti, nyata, dan jelas.Maknanya merasuk kedalam
pemahaman dengan penglihatan awal dan pandangan pertama. Semua oran bisa
memahaminya. Karena dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah bagaikan makanan yang
dimanfaatkan oleh setiap manusia, bahkan seperti air yang bermanfaat bagi
anak-anak, bayi, orang yang kuat maupun orang yang lemah.Dalil-dalil Al-Quran
dan As-Sunnah sangat nikmat dan jelas, sehimgga bisa mmuaskan dan menenangkan
jiwa, serta mwnanamkan kejadian yang benar dan tegas didalam hati.
Tidakkah anda memikirkan bahwa yang
mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikannya lagi. Allah Ta’ala
berfirman:
“ dan dialah yang
menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya
kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya lah
sifat yang maha tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang mahaperkasa lagi
mahabijaksana. (
Ar-Rum:27 )
Manajemen
di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa berjalan dengan tertib bilamana
ditangani oleh banyak manajer.Bagaimana pula dengan alam semesta? Allah Ta’ala berfirman:
“ sekiranya ada di langit
dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan
binasa. Maka mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka
sifatkan.”
( Q.S Al-Anbiya:22)
Dalil-dalil itu bagaikan air yang
digunakan oleh Allah atas segala sesuatu yang hidup.
5.
Bebas
dari Kehancuran, Paradoks dan Keburukan
Di dalam aqidah islam tidak ada
tempat untuk hal-hal semacam itu. Bagaimana tidak? Aqidah islam adalah wahyu
yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun arah datangnya. Sebab,
kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks maupun kabur, melainkan serupa satu
sama lain dan saling menguatkan.
Adapun kebatilan justru sebaliknya.
Anda menemukan bagian yang satu , bagian yang lain, dan para pendukungnya
benar-benar paradoks. Bahkan, Anda bisa menemukan salah seorang dari mereka
mengalami paradoks dengan dirinya sendiri, dan ucapan-ucapannya tanpak
serampangan.
6.
Umum,
Universal dan Berlaku untuk Segala Zaman, Tempat, Umat, dan Keadaan
Aqidah
islsam bersifat umum, universal, dan berlaku untuk segala zamn, tempat, umat
dan keadaan.Ia berlaku bagi generasi awal maupun belakangan, bangsa Arab maupun
non- Arab. Bahkan segala urusan tidak dapat berjalan tanpa aqidah islam.
7.
Kokoh,
Stabil, dan Kekal
Aqidah
islam adalah aqidah yang kokoh, stabil, dan kekal. Aqidah islam sangat kokoh
ketika menghadapi pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh musuh-musuh islam
dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lain. Setiap kali mereka
menganggap bahwa tulangnya sudah rapuh, baranya sudah redup, dan apinya sudah
padam, ternyata ia kembali muda, terang dan jernih.
Aqidah
islam akan tetap kokoh sampai hari kiamat dan senantiasa dilindungi oleh Allah.
Dia ditransfer dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan dari satu angkatan
ke angkatan selanjutnya tanpa mengalami perubahan, penggantian, penambahan
maupun pengurangan.
Bagaimana
tidak, sedangkan Allah yang langsung menangani pemeliharaan dan eksistensinya dan tidak
menyerahkan hal itu kepada salah satu makhluknya.
8. Selamat dan Sentosa
Karena As-Sunnah adalah bahtera keselamatan, barangsiapa
berperang teguh padanya, niscaya akan selamat dan sentosa; dan barang siapa
yang meninggalkannya, niscaya akan tenggelam dan celaka.
9. Aqidah
Islam adalah Akidah Persaudaraan dan Persatuan
Umat
islam di berbagai belahan dunia tidak akan bersatu akan memiliki kalimat yang
sama, kecuali dengan berpegang teguh pada akidah mereka dan mengikuti akidah
tersebut. Sebaliknya,
mereka tidak akan berselisih dan berpecah belah melainkan karena kejauhan
mereka dari kejauhan mereka dari akidah itu dan penyimpangan mereka dari
jalannya.
Ini
adalah fakta yang diketahui dengan benar oleh musuh-musuh islam pada masa lalu
dan pada masa kini. Oleh karena itu, mereka telah dan terus menerus melakukan
serangan dahsyat yang bertujuan melemahkan akidah yang tertanam di dalam jiwa
umat islam sehingga mereka akan dilanda perpecahan (friksi) diantara sesamanya dan barisa mereka dipenuhi dengan
perselisihan. Oleh karena itu, mereka mudah dikalahkan.
10. Istimewa
Aqidah
Islam adalah yang istimewa dan pemeluknya pun adalah orang-orang istimewa
karena jalan mereka adalah lurus dan tujuan mereka jelas.
11. Melindungi Para Pemeluknya dari Tindakan
Kekacauan, dan Kehancuran
Karena manhaj-nya satu. Prinsipnya jelas, tetap, dan
tidak berubah ubah sehingga pemeluknya pun selamat dari tindakan mengikuti hawa
nafsu dan tindakan serampangan dalam membagi wala’ (loyalitas) dan bara’
(berlepas diri), cinta dan ukur yang detail dan tidak pernah salah. Oleh karena
itu, pemeluknya pasti selamat dari cerai berai, tersesat jaln, dan
kehancuran.Mereka mengetahui siapa yang harus dijadikan sebagi teman dan siapa
yang hars diposisikan sebagai musuh. Mereka juga tahu apa yang menjadi hak dan
kewajibannya.
12. Memberikan Ketenangan jiwa dan pikiran Para
Pemeluknya
Tidak ada ketenangan di dalam jiwa dan tidak ada
kegalauan di dalam pikiran. Sebab, akidah ini bisa menyambungkan seorang mukmin
dengan seorang penciptanya sehingga ia merasa rela menjadikannya sebagai rabb Yang Maha Mengatur dan sebagai
Hakim Yang Maha menetapkan hukum. Oleh karena itu,hatinya merasa tenang dengan
ketentuan-Nya, dadanya lapang menerima keoutusan-Nya, dan pikirannya terang dan
mengenal-Nya.
13. Berpengaruh terhadap Perilaku, Akhlak (moralitas),
dan mu’amalah
Akidah ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap hal-hal tersebut karena manusia dikendalikan dan diarahkan oleh
akidah(ideologi)nya. Sesungguhnya, penyimpangan di dalam perilaku, akhlak, dan mu’amalah
merupakan akibat dari penyimpangan di dalam akidah.Hal ini karena perilaku-pada
ghalibnya-adalah buah dari akidah yang diyakini oleh sesorang yang efek dari
agama yang dianutnya.
Akhidah Islam memrintahkan kepada para penganutnya agar
mengerjakan segala macam kewajiban dan melarangnya dari segala macam
keburukan.Ia memrintahkan berbuat adil dan berjalan lurus, serta melarang
berbuat zalim dan menyimpang.
14.
Mengantarkan Kepada Pembentukan Umat yang Kuat
Umat
( yang memeluk agama islam) akan mengorbankan apa saja untuk memperkokoh
agamanya dan memperkuat pilar-pilarnya. Mereka tidak memedulikan apa pun yang
menimpa mereka dalam rangka memperjuangkan hal itu. Mereka pun tidak akan
gentar menghadapi orang-orang yang suka menoror maupun orang yang suka
melecehkan.
15.
Membangkitkan Rasa Hormat kepada Al-Quran dan As-Sunnah di dalam Jiwa Orang
Mukmin
Di bawah naungan akidah islam, keamanan dan kehidupan
yang mulia akan terwujud. Hal itu karena Ia berdiri di atas fondasi iman kepada
Allah dan kewajiban untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah semata, tanpa
beribadah kepada yang lain. Tidak ada keraguan bahwa hal itu merupakan faktor
penyebab terciptanya keamanan, kebaikan, dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.Sebab, keamanan adalah kawan seiring iman sehingga manakala tidak ada
iman, keamanan pun tidak ada.
orang-orang yang bertakwa
dan beriman meiliki keamanan dan petunjuk yang sempurna di masa kini (dunia) dan
dimasa mendatang (akhirat).Sebaliknya, orang-orang yang suka berbuat syirik dan
maksiat adalah orang-orang yang selalu dilipiti ketakutan.Hal ini karena mereka
lah orang-orang yang setiap saat diancam dengan hukuman dan siksaan.
16.
Membuat Hari Penuh dengan Tawakal Kepada Allah
Aqidah
Islam memerintahkan kepada setap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya tawakal kepada Allah.Tawakal,
menurut istilah syara’ berarti
menghadangkan hati kepada Allah ketika bekerja seraya memohon bantuan
kepada-Nya.Itulah esensi dan hakikat tawakal.
Tawakal terwujud dengan
melaksanakan sebab sebab usaha yang di perintahkan.Barang siapa mengabaikannya,
tawakalnya tidak sah.Jadi, tawakal tidak mengajak pada pengangguran atau
mengurangi pekerjaan. Bahkan, tawakal mempengaruhi dalam memacu semangat orang
orang besar untuk lebih giat lagi dalam bekerja, dan memotivasi orang lain.
17.
mengantarkan
pada kejayaan dan kemuliaan
Aqidah
yang benar akan mengantarkan penganut nya pada kejayaan dan kemuliaan, serta
keberanian baik secara lisan ataupun perbuatan. Jika seseorang merasa yakin
bahwa Allah adalah tuhan yang maha memberi manfaat, maha mendatangkan bahaya,
maha memberi dan maha menahan, yakin bahwa orang yang merasa mulia
dengan-Nya adalah orang mulia, sedangkan
orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa
seluruh makhluk membutuhkan kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi
manfaat atau mendatangkan bahaya, semua itu memberinya kekuatan dengan seizin
Allah, membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak takut kepada
selain-Nya, dan tidak berharap melainkan daari
kemurahan-Nya.
Jika seseorang berserah
diri kepada-Nya, ia akan mendapatkan keamanan, dan rasa takut kepada makhluk
akan hilang dari hatinya. Hal ini karena ia telah meletakkan jiwanya di dalam
brankas yang kuat, dan menyembunyikannya di sudut yang yang kokoh, sehingga
tidak bisa di jamah oleh tangan tangan usil dan jahil.
Dengan demikian, ia terbebas dari
perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan hatinya kepada makhluk
manapun untuk mendapatkan keuntungan, dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah
sajalah yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia juga mendapatkan
kekuatan hati yang tidak bisa didapat oleh orang yang tidak mencapai
derajatnya.
4. Kesatuan Aqidah
A.
Kesatuan Aqidah semenjak Nabi Adam A.S hingga Nabi
Muhammad SAW.
Manusia, sejak
masa azali telah dimintai
kesaksiannya tentang siapa Tuhan mereka.Ketika nabi Adam diturunkan kebumi,
beliau membawaaqidah serta
ketauhidan itu.Aqidah tauhid ini beliau ajarkan kepada anak
cucunya sampai turun temurun.Ketika nabi Adam
wafat, diantara cucu-cucu beliau terdapat beberapa orang yang menyimpang dari aqidah ini karena godaan syaitan.Dari penyimpanan aqidah inilah kelak lahir kepercayaan-kepercayaan yang
sesat dan menyimpang dari agama yang benar.Jumlah mereka yang tersesat itu dari
hari kehari semakin bertambah, sedangkan aqidahnya
pun semakin jauh dari sumbernya yang asli. Untuk mengembalikan aqidah yang sesat itu, Allah mengutus seorang rasul yang
dipilihnya dari kalangan anak cucu adam dengan membawa aqidah tauhid yang semenjak dulu telah tiada. Rasul baru
ini lalu menyampaikan ajaran yang dulu dibawa oleh nabi Adam.Umat manusia pun,
yang waktu itu jumlahnya belum begitu banyak, sebagian kembali kepada aqidah tauhidnya.Namun adapula yang tetap berpegang pada
aqidahnya yang telah sesat itu.Ibarat domba-domba,
saat mereka diawasi dan diasuh oleh penggembalanya, mereka tenang dan tertib. Namun, begitu
penggembalanya pergi,serta merta, domba-domba itupun berpencaran, dan tidak
jarang menjadi tersesat dan hilang. Begitulah, pada saat rasul sesudah nabi adam
itu dipanggil menghadap Allah untuk selamanya, sebagian dari umatnya ada yang
menyimpang dari aqidah yang diajarkannya. Sementara itu,
jumlah manusia pun terus bertambah dari waktu kewaktu. Pada saat kesesatan itu
sudah demikian nyata, Allah mengutus lagi seorang rasul untuk mengembalikan
anak cucu adam itu pada aqidahnya yang benar. Bila
sudah demikian, Allah pun mengutus pula seorang rasul dengan membawa ajaran
yang sama, aqidah ketauhidan. Begitulah seterusnya,
nabi dan rasul silih berganti datang dan pergi, nabi Adam wafat, tampil nabi
Idris, nabi Idris wafat, datang nabi Nuh, nabi Nuh wafat, diutus pula nabi
Shalih dan seterusnya bersambung panjang membentuk garis vertikal dari nabi
Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Adapun anak cucu adam yang
menyimpang dari aqidah yang benar, membentuk cabang dan
ranting-ranting yang terus berkembang menjadi beribu-ribu agama dan kepercayaan
yang sesat.
Tidak semua rasul
yang diutus Allah itu mendapat sambutan yang baik dari umatnya.Hampir
seluruhnya mendapat tantangan dari umatnya, dan bahkan
adapula yang diusir dari negerinya, disiksa, dan dibunuh.Sekalipun demikian,
selalu ada pengikutnya yang melanjutkan ajaran para rasul itu.
Dengan demikian,
hakikatnya aqidah tauhid merupakan aqidah yang satu yang merentang panjang dari Adam hingga
nabi Muhammad SAW, itulah yang dimaksud dengan kesatuan aqidah dalam sejarah umat manusia ini.Adapun
ajaran-ajaran agama yang tidak mencerminkan ketauhidan, hanyalah merupakan
penyimpangan dari aqidah ketauhidan yang satu
itu.Adanya kepercayaan terhadap zat yang maha tinggi dikalangan berbagai bangsa
primitif seperti yang selama ini dibuktikan oleh para ahli selain menjadi bukti
bahwa beragama itu merupakan naluri manusia sekaligus bisa dinyatakan sebagai
sisa-sisa aqidah tauhid yang dibawa oleh para nabi
terdahulu serta membantah kebenaran teori evolusi dalam kepercayaan umat
manusia.Kalaupun ada yang bisa disebut evolusi hal itu terdapat pada
peningkatan dan penyempurnaan syariat yang ditetepakan Allah utnuk mengatur kehidupan
manusia. Syariat itu dimaksudkan untuk mengatur
kehidupan manusia, sedangkan kehidupan ituterus berkembang dari waktu kewaktu
maka syariat yang ditetapkan oleh Allah terlihat mengalami peningkatan dan
penyempurnaan, pada masa nabi Adam, ketika jumlah manusia masih bisa dihitung
dengan jari, syariat Allah membenarkan pernikahan antara saudara kandung
sendiri. Akan tetapi, pada saat manusia sudah berkembang menjadi umat yang
besar syariat Allah yang berkaitan hal ini kemudian disempurnakan. Demikian pula syariat yang berkenaan
dengan aspek kehidupan lain yang mencapai puncak kesempurnaannya pada saat
kerasulan nabi Muhammad SAW. Itulah makna firman Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah Ayat 213 yang artinya “ manusia itu adalah ummat yang satu (setelah
timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu, melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka kitab,yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan
itu dengan kehendaknya. Allah selalu memberi
petunjuk
kepada orang yang
dikehendakinya kejalan yang lurus”
Allah juga
berfirman dalam surah Al-Mu’minun ayat 52-53 yang artinya “ sesungguhnya (agama
tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu
maka bertakwalah kepadaku. Kemudian,
mereka pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah
menjadi beberapa pecahan tiap-tiap golongan merasa bangsa dengan apa yang ada
pada sisi mereka (maisng-masing)”.
Begitu juga firman
Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 163-164 yang artinya “ sesungguhnya kami
telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada
Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu pula kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan
Sulaiman, dan kami berikan Zabur kepada daud, dan kami telah mengutus
rasul-rasul yang sungguh telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu,
dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan kepadamu. Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung”
Apa yang biasa
ditarik dari ketiga ayat tersebut diatas, dan juga berbagi ayat lain yang
sejenis adalah para nabi itu semuanya menyerukan ajaran yang sama yakni Tauhid.
B.
Jalan yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan Aqidah
Telah disebutkan bahwa para rasul diutus oleh Allah
untuk memurnikan aqidah umat manusia.Ajaran aqidah yang mereka bawa bisa dibilang ringan dan
mudah.Di samping itu, ajaran-ajaran yang mereka bawa itu mudah dimengerti,
dipahami, dan diterima dengan akal sehat, Para rasul tersebut menyuruh umatnya
mengarahkan pandangannya untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Seperti rasul-rasul terdahulu, Nabi Muhammad SAW pun menanamkan aqidah
itu dalam hati dan jiwa umatnya.Beliau menyuruh umatnya agar pandangan dan
pemikiran mereka diarahkan dan ditujukan kejurusan ini.Akal mereka digerakkan
dan fitrah mereka dibangunkan sambil mengusahakan penanaman aqidah itu dengan memberikan didikan, lalu disuburkan
dan dikokohkan, sehingga dapat mencapai puncak kebahagiaan yang dicita-citakan.
Rasulullah SAW. Dapat mengubah umatnya yang semula
menyembah berhala dan patung, melakukan syirik dan kufur, menjadi umat yang berakidah
tauhid, mengesakan Tuhan seru sekalian alam.Hati mereka dipompa dengan keimanan
dan keyakinan.Beliau dapat pula membentuk sahabat-sahabatnya menjadi pemimpin
yang harus diikuti dalam hal perbaikan akhlak dan budi bahkan menjadi
pembimbing kebaikan dan keutamaan.Lebih dari itu lagi, beliau telah membentuk
generasi dari umatnya sebagai suatu bangsa yang menjadi mulia dengan sebab adanya
keimanan dalam dada mereka, berpegang teguh pada hak dan kebenaran.Pada saat
itu umat yang berada dibawah pimpinannya, bagaikan matahari dunia, dan mengajak
kesejahteraan dan keselamatan pada seluruh umat manusia.
Allah SWT. Membuat kesaksian pada generasi itu bahwa
mereka benar-benar memperoleh ketinggian dan keistimewaan yang khusus,
sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’aruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah.”
(Q.S Ali –Imran:110)
Keimanan yang dimiliki
oleh sebagian sahabat Nabi SAW.Itu mencapai
tingkat yang dapat dikatakan, “Andaikata tabir pun disingkapkan, tidaklah
bertambah keyakinanku”.Maksudnya ialah sudah penuh dan berada di puncak yang
tertinggi, sekalipun tabir kegaiban terbuka, keyakinan itu
tidak ditambah lagi.
C. Keragaman
Aqidah dalam Islam dan permasalahannya
Semenjak kadaulatan Negara Tauhid berdiri di bawah pimpinan
RasulAllah yang terakhir yakni, Nabi Muhammad SAW, keadaan aqidah tetap dalam kesuciaannya yang berasal dari
wahyu ilahi dan ajaran-ajaran yang diberikan dari langit. Dasar
utamanya yang digunakan sebagai pedoman adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Pada tingkat permulaan, yang dituju ialah memberikan didikan dalam watak dan
tabiat, meluhurkan sifat-sifat yang bersangkutan dengan gharizah
qalbu dan cara didikan yang harus dilalui dan ditempuh. Maksudnya ialah
setiap manusia dari kalangan masyarakat itu dapat memperoleh keluhuran yangsesuai
dengan kehormatan dan kemuliaan dirinya sehingga tumbuhlah suatu kekuatan
secara otomatis yang amat kokoh dalam kehidupan.
Selanjutnya, setelah datang masa pertikaian yang
banyak berdasarkan siasat dan politik, apalagi setelah adanya hubungan dengan
pemikiran-pemikiran filsafat dan ajaran-ajaran agama lain, kemudian memaksa
otak manusia untuk menyelami sesuatu yang tidak kuasa dicapainya, itulah yang
menjadi sebab pokok terjadinya pergantian atau penyelewengan dari jalan yang
ditempuh oleh para nabi dan rasul. Ini pula yang merupakan sebab utama keimanan
yang asalnya cukup luas dan mudah diterima, serta amat tinggi nilainya lalu
menjadi berbagai macam pemikiran yang berisikan atau menjadi bahan kiasan yang
banyak diperselisihkan menurut ketentuan mantik atau ilmu bahasanya, juga
menjadi pokok perdebatan dan perselisihan pendapat yang tidak berujung dan
berpangkal sama sekali.
Ajaran keimanan yang sudah berubah itu, akhirnya tidak
lagi mencerminkan keimanan yang dapat menjadikan jiwa kembali suci, amal
perbuatan menjadi mulia dan baik, atau memberi semangat gerak pada perseorangan
dapat memberi daya hidup pada umat dan bangsa.
Sebagai akibat dari perselisihan dalam berbagai persoalan
siasat dan politik, terjadi penyelewengan ajaran-ajaran tauhid yang dibawa oleh
para rasul, dan paham pemikiran madzhab-madzhab itu berpecah-belah menjadi
beberapa golongan.Para tokohnya, kemudian memberikan pengajaran yang berlainan,
berbeda antara satu dan lainnya.
Setiap ajaran mencerminkan corak tersendiri dari cara
pemikiran tertentu. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang mereka milikidan
mereka pegang sajalah yang benar, sedangkan yang lain, yang tidak sepaham
dengannya, adalah salah. Demikianlah, anggapan setiap golongan.Bahkan, ada
anggapan yang lebih ekstrem lagi, yakni siapa saja yang tidak masuk ke dalam
golongan kelompoknya dianggap ke luar dari Islam (kafir).
Oleh karena itu, muncullah paham-paham seperti: paham
ahli hadis, paham Asy’ariyah, paham Maturidiah, paham Mu’tazilah, paham Syi’ah,
paham Jahamiah, dan masih banyak lagi paham lainnya. Bahkan, di antara mereka
terjadi perselisihan antara kaum ‘Asy’ariyah dengan kaum Mu’tazilah.
Pokok utama yang menyebabkan timbulnya perselisihan
dan perbedaan pendapat tersebut, berkisar dalam hal-hal:
1. Apakah
keimanan itu hanya sebagai kepercayaan saja ataukah kepercayaan yang ada
hubungannya dengan amal perbuatan?
2. Apakah sifat-sifat Allah
SWT. Yang dzatiah
itu kekal ataukah dapat lenyap darinya?
3. Manusia itu masayyardan mukhayyat?
4. Apakah wajib atas Allah
SWT. Itu mengerjakan yang baik atau yang terbaikkah yang wajib?
5. Apakah
baik atau buruk itu dapat dikenal dengan akal atau dengan syari’at?
6. Apakah Allah SWT. Itu
wajib memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksakepada orang yang
bermaksiat ataukah tidak wajib sedemikian?
7. Apakah
Allah SWT. Dapat dilihat di akhirat nanti ataukah hal itu mustahilsama sekali?
8.
Bagaimanakah hukum seseorang yang menumpuk-numpuk dosa besar sehingga matinya
tidak bertobat?
Masih banyak lagi
persoalan yang merupakan bahan perselisihan pendapat berbagai golongan kaum
mukminin
yang menyebabkan
tersobek-sobeknya umat Islam menjadi berbagai golongan dan partai
Benar-benar sangat
menyedihkan sebab hasil dari pertengkaram yang tidak berujung pangkal ini
adalah kaum muslimin membuat suatu kesalahan yang amat besar, suatu kekeliruan
yang amat berbahaya.
Aqidah yang semula teguh dan mantap telah menjadi goyah
dan goncang dalam hati.Keimanan pun tidak meresap dalam jiwa sehingga aqidah itu tidak lagi dapat menguasai jalan kehidupan
yang harus ditempuh oleh setiap umat muslim dan kehidupan yang harus ditempuh
oleh setiap umat muslim dan bahkan keimanan itu sendiri tidak dapat lagi
menjadi pusat pemerintahan yang menjiwai segala tindak dan langkahnya orang
yang mengaku sebagai pemeluknya.
Sebagai kelanjutan
dari aqidah yang sudah lemah itu, lalu kelemahan
itu merata pula pada pribadi perseorangan, keluarga, masyarakat, dan negara,
bahkan pengaruh kelemahan tersebut mengenai pula segala segi kehidupan umat
manusia.Kelemahan itu merayap di segenap penjuru, sehingga umat itu menurun
kepada generasi-generasi yang berikutnya, tidak pula dapat memberikan
pertanggungjawabannya, baik ke dalam maupun ke luar.
Umat islam tidak
lagi menetapi sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Menjadi pribadi yang
cukup cakap untuk menjadi pemimpin umat serta pemberi petunjuk kepada seluruh
bangsa di dunia.Ini merupakan akibat dari kelemahan yang datang bertubi-tubi
sebagaimana diuraikan di atas.
5. Agama
A. Pengertian Agama
Para pakar memiliki beragama pengertian
tentang agama.Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa Arab,
melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem
kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India.Agama terdiri dari kata “a”
yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau.Dengan demikian, agama adalah
sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan
menusia menuju keteraturan dan ketertiban.
Ada pula yang menyatakan bahwa agama
terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”,
dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal,
terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu memang tidak salah
karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang abadi, tetap, dan
berlaku sepanjang masa.Sementara akhiran a hanya memberi sifat
tentang kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal.
Ada juga yang menyatakan bahwa agama
terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti
awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam
bahasa Bali disebut genah. Sementarama berarti
matahari, terang atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama
adalah pelajaran yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana
Tuhan dianggap bersifat rahasia.
Kata tersebut juga kerap berawalan i dan
atau u, dengan demikian masing-masing berbunyi igama dan ugama.
Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugamaadalah koda kata
yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknaiagama sebagai
peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia denga raja. Sedangkanigama adalah
tata cara yang mengatur hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementaraugama dipahami
sebagai tata cara yang mengatur hubungan antamanusia.
Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang
mirip sekaligus memilliki kesamaan makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam
bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman, dan go dalam
bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi.
Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami
perubahan makna.
Dari
bermakna pergi berubah menjadi jalan. Kemiripan seperti
ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta, Belanda, Jerman, dan Inggris,
kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.
Selain itu, dikenal pula istilah religion bahasa
Inggris, religio atau religi dalam
bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam
bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata
“agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu.Religious (Inggris)
berarti kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan
berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion adalah:
(1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai
pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan
tertentu.
Menurut Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya
berasala dari akar kata yang sama, yaitu religare yang
berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang
berarti “menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang
oleh pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan
sebab itu mereka melihatreligio sebagai usaha manusia yang hendak
memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri
lagi.
Sedangkan arti yang pertama, religare, dipegang
oleh gereja Latin (Roma Katolik).Erasmus dari Rotterdam (1469-1539) menyatakan
bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar terhadap Tuhan.Benar
pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia
yang mempercayainya.Agama (religio) dalam artireligare juga
berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri
manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok orang dalam hubungannya
terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam sekitarnya.
Sementara Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare”
yang berarti “mengikat” merupakan lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh
Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk fondasi moralitas Yahudi dan
Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan “janganlah kamu”, yang menunjukkan
suatu pembatasan dan bukan pembebasan .
Agama juga disebut dengan istilah din. Dalam
bahasa Semit, din berarti undang-undang atau hokum.
Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh,
utang, balasan, kebiasaan.
Bila lafal din disebutkan dalam
rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu dari Allh,
bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan
menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena dipandang manusialah
yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa juga
berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang
telah disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan
dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan
mereka dengan Allah dan dengan manusia. Ad-din berarti millah,
yaitu mengikat.
Maksud agama ialah untuk mempersatukan segala
pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat sehingga
merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa, hokum-hukum agama itu
dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat, seperti
dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu
nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau
menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi para pemimpin
muslimin dan bagi seluruh muslimin.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad).
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur
yang perlu mendapat perhatian bisa memperoleh gambaran tentang apa yang
dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima unsure itu adalah: Allah,
kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti masing-masing maupun
kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.
Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat.
Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat fii Ghariibil Qur’an, dan
Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan bahwa nasihat itu
maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu) yaitu
menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya,
sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Mukti Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusanNya bagi
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.Mukti Ali membatasi pengertian
agama pada kepercayaan dan hokum.Mehdi Ha’iri Yazdi berpendapat, agama adalah
kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak sebegai kepedulian
tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus perhatian dan
kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan persoalan
kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa perhatian yang cukup
terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.
Harun Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang
agama yang dikemukakan sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia;
(3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal
dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban
yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7) pemujaan terhadap kekuatan gaib
yang timbul dari \perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat di
alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul.
B. Fungsi Dan Tujuan Agama
Menurut Abuddin Nata sekurang-kurangnya hanya
ada tiga alasan perlunya manusia terhadap agama, yakni:
Pertama, latar
belakang fitah manusia.Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan
tersebut buta pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama
adalah kebutuhan manusia.
Kedua, alasan
lain mengapa manusia perlu beragama menurut Abuddin Nata adalah kelemahan
dan kekurangan manusia. Alasan inipun kelihatannya bisa diterima, di
samping karena keterbatasan akal manusia untuk menentukan hal-hal yang di luar
kekuatan pikiran manusia itu sendiri, juga karena manusia sendiri merupakan
makhluk dha’if (lemah) yang sangat memerlukan agama.
Ketiga, adanya
tantangan manusia.Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan,
baik dari dalam maupun dari luar.Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa
nafsu dan bisikan syetan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa
dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya memalingkan
manusia dari Tuhan.
C. Dimensi
(Unsur-Unsur) Agama
Demikian
kompleksnya pendefinisian agama.Definisi yang dikemukakan para ahli itu pun
tidak selalu komprehensif.Sebagian tampak parsial karena hanya menyangkut
sebagian dari realitas agama.Definisi adalah suatu batasan, sementara agama tak
bisa dibatasi.Namun, untuk memudahkan, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang
lazim menyangga suatu agama. Harun Nasution menyimpulkan, agama memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama,
kekuatan gaib.Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada keuatan gaib itu
sebagai tempat minta tolong.Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut.Hubungan baik ini dapat diwujudkan
dengan mematuhi perintah dan laranagan keuatan gaib itu.Mengacu pada unsur yang
pertama, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya berporos pada
kekuatan-kekuatan non-empiris atau supra empiris.
Kedua, keyakinan
bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya
hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan
baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
Ketiga, respons
manusia yang bersifat emosional.Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan
takut seperti pada agama-agama primitive atau perasaan cinta seperti
agama-agama monoteisme.Selanjutnya, respons mengambil bentuk penyembahan yang
terdapat dalam agama-agama primitf, atau pemujaan yang terdapat dalam
agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi, respons itu mengambil bentuk cara hidup
tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, paham
adanya yang kudus dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang
mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat
tertentu.
Dari
segi psikologi, L. B. Brown mengatakan dalam bukunya Psychology and
Religionmemberikan lima variabel agama, yang meliputi:
Pertama,
tingkah laku (behaviour) atau praktek-praktek yang menggambrakan keadaan
agama, dikembangkan biasanya melalui kerap tidaknya pergi ke gereja, membaca
injil dan sebagainya.
Kedua,
renungan suci dan iman (belief), iman biasanya dihubungkan dengan
kerangka kepercayaan yang umum dan yang khusus tertentu.
Ketiga,
perasaan keagamaan atau pengalaman (experience) dan kesadaran tentang
sesuatu yang transeden yang dapat memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan
keagamaan.
Keempat,
keterikatan (involvement) dengan suatu jama’ah yang menyatakan diri
sebagai institusi nilai, sikap atau kepercayaan.
Dan
yang kelima, consequential effects dari
pandangan-pandangan keagamaan dalam tingkah laku yang non-agama dan dalam
tingkah laku moral.
Pengertian Islam
Jika kita perhatikan dalam kamus, arti kata islam tidak
keluar dari makna inqiyad (tunduk) dan istislam (pasrah). (al-Mu’jam al-Wasith, 1/446).
Diantara penggunaan makna bahasa ini, Allah sebutkan
dalam al-Quran ketika menceritakan penyembelihan Ismail yang dilakukan Nabi
Ibrahim,
Ketika keduanya telah pasrah dan dia meletakkan
pelipisnya. Kami panggil dia, ‘Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi
wahyu itu…(QS. as-Shaffat: 103)
Islam adalah pasrah
kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan
berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya. (Tsalatsah al-Ushul, 1/189)
Mengapa harus
berlepas diri dari syirik?
Jelas, karena tidak ada manfaatnya orang yang mengaku
islam, namun dirinya masih berbuat kesyirikan atau kekufuran. Sementara
keduanya adalah lawan bagi ajaran islam.
Nama dari Al-Quran
Allah ta’ala
sendiri memberi nama agama ini dengan islam. Allah berfirman,
Sesungguhnya
agama yang diterima Allah, hanyalah islam. (QS. Ali Imran: 19)
Dalil tentang
nama ini juga disebutkan dalam ayat yang lain.
Allah juga
memberi nama pengikut islam dengan kaum muslimin. Allah berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ
أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Dia (Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.Ikutilah
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)telah menamai kamu sekalian dengan kaum
muslimin dari dahulu, dan (begitu
pula) dalam al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya
kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.. (QS. al-Hajj: 78)
Di Balik Nama Islam
Semua aliran dan semua agama punya nama. Dan jika kita
perhatikan, hampir semua nama agama dan aliran itu kembali kepada sosok
tertentu atau kelompok tertentu. Seperti nasrani, diambil dari nama bangsa
Nashara, Yahudi diambil dari nama kabilah Yahudza, Budha diambil dari kata
Budhis, dst.
Berbeda dengan islam. Nama ini tidak dikembalikan pada nama
sosok atau tokoh tertentu atau suku tertentu. Karena nama ini menunjukkan isi
ajarannya. Karena itulah, dalam sejarah agama, tidak dikenal istilah pencetus
islam, atau pendiri islam. Disamping ajarannya lebih menyeluruh, bisa diikuti
semua kelompok masyarakat.
Islam Ada Dua
Dengan
melihat definisi islam, yang intinya adalah pasrah dan tunduk pada semua aturan
Allah, para ulama membagi islam menjadi dua,
Pertama, islam dalam arti umum
Yang
dimaksud islam dalam arti umum adalah semua ajaran para nabi, yang intinya
mentauhidkan Allah dan mengikuti aturan syariat yang berlaku ketika itu.
Imam
Ibnu Utsaimin menjelaskan,
Islam
dalam arti umum adalah menyembah Allah sesuai dengan syariat yang Dia turunkan,
sejak Allah mengutus para rasul, hingga kiamat
Berdasarkan
pengertian ini, berarti agama seluruh Nabi dan Rasul beserta pengikutnya adalah
islam. Meskipun rincian aturan syariat antara satu dengan lainnya berbeda.
Diantara
dalil mengenai islam dalam makna umum, dalam al-Quran, Allah menyebut Ibrahim
dan anak keturunannya, orang-orang islam.
Kedua, islam dalam arti khusus
Islam dalam arti khusus adalah
ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat beliau menghapus syariat sebelumnya
yang bertentangan dengannya .
Imam Ibnu Utsaimin
menyebutkan
Islam dengan makna
khusus adalah islam setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khusus dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena Syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus semua agama
sebelumnya. Sehingga pengikutnya adalah orang islam, sementara yang menyimpang
dari ajaran beliau, bukan orang islam. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)
Pengikut
para nabi terdahulu, mereka muslim ketika syariat nabi mereka masih berlaku.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, syariat mereka tidak berlaku, sehingga
mereka bisa disebut muslim jika mengikuti syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai permisalan,
ketika ada orang nasrani yang mengikuti ajaran Isa lahir batin. Dia komitmen
dengan ajaran paling otentik yang disampaikan Isa, kecuali satu masalah, yaitu
ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dia tidak mau mengikuti
beliau, maka orang ini bukan muslim.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi.
Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan
beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi
aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt, melalui wahyu
kepada nabi-Nya, Muhammad SAW.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada
Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir
kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai
bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba
teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah
menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat
dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara
ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari
oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
B. SARAN
Semoga apa yang telah kami sajikan tadi dapat diambil intisarinya yang
kemudian diamalkan juga semoga berguna bagi kehidupan kita di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://www.konsultasisyariah.com
·
Ya’qub Hamzah, Pemurnian Aqidah dan Syriah Islam,
Pedoman Ilmu Jaya, Surabaya, 1988.
·
Muhammad Bin Abdul
Wahhab, Bersihkan Tauhid Anda dari Noda
Syirik, Bina Ilmu, 1987.
·
Prof. Dr. H. Rpsihon
Rozak, M.ag., Akidah akhlak, pustaka
setia, 2008.
·
Abu Zahrah Muhammad,
Hakikat Akidah Quran, Pustaka Progresif, Bandung, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar