Rabu, 04 Januari 2017



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang.
Sebagaimana kesepakatan seluruh ulama yang berbeda madzhab, bahwa seluruh tindakan manusia (ucapan, perbuatan dalam ibadah dan muamalah) terdapat hukum-hukumnya. Hukum-hukum tersebut sebagian telah dijelaskan di dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Meskipun sebagian yang lain belum terdapat penjelasan, namun syari’at Islam telah memberikan dalil dan isyarat-isyarat tersebut.
Para imam  mazhab sepakat dengan dalil yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah yakni al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat tersebut benar adanyam namun al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum utama yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Tujuan mempelajari Ushul Fiqh ialah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasan dalil-dalil secara detail dalam  rangka melahirkan hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut. Adapun dalam makalah ini lebih mengedepankan fungsi al-Qur’an dan as-Sunnah, karena selruh ulama ushul fiqh tidak pernah melepaskan peran keduanya. Adapun ijma’ dan sebagainya, disebagian ulama tidak menggunakannya. Hal ini karena keyakinan mereka bahwa tidak ada sumber melainkan dua sumber diatas
Hukum seluruhnya termaktub didalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an. Maka dari itu penting sekali bagi umat muslim untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dalam perannya. Pada dasarnya kedua sumber inilah yang selalu diutamakan dalam mencari ketetapan hukum.
Melalui tugas ini kami ingin mengetahui sumber-sumber ilmu fiqh agar perilaku kita selaras dengan ajaran agama Islam maka penulis mengambil judul : " Sumber-sumber Ilmu Fiqh".







1.2     Identifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas maka di rumuskan permasalahan sebagai berikut: " Apa saja yang termasuk sumber  ilmu fiqh? ".

1.3     Rumusan Masalah
Selanjutnya penulis menghasilkan suatu konsekuensi yang terangkum dalam pertanyaan sebagai berikut :
1.3.1    Apa yang dimaksud sumber ilmu fiqh?
1.3.2    Apa saja yang menjadi sumber ilmu fiqh?

1.4     Tujuan Penelitian.
Dari perumusan masalah yang dipaparkan diatas maka yang menjadi tujuan dalam tugas ini adalah sebagai berikut :
1.4.1    Untuk mengetahui apa itu sumber ilmu fiqh
1.4.2    Mengetahui sumber-sumber illmu fiqh

1.5     Metode Penelitian.
Adapun metode yang penulis ambil berdasarkan tugas ini antara lain:
1.5.1    Sudi Kepustakaan.
1.5.2    Browsing Internet

1.6     Manfaat Penelitian.
Secara praktis hasil dari tugas ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan bahan masukkan untuk berbagai pihak. Manfaatnya antara lain setelah melakukan presentasi banyak manfaat yang dapat kita ambil salah satunya kita dapat mengetahui lebih dalam tentang sumber-sumber ilmu fiqh







BAB II
          PEMBAHASAN
2.3.1                Sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh. Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan.
Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas.
            Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Urf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut.
2.3.2       Sumber-sumber ilmu fiqh yaitu :
1. Al-Qur’an
A. Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar dari Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).



B. Secara Syari’at (Terminologi)
Al-Qur’an adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al-Insaan ayata 23 yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)
Dan firman-Nya QS. Yusuf ayat 2 yang berbunyi :
Artinya :  “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, QS. Al Hijr ayat 9 yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)
C. Nama-Nama Al-Qur’an
1.     Al kitab (kitabullah) yang merupakan sinonim dari kata Al Qur’an artinya,kitab suci sebagai petunjuk bagi oranh yang bertakwa nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2.
2.     Az-zikr artinya peringatan, nama ini di terangkan dalam Al-Qur’an surat al-hijr ayat 9.
3.     Al- furqan, artinya pembeda,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1 .
4.     As-suhuf berarti lembaran-lembaran, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al- bayinah ayat 2.

D. Pembagian surat dalam Al-Qur’an.
1.       Assabi’uthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu yaitu al-baqarah (286), al-A’raf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al an’am (165),al-maidah (120), dan Yunus ( 109)
2.        Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih. Maksudnya surat-surat tersebut memiliki ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-Taubah (129 ayat).
3.        Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan al-hijr(99 ayat).
4.       Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan an-nasr.suat-surat seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.
E. Wahyu yang pertama dan terakhir diturunkan .
Wahyu yang di turunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq ayat ke 1-5 di gua hira.Tepatnya pada tangal 17 ramadan,tahun ke 40 bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.
F. Proses turunnya Al-Qur’an
Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan proses turunnya Al-Qur’an :
1.     Al-Qur’an diturunnkan sekaligus
Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar kemudiaan diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw.
2.     Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur pada setiap malam lailatul qadar.
3.     Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah. AL-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam lailatul qadar sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah,kemudian b aru diturunkan sedikit demi sedikit kepada Nabi Muhammad saw
G. .Sejarah turunnya Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu’an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3.Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Lama al-quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.
H. Fungsi Al-Qur’an
1.         Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
2.         Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hokum, ibadah ,ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan, ilmu pengethuan dan seni.
3.         Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
4.         sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
I. Tujuan Pokok Al-Quran
1.               Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2.               Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3.               petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”
J. Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an
1.               Akidah
akidah adalah keyakinan atau kepercayaan.Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.
2.                  .Ibadah dan Muamalah
Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-ur’an tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.
3.                   Hukum
Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa.
4.
        Akhlak
Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4
5.         Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an.Al-Qur’an menaruh perhatian penting terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.
6.         Isyarat pengemban ilmu pengetahuan dan teknologi
Al-Qur’an banyak mengimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.
K. Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an
1.               Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.
2.                Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.
3.               Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
4.               Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia manusia.
5.                Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
6.                Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa.
L. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
1.
         Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam . Firman-Nya:“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32)
2.         Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur’an karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an, apalagi membuat langsung satu kitab.
3.
         Supaya mudah dihapal dan dipahami.
4.         Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya.
5.
         Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.

B.  As-Sunah
Secara etimologis Sunnah berarti “jalan yang dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Sedangkan secara syara’ adalah “sesuatu yang datang dari Rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan”.
Secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadits, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Menurut ahli hadis, Sunnah identik dengan hadits. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah “segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataaan, perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
Sunnah menurut ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh diatas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi,yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Berdasarkan definisi diatas, para ahli ushul fiqh membagi Sunnah sebanyak tiga macam :
1.                                     Sunnah Fi’liyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yang dilihat atau diketahui dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya, tata cara shalat yang ditunjukkan Rasulullah SAW, kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2.                                          Sunnah Qauliyyah, yaitu ucapan Nabi SAW yang didengar dan disampaikan seseorang atau ebebrapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah : Tidak sah shalat yang tidak membaca surat al-Fatihah (H.R Bukhari dan Muslim).
3.                                       Sunnah Taqririyah ialah : sesuatu yang timbul dari sahabat yang telah diakui oleh Rasulullah SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya keingkaran beliau, atau dengan adanya persetujuan dan penrnyataan penialaian baik terhadap sikap ini.
A. Kehujjahan As-Sunnah Serta Hubungannya dengan Al-Qur’an.
Semua umat islam telah mensepakati bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntunan yang disampaikan kepada kita dengan sanad shahih dan mendatangkan qath’i atau zhanni. As-Snnah sendir berfungsi untuk memperjelas makna yang terkandung didalam al-Qur’an. Dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada Sunnah  adalah hukum-hukum yang ada pada al-Qur’an. Bukti atas kehujjahan as-Sunnah dapat dibuktikan sebagai berikut:
Pertama: nash-nash al-Qur’an. Allah dalam beberapa ayat telah memerintahkan untuk metaati Rasul-Nya dan menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai suatu ketaatan kepada Allah, juga memerintahkan kaum muslimin utnuk megembalikan semua kepada Allah dan Rasul-Nya apabila terdapat pertentangan. Sebagimana firman Allah :
........
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya...”
.........
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.

Kedua: Ijma’ para sahabat, baik pada masa hidup Rasulullah SAW maupun sesudah wafatnya, terhadap kewajiban mengikuti sunnahnya. Pada masa hidup Nabi, mereka melaksanakan hkumhukumnya dan menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganya.
Ketiga: di dalam al-Qur’an, Allah SWt telah mewajibkan kepada umat manusia untuk melaksanakan ibadah fardu dengan lafadz ‘am tanpa penjelasan secara detail, baik hukum atau cara melaksanakannya. Seperti firman Allah:
..... .........
                                  “.......dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!.......”
Namun demikian, Allah tidak memberikan penjelasan tentang cara shalat atau menunaikan zakat, puasa atau haji. Keumuman tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dengan sunnah al-Qauliyyah ataupun al-Amliyah.
Kehujjahan as-Sunnah diatas juga memberikan indikasi bahwa terdapat hubungan harmonis dengan al-Qur’an. Maka posisi as-Sunnah sebagi pengiring atau sebagai urutan kedua setelah al-Qur’an, yakni sebagai rujukan mujtahid dalam menentukan hukum jika memang tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
B. Fungsi as-Sunnah yang menunjukkan hubunganya dengan al-Qur’an
1.       Berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam al-Quran. Dengan demikian hukum tersebut terdapat di dua sumber dan mempunyai dua dalil.
2.       Berfungsi sebagai penafsir dan perinci hal-hal yang disebut secar mujmal di dalam al-Qur’an, atau memberikan taqyid terhadap hal-hal terdapat di dalam al-Qur’an secara muthlaq, atau memberikan takhshish (pengecualian) terhadapa ayat-ayat al-Qur’an yang ‘am.
3.       Sebagai pembentuk hukum atau penetap hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
  C. Pembagian As-Sunnah Berdasarkan Sanad.
As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW, dibagi tiga macam, yaitu:
1.      Sunnah Mutawatirah, sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi) yang biasanya rawi-rawi itu tidak mungkin mengadakan sekutu untuk melakukan kebohongan. Hal tersebut karena jumlah mereka banyak, jujur dan berbeda lingkungannya. Kemudian dari mereka diceritakan kepada orang lain hingga sunnah tersebut bisa sampai kepada kita dengan sanad kelompok rawi dari masing-masing tingkatan yang tidak perna melakukan persekongkolan melakukan bohong sejak diterimanya dari Rasulullah.
2.      Sunnah Masyhurah, Sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah SAW oleh seorang atau dua orang atau kelompok sahabat yangtidak mempunyai derajat atau tingkatan tawatur. Kemudian, beberapa rawi atau sekelompok dari kelompok-kelompok yang tawatur itu meriwayatkan hadits tersebut dari seorang rawi atau beberapa rawi. Dari kelompok ini, diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan hingga kepada kita sanad bahwa kelompok pertama mendengar dari perkataan Rasulullah atau melihat perbuatan Rasulullah oleh seorang atau dua orang. Namun kelompok ini belum mencapai derajat matawatir, walaupun kelompok-kelompok itu sudah mencapai tingkat tawatur.
3.      Sunnah Ahad.
Sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidka sampai kepada derajat tawatur, atau yang diriwayatkan oleh serang atau dua orang atau kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur.
D.  Qath’i dan Zhanni-nya As-Sunnah.
Seperti halnya al-Qur’an, hadis pun demikian terdapat hadis yang qath’i dan zhanni. Sedangkan ukuran keqath’i dan ke zhania tidak ditinjau dari lafadznya melainkan dari sanad hadis tersebut.
Dari segi kedatangannya, maka sunnah mutawatiran merupakan sunnah yang pasti kedatangannya dari Rasulullah SAW. Karena kemutawatiran periwayatan menunjukkan kepastian mengenai kebenaran beritanya. Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah yang apsti datangnya dari shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah SAW. Akan tetapi sunnah ini tidak pasti datang dari Rasulullah SAW, karena orang yang pertama kali menerimanya dari beliau ukanlah kelompok perawi mutawatir. Oleh karena inilah, maka ulama hanafiyyah menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah mutawatir. Jadi ia dapat mentakhsiskan keumuman al-Qur’an, membatsi kemutlakannya, karena sunnah ini dipastikan kedatangannya dari sahabat.
Sunnah ahad adalah sunnah zhannniyah datnganya dari Rasulullah, karena tidak menunjukkan kepastian di dalam sanadnya. Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya), maka setiap maka setiap sunnah dari beberapa bagian ini, maka kadangkala ada yang dalalahnya qath’i apabila nashnya tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya dalalahnya zhanni apabila nashnya mengandung kemungkinan akwil.
    E.  Perkataan dan Perbuatan Rasul Yang Tidak Termasuk Syari’at.
Sabda dan perbuatan yang keluar dari Rasulullah merupakan hujjah atas umat Islam. Kewajiban terhadap segala perbuatan rasulullah hanyalah apabila ia keluar saat dalam fungsinya sebagai Rasulullah dan hal itu dimaksudkan untuk membentuk hukum secara umum dan sebagai tuntunan.
                        Beberapa hal yang datng dari Rasulullah tapi tidak termasuk syri’ay:
1.      Segala hal yang keluar dari Rasulullah yang bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum adalah bukan syari’at. Karena hal ini bukanlah bersumber dari risalahnya.
2.      Apa-apa yang bersumber dari Rasulullah yang sifatnya pengetahuan manusia, misalnya kepintaran, dan percobaan tentang masalah dunia. Misalnya: sewa menyewa, pertanian, menagtur tentara, siasat perang atau cara pengobatan dan lain-lainnya.
3.      Hal-hal yang keluar dari Rasulullah SAW dan ada dalil yang menunjukkan itu adalah khusus bagi beliau dan bukan pula merupakan tuntunan, maka hal itu bukanlah hukum syari’at Islam secara umum. Sebagaimana beliau menikah dengan lebih dari empat orang istri.
F. Macam-Macam Hadits
Tingkatan dan Jenis Hadits
  1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat),yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung;
    2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
  1. Hadits Hasan (Bagus/Baik), bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
  2. Hadits Dho’if (Lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
  3. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw) adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
  4. Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
  5. Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
  6. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus), adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
  7. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya), Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
  8. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud), Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  9. Hadits Mu’allak(Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits) bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
  10. Hadits Ghorib (Yang menyendiri) bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
  11. Hadits Masyhur (Nyata), bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
  12. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad), disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
  13. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya), adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
  14. Hadits Syadz (Bertentangan), , Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
  15. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits), yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
  16. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz), yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
  17. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan), artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  18. Hadits Mu’alhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if), artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat)
  19. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta), yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
  20. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw), bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
  21. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq), yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
  1. Shohih Imam Al-Bukhari.
  2. Shohih Imam Muslim.
  3. Imam Abu Daud.
  4. Imam An-Nasa’iy.
  5. Shohih At-Turmidzy.
  6. Imam Ibnu Majah.
                                                              3.                  Ijma’
a.        Pengertian ijma'
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf:15)
Adapun perbedaan kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
b.        Dasar hukum ijma'
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
1)        Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT QS. An-Nisa ayat 115 yang berbunyi :
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
2)         AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
3)         Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
c.         Rukun Ijma’
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.      Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2.      Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3.      Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.      Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
1.      Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an
2.      Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
3.      Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya
4.      Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih
5.      Menguasai ilmu bahasa
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
1.      Harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna
2.      Harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah
d.        Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
e.         Kemungkinan Terjadinya ijma'
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
1.   Periode Rasulullah SAW;
2.   Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3.   Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2.      Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
f.         Macam-macam ijma'
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1)      ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2)      Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1)      ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2)      ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
1)      Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2)      Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3)      Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4)      Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5)      Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

g.        Obyek ijma'
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
4.  Qiyas
a.  Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata Qiyas ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang lainnya. Tentang arti qiyas menurut  terminologi, terdapat definisi yang berbeda menurut sebagaian ulama diantaranya:
Menurut Abu Hasan Al Bashri yang memberikan definisi qiyas “sebagai usaha dalam menghasilkan (memenetapkan)  hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam Illat hukum menurut ijtihad”.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dalam buku ushul Fiqh 1 karangan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, menjelaskan tentang hakikat Qiyas yaitu :
1.   Ada dua kasus yang mempunyai Illat yang sama;
2.   satu diantara dua kasus yang bersamaan Illatnya itu sudah ada hukumnya yang di tetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasusu satu lagi belum di ketahui hukumnya;
3.   berdasarkan illat yang sama seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya seperti hukum yang berlaku pada kasus pada hukum yang telah di tetapkan berdasarkan nash.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.      Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.      Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3.      Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
b.  Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1)      Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
2)      Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
3)      Hukm Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
4)      Illat, yaitu sifat yang yang terdapat pada Ashl. Dengan sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum.
c.  Qiyas sebagai dalil hukum Syara’
Memang, tidak ada nash yang menjelaskan tentang Qiyas sebagai Dalil Syara’ untuk menetapkan hukum, juga tidak ada petunjuk yang membolehkan  mujtahid menetapkan hukum syara’ di luar yang di tetapkan oleh nash. Tetapi jumhur ulama telah menjadikan Qiyas sebagai dalil syara’, mereka menggunakan Qiyas dalam hal yang tidak terdapat dalam nash dan dalam ijma’ ulama. Mereka menggunakan Qiyas secara tidak berelbihan  dan ti dak melampui bats kewajaran.
Para jumhur ulama ini mengemukakan dalil-dalil sebagai dasar dalm menerima kehujjahan qiyas yakni diantaranya:
Di dalam Q.S al Hasyr (59) ayat 2 :
Artinya :Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;”. (al-Hasyr 2)
Penjelasan itu diantaranya dapat dilihat dari keterangan yang di riwayatkan dari tsalab. Ia berkata bahwa al-itibar dalam bahas arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding  dengannya. Ia dinamai “ashal” yang kepadanya di kembalikan bandingannya secara ibarat.dan inilah yang disebut dengan Qiyas.
Berdasarkan sabda rasulullah SAW. Dalam membaiat Mua’adz bin jabal sebagai wali kota yaman, dalam penjelasannya Rasulullah telah menerangkan bahwa  telah di bolehkannya berijtihad, bila tidak terdapat  dalam nash dari Al-Qur’an dan As sunnah. Ijtihad ini tidak lain adalah usaha yang  sungguh-sungguh untuk mencapai suatu ketetapan hukum.sedang usaha itu dapat di juga di jalankan dengan  menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang ada nashnya dengan memperhatikan persamaan illatnya (ini di sebut dengan Qiyas).
Bila di pahami dengan logika, penetapan Qiyas sebagai salah satu dalil syara’ dapat dilihat dari analisa-analisa logis diantaranya ialah keterbatasan pada nash-nash al qur’an dan As Sunnah, sedang kejadian-kejadian pada manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh karena itu  tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu di jadikan  sebagai sumber  terhadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan demikian Qiyas merupakan sumber perundang-undangan yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru da dapat enyesuaikan dengan kemaslahatannya.
d.  Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

   Al-Qur’an ditinjau secara garis besar masih bersifat universal, sehingga terjemahan al-Qur’an meskipun sempurna tidak dapat dikatakan sempurna, karena tidak ada yang mampu menandingi kalam Allah. Dan satu-satunya yang mampu sempurna dalam penerjemahannya adalah Nabi SAW.
Saat ini kita tidak mungkin untuk bertemu dengan Rasulullah, namun kita bisa memahami maksud al-Qur’an melalui Sunnah Beliau. Seperti pesan beliau ketika haji Wada’, bahwa beliau berpesan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Pesan beliau ini memberi inidikasi bahwa dua aspek ini yang paling penting diantara yang lain.
Terbukti sekali dengan hubungan yang tak terpisahkan antara keduanya, dimana para ulama mengeluarkan pendapat berlandaskan dua sumber diatas.
Thuruq Maknawiyah atau cara pendekatan terhadap makna-makna yang telah dipahami dari lafazhnya adalah peninjauan terhadap makna dengan metode atau cara-cara dalam menggali hukum. Adapun disini kita membahas hanya dua cara saja yaitu ijma dan qiyas.
Seluruh ulama sepakat bahwa ijma merupakan hujjah. Ijma memiliki kedudukan pentign dalam sumber hukum islam setelah al-Quran dan sunah.
Berdasarkan  pada penjalan diatas maka dapat di pahami dan ditetapkan bahwa Qiyas ini merupakan salah satu usaha dari upaya untuk menetapkan suatu hukum atau dengan kata lain Qiyas merupakan salah satu dari dalil-dalil syara’ yang menuntuk kehujjahan atasnya. Dan penetapan itu telah didasarkan pada penjelasan Al-Qur’an, As Sunnah, dan upaya logika dalam menjelaskan hal tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar