Kamis, 05 Januari 2017



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sebelum melangkah lebih jauh membahas materi, seyogyanya perlu dimengerti bahwa ahlak merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan terlebih dahulu. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat. Ilmu Akhlak sering disamakan dengan ethika, namun diantara keduanya memiliki perbedaan yaitu etika menentukan baik dan buruk perbuatan manusia dengan tolak ukur akal pikiran, sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama. Dengan demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.
Kaitannya dengan akhlak seseorang, itu tidak terlepas dari tingkah laku (sikap) dengan sesama dan penciptanya (Tuhannya). Maka dalam hal ini ilmu akhlak tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu akhlak terhadap ilmu-ilmu tersebut dan sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu lain terhadap ilmu akhlak.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana Hubungan ilmu ahklak dengan ilmu tasawuf?
2.      Bagaimana hubungan ilmu akhlak dengan ilmu filsafat?
3.      Bagaimana hubungan ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan?
4.      Bagaimana hubungan ilmu akhlak dengan kaidah dan ibadah?
C.     Tujuan
Mengetahui korelasi ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf, ilmu pendidikan, ilmu filsafat dan kaidah & ibadah. Serta kontribusi antara ilmu akhlak dengan ilmu-ilmu tersebut dan sebaliknya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.                RUANG LINGKUP MENGENAI ILMU AKHLAK      
Sebagaimana kita maklumi bahwa ilmu akhlak itu adalah ilmu yang membicarakan tentang perbuatan manusia ditinjau dari segi pihak baik dan buruk. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara untuk diri sendiri, dan orang lain, dalam mencapai tujuan,. Maka sudah barang tentu ruang lingkup yang akan dibicrakan oleh ilmu akhlak adalah sekitar materi yang berhubungan dengan pengertian yang kita sebutkan diatas.
            Materi yang telah dibicarakan dalam pengertian tersebut meliputi segala tingkah laku manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberi akal dan perasaan dengan segala kelengkapannya. Perbuatan dan tingkah laku yang menjadi sasaran ilmu akhlak ini adalah sekitar perbuatan yang ada dalam arena baik dan buruk sedangkan benar dan salah itu adalah lapngan ilmu logika (Manthiq).
            Akhlak yang membicarakan tentang tingkah laku baik dan buruk tidak berkuasa untuk memaksa manusia dalam menjalankan pekerjaan, namun ia hanya sekedar ibarat seorang guru yang memberikan petunjuk mana yang harus dilakukan oleh seorang murid itu sendiri.
Selanjutnya yang menjadi obyek ilmu akhlak yaitu  hal yang berkaitan dengan sosial dimana kita ketahui bahwa manusia tidak mungkin kan hidup sendirian tanpa masyarakat dimana manusia hidup ditengah-tengahnya. Selanjutnya, manusia hidup pasti mempunyai tujuan yang jelas dan tujuan itu pasti dilakukan dengan segala upaya tingkah lakunya. Dalam pencapaian tujuan itu ada yang merasa puas dengan mendapatkannya hanya lahiriyah, atau juga ada yang sampai kepada batiniyah, ada yang meninjau dari segi kemanfaatan dari perbuatan manusia, sehingga kalau perbuatan itu tidak ada manfaatnya dianggap sia-sia belaka. Ada pula yang ukuran tujuan berhasil atau tidaknya ditinjau dari segi agama, manakala seseorang telah mengembalikan sesuatu kepada agama, maka ia mendapatkan nilai tertinggi dalam tujuan hidup ini. Juga dibicarakan hal-hal yang berkaitan segi-segi kehidupan manusia dalam berbagai segi.

A.                HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN FILSAFAT

Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berfikir mendalam, radikal, sampai ke akarnya, universal dan sitematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Kita misalnya melihat berbagai merk kendaraan, lalu kita memikirkannya, membandingkan antara yang satu dengan yang lainnya, kemudian kita menemukan inti tau hakikat kendaraan, yaitu sebagai sarana transformasi. Dengan menyebut sarana tranformasi, maka seluruh jenis dan merk mobil apapun sudah tercukup didalamnya.
Diantara obyek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof muslim seperti Ibn Sina (9980-1037 M) dan Al-Ghzali (1059-1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lair didunia ini. Sengguh pun jiwa manusia jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik dan dengan demikian tak berhajat pada badan namun untukmenjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Panca indera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan,  maka selamanya akan berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh ahwa nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina tersebut memberi petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak.
Dalam pada itu al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama kaum awam, yang berpikirnya sederhana sekali. Kedua kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Ketiga kaum penengkar. Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sikaf lekas percaya dan penurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap memtahkan argumen-argumen. Pemikiran al-Ghazali tersebut memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam memutuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula dijumpai pada Ibn Khaldun. Dalam melihat manusia, Ibnu Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai makhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, lewat kemampuan berpikirnya itu manusia hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidak lahir dengan begitu saja, melainkan dengan suatu proses tertentu. Proses tersebut dikenal dengan nama evolusi. Berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882 M) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik. Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta.
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun tersebut tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi  dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan akhlak. Jauh sebelum itu, al-Quran telah pula menggambarkan manusia dalam sosoknya yang sempurna  melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Musa Asy’ari melalui penelitiannya yang mendalam terhadap al-Quran berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyarianya manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktiitas lahiriah yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan mati mengakhiri kegiatannya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sementara kata al-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
Selain itu filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tenatng cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan meperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan itu, akan dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, terhadap manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya. Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berkaitan dengan Ilmu Akhlak tersebut, maka sesorang yang akan memperdalam imu pengetahuan yang disebutkan diatas. Selain itu uraian tersebut diatas menunjukan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya ayng ada disekitar kehidupan manusia.
            Berdasarkan makna dan konsepsinya yang umum, filsafat merupakan upaya mengetahui dan menggali potensi yang di miliki manusia. Pengertian ini memungkinkan semua ilmu berada di bawahnya. Kita lihat pada masa lalu ketika ilmu-ilmu sangat terbatas, ternyata filsafat menaungi semuanya . Saat itu, filsuf memiliki penguasaan terhadap semua ilmu. Pada saat itu, objek filsafat di bagi ke dalam dua bagian. Pertama, hal-hal yang manusia tidak dapat melakukan intervensi di dalamnya, kecuali yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua, hal-hal yang bergantung dengan usaha manusia, yaitu tindakan-tindakan manusia.
Bagian pertama dinamakan filsafat teoritis ( alhikmah annazhariyyah ) dan terbagi ke dalam tiga bagian:
1.      Filsafat ketuhanan ( al-hikmah al-ilahiyyah ), yaitu yang berkaitan dengan aturan-aturan umum tentang eksistensi,awal mula eksistenis dan akhir eksistensi;
2.      Fisika (thabi’iyat) yang terbagi kedalam beberapa bagian lagi;
3.      Matematika yang terbagi ke dalam beberapa bagian .
Bagian kedua (tindakan – tindakan manusia) dinamakan filsafat praktisi (al-hikmah al-amaliyyah) yang terbagi ke dalam tiga bagian:
1.      Akhlak yang menjadi penyebab bagi kebahagiaan atau kesesatan manusia;
2.      Manajeman rumah tangga (tadbir al-manzil) serta segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga;
3.      Politik dan manajemen negara;
Karya-karya khusus dibidang akhlak bahkan berbicara dengan manajemen rumah dan politik negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak merupakan cabang ilmu filsafat praktisi. Akan tetapi, karena sekarang jumlah ilmu sedemikian banyak, ilmu akhlak berdiri menjadi ilmu tersendiri.

B.                 HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN TASAWUF

Sebagian besar pembicaraan tasawuf berkaitan dengan pengetahuan tentang ketuhanan (al-ma’arif al-ilahiyyah), tetapi tidak dengan jalan ilmu dan pembuktian ilmiah,tetapi dengan penyaksian esoteric (al-syuhud al-bathini). Ini berarti bahwa hati manusisa harus berfungsi bagaikan cermin yang bersih sehingga dapat menangkap hakikat dan menyingkap tirai. Dengan cara itu, hati seseorang dapat melihat esensi ketuhanan,asma-asma dan sifat-sifatnya.
      Untuk tujuan ilmu tasawuf ini, ilmu akhlak dapat membantu seseorang untuk menghilakan berbagai kotoran hati yang dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pintu gerbang ilmu tasawuf.
Kata-kata tasawuf dalam bahasa arab tidak terdapat qiyas dan istiqaq, yang jelas bahwa kata-kata ini hanya semacam laqab (julukan, sebutan, gelar). Gelar ini diperuntukan bagi perorangan yang disebut dengan istilah sufi, dan bagi jama’ah disebut sufiyah. Orang yang sudah mencapai derajat (usaha ke arah) tasawuf disebut mutasawwif, sedangkan bagi jama’ah disebut mutasawwifah.
Al-Jurairi ketika ditanya tentang tasawuf, beliau menjawab: “Memasuki ke dalam budi pekerti (Akhlak) yang bersifat sunni, dan keluar dari budi pekerti (akhlak) yang rendah”. Sedangkan Muhammad ‘Ali Al-Qassab menyatakan: “Tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang timbul pada masa mulia, dari seorang yang mulia, ditengah-tengah kaum-kaum mulia”.
Dari kumpulan pengertian yang kita dapati, kiranya dapat kita ambil inti pokok pengertian, bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang usaha membersihkan diri berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling ingat mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh kepada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri kehadirat Allah, demi mencapai keridhoan-Nya.
Obyek pembicaraan ilmu tasawuf ini meliputi:
1.           Akal dan ma’rifat
2.           Hati dan latihan
Adapun status ilmu tasawuf meliputi:
1.           Menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang dengan apa yang tak sesuai dengan tuntunan yang berlaku.
2.           Berusaha dengan tenaga menuju ke jalan illahi.

Dalam dunia tasawuf, diketahui ada dua corak pemikiran yang masing-masing diwakili oleh Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Al-Ghazali lebih condong berfikir falsafi, sedangkan Ibnu Arabi lebih condong dengan Hikmatul-Ilahiyah. Al-Ghazali yang menitikberatkan kepada akaliyah, mengambil keraguan sebagai dasar tingkat pertama dalam jenjang keyakinan, manakala manusia sudah sampai kepada batasnya, maka ia akan bertemu dengan keimanan, dan kesibukan akal akan berhenti dengan latihan jiwa dan raga. Ibnu arabi yang menitikberatkan kepada hati (Qolbu) dengan hikmatul Ilahiyah, manusia akan mendapatkan pengetahuan dengan melatih jiwa dan menekan hawa nafsu, dimana hawa nafsu merupkan penghalang antara manusia dengan Nur Illahi, manakala manusia sampai ke taraf ‘arifin maka ia akan dapat mempelajari dan meneliti segala ragamnya.
Pada hakekatnya dasar-dasar Ulumul Tasawuf itu tercermin dalam ajaran-ajarannya, dengan segala bentuk dan menifestasinya, apakah itu merupakan jenjang tangga atau terminal yang harus dilalui oleh para ahli tasawuf, yang disebut muqamat atau mujahadat, disamping secara perasaan mereka telah mengubah tingkah sedikit demi sedikit dalam mencapai tujuan, atau semuanya ajaran itu dikembalikan kepada usul (pokok) syara’.
Walaupun demikian titik berat dasar yang mereka pegang pada umumnya berlandaskan kepada kefakiran, sebagaimana diungkapkan oleh Ma’ruf Al-Karakhi mengatakan:
“Tasawuf adalah mengambil hakekat sesuatu, dan berputus asa dari apa yang ada ditangan manusia (makhluk), barangsiapa yang tidak berpegang kepada kefakiran, maka dia tidak berpegang kepada tasawuf”.
Lalu apa itu kefakiran? Kefakiran atau fakir menurut Abil Hasan An-Nawari dikatakan: “Sifat orang fakir ialah berdiam diri dikala dia tidak punya, dan memberikan serta mendahulukan kepentingan orang lain dikala berada”. Begitu mulia dan akhlak yang tepuji sifat fakir tersebut, patut dijadikan acuan sebagai dasar dalam perilaku sehari-hari. Karena mencintai, membanggkan orang miskin dan fakir sebagai kunci terhadap masuknya syurga. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra: “Setiap segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci syurga adalah cinta kepada orang miskin dan fakir yang shabar, mereka berada di majlis Allah pada hari kiamat”.
           
Dalam ajaran-ajaran tasawuf pun dapat dikaji dengan menurut Ali Thantawi dalam kitabnya Ta’rif ‘Am bi Dinil Islam sebagai berikut:

1.      Dzikir
Buah keimanan yang pertama ialah dzikir. Allah memerintahkan dalam Al-Quran untuk berdzikir dan Allah sangat memuji terhadap orang-orang yang berdzikir. Dzikir menurut bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran mengandung dua pengertian, yakni berdzikir dengan hati dan berdzikir dengan lisan.
Jika kamu ingin membuktikan sebagai orang yang berdzikir, maka hendaklah kamu selalu ingat dalam hatimu dikala kamu sendirian, dikeramaian, dipasar dan jalanan, ingat setiap waktu, setiap keadaan, bahwa Allah melihat kepadamu. Kamu tak akan berbuat kecuali apa yang Allah sukai, menjalankan kewajiban itu karena menuruti perintah-Nya., jika kamu meninggalkan keharaman, itu mengikuti larangan-Nya.
Kadang-kadang berdzikir dengan lisan terdapat kemaksiyatan, seperti membaca basmalah ketika minum khamar. Barangsiapa menyebut nama Allah dalam nyanyian yang dibawakan penyanyi yang fasik dengan maksud mengejek dengan terang-terangan, maka dzikirnya adalah ke kufuran. Berdzikir yang paling utama adalah membaca Al-Quran, kecuali pada tempat tertentu yang ditetapkan oleh Allah swt, seperti tasbih dalam ruku’ dan sujud dan dzikir yang masyur dari Rasulullah.
Adapun yang ada pada masa kita seperti pesta dzikir yang disebut “Raqash”, terdiri dari gerakan-gerakan seperti berdiri, ruku, jongkok dibarengi dengan gerakan yang serasi serta lagu-lagu tertentu, dengan tidak tegas-tegas diucapkan kalimat tahlil atau tahmid, dibawakan dengan suara-suara yang samar seperti: Ah, Akh (menurut kahsiyah Ibnul Abidin) itu merupakan haram.

2.      Antara Cemas dan Harapan
Seorang mukmin hendaknya berada diantara cemas dari siksa Allah dan harapan atas ampunan-Nya. Ingatlah bahwa Allah adalah Dzat yang cepat memberikan perhitungan, disinilah timbulnya kecemasan, dan ingat bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Pengasih, Dzat Yang Maha Penyayang dari segala penyayang, disinilah timbulnya adanya harapan. Jika hati dipenuhi oleh rasa kecemasan maka bisa jadi akan timbul keputus-putusan dari Rahmat Allah swt. Sebaliknya jika hati dipenuhi oleh rasa harapan maka akan timbulnya rasa aman dari kemurkaan Allah swt.
Telah kita terangkan bahwa Allah adalah Maha Pencipta, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan takut kepada Allh bukan seperti takut kepada makhluk, engkau takut kepada harimau yang menunjukan taringnya dengan geram menyeramkan, kau sendirian mengahadapinya tanpa senjata, namun takut kepada Allah bukan seperti takut kepada harimau, karena harimau bisa dikhawatirkan akan menerkamu, maka Allah Tuhan harimau dan penciptanya, tidak memberikan putusan jika Dia telah memastikan untukmu.
3.      Syukur
Seorang yang bertawakal akan rela kepada Allah manakala Dia mencegah dan memberi, dan disinilah sifat syuur yang sebenarnya. Syukur adalah salah satu buah keimanan. Apabila seseorang berbuatt baik kepadamu, kemudian kamu tidak bersyukur kepadanya, maka kamu termasuk orang yang keterlaluan, dianggap buruk, padahal itu biasa-biasa saja.
Jika seseorang membutuhkan uang serupiah (dinar) kemudian dia akan mendapatkannya, dia merasa betapa nikmatnya orang yang mempunyai uang, tetapi apabila uang tersebut telah didapati, maka lupalah dia.
Barangsiapa terkumpul antara syukur hati dan rela kepada Allah, bersykur amal dengan memberikan kelebihan kepada orang lain yang membutuhkan dan bersyukur lisan dengan mengucapkan Allhamdulillah maka dia termasuk bersyukur dengan sebenar-benarnya.

4.      Shabar
Seorang muslim itu berada diantara dua nikmat, jika mendapatkan kebaikan dia bersyukur, dia mendapat pahala; jika mendapat ke madharatan lantas bersabar, maka dia juga endapat pahala. Imbalan pahala orang kaya yang bersyukur atau orang yang berkelebihan, itu sama dengan pahala orang fakir yang sabar.
Hidup di dunia ini bukanlah kampung kesenangan ia tidak terlepas dari segala keruwetan, kurang sehat, kehilangan harta, ditinggalkan kekasih, tipuan kawan, atau kehilangan keamanan.semua ini meliputi tabeat manusia yang tak berubah. Kesulitan dan musibah tidak bisa dihindari, adakalanya bisa terobati dengan kesabaran. Sabar berpegang kepada agama di masa sekarang yang penuh dengan percobaan, hampir kembali agama ini dalam keasingan. Orang yng tekun dalam agama ibarat orang yang menggemgam bara, orang yang berpegang agama menjadi cacian dan hinaan, kambing hitam para pejabat, kurang tertib. Barangsiapa yang berpegang teguh hanya kepada Allah semata karena mengharap pahala, mereka adalah sebagian dari apa yang di gambarkan dalam firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 42:
“Mereka adalah orang-orang yang sabar dan kepada Tuhan mereka berserah diri”
5.      Menuruti Hukum Syara’
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa iman adalah pekerjaan hati, rahasia dari segala rahasia, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, manusia melihat hanya lahirnya, oleh karenanya kita hanya bisa mebedakan antara orang kafir dan mu’min hanya dari perkataan dan perbuatannya.
Seorang anak yang menyrahkan diri lepada orang tua, karena kepercayaan; seorang yang mencintai menyerahkan diri kepada yang dicintainya, karena simpati; orang yang diculik menyerahkan kepada penculik, karena takut. Sedangkan penyerahan diri ada dua aspek :
a.       Yang bersifat amali, yaitu menuruti dengan perkataan dan perbuatan.
b.      Yang bersifat kejiwaan.

6.      Tegas dan Lemah-lembut
Kita cinta terhadap orang yang taat dan taqwa meskipun kita tidak mendapat manfaat dari padanya. Kita benci kepada orang kafir yang durhaka, meskipun kita tidak pernah mendapat madarat dari padanya, bahkan kita membenci dan menghindarinya. Meskipun ada faedahnya bagi kita walaupun pertalian kita dengannya mempunyai ikatan pertalian yang kuat. Oleh karenanya pertalian persatuan beragama lebih kuat daripada ikatan darah, hubungan keturunan.
Seorang mu’min yang cinta karena agama dan bencinya hanya karena agama, apabila cinta maka lahirlah kemuliaan jiwa lemah-lembut, timbul toleransi dan kesungguhan, merendah diri dihadapan saudaranya dan tidak minder, mendahulukan kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri, walaupun dirinya sendiri membutuhkan. Seorang mu’min berada diantara  lemah-lembut dan sikap lunak dan keras, lunak dan lembut terhadap saudaranya yang seiman, sedangkan tegas dan keras kepada musuh-musuh  agama dimana mereka itu sebenarnya pembela-pembela syaitan.
7.      Taubat dan Istighfar
Allah menciptakan manusia, dan menumbuhkan dalam dirinya suk tergesa-gesa, angan-angan yang panjang, suka mengumpulkan harta, selalu ingin didampingi dengan wanita-wanita cantik, marah, condong, kepada kemurkaan dan celaan, dikuasai oleh syaitan yang menghiasi dengan segala keburukan yang ada pada dirinya.
Allah mengatakan pada manusia; sesungguhnya kau sanggup mengahapus dosa yang telah kau perbuat sehingga bersi seperti sediakala, namun dapat dituliskan kebaikan berdampingan ditempat keburukan yang telah kau lakukan, seperti catatan seorang pedagang yang mempunyai utang-piutang denganmu, tidaklah cukup begitu saja dengan penuh toleransi dan mengahpuskan utang-piutang, namun catatn piutang itu dipindahkan ke dalam catatan piutang.
Dalam taubat syarat pertama ialah memutuskan perbuatan buruk dan ber’azam (berniat) tidak mengulangi lagi. Taubat itu mempunyai ruh dan jasad. Ruhnya adalah mencegah dari padanya, dan sedangkan jasad adalah penggerak dari padanya. Taubat ialah meninggalkan keburukan dan kembali ke dalam kebenaran, adapun istighfar adalah meminta ampunan dari Allah swt. Syara’ telah memerintahkan dan mendorongnya sebagai firman Allah:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertabatlah kepada-Nya”.

C.                ILMU AKHLAK DENGAN  ILMU PENDIDIKAN  ( TARBIYAH )
Hakikat pendidikan adalah menyiapkan dan mendampingi seseorang agar memperoleh kemajuan dalam menjalani kesempurnaan. Kebutuhan manusia terhadap  pendidikan beragam seiring beragamnya kebutuhan manusia. Ia membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatan fisiknya, ia membutuhkan pendidikan etika agar dapat menjaga tingkah lakunya, ia membutuhkan akal agar jalan fikirannya sehat; ia membutuhkan pendidikan ilmu agar  dapat memperoleh ilmu-ilmu yang bermanfaat, membutuhkan pendidikan disiplin ilmu tertentu agar dapat mengenal alam, membutuhkan pendidikan sosial agar membawanya mampu bersosialisasi, membutuhksn pendidikan agama untuk membimbing ruhnya menuju allah SWT, membutuhkan pendidikan akhlak agar perilakunya seirama dengan akhlak yang baik.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan merupakan hubungan yang bersifat berdekatan, sebelum membahas lebih jauh apa hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan terlebih dahulu kita mengingat kembali apa pengertian Ilmu Akhlak dan Ilmu Pendidikan.
Menurut Ibn Maskawih Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbamgan. Sedangkan ilmu pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik.
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertianyaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
·         Relevansi Ilmu Ahlaq dengan Ilmu Pendidikan
Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan akhlak. Adapun yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur.an dan al-Hadits, dengan kata lain dasar-dasar yang lain senantiasa dikembalikan kepada al-Qur.an dan al-Hadits.
Adapaun definisi akhlak menurut istilah ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Senada dengan hal ini Abd Hamid Yunus mengatakan bahwa akhlak ialah:




Sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.
Ilmu pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar, dan lain sebagainya. Semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas mansuia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Jika rumusan dari tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patut dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dan Ilmu Akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang sudah barang tentu mempunyai suatu tujuan yang hendak dicapai, termasuk juga dalam kegiatan pendidikan, yaitu pendidikan akhlak. Tujuan merupakan landasan berpijak, sebagai sumber arah suatu kegiatan, sehingga dapat mencapai suatu hasil yang optimal.
Akhlak manusia yang ideal dan mungkin dapat dicapai dengan usaha pendidikan dan pembinaan yang sungguh-sungguh, tidak ada manusia yang mencapai keseimbangan yang sempurna kecuali apabila ia mendapatkan pendidikan dan pembinaan akhlaknya secara baik. Menurut M.Ali hasan yang dikutip oleh Akmal Hawi, tujuan pokok akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, yang sesuai dengan ajaran Islam". Masih mengenai tujuan akhlak menurut Akmal Hawi ialah "agar setiap manusia dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta terpuji. Akhlak yang mulia terlihat dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah SWT, dan kepada lingkungannya baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam sekitarnya. Dengan akhlak yang mulia manusia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Pendidikan akhlak merupakan benang yang merajut semua jenis pendidikan di atas. Dengan kata lain, semua jenis pendidikan di atas harus tunduk pada kaidah – kaidah akhlak.

D.                ILMU AKHLAK DENGAN AKIDAH DAN IBADAH
Islam telah menghubungkan secara erat antara akidah dan akhlak. Dalam islam, akhlak bertolang dengan tujuan–tujuan akidah. Akidah merupakan barometer bagi perbuatan, ucapan, dengan segala bentuk interaksi sesama manusia. Berdasarkan keterangan Al-Quran dan Assunnah,  iman  kepada allah SWT. Menuntut seseorang mempunyai akhlak yang terpuji. Sebaliknya akhlak tercela membuktikan ketiadaan iman tersebut.
     Keterkaitan antara akhlak dan akidah dapat dilihat ketika allah SWT mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia. Ketika Al-Quran menyuruh berlaku adil. Sebelumnya telah disebutkan tentang iman, allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman jadilah  kamu  sebagai  penegak (keadilan) karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Q.S AL-MAIDAH  5:8 )
Al-Quran juga menghubungkan antara amal saleh dan perbuatan baik. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 124 -125:
“Barang siapa  mengerjakan amal-amal kebajikan , baik laki-laki maupun perempuan ,sedang d ia beriman, Maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak di dzalimi sedikitpun.”
“dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada allah SWT  , sedang dia mengerjakan kebaikan, dan  mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS: An-nisa 4: 124-125)
Demikian pula Rasulullah SAW. Mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia. Dalam sebuah hadist di sebutkan :
Rasulullah SAW. Di Tanya, siapa diantara kaum mukmin yang paling utama keimananya ? Beliau menjawab, yang paling baik akhlaknya .” (H.R At-tarmidzi)
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda:
“Iman itu memiliki tujuh puluh cabang ( riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang ) dan yang paling utama ialah  la ilaha illa allah , dan yang terendah ialah membuang duri dari jalan . malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Muttafaq ‘alaih)
Iman tidak cukup sekedar di simpan di dalam hati, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatan nyata dan amal saleh. Hanya iman yang melahirkan amal shalehlah  yang dinamakan iman yang sempurna. Akhlak mulia merupakan mata rantai keimanan, contoh rasa malu berbuat jahat merupakan salah satu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadist menegaskan:
“Malu adalah cabang iman.” (H.R Tirmidzi dan yang lainnya)
        Sebaliknya, akhlak buruk adalah yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Sekalipun suatu perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan keimanan, perbuatan tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah SWT.
        Adapun kaitan ilmu akhlah dan ibadah dapat di jelaskan bahwa tujuan akhir ibadah adalah keluhuran akhlak. Ibadah yang terpenting yang di syariatkan islam dan yang paling pertama di hisab pada hari kiamat adalah shalat. Hikmah di syariatkannya shalat adalah menjauhi perbuatan keji dan munkar.


BAB III
PENUTUP
A.                KESIMPULAN
Dari uraian materi diatas penulis menyimpulkan :
a.       ILMU AKHLAK DAN FISAFAT
Dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak merupakan cabang filsafat praktisi. Akan tetapi,  sekarang jumlah ilmu sedemikan banyak sehingga ilmu akhlak pun berdiri menjadi ilmu tersendiri
b.      ILMU AKHLAK DENGAN TASAWUF
Sebagian besar pembicaraan ilmu tasawuf ( irfan) berkaitan dengan pengetahuan tentang ketuhanan (al-ma’arif al-ilahiyyah ), tetapi bukan denga jalan ilmu dan pembuktian ilmiah, melaikan dengan jalan penyaksian esoteric (asy-syuhud al-bathini). Ini berarti bahwa hati manusia harus berfungsi bagaikan cermin yang bersih sehingga dapat menangkap hakikat dan menyikapi tirai .
c.        ILMU AKHLAK DENGAN PENDIDIKAN ( TARBIYAH )
Pendidikan akhlak merupakan benang perarat yang merajut semua jenis pendidikan, seperti pendidikan etika, pendidikan akal,  pendidikan ilmu, dan sebagiannya. Semua jenis pendidikan di atas harus tunduk kepada kaidah – kaidah akhlak.
d.      ILMU AKHLAK DENGAN AKIDAH DAN IBADAH
Islam telah menghubungkan secara erat antara akidah dan akhlak. Dalam Islam, akhlah bertolak dari tujuan – tujuan akidah. Akidah merupakan barometer dari perbuatan, ucapan, dengan segala bentuk interaksi sesame manusia. Berdasarkan keterangan Al-Quran dan As-sunnah , iman kepada Allah SWT. Menuntut seseorang mempunyai akahlak yang terpuji.
B.                 SARAN
Demikianlah makalah tentang hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu lainnya yang telah penulis paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Ahlak Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar