Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami telah
menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Akhlak Para
Sahabat Dalam Sejarah” kami berharap
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , oleh
karena itu kritik dan saran semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam menyusun makalah ini, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha
kita, Amiin..
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bandung, November 2015
Penyusun
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
Utsman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan
diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat
Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Tentang ibadahnya, diriwayatkan
bahwa utsman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para
pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah.
Ali bin Abu Thalibadalah orang pertama yang
menjadi tebusan bagi Rasulullah dalam Islam, yang rela menyerahkan jiwa dan
raganya. Ia adalah sosok amanah yang bersegera menyerahkan semua titipan
Rasulullah kepada para pemiliknya. Ia senantiasa bersama Rasulullah dalam setiap
pertempuran dan bahkan selalu terlihat bahwa ia adalah seorang mujahid tangguh
lagi handal. Keberaniannya sangat legendaris sehingga
tercatat dalam tinta emas sejarah Islam. Lidahnya sangat fasih dan
memperlihatkan bahwa ilmunya bagaikan samudera lautan umat manusia harus menjadikan contoh akhlak dan keluhuran budi. Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib dalam kehidupan di berbagai bidang.
1. Sebutkan keutamaan Utsman bin Affan?
2. Sebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana sosok kepribadian Ali bin Abi Thalib yang patut
ditiru?
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. AKHLAK PARA SAHABAT DALAM SEJARAH
2.2.1. Utsman bin Affan
Khalifah
Islam yang ketiga ini memiliki nama panjang Ustman bin Affan al-Umawi
al-Quraisyi. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Abdillah atau Abu’ Amr. Usianya
lebih muda 5 tahun daripada Rasulullah saw.. Ia adalah saudagar kain yang kaya
raya dan juga memiliki ternak yang paling banyak diantara orang-orang Arab
lainnya. Ia diangkat rnenjadi khalifah oleh Majelis Syuro ketika itu. Bakat
kepemimpinannya telah terlatih karena ia berpengalaman memimpin usaha dagang
dan ternaknya. Utsman
bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Utsman adalah
seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak
mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak
yang terpuji. Diriwayatkan
ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi
paceklik, Utsman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan
tentara.
Diriwayatkan pula, Utsman telah membeli sebuah
telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut
tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa
pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah
dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera
dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Utsman
menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.
Tentang
ibadahnya, diriwayatkan bahwa utsman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah
Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.
Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak
sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang
mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran)
Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.
2.2.2. Keutamaan Utsman bin Affan
1. Kemuliaan akhlak Utsman
Sifat
yang paling menonjol pada diri Utsman adalah sifat malu. Sifat ini sangat
mengakar pada kepribadiannya sehingga Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam
pernah menyatakan, “Umatku yang paling penyayang pada sesamanya adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam persoalan agama Allah
adalah Umar, dan yang paling pemalu adalah Utsman.”
Malu merupakan sifat yang mulia yang membawa
seseorang menjahui sesuatu yang buruk dan mencegahnya mengabaikan kewajiban
serta mendorong untuk melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat dan kemungkaran. Rasa malu juga menyemangati pemiliknya untuk
melakukan segala bentuk kebaikan dan menghindari berbagai perkara yang syubhat.
Untuk semua pengertian tersebut Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah
bersabda, “Malu itu baik semuanya,” “Malu hanya akan mendatangkan kebaikan,”
Dalam pengertian seperti inilah Utsman tumbuh
dan menjalani hari-harinya. Rasa
malu yang ada pada dirinya menguasai kepribadiannya secara menyeluruh dan
membimbingnya untuk melakukan berbagai keutamaan.
Di hari saat Rasulullah menyampaikan dakwah
kepadanya, dia malu pada dirinya sendiri untuk tidak segera menjawab seruan
beliau, maka dia pun segera beriman dan membenarkan kerasulan beliau.
Ketika kaum musyrikin menghalang-halangi
dakwah, rasa malunya membawa dirinya mengorbankan kekayaan, keluarga, dan
rumahnya, lalu memilih berhijrah.Dia merasa malu kalau samapi didahulu oleh
kaum yang lemah dan parah hamba dalam berhijrah.
Pada saat diserukan jihad, dia merasa malu untuk berdiam diri di rumahnya, maka dia segera memenuhi seruan tersebut.
Pada saat diserukan jihad, dia merasa malu untuk berdiam diri di rumahnya, maka dia segera memenuhi seruan tersebut.
Saat dia mendengar Rasulullah menyeruh untuk
berinfak dalam rangka mempersiapkan perbekalan bagi pasukan yang tidak memiliki
perbekalan dan kendaraan, rasa malunya menolak untuk bersikap kikir terhadap
hartanya.
Begitu juga pada saat dia diangkat sebagai
khalifah, sifat malunya semakin tumbuh dan melekat seperti rumput hijau yang
terkena hujan sehingga semakin tumbuh dan menghijau.
Maka ketika dia hendak mengangkat panglima
perang atau gubernur wilayah, dia memilih sosok terbaik. Dia malu kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala jika dia mengangkat sesorang atas kaum muslimin padahal ada
orang lain yang lebih baik darinya.
Jika ada hukum Allah yang dilanggar, rasa
malunya mendesak dirinya untuk segera merealisasikan hukuman had. Dia tak ingin
Allah melihatnya berlambat-lambat dalam melaksanakan hukum-Nya.
Bahkan ketika para pemberontak mengepungnya dan
menuntut agar dia menanggalkan jubah kekhalifahan, dia dengan tegas menolak. Karena
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam memerintahkan padanya untuk tidak menanggalkan
dirinya, maka dia merasa malu untuk mendurhakai Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam meski dia harus membayar mahal untuk itu dengan darahnya.
Inilah sosok malu yang ada pada sosok Utsman,
tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang bahwa Utsman adalah sosok yang
lemah. Sungguh tepat penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam ketika menggambarkan sosok Utsman, beliau berkata, “Umatku yang
paling benar sifat malunya adalah Utsman.”
2.
Kedermawanan
Utsman
Terkait
dengan kedermawanan dan kemurahan hati Utsman, sungguh tidak ada
tandingannya.Dia telah menyumbangkan hartanya di jalan Allah di banyak
kesempatan. Sehingga kedermawanannya –tentu saja beserta sifat malunya-
menutupi berbagai keutamaan dan sifat malunya yang lain. Dia telah menyerahkan
hartanya yang melimpah untuk kepentingan agamanya dan saudara-saudaranya
seiman.Dia menginfakkanya tanpa perhitungan. Jika kita mencoba untuk mencari seseorang
yang dapat menandingi kedermawanan Utsman, kita tidak akan menemukannya.
Ketika masjid Nabawi
terasa sempit karena banyaknya jamaah yang ikut shalat berjamaah, Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam bermaksud membeli tanah milik salah seorang shahabat
untuk keperluan perluasan masjid. Maka Rasulullah menyampaikan himbauannya
untuk itu dengan imbalan pahala, “Siapa yang membeli tanah keluarga fulan lalu
menambahkannya ke masjid, akan memperoleh kebaikan dari tanah itu di
surga.” Utsman pun segera membelinya dari harta
pribadinya seharga 25 ribu dinar.
Setelah Fathu Makkah, Utsman membeli sebuah
rumah yang cukup luas yang menempel dengan Masjidil Haram seharga 10 ribu
dinar. Lalu rumah itu ditambahkan ke area masjid.
Dia juga membeli sebuah sumur yang disebut sumur Rumah seharga seribu dirham, lalu diserahkan kepad kaum muslimin, baik untuk orang kaya, miskin, maupun yang kehabisan bekal perjalanan.
Dia juga membeli sebuah sumur yang disebut sumur Rumah seharga seribu dirham, lalu diserahkan kepad kaum muslimin, baik untuk orang kaya, miskin, maupun yang kehabisan bekal perjalanan.
Pada saat perang Tabuk, Utsman mempersiapkan
untuk pasukan yang tidak memiliki bekal dan kendaraan sebanyak 950 unta
ditambah 50 kuda untuk melengkapi jumlah 1000. Di samping itu dia juga
menginfakkan uang sejumlah 1000 dinar dan 83,3 kilogram emas.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman As-Sulami,
“Ketika Utsman terkepung, dia menampakkan diri pada para pengepungnya, lalu
berkata, “Saya mengingatkan kalian dengan nama Allah., bukankah kalian
mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Siapa
yang menggali sumur Rumah akan memperoleh surga.” Lalu saya
memanggilnya.Bukankah kalian mengetahui bahwa beliau bersabda, “Siapa yang
mempersiapkan bekal dan kendaraan akan mendapat surga.”Lalu saya
mempersiapkannya.Abu Abdurrahman berkata, “Mereka membenarkan seluruh perkataan
Utsman tersebut.”
Abu mas’ud Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan,
“Waktu itu kami sedang bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dalam suatu
peperangan, semua orang mengalami kesulitan sehingga saya melihat kesedihan di
wajah-wajah mereka, sebaliknya wajah-wajah orang munafik justru menampakkan
raut gembira. Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melihat kondisi
seperti itu, beliau bersabda, “Demi Allah, sebelum matahari tenggelam akan
mendatangkan rizki untuk kalian.” Utsman pun mengetahui bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan dibenarkan, maka dia membeli empat belas unta yang penuh dengan
muatan makanan. Lalu Utsman mengirim sembilan unta kepada Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam. Ketika Rasulullah melihat kesembilan unta tersebut
beliau bertanya, “Apa ini?”Orang-orang menjawab, “Utsman menghadiakannya untuk
engkau.” Maka
nampaklah kegembiraan di wajah kaum muslimin dan kesedihan di wajah orang-orang
munafik. Saya melihat Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam mengangkat tangannya
tinggi-tinggi sehingga nampak putihnya ketiak beliau, berdoa untuk Utsman
dengan doa yang belum pernah saya dengar diperuntukkan pada siapa pun
sebelumnya, “Ya Allah, berilah Utsman, ya Allah lakukanlah untuk Utsman.”
Kemudian pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
orang-orang mengalami masa paceklik. Abu
Bakar lalu berkata, “Jika Allah menghendaki, sebelum sore besok Allah akan
memberi kalian jalan keluar.” Pada
keesokan paginya, datanglah kafilah dagang Utsman.Para pedagang pun bergegas
mendatanginya. Ketika Utsman keluar menemui mereka, langsung diminta
untuk menjual muatan kafilah dengannya kepada mereka. Namun Utsman menolak
seraya berkata, “Ya Allah, saya menghibahkannya kepada orang-orang fakir
Madinah tanpa harga dan tanpa perhitungan.”
Utsman sendiri pernah
berkata, “Setiap kali datang hari Jum’at, saya memerdekakan seorang budak sejak
saya masuk Islam.Jika saya tidak mendapatkan budak yang bisa dimerdekakan pada
hari Jum’at itu, saya gabungkan ke Jum’at berikutnya.”
Bahkan pada saat genting sekalipun, yaitu ketika Utsman berada dalam kepungan para pemberontak di hari-hari terakhirnya, dia masih sempat memerdekakan dua puluh orang budak.
Bahkan pada saat genting sekalipun, yaitu ketika Utsman berada dalam kepungan para pemberontak di hari-hari terakhirnya, dia masih sempat memerdekakan dua puluh orang budak.
3.
Kasih sayang Utsman dan pergaulannya yang baik
Kasih
sayang Utsman meliputi dirinya yang penyayang seperti air yang menyirami dahan
pohon yang menghijau oleh dedaunan. Kita dapati Utsman pada malam hari bangun
untuk melaksanakan shalat tahajjud, berjalan tertatih-tatih karena usianya yang
lanjut, mengambil air wudlu sendiri dan membangunkan siapapun.Ada yang
mempersalahkannya dalam hal itu seraya berkata, “Seandainya engkau membangunkan
beberapa orang pelayan, tentu cukup bagimu!”
Utsman menjawab, “Tidak, waktu malam adalah
untuk mereka agar mereka bisa beristirahat.”
Suatu kali Utsman memarahi seorang budak,
sampai dia menjewer telinga budak tersebut hingga merasa kesakitan. Waktu itu
Utsman segera teringat akan akhirat dan pembalasan, maka dia berkata kepada
budak itu, “Saya baru saja menjewer telingamu, silakan membalasnya padaku.”
Pada kesempatan lain Utsman membeli sebidang
tanah dari seseorang, namun orang itu tak kunjung datang untuk mengambil
uangnya. Utsman pun mendatanginya dan bertanya, “Kenapa engkau tidak datang
untuk mengambil uangmu?”Orang itu menjawab, “Engkau menipuku dalam jual beli
ini.”Utsman bertanya lagi, “Itukah yang membuatmu tidak datang?”Orang itu
mengiyakan. Maka Utsman berkata, “Kalau begitu silahkan pilih apakah engkau
ingin mengambil tanah atau uangnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi
wa Sallam pernah bersabda, “Allah akan memasukkan ke dalam surga orang yang
memudahkan dalam urusan jual-beli dan peradilan.”
Thalhah bin Ubaidillah pernah meminjam sejumlah
uang kepada Utsman. Ketika Thalhah memiliki kelapangan rizki dari Allah, dia
segera hendak membayar hutangnya kepada Utsman.Thalhah pun bertemu dengan
Utsman saat keluar dari masjid.Thalha berkata, “Sesungguhnya uang yang saya
pinjam darimu sejumlah 50 ribu telah ada pada saya, silahkan mengutus orang
untuk mengambilnya.”Utsman berkata padanya, “Sesungguhnya kami telah
menghibahkannya untukmu karena kebaikanmu itu.”
4.
Ketaatan Utsman, ibadahnya, dan ketakwaannya
Utsman
termasuk salah satu ahli ibadah. Dia gemar berpuasa di siang hari, bertahajjud
di malam hari, dan banyak membaca mushaf Al-Qur’an.Kondisi itu terus bertahan
sepanjang hidupnya yang lebih dari delapan
puluh tahun.
Atha’ bin Abi Rabah
meriwayatkan, “Sesungguhnya Utsman mengimami jamaah, kemudian dia melaksanakan
shalat malam di belakang maqam Ibrahim dan menggabungkan seluruh isi Al-Qur’an
dalam satu rakaat witirnya. Maka Utsman dijuluki Butiara.”
Abdurrahman bin Utsman
At-Taimi berkata, “Saya melaksanakan shalat malam di belakang maqam Ibrahim,
saya berharap tidak ada yang mengalahkan saya seorangpun malam itu. Tiba-tiba
ada seseorang mencolek saya, tapi saya tidak menoleh.Orang itu terus mencolek,
saya pun menoleh. Ternyata Utsman bin Affan. Maka
saya pun mundur, dan Utsman maju lalu membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu
rakaat, kemudian pergi.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Ketika orang-orang mengepung Utsman dan menerobos masuk untuk membunuhnya, istrinya berkata, “Terserah, apakah kalian akan membunuhnya atau membiarkannya, sepanjang malam dia melaksanakan shalat satu rakaat membaca seluruh Al-Qur’an.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Ketika orang-orang mengepung Utsman dan menerobos masuk untuk membunuhnya, istrinya berkata, “Terserah, apakah kalian akan membunuhnya atau membiarkannya, sepanjang malam dia melaksanakan shalat satu rakaat membaca seluruh Al-Qur’an.”
Imam Ibnu Katsir berkata, “Diriwayatkan dari
berbagai jalur bahwa Utsman membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat di
dekat hajar aswad pada musim haji.Ini merupakan ketekunan Utsman Radiyallahu
‘Anhu. Karena itu, kami meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berpendapat
mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”(Apakah kamu orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan
berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?”
(QS. Az-Zumar [39]: 9). Bahwa orang itu adalah Utsman bin Affan. Sedangkan Ibnu
Abbas berpendapat mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”Samakah orang itu
dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia tidak berada di jalan yang
lurus? (QS. An- Nahl [16]: 76), bahwa orang itu adalah Utsman.
Ketekunannya dalam melaksanakan puasa sunnah
membuat orang-oarang yang hidup semasa dengannya menggambarkan seolah-olah
Utsman berpuasa sepanjang tahun.
Di samping itu, hati Utsman selalu terpaut dengan Al-Qur’an.Kitab suci itu selalu menemani dan menyertainya.Utsman berkata, “Tidak ada yang aku sukai setiap kali datang hari baru kecuali menatap kitabullah.”
Di samping itu, hati Utsman selalu terpaut dengan Al-Qur’an.Kitab suci itu selalu menemani dan menyertainya.Utsman berkata, “Tidak ada yang aku sukai setiap kali datang hari baru kecuali menatap kitabullah.”
Hasan Al-Bashri meriwayatkan, “Utsman bin Affan
Radiyallahu ‘Anhu berkata, “Meskipun hati kita telah bersih, kita tidak akan
merasa puas dengan firman Tuhan kita.” Hasan Al-Bashri berkata, “Ketika Utsman
meninggal dunia, mushafnya sobek karena sering dibaca.”
Sedangkan ibadah haji, selalu menjadi dambaan
hatinya. Dia ikut melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah Shallallahu Alahi
wa Sallam. Pada masa kekhalifahan Umar dia melaksanakan haji bersama Abdurrahman
bin Auf memimpin rombongan para Ummul mukminin. Sementara pada masa
kekhalifahannya, dia melaksanakan haji sepuluh kali berturut-turut, kecuali
pada tahun saat dia dikepung para pemberontak.Waktu itu dia mengutus Ibnu Abbas
untuk memimpin orang-orang dalam pelaksanaan haji.
Pelayannya bernama Hani’ menceritakan, “Apabila Umar berdiri di samping sebuah kuburan, dia selalu menangis sampai membasahi janggutnya.”
Pelayannya bernama Hani’ menceritakan, “Apabila Umar berdiri di samping sebuah kuburan, dia selalu menangis sampai membasahi janggutnya.”
5.
Keilmuan Utsman
Utsman bin Affan
Radiyallahu ‘Anhu termasuk salah satu ulama di kalangan shahabat dan termasuk
ke dalam kelompok kecil yang kerap memberi fatwa pada masa Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam.
Al-Qasim bin Muhammad menceritakan, “Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali memberi fatwa pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam.”
Diriwayatkan dari Sahal bin Abi Hatsmah,
“Orang-orang yang biasa memberi fatwa pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam terdiri dari tiga orang Muhajirin dan tiga orang Anshar, yaitu Umar,
Utsman, Ali bin Abi Thalib, Ubay
bin Ka’Abu Bakar, Mu’adz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit.”
Utsman juga memberi fatwa pada masa
kekhalifahan Abu Bakar. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, yang berhak
memberi fatwa adalah Utsman, Ali, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Utsman
merupakan shahabat yang paling mengerti manasik haji, diikuti setelahnya oleh
Abdullah bin Umar.
Di antara bukti yang jelas atas kedalaman
ilmunya adalah diangkatnya Utsman sebagai khalifah ketiga. Seorang khalifah
haruslah diangkat dari kalangan yang paling mengerti tentang kitabullah, yang
paling baik bacaannya, dan yang paling banyak pengetahuannya tentang sunnah
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.
Namun demikian, Utsman sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, khawatir
hafalannya keliru lalu dia menambah atau mengurangi sesuatu dari hadits Nabi.
Utsman berkata, “Yang menghalangi saya untuk menyampaikan hadits dari
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bukanlah karena saya tidak termasuk
shahabat yang paling memahami dari beliau, akan tetapi saya sungguh telah
mendengar beliau bersabda, “Siapa yang mengatakan atas nama saya apa yang tidak
pernah saya katakan, hendaklah bersiap-siap untuk menempati tempat duduk di
neraka.”
Karena hal tersebut dan karena kesibukannya
dengan urusan kekhalifahan pada masanya, serta keikutsertaannya dalam mengurus
pemerintahan pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits dari Utsman
sangat sedikit. Utsman hanya meriwayatkan 146 hadits dari Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia meriwayatkan hadits secara lisan dari
Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Di antara shahabat yang meriwayatkan hadits
dari Utsman adalah Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Umran bin Hushain, Abu
Qatadah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Salamah bin Al-Akwa’, Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, Ibnu Zubair, dan lain-lain. Termasuk beberapa anaknya, pembantunya, dan
sekelompok orang dari kalangan tabiin.
6.
Termasuk ahli surga
Sahabat yang termasuk
paling awal memeluk Islam ini, yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, pemalu
yang Malaikat pun merasa malu padanya, sang dermawan yang murah hati, yang
khusyu’ dalam ibadahnya, ahli puasa dan tahjjud, kira-kira di mana kedudukannya
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Abu Musa Al-Asy’ari
Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Waktu saya sedang bersama Nabi Shallallahu
Alahi wa Sallam di sebuah kebun di Madinah, tiba-tiba datang seseorang meminta
dibukakan pintu. Maka Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam besabda,
“Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu
membukakan pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Abu Bakar. Saya pun
menyampaikan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Abu Bakar
langsung mengucapkan hamdalah. Tak lama kemudian datang lagi seseorang meminta
dibukakan pintu. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam besabda, “Bukakan pintu
untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu membukakan pintu
untuk orang itu dan orang itu ternyata Umar. Saya pun menyampaikan kabar
gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Umar langsung mengucapkan
hamdalah.” Kemudian datang orang ketiga yang meminta dibukakan pintu. Nabi
Shallallahu Alahi wa Sallam besabda, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar
gembira berupa surga atas musibah yang akan menimpahnya.” Saya lalu membukakan
pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Utsman. Saya pun menyampaikan apa
yang diucapakan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Utsman langsung
mengucapkan hamdalah kemudian mengucap, “Allah-lah tempat memohon pertolongan.”
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah
bersabda, “Siapa yang menggali sumur Rumah akan memperoleh surga.” Maka Utsman
menggalinya.
Beliau juga bersabda, “Siapa yang mempersiapkan
bekal dan kendaraan untuk pasuka yang kesulitan mendapat bekal dan kendaran
akan mendapat surga.”Lalu Utsman mempersiapkannya.
Karena itulah Abu Hurairah mengatakan, “Utsman
membeli surga dari Rasulullah dua kali, yaitu ketika menggali sumur Rumah dan
ketika mempersiapkan perbekalan pasukan yang kesulitan mendapat bekal dan
kendaraan.”
Dala hadits riwayat Sa’id bin Zaid disebutkan
bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sepuluh
orang dijamin masuk surga: Abu Bakar di Surga, Umar disurga, Utsman di surga,
Ali.…” Rasulullah melengkapi menyebutkan sepuluh nama.
7.
Kedudukannya di sisi Nabi
SAW dan para sahabat
Kelebihan dan keutamaan
yang dimiliki Utsman membuatnya menempati posisi terhormat dan memperoleh
simpati yang lebih dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka Rasulullah
menikahkannya dengan putri beliau, yaitu Ruqayyah Radiyallahu ‘Anha.Ketika
Ruqayyah meninggal, Utsman dinikahkan dengan putri beliau yang lain, yaitu Ummu
Kultsum yang meninggal dunia pada tahun kesembilan hijriah.
Utsman juga salah satu penulis wahyu pada masa
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dapat dikatakan bahwa Utsman bertindak
sebagai sekertaris beliau. Jika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam sedang duduk,
maka Abu Bakar duduk di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau, dan
Utsman di hadapan beliau.
Mu’adz bin Jabal meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu Alahi wa Sallam bahwa beliau bersabda, “Saya melihat dalam mimpi
bahwa saya diletakkan di salah satu sisi timbangan dan umatku di sisi satunya,
maka saya menyamai mereka. Lalu Abu Bakar diletakkan di salah satu sisi
timbangan dan umatku di sisi yang lainnya, maka dia menyamai mereka.Selanjutnya
Utsman diletakkan disalah satu sisi timbangan dan umatku di sisi lainnya, maka
dia menyamai mereka.”
Abu Sa’id Al-Khudri mengatakan, “Saya melihat
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berdoa untuk Utsman sejak permulaan
malam hingga terbit fajar. Beliau berdoa, “Ya Allah, tolonglah Utsman, saya
meridhainya maka ridhailah dia!”
Para shahabat yang mulia sangat memahami
kedudukan Utsman Radiyallahu ‘Anhu, maka mereka menempatkannya pada posisi
terhormat sebagaimana Rasulullah menghormatinya.Mereka juga memujinya,
menyiarkan berbagai keutamaannya, mencela orang-orang yang membencinya, dan
memerangi orang-orang yang memusuhinya.
Utsman sangat dekat dengan Abu Bakar dan Umar
pada masa kekhalifahan keduanya.Dia kerap berkunjung ke tempat keduanya bersama
beberapa orang shahabat untuk memberi saran terkait persoalan kaum muslimin dan
urusan kenegaraan.Begitu juga sebaliknya, Abu Bakar dan Umar juga sering
meminta pendapatnya.
Orang-orang masih membicarakan Utsman pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu. Hasan bin Ali bin Abi Thalib
mengatakan, “Sekarang datanglah Amirul mukminin. Maka Ali datang lalu
berkata, “Utsman termasuk salah satu yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang
apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta
mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. Al-Maidah [5]: 93)
Abdullah bin Umar berkata, “Kami pada zaman
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak menyamakan Abu Bakar dengan seorang pun,
kemudian Umar, lalu Utsman. Selanjutnya kami meninggalkan para shahabat Nabi
yang lain, tanpa membanding-bandingkan mereka satu dengan yang lainnya.”
Ketika para pembenci Utsman mengatakan bahwa
kecintaan terhadap Ali dan Utsman tidak mungkin berkumpul dalam satu hati, lalu
ungkapan dusta itu samapi ke telinga pelayan Rasulullah Shallallahu Alahi wa
Sallam, Anas bin Malik, dia menjawab, “Mereka bohong. Demi Allah, kecintaan
kami pada keduanya berkumpul di hati kami.
2.2.3. Ali bin Abi Thalib
Tokoh sahabat mulia ini adalah Ali bin Abu Thalib, sepupu
Rasulullah. Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah dengannya.Ali adalah salah
seorang dari sepuluh sahabat yang mendapatkan kabar gembira berupa jaminan
langsung masuk surga dari Rasulullah.
Sejak kecil beliau dibimbing dan dididik dengan
cahaya wahyu Ilahi di rumah Rasulullah, sehingga tatkala usia beliau belum
mencapai usia sepuluh tahun cahaya Islam masuk di benak jiwanya. Dengan
demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
anak-anak.Beliau tumbuh dan berkembang di bawah naungan etika dan moral
keislaman.
Dengan demikian, ia adalah orang pertama yang menjadi tebusan bagi Rasulullah
dalam Islam, yang rela menyerahkan jiwa dan raganya. Ia adalah sosok amanah
yang bersegera menyerahkan semua titipan Rasulullah kepada para pemiliknya,
barulah ia hijrah ke Madinah.
Ia senantiasa bersama Rasulullah dalam setiap pertempuran dan bahkan selalu
terlihat bahwa ia adalah seorang mujahid tangguh lagi handal. Keberaniannya
sangat legendaris sehingga tercatat dalam tinta emas sejarah Islam.Lidahnya
sangat fasih dan memperlihatkan bahwa ilmunya bagaikan samudera lautan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia selalu menemani sang khalifah.
Tatkala Umar bin Al-Khattab memegang tampuk kekhalifahan, ia adalah orang yang
paling dekat dengannya. Umar selalu meminta nasehat-nasehat darinya dalam
banyak urusan yang dihadapinya.Umar memandangnya sebagai sosok problem solver
(pemecah masalah). Tatkala Umar bin Al-Khattab ditusuk dengan belati beracun,
ia merupakan salah satu dari enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk melakukan
musyawarah dalam memilih khalifah di antara mereka.
Kemudian ditetapkanlah Utsman bin Affan sebagai khalifah. Ali selalu setia berada
di samping Utsman dan membantunya dalam menjalankan roda kekhalifahan. Pada
saat terjadi pengepungan terhadap Utsman, anak-anak Ali adalah orang yang
melakukan pembelaan terhadap penjagaan Utsman bin Affan.
Ali bin Abu Thalib merupakan sahabat mulia yang memiliki berbagai keutamaan
yang Allah anugerahkan kepadanya, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Banyak
riwayat yang shahih menyingkap dan menyibak tentang keutamaannya. Khalifah Ali
bin Abi Thalib terkenal berani dan tegas dalam menjalankan tugas-tugas
kepemimpinannya menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan
menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.
Berbagai penulis tersohor menggoreskan pena emasnya untuk mengungkapkan aspek
keutamaannya. Berbagai penyair ternama merangkaikan butir-butir syairnya
mengungkapkan sisi kelebihannya.Berbagai pendidikan intens memperhatikan
berbagai kelebihannya yang tak pernah henti diperbincangkan.
2.2.4. Keutamaan Ali bin Abu Thalib
1.
Teman
Setia Dakwah Rasulullah
Salah satu sahabat yang senantiasa menyertai
Rasulullah dalam mengibarkan panji-panji Islam dan menegakkan bendera tauhid
adalah Ali bin Abu Thalib. Ia seorang pejuang sakwah sejati, pembela kebenaran,
dan pembasmi kebatilan. Oleh karena itu, ia memiliki kedudukan yang terhormat
dan mulia di sisi Rasulullah.
Ia senantiasa berada di samping Rasulullah untuk menghadapi berbagai rintangan
dan tantangan dalam berdakwah.ia rela mengorbankan jiwa dan hartanya untuk
mendampingi Rasulullah. Siang dan malam siap sedia untuk menunggu panggilan dan
amanat dakwah yang akan diembannya. Sebelum memegang tampuk kepemimpinan, ia
adalah seorang prajurit Islam militant yang siap setiap saat untuk diperintah
oleh panglima perang. Pastas saja, Rasulullah menyebut kedudukan Ali sebagaimana
Nabi Harun di sisi Nabi Musa.
Sa’ad bin Abu Waqqash pernah berkata, “Bahwa Rasulullah tidak menyertakan
Ali bin Abu Thalib pada Perang Tabuk. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau
meninggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak?’Rasulullah bersabda,
‘Apakah kamu tidak ridha terhadap kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun
di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?’.”
2.
Orang
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya
Seseorang tatkala dicintai oleh belahan hatinya
(suami atau istri) sangatlah bahagia dan senang.Seakan-akan tak ada kebahagiaan
yang menandinginya. Bagaimanakah bila ia dicintai oleh Dzat yang menciptakan,
mengatur, dan memberinya rezeki, serta memberikan segala kenikmatan yang tak
terhitung?
Sunguh Ali bin Abu Thalib adalah salah seorang sahabat Nabi yang meraih
kecintaan dari Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, manusia yang terdekat dengan Allah,
Nabi Muhammad sendiri yang telah mengabarkannya.Yang membuat kita kagum, bahwa
beliau mengungkapkannya di hadapan sebaik-baik generasi umat ini, para sahabat
Rasulullah.
Sahl bin Sa’ad berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda pada saat Perang
Khaibar, ‘Sungguh akan kuberikan bendera perang esok hari kepada seseorang yang
Allah akan memenangkan melalui tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan
Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.’ Malam itu para sahabat ramai
memperbincangkan siapa yang yang akan mendapatkan kehormatan untuk mengemban
bendera perang. Tatkala di pagi hari, semua orang pergi menghadap Rasulullah
dengan mengharap akan diberikan bendera perang. Beliau bertanya, ‘Di mana Ali
bin Abu Thalib?’ Dikatakan, ‘Ia sedang sakit di kedua matanya.’ Beliau
bersabda, ‘Utuslah seseorang untuk menjemputnya.’ maka datanglah Ali bin Abu
Thalib. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuknya, maka
sembuhlah ia hingga seakan-akan tidak pernah sakit mata sebelumnya. Lalu beliau
memberikan Ali bendera perang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda, “’Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk
mencintai empat orang dan Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia mencintai
mereka’.Sahabat yang ada di tempat itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebutkanlah
kepada kami nama-nama mereka.’Maka Rasulullah pun bersabda, ‘Ali adalah dari
mereka—beliau bersabda demikian sampai tiga kali—, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad,
dan Salman Al-Farisi.Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai mereka dan
Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka’.” (HR. At-Tirmidzi)
3.
Persaksian
bahwa Ali masuk Surga
Surga
adalah tempat kebahagiaan dan kesenangan abadi.Tak ada kesusahan dan
kesengsaraan sesaat pun di dalam surga.Kehidupan bermandikan kenikmatan dan
penuh keamanan sejati.
Manusia
dari generasi pertama hingga akhir zaman senantiasa berlomba-lomba untuk meraih
surga, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan harta mereka.Mereka rela
kelelahan guna merengkuh kenikmatan surga yang tak dapat dilihat dengan mata,
tak dapat didengar oleh telinga dan tak terbesit sedikit pun dalam sanubari.
Ali bin Abu Thalib adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang diberi kabar
gembira sebagai penghuni surga tempat keabadian sejati.
Rasulullah bersabda, “(Sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga adalah):(1)
Abu Bakar; (2)Umar bin Al-Khattab;(3)Utsman bin Affan; (4)Ali bin Abu Thalib;
(5)Thalhah bin Ubaidullah; (6)Az-Zubair bin Al-Awwam; (7)Abdurrahman bin Auf;
(8)Sa’ad bin Abu Waqqash; (9)Sa’id bin Zaid; (10)Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
4.
Kabar
Gembira Berupa Mati Syahid
Mati syahid adalah mati yang diidam-idamkan
oleh setiap insane yang bertakwa. Sebab, siapa saja yang mati syahid, ia akan
memperoleh keutamaan dan kebaikan yang melimpah.
Ia berhak memberikan syafaat kepada tujuh puluh dua orang keluarganya. Tetesan
darah yang mengucur akan menjadi ampunan baginya. Ia tidak akan diuji di dalam
kuburnya, sebab kilatan pedang di duniaa saat berhadapan dengan musuh cukuplah
sebagai penggantinya. Dan berbagai keutamaan lain yang bisa diraih oleh para syuhada.
Sungguh beruntunglah sahabat yang mulia ini, Ali bin Abu Thalib. Ia salah satu
dari deretan para syuhada yang telah dikabarkan oleh Rasulullah semasa
hidupnya.
Dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah pernah berada di atas bukit Hira’
bersama Abu bajar, Umar ,Utsman, Ali, Thalhah, dan Zubair. Tiba-tiba sebuah
batu besar bergerak, maka Rasulullah bersabda, “Tenanglah, tidak ada yang di
atasmu kecuali seorang Nabi atau shiddiq atau syahid.” (HR. Muslim dan
At-Tirmidzi)
5.
Surga
Sangat Merindukan Ali.
Kata-kata
rindu, sayang, dan cinta amat lekat di telinga manusia, terutama bagi pasangan
suami istri yang baru mengarungi bahtera rumah tangga.Bahkan, kata-kata yang
seperti ini mebuat hati manusia berbunga-bunga.
Seorang suami yang dirindukan oleh istrinya karena
lama tak berjumpa pasti amat berharap dan menunggu-nunggu kapan waktunya
perjumpaan mereka berdua tiba.
Itulah
gambaran kerinduan kehidupan di dunia yang fana, yang kenikmatannya tak
sebanding sedikit pun dengan selaksa kenikmatan surga.
Sekarang, bagaimanakah bahagianya seseorang bila ia dirindukan oleh surga yang
menjadi idamannya, surga yang menjadi tujuan hidupnya, dan surga yang menjadi
persinggahan terakhirnya.
Tentunya, kebahagiaan dan kegembiraan yang tak dapat terlukiskan dan
tergambarkan dengan apapun juga.
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
surga sangat merindukan tiga orang, yaitu: Ali, Ammar, dan Salman” (HR.
At-tirmidzi dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani)
6. Ali adalah
Salah Seorang Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar
Perang Badar adalah perang pertama bagi kaum
Muslimin dalam menghadapi musuh dakwah mereka.Perang untuk menguji keteguhan
dan keimanan para sahabat Nabi Muhammad dalam aspek akidah dan loyalitas kepada
Islam.
Barisan pasukan kaum musyrikin berjumlah tiga kali lebih besar dari kaum
Muslimin.Persenjataan mereka begitu lengkap dan menakjubkan.Situasi ini sangat
mencekam dan begitu mengerikan.
Saking dahsyat dan kuatnya peperangan ini, maka Allah pun memberikan banyak
keutamaan bagi para mujahid kaum Muslimin yang ikut serta dan berlaga dalam
medan tempur ini.
Rasulullah telah bersabda kepada Umar bin Al-Khattab, “Tahukan kamu?
Sesungguhnya Allah telah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh para peserta
Perang Badar. Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Lakukanlah sesuka kalian.
Sesungguhnya aku telah mengampuni kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7.
Kelembutan
Rasulullah kepada Ali dan Pemberian Julukan untuknya
Kepribadian Rasulullah sangat luar biasa.Akhlak
karimah, moralitas penuh etika dan perilaku berbudi yang luhur tercermin dalam
kehidupannya. Beliau merefleksikan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Di antara
akhlak karimah beliau yang menonjol adalah sifat lemah lembut.
Sifat lemah lembut beliau tercurahkan kepada seluruh Insan, terlebih kepada
menantu beliau, Ali bin Abu Thalib. Marilah kita perhatikan sebuah kisah yang
menunjukkan hal tersebut.
Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, ia berkata, “Ali menemui Fatimah kemudian
keluar, lalu berbaring di masjid. Rasulullah bertanya, ‘Di manakah putra
pamanmu itu?’Fatimah menjawab, ‘Di masjid.’Maka Rasulullah keluar untuk
menemuinya dan mendapati selendangnya jatuh dari punggungnya sehingga tanah
mengotori punggungnya.Rasulullah menghapus tanah tersebut dari punggungnya
seraya bersabda, ‘Duduklah, wahai Abu Turab.’Beliau mengucapkannya tiga kali.”
8.
Ali
adalah Seorang Sahabat yang Ikut Serta dalam Baiat Ar-Ridwan
Saat kaum Muslimin berada di Hudaibiyah, lalu ketika
mereka hendak menunaikan ibadah umrah di Mekkah, mereka bertemu dengan utusan
Abu Sufyan.Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada kaum Muslimin berupa
larangan bagi mereka untuk menunaikan Umrah di Mekkah.
Mendengar
berita tersebut, maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk melakukan
perundingan dengan kaum musyrikin di Mekkah bahwa mereka hanya akan menunaikan
ibadah umrah, bukan untuk berperang. Maka, terjadilah perundingan yang hangat
dan seru di antara mereka. Lalu tersiarlah kabar bahwa Utsman bin Affan telah
terbunuh oleh mereka.
Saat Rasulullah mendengar berita tersebut, maka beliau mengajak kaum Muslimin
untuk berbaiat (berjanji setia) di bawah pohon untuk menuntut balas darah atas
Utsman bin Affan dengan perbekalan dan persenjataan seadanya. Kaum Muslimin pun
sepakat akan hal demikian. Dengan peristiwa ini, Allah meridhai mereka.Oleh
karena itu, baiat tersebut dinamakan Baiat Ar-Ridwan.
Allah telah berfirman kepada para peserta baiat Ridwan, dan Ali termasuk di
dalamnya:
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ
فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).
QS:Al-Fat-h | Ayat: 18
QS:Al-Fat-h | Ayat: 18
Rasulullah pun memberikan kabar gembira bagi para sahabat yang ikut serta dalam
Baiat Ridwan bahwa mereka tidak akan tersentuh api neraka sedikit pun.
Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk neraka bagi orang-orang yang ikut
serta dalam baiat di bawah sebuah pohon.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
9.
Barangsiapa
yang Menjadikan Rasulullah sebagai Walinya, Berarti Ia telah Menjadikan
Ali sebagai Walinya.
Di antara keutamaannya, khutbah Rasulullah pada hari ke
delapan belas di bulan Dzulhijjah pada saat haji wada’ di tempat yang bernama
Ghadir Khum, dalam khutbahnya beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan
aku sebagai walinya, maka sesungguhnya ia telah menjadikan Ali sebagai walinya.”
(HR. At-Tirmidzi)
Rasulullah juga bersabda, “Ya Allah, belalah
siapa saja yang membelanya (Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya,
tolonglah siapa siapa yang menolongnya, dan hinakanlah siapa saja yang
menghinakannya.” (HR.
Ahmad)
10. Keterangan
Abdullah bin Umar tentang Keutamaan Ali bin Abu Thalib
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubaidah, ia
berkata, “Seorang lelaki datang menemui Abdullah bin Umar dan bertanya
kepadanya tentang Utsman. Maka, Ibnu Umar menyebutkan tentang kebaikan-kebaikan
Utsman.Beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukainya?’‘Benar!’ sahutnya.
Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah menghinakanmu!’
Kemudian ia bertanya tentang Ali. Ibnu Umar menyebutkan tentang
kebaikan-kebaikannya.Beliau berkata, ‘Begitulah keutamaannya, rumahnya berada
di tengah-tengah rumah Rasulullah.’Kemudian beliau berkata, ‘Barangkali kamu
tidak menyukainya.’‘Benar!’ sahutnya kembali.
Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah menghinakanmu dan menjauhkanmu
dariku dengan sejauh-jauhnya’.”
Begitulah keutamaan yang dimiliki oleh sahabat yang mulia,
Ali bin Abu Thalib.
Lalu, bagaimanakah proses pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah?
Pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah tidak seperti pengangkatan khalifah
yang lain. Jika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pada saat peristiwa di
Saqifah bani Sa’idah, Umar diangkat menjadi khalifah atas wasiat dari Abu
Bakar, dan Utsman diangkat dengan hasil musyawarah seperti yang diperintahkan
oleh Umar, maka pengangkatan Ali sebagai khalifah adalah berbeda.Inilah
fleksibelitas syariat Islam dan bukan sebaliknya bahwa Islam tidak memiliki
ajaran politik sebagaimana yang disampaikan oleh orang-orang sekuler.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, kaum Muslimin memilih Ali bin Abu Thalib
untuk menjadi pemimpin mereka dengan suara mayoritas. Para sahabat mendesaknya
agar ia menyelesaikan kemelut yang menimpa mereka. Kondisi saat itu telah
mengalami kekacauan dan para pemberontak telah menguasai kondisi lapangan.
Akhirnya beliau menerima tampuk kekhalifahan walaupun tidak pernah bernafsu
untuk memegangnya.Pembaiatan terhadap Ali terjadi pada hari jumat 13 Dzulhijjah
tahun 35 H.
Memperbincangkan dan membicarakan sosok sahabat mulia ini dari berbagai aspek
positifnya tak akan ada habisnya.
Pesona kebaikannya yang melimpah ada pada dirinya hingga goresan tinta emas tak
ada hentinya mengungkapkan sisi kepribadiannya.
Jiwa dan hatinya begitu bersih akibat dipenuhi gizi keimanan.Memang pantas,
jika terlahir darinya kepribadian yang mengagumkan lagi menyenangkan yang layak
dijadikan teladan bagi kaum Muslimin.
2.2.5. Sosok Kepribadian Ali bin Abi Thalib yang Patut bagi Kita untuk Menirunya
1.
Kepahlawanannya di Medan Jihad.
Sejak muda, Ali bin Abu Thalib adalah seorang yang
merindukan mati syahid, laksana
seseorang yang haus merindukan air yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya
telah ia penuhi dengan semangat jihad. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang
tangguh dan seorang mujahid yang militan.
Sebelum Perang Badar berlangsung, dari barisan kaum musyrikin tampil tiga orang
prajurit pilihan. Mereka adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan
Walid bin Utbah. Mereka berseru, “Siapakah yang sanggup melakukan perang
tanding melawan kami?”Maka, majulah beberapa pemuda dari kaum Anshar. Pada
saat itu juga, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Kami tidak menginginkan kalian!
Yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku kami!” Maka Rasulullah
bersabda, “Bangunlah, wahai Hamzah bin Abdul Muthalib. Bangunlah, wahai Ali
bin Abu Thalib. Dan bangunlah, wahai Ubaidah bin Harits!”
Maka, majulah Hamzah bin Abdul Muthalib menghadapi Utbah bin Rabi’ah, Ali bin
Abu Thalib menghadapi Syaibah bin Utbah, dan Ubaidah bin Harits melawan Walid
bin Utbah, yang masing-masing (antara Ubaidah dan Walid) melukainya lawannya.
Kemudian, Hamzah dan Ali segera menghabisi Walid, lalu membawa Ubaidah ke dalam
barisan kaum Muslimin. Tak lama setelah itu, Ubaidah bin Harits menghembuskan
nafas terakhirnya dan mati syahid.
Kepahlawanan Ali terulang kembali dalam perang Khandaq.Salah seorang pendekar
Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah barisan Quraisy, seraya
berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah yang sangguo melawanku?!”Maka,
Ali pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai
Rasulullah.”Lalu beliau bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.”Kemudian
Amru berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang sanggup
menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di antara
kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada
seorang lelaki di antara kalian yang tampil?”Ali berkata, “Saya, wahai
Rasulullah!”Beliau bersabda, “Duduklah.” Kemudian Amru mengulangi
kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesombongan.
Maka Ali berkata, “Meskipun Amru sekalipun!”Akhirnya Rasulullah pun
mengizinkannya.
2.
Kezuhudannya.
Ali bin Abu Thalib tak sedikit pun terpesona
dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia benar-benar mengatahui hakikat kehidupan
yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia mampu mengendalikan perhiasan dunia yang
begitu menggoda.
Itulah cahaya kezuhudan yang tertanam dalam jiwanya.Kezuhudan akibat buah
tarbiyah dari madrasah nabawi.
Dhirar bin Dhamrah Al-Kinani pernah menyifati Ali sebagai berikut:
“Beliau adalah orang yang jauh pandangannya, kuat fisiknya, kata-katanya
tegas dan jelas, menghukum dengan adil, tidak tertarik dengan dunia dan
perhiasannya, akrab dengan malam dan kesunyiannya, air matanya deras mengalir,
banyak berpikir, sering menghisab dirinya, seorang dengan pakaian yang kasar
dan makan yang sederhana, orang yang kuat untuk tidak berhasrat akan melakukan
kebatilan, aku bersaksi sungguh aku pernah melihatnya dalam kesendiriannya. Ia
berdiri di mihrabnya seraya menggenggam janggutnya, tubuhnya bergoyang bukan
karena sakit, atau menangis sedih, aku mendengar suaranya lirih, ‘Wahai dunia,
wahai dunia, apakah kepadaku engkau hendak menggoda? Apakah kepada engkau
merindu?
Oh… jauh nian, jauh nian… godalah orang selain diriku, sungguh aku telah
menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak akan pernah rujuk kembali! Usiamu
sangat singkat, kehidupanmu sungguh hina, bahayamu sangat besar. Oh… alangkah
sedikit bekalku, alangkah jauh perjalananku dan alangkah sepinya titian
jalan…’.”
Ketika memangku jabatan khalifah, ia diminta untuk tinggal di istana Negara
sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung yang tinggi, sangat indah, megah dan
mempesona. Ketika melihatnya, secara spontan ia berpaling ke belakang seraya
berkata, “Istana berengsek ini!!! Aku tidak sudi tinggal di dalamnya untuk
selama-lamanya!”
Begitulah, beliau menolak untuk tinggal di istana.Beliau tetap tingga di
rumahnya yang sangat sederhana sampai berpisah dengan dunia.
Kekhalifahan tidak lah menambah kemuliaannya, justru beliau yang memperindah
kekhalifahan dengan keadilan, zuhud, dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah
menghiasi Ali, justru beliaulah yang menghiasiasi kekhalifahan tersebut.”
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Manusia yang paling zuhud dengan dunia
adalah Ali bin Abu Thalib.”
Amru bin Qais menyatakan bahwa sesungguhnya Ali bin Abu Thalib pernah terlihat
mengenakan sarung yang bertambal. Kemudian beliau ditegur karena pakaiannya
itu, maka ia menjawab, “Agar orang Mukmin mencontohnya, dan agar hatiku
menjadi khusyu karenanya.” (HR. Ahmad)
3.
Sifatnya
yang Rendah Hati.
Ali bin Abu Thalib adalah orang yang sangat
rendah hati. Ia pernah berpakaian yang robek dan kasar, padahal ketika itu ia
adalah Amirul Mukminin.
Ia mengenakan pakaian yang robek bukan karena tidak mampu membelinya yang
bagus, akan tetapi ia memaksakan diri untuk mendidik jiwanya, dan merefleksikan
hatinya agar lebih dekat dan khusyu kepada Allah. Karena semakin jauh dari
dunia, maka ia akan semakin dekat dan bergantung kepada Allah, sehingga
membantunya untuk banyak beramal dan bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula,
sederhana dalam berpakaian juga akan lebih bisa dijadikan sebagai teladan oleh
pengikutnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abu Thalib pernah membeli kurma dengan harga
satu dirham, maka ia menjinjingnya sendiri. Kemudian banyak orang yang
menawarkan diri untuk membantunya.Maka, Ali berkata, “Tidak!Seorang kepala
keluarga lebih berhak untuk membawanya sendiri.” (HR. Ahmad)
Allahu Akbar, betapa tinggin sifatnya. Betapa jelas sikap kelembutan pada
rakyatnya. Ialah Amirul Mukminin yang menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan
di pasar bersama rakyatnya, tidak ridha atas bantuan orang yang menawarkan
bantuannya, sebab ia merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan tersebut.
Sifat rendah hatinya ini didasari oleh keyakinannya pada urgensi dari akhlak
tersebut.Ia yakin bahwa sikap rendah hati akan mempengaruhi masyarakat sekitar
sehingga mereka pun merasa senang dan bahagia hidup bersama. Bahkan, inilah
satu sikap yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad.
Allah berfirman:
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
4.
Keadilannya.
Adapun akhlak beliau bersama keluarganya, dan keadilannya
bersamaa para istrinya nampak jelas sekali.Ali bin Rabi’ah telah meriwayatkan
bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki dua orang istri. Ketika ia membelikan salah satu istrinya berupa
daging seharga setengah dirham, maka keesokan harinya ia pun membelikan
istrinya yang satunya berupa daging seharga setengah dirham pula.
Kemudian Ashim bin Kulaib pernah meriwayatkan tentang keadilannya tentang
anak-anaknya. Ia berkata, “Pada suatu hari, Ali bin Abu Thalib datang dari
Ashbahan membawa harta, maka ia membagi harta itu menjadi tujuh bagian.
Kemudian ia pun membagi rotinya menjadi tujuh bagian sebagaimana ia membagi
hartanya. Kemudian mengundi ketujuh anaknya tersebut, siapa pun nama mereka
yang keluar, maka akan mendapatkan bagian untuk pertama kali.”
5.
Kebijakannya.
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abu Thalib
memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebenaran. Setelah
dipilih menjadi khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil
perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, di antaranya:
a.
Memecat
beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman bin Affan yang berasal dari
Bani Umayah. Sebab, menurut ijtihad Ali bin Abu Thalib mereka adalah penyebab
terjadinya fitnah dan kerusuhan.
b.
Mengembalikan
tanah-tanah dan hibah dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.
6.
Sikapnya
kepada Musuh.
Akhlak Ali bin Abu Thalib sangat luas, sampai-sampai
mencakup pada orang-orang yang sangat memusuhinya, bahkan yang sangat
membahayakannya sekalipun, yaitu Abdurrahman bin Muljam yang telah
menikamnya. Amirul mukminin
telah memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan
makanan dan minuman yang baik serta tidak memotong mayatnya jika dihukum mati.
Ia mengatakan kepada mereka tentang Abdurrahman bin Muljam. “Sesungguhnya ia
adalah tawanan, maka baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku
hidup, maka aku akan membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka
bunuhlah ia dan janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yeng melampaui batas.” (HR. Ahmad)
Begitulah sifat-sifatnya yang mengagumkan yang patut kita teladani.
Ali adalah seorang sahabat yang dikaruniai oleh Allah berupa ilmu yang luas dan
pendalaman yang mendalam. Abu Sa’id Al-Khudri berkata bahwa ia pernah mendengar
Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Ali tentang sesuatu hal. Setelah dijawab
oleh Ali, maka Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hidup di
tengah-tengah suatu kaum yang engkau tidak berada di situ, wahai Abu Hasan
(Ali).”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami berdiskusi bahwa orang yang paling
mengerti tentang peradilan di antara penduduk madinah adalah Ali bin Abu
Thalib.”
Abu Al-Aswad Ad-Du’ali pernah memuji Ali dengan beberapa bait syairnya:
Menegakkan keadilan tanpa ragu-ragu, bersikap adil baik terhadap musuh
maupun kerabat…
Sebuah jiwa yang tak pernah mencicipi dunia, tidak juga lezatnya makanan…
Makanannya adalah agama sejak kecil, lalu tumbuh di atas ketakwaan, baik semasa
penyusuan maupun setelah penyapihan…
Agama tersebut telah mengasuhnya di atas sifat pemurah dan ringan tangan, serta
membangun baginya pilar keagungan…
Jiwa semerbak dan membumbung tinggi dari tujuan mencari dunia, yang mana
kecintaan terhadapnya (dunia) telah membuat letih dan memperbudak satu kaum…
Ia berpaling darinya (dunia) meskipun dalam penderitaan, muak terhadap para
pemburunya, baik biji emas maupun kepingannya!“
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati Ali.Sesungguhnya Ali
adalah panah Allah yang dibidikkan kepada musuh-musuh-Nya.Ia berada di sumber
ilmu yang termulia dan terdekat dengan Rasulullah. Ia adalah ahli ibadah umat
ini. Ia bukanlah orang yang gemar mencuri harta Allah, dan bukan orang yang
suka tidur dalam (menegakkan) perintah Allah. Ia telah diberi Al-Qur’an,
perintah-perintahnya, amal dan ilmunya, maka ia berada pada kebun-kebun yang
indah dan rambu-rambu yang jelas dari Al-Qur’an. Dialah Ali bin Abu thalib.”
Setelah lima tahun memegang tampuk kekhalifahan, beliau dibunuh oleh seorang
Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat sedang melaksanakan
shalat subuh. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.
Ekspedisi pembunuhan Ali bin Abu Thalib yang dilakukan oleh Abdurrahman dibantu
oleh dua temannya yang rela menyertai dan melindunginya. Mereka adalah Wardan,
dari Bani Tamim dan Syabib bin Bajrah Al-Asyja’i Al-Haruri.
Abdurrahman berkata kepada Syabib, “Maukan engkau memperoleh kemuliaan dunia
dan akhirat?”
“Apa itu?” tanyanya.
“Membunuh Ali!” jawab Abdurrahman.
Ia berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah mengatakan perkara yang besar!
Bagaimana mungkin engkau akan membunuhnya?”
Abdurrahman berkata, “Aku mengintai di masjid, apabila ia keluar untuk
mengerjakan shalat Shubuh, kita kepung dan bunuh dia. Bila berhasil, maka kita
merasa puas dan kita telah membalas dendam.Dan bila kita terbunuh, maka apa
yang ada di sisi Allah lebih baik daripada dunia.”
Ia berkata, “Celakalah engkau! Kalaulah bukan Ali tentu aku tidak keberatan
untuk melakukannya.Engkau tentu mengetahui senioritasnya dalam Islam dan
kekerabatannya dengan Rasulullah.Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.”
Abdurrahman berkata, “Bukankan ia telah membunuh teman-teman kita di
Nahrawan?”
“Benar.”Jawabnya.
“Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita yang telah
dibunuhnya.” Kata Abdurrahman.
Beberapa saat kemudian, Syabib menyambutnya.
Masuklah bulan Ramadhan.Abdurrahman membuat kesepakatan dengan teman-temannya pada
malam Jumat 17 Ramadhan.Abdurrahman berkata, “Malam itulah aku membuat
kesepakatan dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing.”Lalu
mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni Abdurrahman, Wardan, dan Syabib,
dengan menghunuskan pedangnya masing-masing.Mereka duduk di hadapan pintu yang
mana Ali biasa keluar darinya. Ketika Ali keluar, ia membangunkan orang-orang
untuk shalat sembari berkata, “Shalat… shalat!” dengan cepat Syabib
menyerang dengan pedangnya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau. Kemudian
Abdurrahman menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau.Darah Ali pun membasahi
janggutnya. Ketika Abdurrahman menebasnya, ia berkata, “Tidak ada hukum
kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, wahai Ali!”,
ia membaca firman Allah:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ
بِالْعِبَادِ
Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
Ali pun berteriak, “Tangkap mereka!”
Adapun Wardan yang melarikan diri, namun berhasil dikejar oleh seorang lelaki
dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun Syabib, berhasil menyelamatkan diri
dan selamat dari kejaran mereka. Sementara Abdurrahman berhasil ditangkap.
Ali menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abu Wahab untuk mengimami shalat Fajar.Ali
pun diangkat ke rumahnya.Lalu digiring pula Abdurrahman kepadanya dan di bawa
ke hadapannya dalam keadaan dibelenggu tangannya ke belakang pundak.Semoga
Allah memburukkan rupanya.Ali berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu untuk
melakukan ini?”Abdurrahman menjawab, “Aku telah mengasah pedang ini
selama 40 hari.Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh makhluk-Nya yang
paling buruk dengan pedang ini!”
Ali berkata kepadanya, “Munurutku, engkau harus terbunuh dengan pedang
itu.Dan menurutku engkau adalah orang yang paling buruk.”
Kemudian Ali berkata, “Jika aku mati, maka bunuhlah orang ini.Dan jika aku
selamat, maka aku lebih tahu bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!”
Akhirnya Ali pun wafat. Setelah beliau wafat, kedua putranya, yakni Hasan dan
Husein memandikan jenazahnya yang dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian
jenazahnya dishalatkan oleh putra tertua beliau, yakni Hasan.Hasan bertakbir
sebanyak 9 kali.
Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah di Kufah, karena kekhawatiran pada
kaum Khawarij yang akan membongkar makamnya. Itulah yang mahsyur. Adapun yang
mengatakan bahwa jenazahnya diletakkan di atas kendaraannya kemudian dibawa
entah ke mana perginya, maka sungguh ia telah keliru dan mengada-ngada sesuatu
yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan syariat tentu tidak membenarkan hal
semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam
beliau terletak di suatu tempat di Najaf, maka tidak ada dalil dan dasarnya
sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam yang terletak di sana adalah makam
Al-Mughirah bin Syu’bah.
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Al-Hafidz Abu Nu’aim dari Abu Bakar
Ath-Thalahi dari Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami Al-Hafidz Muthayyin, bahwa
ia berkata, “Sekiranya orang-orang Syi’ah mengetahui makam siapakah yang
mereka agung-agungkan di Najaf, niscaya mereka akan melemparinya dengan batu.
Sebenarnya itu adalah makam Al-Mughirah.”
BAB III
PENUTUP
Utsman bin
Affan yang menjadi
teladan para sufi dalam banyak hal. Utsman adalah seorang yang zuhud, tawaduk
(merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak
membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji.
Kemuliaan akhlak Utsman Sifat
yang paling menonjol pada diri Utsman adalah sifat malu.Sifat ini sangat
mengakar pada kepribadiannya.Kedermawanan
Utsman Terkait dengan kedermawanan dan kemurahan hati
Utsman, sungguh tidak ada tandingannya.Dia telah menyumbangkan hartanya di
jalan Allah di banyak kesempatan.Kasih sayang Utsman meliputi dirinya yang
penyayang seperti air yang menyirami dahan pohon yang menghijau oleh
dedaunan.Utsman termasuk salah satu ahli ibadah.Dia gemar berpuasa di siang
hari, bertahajjud di malam hari, dan banyak membaca mushaf Al-Qur’an.Kondisi
itu terus bertahan sepanjang hidupnya yang lebih dari delpan puluh tahun.Utsman
bin Affan Radiyallahu ‘Anhu termasuk salah satu ulama di kalangan shahabat dan
termasuk ke dalam kelompok kecil yang kerap memberi fatwa pada masa Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam.
Ali bin Abu
Thalib sepupu
Rasulullah. Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah dengannya.Ali adalah salah
seorang dari sepuluh sahabat yang mendapatkan kabar gembira berupa jaminan
langsung masuk surga dari Rasulullah.
Salah satu sahabat yang senantiasa menyertai
Rasulullah dalam mengibarkan panji-panji Islam dan menegakkan bendera tauhid
adalah Ali bin Abu Thalib. Ia seorang pejuang sakwah sejati, pembela kebenaran,
dan pembasmi kebatilan. Oleh karena itu, ia memiliki kedudukan yang terhormat
dan mulia di sisi Rasulullah.
Daftar Pustaka
http://pendalaman-tokoh.blogspot.co.id/2014/02/ali-bin-abu-thalib-berbudi-sejak-muda.html
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PT Pustaka Al Husna
Baru. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar