Rabu, 04 Januari 2017

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA




Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Ushul Fiqih yang membahas mengenai Pengertian ,Objek, Tujuan, Ruang Lingkup, Perbedaannya dan Perkembangan Ushul Fiqih .Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala­­-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1.                  Bapak dosen mata kuliah USHUL FIQIH yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2.                  Orang tua, teman dan kerabat  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah  yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidangUshul Fiqih.

Banjarmasin, 20 Februari 2015
Kelompok I


Daftar Isi


A.    Latar Belakang
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari  hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir. Dari definisi di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga: Sumber hukum dengan semua seluk beluknya. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW. sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.






1.      Apa pengertian dari Ushul Fiqih ?
2.      Apa saja Objek yang dipelajari dalam Ushul fiqih ?
3.      Apa Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih ?
4.      Apa saja Ruang lingkup Ushul Fiqih ?
5.      Apa perbedaannya antara fiqih dengan Ushul fiqih ?


1.      Untuk mengetahui pengertian Ushul Fiqih.
2.      Untuk mengetahui Objek yang dipelajari  dalam Ushul Fiqih.
3.      Mengetahui tujuan Mempelajari Ushul Fiqih.
4.      Mengetahui Ruang lingkup ushul Fiqih.
5.      Mngetahui dan dapat Membedakan antara fiqih dan Ushul Fiqih.












Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu ushul dan fiqih. Dalam bahasa arab kata ushul merupakan jama’ dari Ashal yang artinya fondasi sesuatu.Sedangkan fiqih berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan pergerakan potensi akal atau ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam .
 Secara termonologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1.      Dalil (landasan hukum) seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: “ Ashl dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul.” Maksudnya. Yang menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat Al-qur’an dan Sunnah.
2.   Qaidah (dasar fondasi) seperti sabda Rasul saw.
Artinya :
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.   Rajah (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya setiap perkataan yang didengar/dibaca yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
4.   Far’un (cabang) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih:
Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah.”
5.   Kaidah lainnya :
Artinya :
“Larangan itu mengandung keharaman.”

Definisi ushul fiqih :
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqih”. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir.

Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1.      Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2.      Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3.      Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
1.   Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2.   Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.

3.   Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
4.   Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik yang bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.
5.   Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)


            Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.
            Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
            Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
            Kedua,  bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh,tetapi  mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik  usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqh.

D.    Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
1.      Ruang Lingkup Ushul Fiqih
               Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih adalah sebagai berikut:
1.            Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati  (seperti kehujjahan  AL-Quran dan Sunah), maupun yang diperselisihksn (seperti  kehujjahan istihsan dan maslahah al-mursalah).
2.            Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan salah satu dari dalil yang bertentangan), nash  atau tasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
3.            Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahit), baik syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.            Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab  syarat, mani,’, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum  (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum  ‘alaih, ketetapan hokum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5.                Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadis).
        Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu seperti amar,,nahi,  ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.
        Hukum kulli  ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam, seperti  wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan  hukum kulli karena kedalamnya dapat dimasukkan berbagai  perbuatan  yang wajib,umpamanya,wajib memenuhi  janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah hukum  kulli yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti  haram berbuat zina, haram menuduh berbuat  zina,haram mencuri, haram membunuh,  dan sebagainya.
        Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i  ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha  tidak membahas dalil dan hukum  kulli, namun yang  mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i .

2.      Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
Dari ta’rif fiqih dan ushul fiqih diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh itu adalah mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syari’at agama islam, sedangkan ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan manusia yang di kehendaki oleh fiqih.
Ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang di beri status hukum. Walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya merujuk kepada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan suatu hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
Ilmu fiqih adalah merupakan prodok dari ushul fiqih.Ilmu fiqih berkembang karena berkembangnya ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih akan bertambah maju manakala ilmu ushul fiqih mengalami kemajuan, karena ilmu ushul fiqih adalah semacam ilmu alat yang menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil terperinci.[1]
Ilmu ushul fiqih adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah, sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.Untuk memudahkan pemahaman masalah ini, kami kemukakan seperti contoh tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 78 sebagai berikut:

أقم  الصلاة  لدلوك  الشمش  إلى  غسق  اليل  وقرآن  الفجر  إن  قرآن  الفجر  مشهودا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]
            Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
صلوا  كما  رأيتموني  أصلي                                                
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.( H.R. Muttafaqun alaihi )[3]

   Dari firman Allah dan hadits Nabi diatas belum dapat diketahui, apakah hukumnya mengerjakan shalat itu, wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini ushul fiqih memberikan dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya dari hukumnya yang asli itu. Hal ini dapat dilihat dari kalimat perintah atau amar mengenai mengerjakan shalat bagi penganut agama islam.
الأصل  فى  الأمر  للوجوب                                               
“Pokok dalam perintah ( amar ) menunjukkan ( yaitu wajib perbuatan yang diperintahkan )
            Berdasarkan kaidah Ushul Fiqih di atas jelaslah bahwa hokum shalat lima waktu adalah wajib.
E.     Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
            Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.
            Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rassulullah SAW. :
Artinya :“Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)”. (H.R. Muslim dari RAfi’ ibn Khudaij)
Hasil ijtihad Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
            Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW. Ketika itu bersabda :
Artinya :“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ?” ‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian bersabda, “Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
            RAsulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
            Cara-cara RAsulullah SAW. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW.Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat, diantaranya ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Ali ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, ‘Umar ibn al-Khaththab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nasshs secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan Islam disuatu daerah, ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintahan Islam.Sikap ini diambil ‘Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian didaerah itu diambil pemerintah Islam, maka rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘Umar ibn al-Khaththab dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan (mashlahah).
            ‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf  (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
            Selain bertebarnya para sahabat diberbagai daerah yang saling berbeda budaya, dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainnya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.
            Di zaman tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks.Para tabi’in melakukan ijtihad diberbagai daerah Islam.Di Madinah muncul berbagai fatwa berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana dikemukakan Sa’id ibn al-Musayyab.Di Irak muncul ‘Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i.Di Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti Hasan al-Bashri.
Titik tolak para Ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari sudut mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka berusaha mencari berbagai ‘illat-nya; sehingga dengan ‘illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya.Sikap ulama Irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah SAW., tetapi sikap itu mereka ambil karena sangat sedikit Sunnah Rasulullah SAW.Yang bisa mereka temukan.Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan Hadits-hadits Rasulullah SAW., karena mereka dengan mudah dapat melacak Sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh.Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-‘Iraq, Madrasah al-Kufah, dan Madrasah al-Madinah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode yang dugunakannya dalam menggali hukum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-‘Iraq dan Madrasah al-Kufah lebih dikenal dengan sebutan Madrasah al-Ra’yi, sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.
Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab yang empat, yaitu :
1.      Nu’man ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M),
2.      Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M),
3.      Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M),
4.      Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M).
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistinbathkan hukum sebagai berikut :al-Qur’an; Sunnah; fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat; fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyas dan istihsan. Imam Malik, disamping berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahl al-madinah). Akan tetapi Imam Malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah, apabila terjadi pertentangan Sunnah dimaksud dengan al-Qur’an.
Selanjutnya Imam al-Syafi’i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat petama sekali membukukaan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya.Kitab ushul fiqh yang disusun Imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah.Kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi’in, dan Imam-imam mujtahid sebelumnya.Imam al-Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-ra’yi di Irak.Dari kedua aliran ini Imam al-Syafi’i berusaha untuk mengompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta menyusun teori-teori ushul fiqhnya.Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam al-Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, stelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.
Kandungan kitab al-Risalah ini pada masa sesudah Imam al-Syafi’i mejadi bahan pembasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk men-syarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan Imam al-Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam al-Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-Syafi’i; dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam al-Syafi’i. Misalnya ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh Imam al-Syafi’i, tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘urf  dalam mengistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu menambahkan ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk Madinah), karena status ijma’ ahl al-madinah, menurut mereka, merupakan Sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai ke zaman mereka.Ijma’ ahl al-madinah tersebut tidak diterima Imam al-Syafi’i sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Islam.Di samping itu, ulama ushul fiqh Malikiyyah juga menambahkan metode istihsan, mashlahah mursalah (yang keduanya ditolak Imam al-Syafi’i) dan metode sad al-zari’ah.
Para Imam Mazhab dari ke empat Mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, yaitu al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.Tetapi masing-masing Mazhab menambahkan metode istinbath hukum lainnya, seperti yang dikemukakan di atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain Hamid Hasan, dari berbagai metoode yang dikemukakan para Imam Mazhab di atas, ulama ushul fiqh Syafi’iyyah (para pengikut Imam al-Syafi’i) ternyata menerima metode ‘urf, mashlahah mursalah, dan sadd al-zari’ah.Akan tetapi, mereka menolak metode istihsan dan ijma’ ahl al-madinah, karena dipandang tidak dapat dijadikan salah satu metode dalam mengistibathkan hukum Islam.
Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan Imam Mazhab yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ishul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat Imam Mazhab tersebut ushul fiqh menemukan bentuknya yang “sempurna”, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing.




Ushul fiqih mempunyai pengertian al-ushul berarti dalil-dalil fiqih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.Al-Fiqih berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengarahan potensi akal.
Objek Kajian Ushul Fiqih menurut Al-Ghazali membahas tentang hukum syara’, tentang sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahasan tentang ijtihad.
Ruang lingkup ushul fiqih secara global adalah sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.
Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan dan ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafi’i.
Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.


Demikian makalah yang dapat kami sajikan.Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat  bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn...






Perbedaan dalam usul fiqh dan pengaruhnya terhadap perbedaan dalam furu’ fiqhiyyah
A. Pendahuluan
Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah mencapai sebuah kejayaan dalam peradaban dan keilmuan. Ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan yang sangat dahsyat pada masa-masa tersebut. Salah satu keilmuan yang mencapai puncaknya adalah hukum Islam (fiqh). Munculnya berbagai madzhab dalam bidang fikih menjadi sebuah fenomena yang menunjukkan begitu terbukanya keilmuan Islam pada saat itu sehingga setiap pakar hukum Islam (fuqaha’) memiliki kemampuan dan hak untuk berbeda dengan pakar yang lain, sekalipun guru mereka sendiri. Imam asy-Syafi’i yang merupakan salah satu murid terbaik Imam Malik pun berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, dan pada akhirnya pendapat keduanya mewakili dua madzhab yang berbeda. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu murid terbaik dari Imam Syafi’i, dan ia berbeda pendapat dengan gurunya. Pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal pun akhirnya menjadi sebuah madzhab yang mandiri.
Yang perlu dicermati dari fakta di atas adalah bahwa tidak ada yang merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain adalah salah. Bahkan salah satu ungkapan asy-Syafi’i yang sangat masyhur adalah;”Pendapatku benar dan memungkinkan salah, sedangkan pendapat orang lain salah dan memungkinkan benar”.
Hanya saja perbedaan ini pada masa-masa selanjutnya memunculkan perpecahan di antara umat Islam yang sebagian di antaranya masih berlanjut sampai saat ini. Perpecahan yang pada mulanya berawal dari perbedaan dalam bidang fikih bahkan berkembang menjadi perpecahan sosial. Salah satu penyebab terjadinya perpecahan yang berawal dari perbedaan pendapat tadi karena masing-masing pengikut madzhab merasa bahwa pendapat madzhabnya adalah yang paling benar. Dan ini terjadi karena para pengikut madzhab tidak lagi mengikuti metode para imamnya yang mengambil pendapat hukum dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi memilih untuk mengambil pendapat hukum dari kitab-kitab fikih dalam madzhabnya sendiri dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak dapat berubah lagi. Masa inilah yang dikenal dengan masa taklid dan jumud (stagnan). Dan ini berlanjut sampai awal abad dua puluh dengan munculnya para pembaharu pemikiran Islam yang menyerukan ummat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan meninggalkan sikap bermadzhab.
Akan tetapi, di samping ajakan untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak bermadzhab ini mendapat sambutan dari ummat Islam, sikap bermadzhab yang sudah terbentuk selama berabad-abad pun masih tetap ada dan berkembang. Pada akhirnya, baik sikap untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bermadzhab maupun sikap untuk tetap bermadzhab membentuk dua kutub yang saling berlawanan.
Fenomena tersebut mengharuskan adanya sikap yang lebih arif untuk melihat adanya berbagai perbedaan, baik antar para penganut madzhab yang berbeda maupun antara penganut madzhab dengan penganut sikap tidak bermadzhab. Dan salah satu upaya untuk bisa mengetahui sebab adanya perbedaan dalam bidang fikih yang kemudian diharapkan bisa menimbulkan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah dengan mengetahui metode istimbath hukum dari masing-masing. Karena salah satu penyebab perbedaan dalam bidang furu’ fikih adalah adanya perbedaan dalam ushulnya.
B. Penyebab Perbedaan Pendapat
Perbedaan dalam bidang furu’ pada hakekatnya sudah ada sejak masa sahabat. Akan tetapi perbedaan ini sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik. Setelah daerah kekuasaan islam meluas dan para sahabat tidak lagi berada pada satu tempat dan menyebar ke beberapa daerah kekuasaan Islam yang baru, maka masing-masing sahabat dengan perbedaan kemampuan dan pengetahuan masing-masing menghasilkan produk ijtihad yang berbeda-beda pula. Inilah yang menambah kawasan perbedaan dalam bidang furu’ semaki meluas. Puncaknya adalah dengan terbentuknya berbagai madzhab dalam bidang fikih yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai saat ini.
Karena beragamnya penyebab perbedaan dalam bidang furu’, diperlukan klasifikasi yang jelas untuk mengetahui secara detail penyebab terjadinya perbedaan tadi.
Mushtafa Sa’id al-Khin dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawai’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan ulama dalam bidang fikih. Dan ia mengklasifikasikan penyebab-penyebab tadi dalam beberapa hal:
a. Penyebab perbedaan yang bersifat umum
b. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah
c. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ijma’ dan Qiyas
d. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dalil-dalil yang diperselisihkan.
Dalam hal ini akan dipaparkan secara singkat dua bagian pertama penyebab perbedaan tersebut sebagai sebuah gambaran tentang adanya pengaruh perbedaan dalam ushul fiqh dan kaidah ushuliyah terhadap perbedaan furu’.
a. Penyebab Perbedaan yang Bersifat Umum
Menurut al-Khin penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam bidang fikih secara umum banyak sekali, akan tetapi yang dianggapnya penting ada beberapa macam. Di antaranya adalah:
1. Perbedaan dalam qira’at.
Perbedaan qira’at dalam pembacaan al-Qur’an merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam bidang fikih. Salah satu contohnya adalah perbedaan ulama’ tentang kewajiban pada kaki ketika berwudhu, apakah dibasuh ataukah diusap. Penyebab perbedaan adalah adanya ayat al-Qur’an yaitu surat al-Ma’idah ayat 6 yang berisi tentang tata cara berwudhu yang oleh sebagian ulama’ (dalam hal ini diwakili Jumhur ulama’) kata-kata arjul (kaki) pada ayat itu dibaca nashab sehingga terbaca wa arjulakum, dan oleh sebagian yang lain (diwakili oleh ulama Syi’ah Imamiyah) dibaca dengan jar, wa arjulikum. Pengaruhnya dalam fikih adalah apabila ayat tadi dibaca dengan nashab, maka dalam berwudhu kaki harus dibasuh, sedangkan apabila dibaca dengan jar, maka dalam berwudhu kaki harus diusap bukan dibasuh.
2. Ketidaktahuan adanya hadis dalam masalah
Pengetahuan para sahabat Nabi SAW dalam masalah hadis tidaklah berada pada satu tingkatan, akan tetapi berbeda-beda. Sebagian mengetahui banyak hadis, sedangkan sebagian yang lain bahkan hanya mengetahui satu atau dua buah hadis saja. Hal ini karena ketika seorang sahabat tidak selamanya mendengar seluruh ucapan Nabi SAW atau menyaksikan seluruh aktifitasnya. Adakalanya dia mendengar sebuah hadis yang tidak didengar oleh sahabat lain. Dan sebaliknya dia juga mungkin tidak mendengar hadis yang diketahui oleh sahabat lain.
Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat, yakni tidak sampainya informasi tentang adanya hadis dalam sebuah masalah.
Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal ini adalah bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas pernah berfatwa bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa ‘iddah (tunggu) nya adalah masa yang paling lama antara masa melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Mereka belum menerima informasi tentang fatwa Nabi SAW bahwa masa tunggu wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan.
3. Perbedaan dalam Memahami dan Menafsirkan Teks
Salah satu sebab perbedaan yang lain adalah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah teks, baik itu berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah kasus pembagian tanah hasil rampasan perang. Umar ibn al-Khaththab berpendapat bahwa tanah hasil rampasan perang itu tetap berada di tangan pemiliknya dan dalam pemeliharaannya. Hanya saja, tanah tadi dikenai pajak yang dapat dipakai untuk kepentingan ummat Islam di setiap masa dan generasi.
Pandangan Umar yang seperti ini didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal dan ayat 6 – 10 surat al-Hasyr. Umar memahami kandungan ayat-ayat tadi bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak tidak dibagikan pada tentara perang, akan tetapi dikuasai oleh negara dan dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Sedangkan para sahabat yang lain berpendapat bahwa tanah rampasan perang sebagai mana barang bergerak, juga harus dibagikan layaknya harta rampasan perang yang lain. Pendapat kedua ini juga didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal serta tindakan Rasulullah yang juga pernah membagi tanah hasil rampasan perang. Ayat yang dipakai oleh Umar untuk mendukung pendapatnya, menurut para sahabat yang lain, adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda, yaitu harta ghanimah dan fai’. Dan kedua macam harta ini tetap dibagikan pada para tentara perang tidak seperti keputusan yang dibuat Umar.
4. Adanya lafadz yang musytarak
Dalam bahasa Arab terdapat berbagai bentuk kata yang menunjukkan pada makna tertentu. Salah satunya adalah kata atau lafadz musytarak. Musytarak berarti sebuah kata yang memiliki dua makna atau lebih, dan terkadang saling berlawanan, misalnya kata al-jun yang bisa berarti putih dan juga hitam. Dan dalam al-Qur’an dan al-Hadis juga terdapat beberapa lafadz yang musytarak. Dan ini menhjadi salah satu sebab munculnya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya adalah kata al-qur’u yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 228. Kata tersebut memiliki makna ¬haidh dan juga bermakna suci. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa wanita-wanita yang dicerai suaminya, maka ‘iddah (masa tunggu)-nya adalah tiga kali quru’. Dan semua ulama sepakat akan hal ini. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna quru’ yang adal dalam ayat terssebut. ‘Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Malik. Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lain mengartikan qur’ dalam ayat tersebut bermakna suci. Artinya, mereka berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya memiliki masa tunggu (‘iddah) tiga kali suci. Sedangkan Abu Bakr, Umar, Utsman dan sebagian Abu Hanifah berpendapat bahwa qur’ dalam ayat tersebut berarti haidh. Artinya, mereka berpendapat bahwa masa tunggu wanita yang ditalak adalah tiga kali haidh.
5. Adanya pertentangan dalil (ta’arudh al-adillah)
Salah satu sebab lain yang menjadikan terjadinya perbedaan pendapat antar ulama adalah adanya pertentangan antar dalil (ta’arudh al-adillah) yang menjadikan satu ulama mengunggulkan satu dalil yang menurut ulama’ lain justru merupakan dalil yang lemah. Pertentangan antar dalil yang sebenarnya hanya ada pada pikiran para ulama’ memang berusaha untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Hanya saja, masing-masing ulama memiliki cara yang berbeda dalam mencari jalan keluarnya. Ini pula yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat.
Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan. Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:”Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”
Perbedaan tersebut terjadi karena adanya dua dalil yang berbeda dan nampak bertentangan dan masing-masing ulama menguatkan satu hadis yang menurut ulama lain justru lemah.
b. Penyebab Perbedaan karena Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kaidah ushuliyah merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan di antara para ulama. Sebagian dari kaidah-kaidah tersebut berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagian lagi berkaitan dengan al-Qur’an saja, dan sebagian lain berkaitan dengan as-Sunnah saja. Di antara kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan al-Qur’an saja yang menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan adalah perbedaan ulama tentang nama al-Qur’an. Apakah al-Qur’an merupakan nama untuk kandungan isinya saja ataukah merupakan nama untuk isi dan susunan katanya.
Sebagian ulama –dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hanifah- berpendapat bahwa kata al-Qur’an hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.
Implikasi perbedaan dalam hal ini pada bidang fikih adalah adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan shalat dengan bahasa selain Arab. Abu Hanifah -ulama yang diriwayatkan menganut pendapat pertama- membolehkan shalat dengan membaca al-Fatihah dengan selain bahasa Arab, karena yang terpenting bukan lah bahasa yang dipakai al-Qur’an akan tetapi makna yang akan dicapainya. Sedangkan jumhur ulama –sebagai penganut pendapat yang kedua- berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah harus dengan bahasa Arab karena yang dinamakan al-Qur’an bukan hanya maknanya saja, akan tetapi juga susunan kataya yang berupa bahasa Arab. Implikasi yang lain adalah perbedaan tentang tarjamah al-Qur’an. Bagi penganut pendapat pertama tarjamah al-Qur’an memiliki status sama dengan al-Qur’an seperti tidak boleh disentuh dan dibaca oleh orang yang dalam keadaan junub, dsb. Sedangkan penganut pendapat kedua menganggap bahwa tarjamah al-Qur’an bukanlah al-Qur’an, akan tetapi tarjamah makna al-Qur’an.
Kaidah lain yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah tentang qira’ah syadzdzah, yaitu bacaan al-Qur’an yang tidak diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qira’ah syadzdzah. Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi berpendapat bahwa qira’ah syadzdzah dapat diapaki sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat tentang ketidakabsahan qira’ah syadzdzah sebagai salah satu dalil penetapan hukum.
Implikasinya pada furu’ fiqhiyyah ada beberapa hal, diantaranya adalah apabila seseorang tidak berpuasa pada bulan ramadhan secara berturut-turut dikarenakan suatu alasan, maka apakah dia harus menqadha puasa tadi secara berurutun juga ataukah boleh secara terpisah-pisah.
Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata mutatabi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayyam Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat. Asy-Syafi’i tidak dapat menerima hadis mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah hadis. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.
Implikasinya pada bidang furu’ fikih banyak sekali, diantaranya adalah tentang batalnya wudhu karena bersentuhan dengan yang berlainan jenis. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mencium salah satu isterinya dan kemudian melakukan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu. Sedangkan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an ayat 6 surat al-Ma’idah. Sedangkan hadis yang dipakai oleh Madzhab Hanafi sebagai dalil tidak dapat diterima oleh asy-Syafi’i karena hadis tersebut adalah mursal.
C. Urgensi Pengetahuan akan Sebab Perbedaan dalam Konteks Kekinian
Pengetahuan akan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat untuk saat ini sangatlah dibutuhkan. Terjadinya banyak benturan di masyarakat diantaranya adalah karena informasi yang sampai pada mereka adalah tentang adanya perbedaaan semata, tidak tentang sebab terjadinya perbedaan. Hal ini pada akhirnya menjadikan sebagian besar dari mereka tidak bisa memahami perbedaan sebagai sebuah perbedaan metode pemahaman atas teks. Perbedaan pendapat dalam fikih dianggap sebagai perbedaan keyakinan yang menjadikan sebagian mereka berhak untuk memberikan label “sesat” pada sebagian yang lain.
Pada kasus di Indonesia misalnya, sudah menjadi bukan rahasia rahasia lagi bahwa ada sebagian masyarakatnya yang melaksanakan tarawih di bulan ramadhan dengan 8 raka’at, dan ada sebagian yang melakukannya dengan 20 raka’at. Dalam melaksanakan shalat, ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada yang tidak mengeraskannya atau bahkan tidak membacanya sama sekali. Perbedaan seperti ini, di masyarakat akar rumput sering menimbulkan permasalahan, menjadikan salah satu kelompok tidak bersedia shalat berjama’ah atau bekerja sama dengan kelompok lain yang tidak sependapat. Perbedaan tersebut tidak lagi menjadi perbedaan furu’ fiqhiyyah, akan tetapi dianggap sebagai perbedaan ideologi, akidah dan keyakinan yang menjadikan sebagiannya berhak “menyesatkan” sebagian yang lain.
Oleh karena itu sudah menjadi tugas kalangan intelektual di masing-masing organisasi keagamaan sosial di Indonesia untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang praktek-praktek keagamaan yang ada, memberikan informasi, keilmuan dan pengetahuan benar dengan melihat setiap masalah dari sisi yang berbeda-beda dan beragam sehingga memungkinkan adanya pemahaman dan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Masyarakat Indonesia yang homogen menuntut setiap orang mengetahui dasar pemikiran dan pemahaman orang lain dan bisa mensikapinya dengan lebih baik, tidak mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya dan selalu luput dari orang lain. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bisa bergaul, berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda pendapat termasuk dalam pemahaman keagamaan. Dan pengetahuan dan pemahaman tentang sebab perbedaan merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sebuah masyarakat masa kini yang bisa saling memahami adanya perbedaan, saling menghormati dan bekerja sama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddini, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996)
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Al-Asyqar, ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t)
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t)
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)
Khin, Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996)
Mubaraok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Ar-Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
——————, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000)
Az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986)
*) Penulis adalah Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta
Penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi ilmiah yang ada pada masa itu dan ciri-ciri perkembangan hukum Islamnya lihat pada ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t), hlm. 86-108.
Al-Albani mengumpulkan pendapat para imam madzhab tentang kemungkinan kesalahan pendapat pribadi mereka dan keharusan berpegang pada sumber utama hukum Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bersikap fanatis pada madzhab tertentu. Lihat dalam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), cet. 2, hlm. 46-55.
‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh, ibid. hlm. 109 dst.
Lihat juga penjelasannya dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 2, hlm. 67 dst.
Lihat Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996), cet. 6, hlm. 38 dst
al-Khin menyebutkan ada delapan sebab, yaitu 1. Perbedaan dalam qira’at, 2. Tidak adanya informasi adanya hadis dalam masalah, 3. Ragu terhadap keabsahan hadis, 4. Berbeda dalam memahami dan menafsirkan teks, 5. Adanya lafadz yang musytarak (ambivalen), 6. Pertentangan antar dalil 7. Tidak adanya dalil dalam masalah dan 8. Berbeda dalam kaidah ushuliyah. Lihat ibid.
lihat ath-Tahabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000), X/52., al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI/ 92 dst., az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) II/ 326.
Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI, hlm. 182-183., Muhammad Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 48.
Ibid. hlm. 65.
Lihat Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV, hlm. 178-198, Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), II, 256-257, al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), III, hlm. 194-195.
Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t), VII/244.
H.R. Bukhari dan Muslim no. 368.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), I/70
Hadis-hadis tentang hal ini lihat dalam az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 150 dst..
Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 380. Lihat juga dalam Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), juz I/423.
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh,I/426.
Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 395, Ibn Qudamah, al-Mughni, III/136, asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV/198.
Lihat definisi hadis mursal dan perbedaan pendapat dalam hal ini dalam al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), I/203, asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 64.
Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 398.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibrahim at-Taimi dari ‘Aisyah r.a dan Ibrahim at-Taimi diketahui belum pernah mendengar (meriwayatkan) hadis dari ‘Aisyah. Ibid. 408.
Ibid. hlm. 407-408.




Syarifuddin Amir, 2011. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta ,Kencana.
Haroen, Nasrun, Haji UshulFiqih/NasrunHaroen, Jakarta logos, 1996.
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih , 1996, Edisi. 1, Cet. 3, Jakarta. PT .Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rahmat.,Ilmu Ushul Fiqih , 2010,Cet. IV, Bandung, Pustaka Setia.



[1] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama  Dep.Agama R.I.,Pengantar ilmu fiqih, Jakarta 1981,hlm. 19.
[2] Dep. Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1971, hlm. 19.
[3] H.S.A.Al-Hamdani, Shifatu Shalati Rasulillahi SAW., Alih Bahasa H. AM. Bakri, Al-Maarif Bandung, cet ke 4, 1978, hlm. 7. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar