BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sekitar dua abad sebelum masehi hingga awal abad ke
lima, Spanyol berada di bawah Imperium Romawi. Sejak tahun 406 M, Spanyol
dikuasai oleh bangsa Vandal, yaitu bangsa yang berimigrasi dari negeri asal
mereka yaitu suatu daerah yang terletak di antara Sungai Order dan Vistuala.
Pengusa daerah ini mendirikan kerajaan di propinsi wilayah Chartage. Kekuasaan
Vandal ini kemudian diambil alih oleh orang-orang Gothic, maka didirikanlah
kerajaan Visigoth, yang wilayah itu dikenal dengan Vandalusia. Dan setelah
kedatangan orang-orang Islam pada tahun 92 H/711 M, sebutan Vandalusia diubah
menjadi Andalusia atau Andalus.
Kehadiran orang-orang Islam di Spanyol merupakan awal
munculnya Islam di benua Eropa karena Spanyol merupakan pintu gerbang bagi
benua tersebut. Sebagaimana diinformasikan dalam buku-buku sejarah, ekspansi
Islam ke Wilayah Barat (dalam hal ini Eropa bagian Barat) terjadi pada masa
kekhilafahan Bani Umayyah dengan khalifah Al-Walid bin Ibnu Malik.
Pada saat itu Musa Bin Nushair, sebagai penglima
perang khalifah dan Thariq bin Ziyad sebagai komandan lapangan, dimana keduanya
dianggap sebagai tokoh pelaku utama atas masuknya Islam di Spanyol. Mereka
berhasil menguasai wilayah Afrika Utara dan kemudian menyeberang ke Benua
Eropa. Setelah masuknya Islam di Spanyol maka banyaklah kemajuan-kemajuan yang
diperoleh dan hal ini dapat dilihat dari banyaknya tokoh-tokoh dan para ilmuwan
yang muncul dari sana. Namun setelah berabad-abad lamanya Islam menguasai
Spanyol, Islam mulai mengalami kemunduran dan kehancuran, bahkan kemudian Islam
hilang dari bumi tersebut, dan
hal ini disebabkan dari berbagai fakor.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi Spanyol pada masa sebelum masuknya Islam?
2. Bagaimana kondisi Spanyol setelah Islam masuk?
3. Bagaimana perkembangan Agama Islam di Spanyol?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2. 1 Kondisi Spanyol Pra Islam
Jazirah ini dulu bernama Iberia (kurang lebih 93%
wilayah Spanyol, sisanya Portugal). Setelah bangsa Romawi berkuasa disana pada
abad yang kedua mereka menamainya dengan “Asbania” yang berarti “Pantai
Marmot”. Karena orang-orang Punisia ketika singgah di semenanjung itu nampaklah
kawanan-kawanan Marmot. Sesudah bangsa Romawi, bagian semenanjung selatan itu
juga pernah takluk kepada suku-suku bangsa Vandal pada abad kelima. Sesudah itu
bangsa Goth menyerang pula pada permulaan abad keenam. Mereka mengusir bangsa
Vandal ke Afrika Utara.
Pada masa Islam, Spanyol dikenal dengan sebutan
Andalusia yang berasal dari kata “Vandalusia” berarti negeri bangsa Vandal..
Andalusia terletak di benua Eropa barat daya, dengan batas di timur dan
tenggara adalah Laut Tengah, di selatan Benua Afrika yang terhalang oleh Selat
Gibraltar, di barat Samudera Atlantik dan di utara oleh Teluk Biscy. Pegunungan
Pyrenia di timur laut membatasi Andalusia dengan Prancis.
Menjelang penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, ekonomi dan politik negeri ini berada dalam keadaan yang
memprihatinkan. Negeri di semenanjung itu didiami oleh penduduk yang
berbeda-beda kebangsaan dan agamanya. Antara orang Kristen dan Yahudi timbul
permusuhan yang meruncing dan sering kali orang Yahudi mengalami kekalahan dan
menderita bermacam-macam kesusahan. Karena penguasa Ghothic bersifat tidak
toleran terhadap penganut agama lain. Penganut agama Yahudi di Spanyol dipaksa
dibabtis menurut agama Kristen, yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh.
Sehingga kelompok minoritas Yahudi selalu mendapat tekanan politik akibat
berbeda paham dengan agama penguasa. Hal ini menambah kompleksnya persoalan
sosial di wilayah ini.
Pada masa itu masyarakat Spanyol juga terpolarisasi
dalam beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, sehingga ada
masyarakat kelas satu, dua, dan tiga. Kelompok masyarakat kelas satu yakni penguasa,
yang terdiri atas raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama dan tuan
tanah besar. Kelas dua terdiri atas tuan-tuan tanah kecil. Kelompok masayarakat
kelas tiga terdiri atas budak, termasuk budak tani yang nasibnya tergantung
pada tanah tapi tidak menikmati tanah yang mereka garap, pengembala, pandai
besi, orang Yahudi, dan kaum buruh dengan imbalan makan dua kali sehari.
Dengan adanya kasta tersebut mengakibatkan rakyat
kelas dua dan tiga sangat tertindas, mental dan perilakunya merosot. Demi
mempertahankan hidup, mereka harus mencari nafkah dengan jalan membunuh,
merampas atau membajak. Kebangkrutan moral mereka itu bersamaan dengan jatuhnya
ekonomi seperti yang diungkapkan Amir Ali: “Their morality became as degraded
as their material condition was wretched”. Moralitas mereka menjadi
terdegradasi karena kondisi material mereka yang buruk .
Selain itu, penguasa-penguasa Spanyol juga saling
merebutkan kekuasaan. Awal kehancuran kerajaan Goth adalah ketika Roderick
memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza yang
saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo diberhentikan begitu saja.
Keadaan ini memancing amarah dari Opas dan Asilla, kakak dan anak Witiza.
Kondisi sosial, ekonomi, keagamaan terutama keadaan politik yang kacau
menjadikan Spanyol menjadi terpuruk, hal tersebut menjadi salah satu faktor
Islam mudah masuk ke Spanyol.
2.2 Masuknya Islam di
Spanyol
Spanyol diduduki umat islam pada zaman khalifah
Al-Walid (705-715 M), Salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di
Damaskus, dimana umat Islam sebelumnya telah menguasai Afrika Utara. Sebelum
penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya
sebagai salah satu provinsi dari dinasti Umayyah. Penguasaan sepenuhnya atas
Afrika Utara itu terjadi di Zaman khalifah Abdul Malik (685-705 M)[1].
Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan bin Nu’man Al-Ghassani menjadi gubernur
didaerah itu. Pada masa khalifah Al-Walid, Hasan bin Nu’man sudah digantikan
oleh Musa bin Nushair.
Di Zaman Al-Walid itu, Musa bin Nushair memperluas
wilayah kekuasaannya dengan menduduki Al-Jazair dan Maroko. Selain itu, ia juga
menyempurnakan penaklukan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa Barbar di
pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan
membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai islam, di
kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan
Romawi, yaitu kerajaan Ghotik. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar
memebuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. Setelah kawasan ini
betul-betul dapat dikuasai, umat islam mulai memusatkan perhatiannya untuk
menaklukkan Spanyol. Dengan demikian, Afrika Utara menjadi batu loncatan bagi
kaum muslimin dalam penaklukan wilayah Spanyol.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan
Islam yang dapat dikaitkan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke
sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nusair.
Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyidik. Ia menyeberangi selat yang
berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan pasukan perang 500 orang di
antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang
disediakan oleh Julian[2].
Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang
dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit dari
kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang
besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nusair pada tahun 711 M.
Mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7.000 orang dibawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad[3].
Sejarah mencatat bahwa panglima Thariq setelah seluruh
pasukan selesai mendarat di Wilayah tersebut, membakar seluruh alat
penyeberangan. Ia pun mengucapkan pidato singkat yang bersejarah: Al-Aduwwu
amamakum wal bahru wara’akum fakhtar ayyuma syi’tum. (musuh di depan kamu,
lautan di belakang kamu, silahkan pilih mana yang kamu kehendaki).
Sorak sorai pasukan yang berkekuatan 12.000 orang pada tahun 93 H/711 M, yang memilih maju ke depan, telah meninggalkan jejak besar didalam sejarah Islam. King Roderick maju dengan pasukan berkekuatan 100.000 orang[4]. Jumlah pasukannya besar, tetapi semangat tempurnya telah dikalahkan oleh kemewahan hidup selama ini.
Sorak sorai pasukan yang berkekuatan 12.000 orang pada tahun 93 H/711 M, yang memilih maju ke depan, telah meninggalkan jejak besar didalam sejarah Islam. King Roderick maju dengan pasukan berkekuatan 100.000 orang[4]. Jumlah pasukannya besar, tetapi semangat tempurnya telah dikalahkan oleh kemewahan hidup selama ini.
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk
Spanyol, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya
terdiri dari sebagian suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan
sebagian lagi orang Arab yang dikirim khalifah Al-Walid. Pasukan itu kemudian
menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad[5],
sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendapat dan menyiapkan
pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya
daerah ini maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam
pertempuran di suatu tempat bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan.
Dari situ Thariq dan pasukannya terus menaklukan kota-kota penting, seperti Cordova,
Granada,Toledo (ibu kota kerajaan goth saat itu)[6].
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad
membuka jalan untuk penaklukan yang lebih luas lagi dengan suatu pasukan yang
besar. Ia berangkat menyeberangi selat dan satu persatu kota yang dilewatinya
dapat ditaklukan, setelah musa berhasil menaklukan Idenia, Karmona, Seville dan
Merinda serta mengalahkan kerajaan Ghotik, Theodomir di Orihuela. Ia bergabung
dengan Thariq di Teledo. Kemudian keduanya berhasil menguasai seluruh kota
penting di Spanyol termasuk bagian utaranya mulai dari Saragosa sampai Navarre.[7]
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam tampak
begitu mudah. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan
internal yang menguntungkan[8].
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu
kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan
Spanyol oleh orang-orang islam. Kondisi sosial politik dan ekonomi negeri ini
berada dalam keadaan menyedihkan. secara politik, wilayah Spanyol
terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Rakyat di
bagi-bagi ke dalam sistem kelas sehingga kaedaannya diliputi oleh kemelaratan,
ketertindasan dan ketiadaan persamaan hak. Dalam situasi seperti itu, kaum
tertindas menanti kedatangan juru pembebas dan juru pembebas itu mereka temukan
dari umat Islam.
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah
suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan para
prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya.
Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan
percaya diri. Mereka pun cakap, berani dan tabah dalam menghadapi setiap
persoalan. Yang tidak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan
para tentara Islam yaitu toleransi persaudaraan dan tolong menolong sikap
toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu
menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
2.3 Perkembangan Islam di
Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol
hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang
sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah
panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam
periode, yaitu:
1.
Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan
para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus.
Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara
sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari
luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan
diantara elit penguasa, termasuk akibat perbedaan etnis dan golongan. Di
samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan
Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa
merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu,
terjadi 20 kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat
singkat.
Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya
terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis,
terutama antara bangsa Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis
sendiri terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisyi
(Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan).
Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik
politik terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya Spanyol
pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan untuk jangka waktu
yang lama[9].
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam
di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak
pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri.
Setelah berjuang lebih dari 500 tahun akhirnya mereka mampu mengusir Islam di
bumi Spanyol.
Karena seringnya terjadi konflik internal dan
berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol
belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode
ini berakhir dengan datangnya Abdurahman Ad-Dakhil ke Spanyol pada Tahun 138
H/755 M[10].
2.
Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan
seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada
pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138
H/755 M dan diberi gelar Ad-Dakhil. Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang
berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas. Selanjutnya ia berhasil mendirikan
dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini
adalah Abdurrahaman Ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman Al-Ausath,
Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh
kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban.
Abdurrahman ad-Dakhil mendirikan masjid Cordoba dan sekolah-sekolah di kota
besar Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam
dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai
tentara bayaran di Spanyol.
Sedangkan Abdurrahman Al-Ausath dikenal sebagai
penguasa yang cinta ilmu[11].
Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada pada periode ini, terutama di zaman
Abdurrahman Al-Ausath. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk
datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan
terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas Negara terganggu dengan
munculnya gerakan Kristen Fanatik yang mencari kesyahidan (Martyrdom)[12].
Namun gereja Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada
gerakan itu, karena pemerintahan Islam mengembangkan kebebasan beragama.
Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum
Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan
mendirikan gereja baru, biara-biara di samping asrama rahib atau lainnya.
Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi
karyawan pada instansi militer[13].
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini
datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo tahun 852 M
membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Disamping itu sejumlah
orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah
pemberontak yang dipimpin oleh Hafsun dan anaknya yang berpusat di pegunungan
dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang
Arab masih sering terjadi[14].
3.
Periode Ketiga (912-1013 M)
Peiode ini berlangsung mulai dari pemerintahan
Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya raja-raja kelompok yang
dikenal dengan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh
penguasa dengan gelar khalilfah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula
dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, khalifah
Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri.
Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa
susasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat
bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah
yang telah hilang dari kekuasaan bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena
itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. khalifah-khalifah besar yang
memerintah pada periode ini ada tiga orang yaitu Abdurrahman An-Nashir (912-961
M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak
kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Bani Umayyah di Baghdad.
Andurrahman An-Nashir mendirikan Universitas Cordova. Perpustakaannya juga
memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan
pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyakrakat dapat menikmati kesejahteraan
dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol
adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu
kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada Tahun 981 M, khalifah
menunjuk Ibn Abi’ Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang
yang ambisius yang berhasil menancapkan kekeuasaannya dan melebarkan wilayah
kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas
keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar Al-Manshur Billah. Ia wafat
pada tahun 1002 dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat
mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008
M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu.
Dalam beberapa tahun saja, Negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan
akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah
Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Katika itu, Spanyol sudah terpecah dalam
banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu[15].
4.
Periode Keempat (1013-1086)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari
30 negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau
Al-Mulukuth-Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova,
Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di
Seville.Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian
intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang
bertikai itu ada yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat
kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama
kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif
penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan
intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para
sarjana dan sastrawan untuk mendapat perlindungan dari satu istana ke istana
lain[16].
5.
Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun terpecah ke
dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu
kekuasaan Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-11235
M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan
oleh Yusuf ibnu Tasyfin di Afrika Utara. Pada Tahun 1062 M ia berhasil
mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas
undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul berat perjuangan
mempertahankan negeri-negerinya sendiri dari serangan-serangan orang-orang
Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1068 M dan berhasil
mengalahkan pasukan Castilia.
Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf
melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan berhasil untuk itu. Akan
tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada
tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun
Spanyol dan digantikan oleh Dinasti Muwahhidun. Pada masa Dinasti Murabithun,
Saragosa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada
mulanya muncul dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada
tahun 1146M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut
daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart. Dinasti ini datang
ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154M,
kota-kota muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah
kekuasannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak
kemajuan. Kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah
itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen
memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa.
Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun
menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke
Afriks Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah
penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu
bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M
Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristendan Seville jatuh tahun 1248 M. seluruh
Spanyol kecuali Granada[17][17]
lepas dari kekuasaan Islam.
6.
Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah
Granada, di bawah Dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami
kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nashir. Akan tetapi, secara politik,
dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang
merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan
orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa
tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai
penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan.
Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn
Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella
untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah
dan Abu Abdullah naik tahta[18]
dinobatkan sebagai khalifah.
Tentu saja, Ferdenand dan isabela yang mempersatukan
dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas.
Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Abdullah
tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya
mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdenand dan Isabella, kemudian
hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol
tahun 1492 M. umat Islam setelah dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen
atau pergi meninggal Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada umat
Islam di daerah ini[19].
Walaupun Islam telah berjaya dan dapat berkuasa hampir tujuh setengah abad
lamanya.
2.4
Kemajuan Peradaban
Islam di Spanyol lebih dari tujuh abad dan umat Islam
telah mencapai kejayaannya di Spanyol. Banyak kemajuan dan prestasi yang
diperoleh umat Islam di Spanyol, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian
dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Islam di Spanyol telah menunjukkan
kemajuan pada bidang ilmu pengetahuan, musik dan seni, bahasa dan sastra, dan
kemajuan pada pembangunan fisik.
Kemajuan
Intelektual
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk
yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab [Utara dan Selatan], al-Muwalladun
[orang-orang Spanyol yang masuk Islam], Barbar [umat Islam yang berasal
dari Afrika Utara], al-Shaqalibah [penduduk daerah antara
Konstanstinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran], Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas
itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya
lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmu pengetahuan, sastra
dan pembangunan fisik di Spanyol[20].
2.5 Faktor-faktor
Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh
adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan
kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd al-Rahman al-Dakhil, Abd al-Rahman
al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut
ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori
kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di
Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd al-Rahman [852-886] dan al-Hakam
II al-Muntashir [961-976].
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa
terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut
berpartisispasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang
Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang
menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya
toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerjasama dan menyumbangkan
kelebihannya masing-masing. Meskipun ada persaingan yang sengit antara
Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan
Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak
sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur,
sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang
disebut kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Muluk al-Thawa’if dan
sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan
puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam.
Setiap dinasti [raja] di Malaga, Toledo, Sevilla,
Granada,
dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan
satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al Thawa’if
berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih
maju.
2.6 Penyebab Kemunduran dan
Kehancuran
Islam di Spanyol, menjadi pemerintahan yang berdiri
sendiri di masa khalifah Abdurrahman III dan merupakan salah satu negara
terbesar di masa itu, disamping daulat Abbasiyah di Timur, Bizantium dan
kerajaan Charlemangne [Frank] di Barat. Tetapi pada masa pemerintahan
berikutnya Spanyol mengalami kemunduran karena terjadi disintegrasi yang telah
memporak-porandakan kesatuan dan persatuan Andalusia yang membawa kepada
kehancuran Islam di Spanyol. Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran Islam di
Spanyol antara lain :
1.
Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara
sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari
kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan
hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada
perlawanan bersenjata.
Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah
memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan
kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan
antara Islam dan Kristen. Pada
abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam
sedang mengalami kemunduran.
2. Tidak
Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan
sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang
dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima
orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi
istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan
yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non Arab yang ada
sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar
terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak
adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur
yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
3.
Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa
membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”,
sehingga lalai membina perekonomian[33]. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi
yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.
4.
Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli
waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif
muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh
ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
5.
Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang
lain. Pemerintahan Spanyol jauh dari daerah Islam lain mengakibatkan jauhnya
dukungan dari daerah lain kecuali dari Afrika Utara yang dibatasi oleh laut,
sementara daerah sekitarnya adalah daerah yang dikuasai kaum Nasrani yang
salalu iri dan merasa direndahkan oleh etnis Arab. Maka Islam Spanyol, selalu
berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan
demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan
Kristen di sana.
2.7 Pengaruh Peradaban
Spanyol Islam di Eropa
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini
banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di
periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi
Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah
Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa
menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun
perekonomian dan peradaban antarnegara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan
bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara
tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping
bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd
[1120-1198 M]. Ibn Rusyd, melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan
berpikir. Ia mengulas pemikiran Aritoteles dengan cara yang memikat minat semua
orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepanka sunnatullah menurut
pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian
besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme
[Ibn Rusyd-isme] yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran
rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah Eropa kemudian
lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku
Ibn Rusyd di cetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan
edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga
diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan
di awal abad ke 17 di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk didalamnyapemikiran
Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang
belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas
Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca.
Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan
buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo.
Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang
sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada
tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman
pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam
universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari
universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti,
ilmu filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah
pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah
berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan bangkitan kembali [renaissance]
pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di
Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan
kemudian diterjemahkan kembali kedalam bahasa Latin.
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol
dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membina gerakan-gerakan penting
di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani
klasik [renaissance] pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan
reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17M, dan pencerahan [aufklaerung]
pada abad ke-18 M.
BAB
III
PENUTUP
3.0 KESIMPULAN
Dari sejumlah uraian di atas, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa masuknya Islam di Spanyol berbeda dengan masuknya Islam di
daerah lain. Datangnya Islam ke Spanyol atas permintaan dari penduduk setempat
dan kedatangan Islam di Spanyol ternyata memberikan kontribusi yang tak
ternilai, baik kepada dunia Islam, terlebihlebih kepada dunia Barat, dalam hal
ilmu pengetahuan dan peradaban. Kontribusi tersebut bisa terlaksana karena
sikap ilmiah-konstruksif yang secara umum menyertai para ilmuwan dalam
melakukan kajian-kajian ilmiahnya. Sikap toleransi yang cukup proporsional
dalam komposisi masyarakat yang tingkat heterogenitasnya yang cukup luar biasa
dalam membangun sebuah nilai peradaban yang pruralistik.
Kekuasaan Islam di Spanyol yang telah mencapai puncak
kejayaannya kemudian mulai melemah kemudian mundur dan hancur secara perlahan
akibat berbagai faktor. Diantaranya faktor utama penyebab kehancuran tersebut
adalah akibat terjadinya disintegrasi yang menyebabkan munculnya
kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha memerdekakan diri. Kekuasaan Islam
kemudian digantikan oleh kekuasaan Kristen dan berusaha menghapus habis seluruh
pengaruh Islam dan menghilangkan Islam dari bumi Spanyol.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim,
M Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Book
Publisher.
Munir, Amin Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Penerbit Hamzah.
Sunanto, Musrifah. 2007. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana Media Group.
Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Syalaby, Ahmad. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT Al-Husna Zikra.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
1998.
[1] A. Syalabi, 1983, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Cet. Pertama, Pustaka Alhusna,
Jakarta, hlm.154
[3] Philip K. Hatti, 1970, History of the Arabs, Macmillan
Press, London, hlm. 493., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 89.
[5] Cal Brockelmann, 1980, History
of the Islamic Peoples, Rotledge & Kegan Paul, London, hlm. 83., dalam
Badri Yatim, 1999, hlm. 89
[9] David Wassenstein,
1985, Politics and Society in Islamic Spain: 1002-1086, Prenceton
University Press, New Jersey, hlm. 15-16., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 94.
[11] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah
al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah
al-Nahdhah al-Maishriyah, Kairo, hlm. 41-50., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 95.
[12] Jurji Zaidan, [tt], Tarikh
al-Tamaddun al-Islami, Juz III, Dar al-Hilal, Kairo, hlm. 200., dalam Badri
Yatim, 1999, hlm. 95.
[15] W.
Montgomery Watt, 1990, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Tiawa
Wacana, Yogyakarta, hlm. 217-218, dan baca Badri Yatim, 1999, hlm. 96-97.
[17] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa
al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah al-Nahdhah al-Mishiriyah, hlm.
75, dan Baca Badri Yatim, 1999, hlm.99.
[20] Luthfi Abd al-Badi, 1969, al-Islam
fi Isbaniya, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairo, hlm. 38., dalam Badri
Yatim, 1999, hlm. 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar