Daftar Isi.................................................................................................................. 1
Kata pengantar......................................................................................................... 2
I.
Pendahuluan.......................................................................................... 3
1.1
Latar Belakang................................................................................. 3
1.2
Rumusan Masalah........................................................................... 4
1.3
Tujuan.............................................................................................. 4
II.
Pembahasan........................................................................................... 5
2.1
Pengertian Akhlak........................................................................... 5
2.2
Pengertian Akhlak Terpuji.............................................................. 6
2.3
Macam-macam Akhlak Terpuji....................................................... 7
1.
Akhlak terhadap Allah SWT..................................................... 8
2.
Akhlak terhadap Diri Sendiri................................................... 13
3.
Akhlak terhadap Keluarga....................................................... 20
4.
Akhlak terhadap Masyarakat................................................... 21
5.
Akhlak terhadap Lingkungan.................................................. 22
2.4 Pengertian
Akhlak Tercela............................................................ 23
2.5 Macam-macam
Akhlak Tercela.................................................... 23
1. Syirik...................................................................................... 23
2. Kufur....................................................................................... 24
3. Nifak dan Fasik....................................................................... 26
4. Takabur dan Ujub................................................................... 27
5. Dengki.................................................................................... 28
6. Gibah...................................................................................... 28
7. Riya......................................................................................... 29
8. Ghadab...................................................................................
32
2.6 Indikator
Akhlak Terpuji dan Tercela........................................... 33
1.
Baik dan Buruk menurut Agama............................................. 33
2.
Indikator Akhlak Terpuji dalam
Filsafat................................. 34
3.
Indikator Akhlak Baik dan Buruk
dalam Ilmu........................ 36
4.
Indikator Akhlak Baik dan Buruk
Persepektif Budaya........... 38
III.
Kesimpulan.......................................................................................... 41
IV.
Daftar Pustaka..................................................................................... 42
KATA PENGATAR
Alhamdulillah Hirobbil
‘alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya berupa kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Macam-macam
dan indikator akhlak”
dengan baik dan tanpa halangan. Tujuan dari penyusunan makalah ini, sebagai
salah satu syarat untuk memenuhi nilai mata kuliah Aqidah Akhlak. Untuk itu
kami mengucapkan terimakasih, kepada:
- Allah SWT, yang telah memberi kesempatan untuk penulis menimba ilmu dan pengalaman yang berharga, selama menyusun makalah ini.
- Orang Tua dan seluruh keluarga tercinta. Atas motivasi dan doa yang tak henti.
- Bpk. H. Wawan Setiawan Abdillah, dosen mata kuliah Aqidah Akhlak yang telah memberikan masukan yang berharga selama menyelesaikan pembuatan makalah ini.
- Serta Rekan-rekan dan semua pihak yang selalu mendukung.
Makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam isi
maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena itu, Kritik dan saran
sangat membantu dalam menyempurnakan dan mengembangkan bidang kajian ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan khususnya bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
Bandung, 17 Desember 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ajaran akhlak dalam islam bersumber dari wahyu illahi yang termasuk dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Akhlak dalam Islam bukanlah moral dan kondisional dan
situsasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak untuk
memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat kelak. Dalam keseluruhan
ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting.
Di dalam
Al-Qur’an saja banyak ayat-ayat yang membicarakan masalah akhlak, belum lagi
dengan hadits-hadits Nabi SAW. baik perkataan maupun perbuatan, yang memberikan
pedoman akhlak yang mulia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Akhlak dalam islam
bukanlah moral yang harus disesuaikan dengan suatu kondisi dan situasi, tetapi
akhlak yang benar-benar memiliki nilai-nilai mutlak, nilai-nilai baik dan
buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan saja, dimana saja dalam aspek
kehidupan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ajaran
akhlak dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia. Manusia akan mendapatkan
kaebahagian yan hakiki bukan semu bila mengikuti nilai-nilai kebaikan yang di
ajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah dua sumber akhak dalam Islam. Akhlak islam
benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat dengan
fitrahnya itu. Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur’an memang dapat
menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia di ciptakan oleh Allah SWT.
memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaanya. Allah SWT. berfirman:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Islam sesuai fitrah Allah disebabkan dia telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Ar-Rum :30).
Oleh sebab itu fitrah manusia kepada
kesucian dan cenderung pada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan
merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah SWT. namun fitrah
manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari
luar misalnya pengaruh pendidikan, lingkungan, pakaian juga pergaulan. Sehingga
manusia sulit membedakan antara akhlak terpuji dan akhlak tercela. Oleh sebab
itu dalam makalah ini akan membahas tentang “Macam-macam dan indikator akhlak”.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa pengertian
akhlak?
- Apa pengertian
akhlak terpuji dan
akhlak tercela?
- Apa saja yang termasuk akhlak terpuji dan akhlak tercela?
- Apa saja indikator
akhlak terpuji dan tercela?
1.3
Tujuan penulisan
- Bentuk peyelesaian tugas
mata kuliah Akidah dan Akhlak
- Menjelaskan akhlak terpuji
dan tercela beserta macam-macamnya
- Menjelaskan macam-macam
indikator akhlak terpuji dan tercela
- Mengetahui penerapan
akhlak terpuji dan akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN AKHLAK
akhlak secara etimologi berasal dari
kata khuluq dan jama’nya akhlaq, yang berarti budi pekerti, etika
dan moral. Demikian pula kata khuluq mempunyai kesesuaian dengan khilqun,
hanya saja khuluq merupakan perangai manusia dari dalam diri
(ruhaniah) sedang khilqun merupakan perangai manusia dari luar (jasmani)
Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzib
al-akhlaq wa Thathir al-A’raq mendefinisikan akhlak dengan keadaan gerak
jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak memerlukan pikiran.
Akhlak adalah
sikap hati yang mudah mendorong anggota tubuh untuk berbuat sesuatu”.
Menurut
Ahmad Yamin, yang disebut akhlak ialah kehendak yang di biasakan. Artinya
kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan
akhlak. Sedang yang dimaksud kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan
sesudah bimbang, sedangkan kebiasaan ialah perbuaan yang di ulang-ulang
sehingga mudah dikerjakan. Jika apa yang bernama kehendak itu dikerjakan
berulang-kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian yang
berproses menjadi akhlak.
Definisi-definisi
akhlak secara subtansial tampak saling melengkapi, dan memiliki lama ciri
penting dari akhlak yaitu:
1. Akhlak adalah perbuatan yang
tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadianya.
2. Akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat
melakukan sesuatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang
ingatan, tidur, atau gila.
3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul
dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari
luar. Perbutan akhlak adalah perbuatan dilakukan tas dasar kemauan, pilihan,
dan keputusan yang bersangkutan.
4. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sesungguhnya, bukan main-main, karna bersandiwara.
5. Sejalan denagan ciri yang keempat
perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik), akhlak adalah perbuatan
dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT. Bukan karna ingin mendapatkan suatu pujian.
Akhlak mempunyai dua pencerminan
yang tampak dan lahir pada diri seseorang yaitu akhlak terpuji dan akhlak
tercela. Seseorang berakhlak tercela, apabila setiap harinya kebiasaan yang
ditunjukan dari dirinya adalah perbuatan jelek dan jahat. Perbuatan sikap tercela itu sudah makanan
dan perhiasan sehari-harinya. Sebaliknya seseorang dikatakan berakhlak ,terpuji
apabila setiap harinya melakukan perbutan kebaikan dan kemuliaan. Kebaikan dan
kemuliaan itulah yang menjadi pakaian dan hiasan hidup sehari-harinya.
2.2
PENGERTIAN AKHLAK MAHMUDAH (TERPUJI)
Akhlak
terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan
bahasa Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf’ul
dari kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula
dengan akhlaq karimah (akhlak
mulia), atau makarim al-akhlaq (akhlak mulia), atau alm-akhlaq
al-munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya). Istilah yang kedua
berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW. yang terkenal yaitu: “Aku diutus untuk
menyempurnakan perangi (budi pekerti) yang mulia.
Berikut ini dikemukakan beberapa
penjelasan tentang pengertian akhlak terpuji:
·
Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan
dan kedekatan kepada Allah SWT. sehingga mempelajari dan mengamalakannya
merupakan kewajiban individual setiap muslim.
·
Menurut Al-Quzwaini, akhlak terpuji adalah ketepatan jiwa
dengan perilaku yang baik dan terpuji.
·
Menurut Al-Marwadi, akhlak terpuji adalah perangai yang baik
dan ucapan yang baik.
·
Menurut Ibnu Qayyim, pangkal akhlak terpuji adalah ketundukan dan keinginan ya ng tinggi. Sifat-sifat terpuji, menurutnya, berpangkal dari
kedua hal itu. Ia memberikan gambaran tentang bumi yang tunduk pada ketentuan
Allah SWT. ketika air turun menimpanya, bumi merespons dengan kesuburan dan menumbuhkan
tanam-tanaman yang indah. Demikian pula manusia, tatkala diliputi rasa ketundukan
kepada Allah SWT. lalu turun taufik dari Allah SWT. ia akan meresponsnya
dengan-sifat-sifat terpuji.
·
Menurut Ibnu Hazm, pangkal akhlak terpuji ada empat, yaitu
adil, paham, keberanian, dan kedermawanan.
·
Menurut Abu Dawud As-Sijistani (w. 275/889), akhlak terpuji
adalah perbuatan-perbuatan yang disenangi, sedangkan akhlak tercela adalah
perbuatan-perbuatan yang harus di hindari.
Keutamaan
akhlak terpuji disebutkan dalam banyak hadis. Diantaranya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh abu dzarr dari Nabi Muhammad SAW:
“Wahai Abu Dzarr! ‘Maukah aku tunjukan dua hal yang sangat
ringan dipunggung, tetap sangat berat di timbangan (pada hari kiamat kelak)?
‘Abu Dzarr menjawab, Tentu, wahai rasulullah’. Beliau melanjutkan, Hendaklah
kamu melakukan akhlak terpuji dan ban yak diam. Demi allah yang tanganku berada
di genggaman-Nya, tidak ada makhluk lain yang dapat bersolek dengan kedua hal
tersebut.
2.2 MACAM-MACAM
AKHLAK TERPUJI
Dalam menentukan macam-macam akhlak
terpuji, para pakar muslim umumnya merujuk pada ketentuan Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Ini tentunya seiring konsep baik dan buruk dalam pandangan Islam
sebagaimana yang telah dipaparkan. Muhammad bin Abdillah As-Sahim, umpamanya,
menyebutkan bahwa di antara akhlak terpuji adalah bergaul secara baik dan berbuat
baik secara kepada sesama, adil, rendah hati, jujur, dermawan, tawakal, ikhlas
bersyukur, sabar dan takut kepada Allah SWT. Selain sifat-sifat itu,
Al-Qurthubi (1214-1273) menambahakan dengan sifat memberi nasihat kepada sesama,
membenci dunia, zuhud serta mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya. Hassan Al-Athtar menambahinya dengan
keselamatan batin (hati). Al-Muttaqi Al-Hindi (1477-1567) dalam kanz
Al-Ummal menjelaskan secara rinci akhlak terpuji bedasarkan secara abjad.
Hampir semua akhlak terpujinya disebutkan dalam kitabnya.
Dalam
sebuah riwayat dari Aisyah dikatakan bahwa akhlak terpuji ada sepuluh, yaitu
jujur, berani di jalan Allah SWT. memberi kepada pengemis, membalas
kebaikan orang lain, silaturrahmi, memnunaikan amanat, memuliakan tetangga,
memuliakan tamu, dan malu (Perawi tidak menyebutkan kesepuluhnya).
Selanjutnya,
uraian akhlak terpuji berikut ini akan dijelaskan bedasarkan pembagian berikut:
(1) akhlak kepada Allah SWT. (2) akhlak terhadap diri sendiri; (3) akhlak
terhadap keluarga; (4) akhlak terhadap masyarakat; (5) akhlak terhadap
lingkungan.
1. Akhlak
terhadap Allah SWT.
Di antara
akhlak kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut.
a. Menauhidkan
Allah SWT.
Definisi
tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT. sata-satunya yang memiliki sifat rububiyyah
dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat. Tauhid dapat dibagi ke dalam tiga
bagian.
1. Tauhid Rububiyyah, yaitu meyakini
bahwa Allah SWT. satu-satunya Tuhan
yang menciptakan alam ini, yang memilikinya, yang mengatur
perjalanannya, yang menghidup dan mematikan, yang menurunkan rezeki kepada
makhluk, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat, yang
mengabulkan do’a dan permintaan hamba ketika terdesak, yang berkuasa
melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang memberi dan mecegah, di tangan-Nya
segala kebaikan dan bagi-Nya penciptaan dan juga segala urusan.
2. Tauhid Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah SWT. seperti berdo’a,
meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya
dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah SWT. termasuk perbuatan
dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada
Allah SWT.
3. Tauhid
Asma dan Sifat yaitu mengesakan Allah dengan cara menetapkan bagi
Allah nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (dalam
firmannya) atau yang disebutkan oleh Rasul-Nya (dalam hadits), tanpa
mengilustrasikan (Takyif), menyerupakan dengan sesuatu (Tamtsil),
menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama atau sifat
tersebut (Ta’thil).
b. Berbaik sangka (husnu zhann)
Berprasangka
baik kepada apapun yang Allah SWT. berikan kepada kita.semua nikmat yang kita terima dari Allah harus
disikapi dengan baik sangka. Sehingga kita rela dan ikhlas menerima nikmat-Nya
tersebut. Jika kita selalu berprasangka baik kepada Allah SWT. niscahya kita akan
selalu merasa bersyukur atas apa yang Allah SWT. berikan kepada kita, dan kita yakin bahwa itu adalah yang terbaik bagi kita
menurut Allah SWT. sebab, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah SWT. Berbaik sangka
terhadap keputusan Allah SWT. merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara
ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-sungguh kepada-Nya.
c. Zikrullah
Mengingat
Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT. Karena
merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat dan
tempat. Diriwayatkan dari aisyah bahwa Rasulullah SAW. senantiasa mengingat
Allah SWT. pada sepanjang hidupnya (H.R. Muslim). Zikrullah merupakan
aktivitas paling baik dan paling mulia bagi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak inginkah kalian kuberitahu tentang amal yang lebih baik yang dapat
meningkatkan derajat kalian di hadapan Allah, yang lebih bagus daripada
menyedekahkan emas dan perak yang lebih baik dari pada kalian berperang melawan
musuh, lalu kalian saling memukul dengan mereka? Kaum muslim menjawab, ya,
tentu saja kami ingin.’ Rasullullah bersabda, yaitu dzikir kepada Allah yang maha
agung dan mahatinggi.”
d. Tawakal
Tawakal
dalam bahasa arab tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam
agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam
menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu
menanti akibat dari suatu keadaan. Dengan demikian, hamba percaya dengan bagian
Allah SWT. untuknya. Apa yang telah ditentukan Allah SWT. untuknya, ia yakin
pasti akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak ditentukan Allah SWT.
untuknya, ia pun yakin pasti tidak akan memperolehnya.
Tawakal merupakan
gambaran keteguhan hati dalam mengantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Dalam
hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal
dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai
landasan tawakal.
Tawakal mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan pemahaman manusia akan takdir, ridha, ikhtiar,
sabar dan doa. Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah
SWT. untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudaratan, baik menyangkut
urusan dunia maupun urusan akhirat. Allah
SWT. berfirman:
“…Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka
bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
bertawakal. (Q.S. Al-Imran
[3]: 159)
Mewujudkan tawakal
bukan berarti meniadakan ikhtiar atau mengesampingkan usaha. Ibnu Rajab menegaskan, “Tawakal tidak
serta merta menafikan ikhtiar untuk memilih sebab-sebab yang telah di tetapkan
Allah SWT, Tidak pula menafikan menjalani sunnatullah yang telah di
tetapkan, Sebab, Allah SWT. memerintahkan hamba-Nya untuk menjalani sebab-sebab
di samping perintah bertawakal Menjalani sebab dilakukan oleh anggota tubuh,
sedangkan tawakal di lakukan oleh hati. Pendapat senada diungkapkan
oleh Al-Ghazali Ia menegaskan bahwa hakikat tawakal tidak menafikan sebab.
Sebab, jika sebab tidak di perlukan, seseorang tidak perlu menjulurkan tali
timba untuk mengambil air dari sumur. Ia hanya tinggal menunggu Allah SWT.
mengutus seseorang untuk membantunya mengambilkan air.
Takdir Allah SWT.
dan sunnatullah terhadap makhluk-Nya terkait erat dengan ikhtiar makhluk itu
sendiri sebab Allah SWT. yang telah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar.
Pada saat yang sama, dia juga memerintahkan hamba-Nya untuk bertawakal. Ikhtiar
itu adalah perintahnya terhadap jasad lahiriah kita, sedangkan tawakal adalah
perintah-Nya terhadap hati kita sebagai
manisfetasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Banyak diantara para ulama yang
telah menjelaskan makna tawakal, diantranya adalah Al-Munawi beliau mengatakan
tawakal adalah menampakan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang
ditawakkali. Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan,“Tawakal
berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk. “Al-Hasan
Al-bashri pernah ditanya tentang tawakal, maka beliau menjawab, “Ridha kepada
Allah SWT. Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, Tawakal adalah bersandarnya hati
dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak
bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan. Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari
berbagai sebab setelah sebab disiapkan.
Sifat Tawakkal ini memiliki
keutamaan yang luar biasa diantaranya adalah:
1.
Tawakal adalah
setengah agama.
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Fatihah ayat 5 Allah SWT
berfirman:“Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadamu kami memohon
pertolongan. “para ahli tafsir menjelaskan bahwa induk Al-Qur’an adalah
surat Al-Fatihah. Sedangkan inti dari surat Al-Fatihah adalah ayat ke-5 di
atas. Dengan kata lain, ajaran yang terkandung dalam ayat ini merupakan inti
dari ajaran Islam adalah beribadah hanya kepada Allah semata. Sementara kita
tidak bisa mewujudkan tujuan ini kecuali
hanya dengan bantuan dari Allah SWT. penggalan pertama ayat ini: “hanya
kepadaMu kami beribadah” merupakan tujuan ajaran Islam, sedangkan penggalan
kedua. “hanya kepadaMu kami memohon pertolongan” merupakan sarana untuk
mewujudkan tujuan inti ajaran Islam tersebut.
2.
Tawakal
merupakan pondasi tegaknya iman dan terwujudnya amal shaleh.
Ibnu Qayyim menyatakan, “Tawakal merupakan pondasi tegaknya iman,
ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakal terhadap amal
seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagimana
kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman
dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali diatas pondasi
tawakkal.”
3.
Tawakkal
merupakan bukti iman seseorang.
Allah berfirman:
“Bertawakkal-lah kalian hanya kepada Allah jika kalian
orang-orang beriman.
(QS. Al-Maidah:23). Ayat ini menunjukan bahwa tawakkal hanya kepada
Allah merupakan bagian dari iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.
4.
Tawakkal
merupakan amal para Nabi
Hal ini sebagai keterangan Ibn-Abbas r.a ketika menjelaskan satu
kalimat “hasbunallaah wa ni’mal wakil” yang artinya “Cukuplah Allah
(menjadi penolong kami) dan sebaik-baik dzat tempat bergantunnya tawakkal.”
Beliau mengatakan, “sesungguhnya kalimat yang diucapkan Nabi Ibrahim a.s ketika
beliau dilempar kedalam api dan juga yang di ucapkan Nabi Muhammad SAW. ketika
ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah Arab telah bersatu
untuk menyerang kalian{Kaum Muslimmin)…” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i)
5.
Orang yang
bertawakkal kepada Allah akan dijamin kebutuhannya.
Allah berfirman:
“dan Dia memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah, niscahnya Allh akan mencukupkan (kebutuhannya). Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusa-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi
setiap sesuatu .” (QS. At-
Thalaq: 3)
e. Khauf (takut)
Khauf menurut etimologi adalah takut, secara istilah adalah sifat
takut hanya kepada Allah SWT. karena siksa dan ancaman-Nya yang amat dahsyat,
sehingga orang yang memiliki sifat khauf ini senantiassa melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjauhkan seluruh larangan-Nya dengan penuh ridha dan
ikhlas.
Allah SWT berfirman:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya,
sedang mereka berdo’a kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf)dan
harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada
mereka. “(Q.S. As-Sajda:
16).
Khauf merupakan bagian dari sifat mulia, karena dengan sifat ini,
seseorang semakin menyadari bahwa dirinya hanya manusia lemah dan tidak berdaya
jika siksa dan ancaman Allah menghampiri dirinya. Rasa takut (khauf) merupakan
sifat kejiwaan dan kecendrungan alami yang bersemayam dalam hati manusia. Ali
bin Abi Thalib r.a berkata: “barangsiapa yang takut, aman!”
Sebagai gambaran
pentingnya sifat takut ini adalah jika kita tidak takut hujan, kita tidak akan
sedia payung, bila kita tidak takut sakit, kita tidak berupaya meningkatkan
kesehatan kita.
Islam memandang
rasa takut yang ada dalam diri manusia sebagai aib yang harus dihilangkan.
Namun demikian, rasa tajut akan menjadi sesuatu yang buruk apabila seseorang
tidak mampu mengatur dan menyalurkan rasa takutnya, apa lagi rasa takut itu
jadi perintang kemajuan, kebebasan dan kehormatannya.
2. Akhlak terhadap
Diri Sendiri
Di antara akhlak terpuji terhadap
diri sendiri adalah sebagai berikut.
a. Sabar
Menurut penuturan
Abu Thalib Al-Makky (w. 386/996), sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa
nafsu demi menggapai keridhaan Tuhannya dan mengantinya dengan
bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah SWT. terhadapnya . Sabar
dapat didefinisikan pula dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati
ridha serta menyerahkan diri kepada allah SWT. setelah berusaha. Selain itu,
sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal
ketaatan kepada Allah SWT. yaitu menjalankam perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
Sabar dalam
pandangan Al-Ghazali merupakan tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-orang
yang hendak menuju Allah SWT. Ciri
utama sabar, menurut Al-Muhasibi adalah mengadu kepada siapa pun ketika
mendapatkan musibah dari Allah SWT.
Al-Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
lafaz ash-shabar dalam Al-Qur’an disebutkan di sembilan puluh tempat (ayat).
Hal ini menunjukkan sabar memiliki kedudukan tinggi dan mulia dalam Islam. Oleh
karena itu, Al-Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sabar setengah dari keimanan
dan setengahnya lagi adalah syukur.
Berikut ini kata sabar dalam Al-Qur’an sebagai
berikut:
1. Sabar sebagai perintah dari Allah SWT, Firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman mohonlah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat (Q.S. Al-Baqarah: 153)
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah
dan kuatkanlah kesabaranmu (Q.S. Al-Imran: 200)
Perintah sabar dalam dua ayat di atas
menerangkan bahwa sabar termasuk ibadah dari ibadah-ibadah yang Allah SWT
wajibkan kepada hamba-Nya terlebih lagi, Allah SWT kuatkan perintah sabar
tersebut dalam ayat yang kedua (bersabarlah dan kuatkan kesabaranya). Sekaligus
juga menunjukkan bahwa ada orang-orang yang kesabaranya tipis dan ada juga yang
kuat kesabarannya. Barang siapa yang memiliki kesabaranya yang kuat itu, berarti ia
telah menduduki derajat yang tinggi disisi Alah SWT. bahkan perintah sabar pula
kepada Rasulullah SAW sebagai mana firman-Nya:
”Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang
yang menyeru rabb mereka di waktu pagi dan senja dengan mengharap wajah-Nya,
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)
2. Larangan dari lawan kesabaran
Allah SWT juga melarang dari perbuatan yang
meniadakan kesabaran. Sebagaimana firman-Nya:
”Dan janganlah kamu bersikap lemah dan jangan
pula kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang tinggi (derajatnya), jika
kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Imran:139).
Adanya larangan dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengurangi
atau menghilangkan kesabaran menguatkan sifat perintah untuk bersabar. Sehingga
sabar itu benar-benar meupakan ibadah yang bersifat wajib bukan sebatas sunnah
(anjuran).
3. Pujian Allah SWT terhadap orang-orang yang
bersabar
Allah SWT. memuji mereka sebagai orang-orang
jujur dalam keimanannya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 177)
Dalam kitab Madarijus Salikin karya Al-Imam
Ibnul Qayyim, disebutkan bahwa ayat-ayat yang semisal ini banyak dalam
Al-Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dancobaan dari
Allah SWT it benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT.
4. Mendapat kecintaan dari Allah SWT
Semua orang beriman berharap menjadi golongan
orang-orang yang di cintai oleh Allah SWT. Allah SWT
mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa golongan yang mendapatkan kecintaan-Nya
adalah orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dari Allah SW.
Sebagimana Allah SWT tegaskan dalam firmanya:
“dan Allah it mencintai orang-orang yang sabar”(Q.S. Al-Imran:146)
5. Allah SWT bersama orang-orang yang sabar
Allah SWT
berfirman:
“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama dengan
orang-orang yang sabar.”(Q.S. Al-Anfal:46)
Yang dimaksud Allah SWT bersama orang-orang
yang sabar adalah penjagaan dan pertolongan Allah selalu menyertai mereka. Bahkan
dalam ayat lain, Allah SWT.benar-benar menjamin penjagaan dan
pertolongan-Nya itu selalu bersama dengan orang-orang yang sabar. Sebagaimana
firman-Nya :
”Ya, jika kamu bersabar dengan bertakwa,
dengan mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscahya Allah menolong
kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (Q.S.
Al-Imran:125)
6. Mendapatkan ganjaran yang lebih baik dari
amalnya
Allah SWT memberikan ganjaran bagi orang-orang
yang sabar melebihi usaha atau amalan yang ia lakukan. Sebagaimana firman-Nya:
”Dan sesungguhnya kami memberi balasan bagi
orang-orang yang sabar dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl:126)
7. Mendapat ampunan
Selain Allah SWT. memberikan ganjaran yang
lebih baik dari amalnya kepada orang yang sabar, Allah SWT juga memberikan
ampuna kepada mereka seperti firman Allah SWT:
”kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal
shaloih, mereka itulah yang akan mendapatkan ampunan dan ganjaran yang besar.”(Q.S.
Hud:11)
8. Mendapat martabat tinggi didalam surga
Anugrah yang lebih besar bagi orang-orang yang sabar adalah berhak mendapatkan martabat yang lebih
tinggi dalam al-jannah, Allah SWT berfirman yang artinya: Mereka (orang-orang
yang sabar) itulah yang akan dibalas dengan martabat yang tinggi ( dalam al-jannah) dikarenakan kesabaran mereka, dan mereka
disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya.”(Al-Furqan:75)
9. Sabar adalah jalan yang terbaik
Sabar merupakan jalan terbaik bagi siapa yang
mengiginkan kebaikan dunia dan akhiratnya. Hal ini sebagaimana Allah
firmankan:
”...kalau seandainya kalian mau bersabar,
sungguh itu berakibat lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Q.S An-Nisa:25).
b. Syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk
tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam melakukan maksiat
kepada-Nya. Bentuk syukur ini ditandai dengan keyakinan hati bahwa nikmat yang
diperoleh berasal dari Allah SWT.,bukan selain-Nya, lalu diikuti pujian oleh
lisan, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk sesuatu yang dibenci pemberinya.
Bentuk syukur terhadap nikmat Allah
SWT. yang telah diberikan adalah dengan jalan mempergunakan nikmat Allah SWT.
dengan sebaik-baiknya. Adapun karunia yang diberikan Allah SWT. harus kita
manpaatkan dan kita pelihara, seperti pacaindra, harta benda, ilmu pengetahuan,
dan sebagainya. Apabila kita sudah mensyukri karunia Allah SWT.itu berarti
kita telah bersyukur kepada-Nya sebagai penciptanya. Bertambah banyak kita
bersyukur, bertambah pula nikmat yang kita terima.
Profesor psikologi asal Univesity of
california, Davis, AS. Robert Emmons, sekaligus pakar terkemuka di bidang
penelitian”sikap bersyukur”, telah memperlihatkan bahwa dengan setiaphari
mencatat rasa syukur atas kebaikan yang diterima. Orang mnjadi lebih teratur
berolah raga, lebih sedikit megeluhkan gejela penyakit, dan merasa
keseluruhannya hidupnya lebih baik dibandingkan dengan dengan mereka yang suka
berkeluh kesah setiap hari.
Insan bersyukur menyatakan diri
mereka merasakan tingginya perasaan positif, kepuasan hidup, semangat hidup,
dan pengharapan baik dimasa depan, mereka juga mengalami kemurungan dan tekanan
batin dengan kadar rendah. Kalangan yang memiliki kebiasaan kuat dalam
bersyukur atau berterima
kasih memiliki
kemampuan menyelami kemampuan orang lain. Dan mengambil dari sudut pandang
orang lain. Mereka ditenggarai lebih memilih dermawan dan lebih ringan tangan
oleh orang-orang dijalinan persahabatan mereka.
Pribadi-pribadi yang bersyukur dilaporkan memiliki sifat
materialistis yang rendah. Mereka tidak begitu menarug perhatian penting pada
hal-hal yang bersifat materi. Mereka cenderung tidak menilai keberhasilan atau
keberuntunan diri mereka sendiri dan orang lain dari jumlah harta benda yang
mereka kumpulkan.
Dibandingkan dengan kaum yang kurang
berterima kasih, kalangan yang bersyukur cenderung bukan berwatak pendengki
terhadap kaum kaya, dan bersikap mudah memberikan apa yang mereka punya kepada orang
lain.
c. Menunaikan Amanah
Pengertian amanah menurut
arti bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan (tsiqah), atau
kejujuran, kebalikan dari khianat. Amanah Adalah suatu sifat dan sikap
pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang
dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun tugas kewajiban. Pelaksanan
amanat denagan baik biasa disebut al-amin yang berarti dapat di percaya,
jujur, setia, aman.
Suatu amanah
sebenarnya adalah suatu tugas yang bera dipikul, kecuali bagi orang yang memiliki
sifat dan sikap amanah. Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya, kami telah menawarkan amanat kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan sangat
bodoh.”(Q,S
Al-Ahzab[33]: 72)
Berkaitan amanat ini, Amir ibn
Muhammad Al-Madary pernah bertutur, “Siapa yang menyempurnakan dirinya dengan
sifat amanat, ia telah menyempurnakan keberagamannya secara kesuluruhanya.
Di antara manifestasi amanat,
menurut Muhammad Al-Ghazali adalah berusaha sekeras mungkin melaksanakan
kewajiban yang dibebankan kepadanya secara sempurna. Termasuk didalamnya adalah
memenuhi hak-hak orang lain yang dipercayakan kepadanya untuk ditunaikan.
d. Benar atau Jujur
Maksud akhlak terpuji ini adalah
berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar
dalam perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngada,
dan tidak pula menyembunyikannya. Lain halnya apabila yang disembunyikannya itu
bersifat rahasia atau karena menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan
adalah mengerjakannya sesuau sesuai dengan petunjuk agama. Apa yang boleh
dikerjakan menurut perintah agama, berarti itu benar. Dan apa yang tidak boleh dikerjakan
sesuai dengan larangan agama, berarti itu tidak benar.
Diantara ciri benar atau jujur
menurut Al-Muhasiby adalah mengharapkan keridaan Allah SWT.semata dalam
perbuatan , tidak mengharapkan imbalan dari makhluk, dan benar dalam ucapan.
Apa yang dituturkan Al-Muhasiby
sejalan apa yang dikatakan Al-Ghazali. Ia menegaskan bahwa benar dan jujur yang
sempurna adalah hendaklah seseorang mendapatkan sifat riya’ dari dirinya,
sehingga bagi dirinya tidak perbedaan antara orang yang memuji dan mencelanya.
Sebab,ia tahu bahwa yan memberikan manfaat atau bahaya hanyalah Allah SWT.
semata, sementara makhluk tidak memberikan apa-apa. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya, kebenaran itu membawa pada
kebaikan dan kebaikanitu membawa ke surga. Seseorang yang membiasakan diri
berkata benar tercatat disisi Allah sebagai orang yang benar.”(H.R.
Muttafaq)
Jika kebenaran dan kejujuran telah
membudaya dalam suatu masyarakat, akan terlihat suatu kehidupan yang serasi
(harmonis), aman, dan damai dalam masyrakat itu.
e. Menepati janji (al-wafa’)
Dalam Islam,
janji merupakan utang. Utang harus di bayar (ditepati). Kalau kita mengadakan
suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikan pada waktunya. Janji
mengandung tanggung jawab. Apabila tidak kita penuhi atau tidak kita tunaikan,
dalam pandangan Allah SWT., kita termasuk orang yang berdosa. Adapun dalam pandangan manusia, mungkin kita tidak
percaya lagi, dianggap remeh, dan sebagainya. Akhirnya, kita mersa canggung bergaul,
merasa rendah diri, jiwa gelisah, dan tidak tenang.
Di samping perintah agama, menepati
janji dalam pandangan Al-Mawardi (386-450H) merupakan salah satu kewajiban
seorang pemimpin, bahkan menjadi tonggak berdirinya pemerintahan yang di
pimpinnya. Sebab, jika seseorang pemimpin tidak dapat dipercaya dengan janjinya
terjadi banyak pembangkangan dari rakyat Dengan demikian, tonggak pemeritah pun
terancam roboh.
Rasulullah SAW menjelaskan:
“Tanda
orang munafik itu tiga, yaitu apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji,
ia mangkir, dan apabila diberi amanah (dipercaya), ia berkhianat.”(H.R.Bukhari dan muslim)
f. Memelihara kesucian diri
Memelihara kesucian diri (a-iffah)
adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan.
Upaya memelihara kesucian diri hendaknya dilakukan setiap hari agar diri tetap
berada dalam status kesucian. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara
hati (qalbu) untuk tidak membuat rencana dan angan-angan yang buruk.
Menurut Al-Ghazali, dari kesucian diri akan lahir sifat-sifat terpuji lainnya,
seperti kedermawanan, malu, sabar, toleran, qanaah, wara, lembut, dan membantu.
Kesucian diri terbagi dalam beberapa
bagian:
1. kesucian panca indra
2. kesucian jasad
3. kesucian dari memakan harta orang lain
4. kesucian lisan
Berkaitan denagan keutamaan kesucian
diri Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Seseorang tidak akan memperoleh kesempurnaan
jika pada dirinya tidak terdapat dua hal, yaitu menyucikan diri dari keinginan
meminta harta orang lain dan keinginan untuk mengambilnya Muhammad bin Ali berkta, “Kesempurnaan
terdapat dalam tiga hal yaitu kesucian diri dalam beragama, sabar dalam
menghadapi musibah, dan mengelola kehidupan dengan baik. Rasulullah
SAW. bersabda:
“Barang siapa yang berusaha menjaga diri (dari
yang haram), niscahya Allah menjaga (dari yang haram), barang siaoa yang merasa
cukup niscahya Allah memberikan kekayaan kepadanya.
3. Akhlak terhadap Keluarga
a. Berbakti kepada orangtua
Berbakti kepada kedua orangtua merupakan faktor
utama diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal saleh yang paling utama
yang dilakukan oleh seseorang muslim. Salah satu keutamaan berbuat baik kepada
kedua orangtua, disamping melaksanakan ketaatan atas perintah Allah SWT. adalah
menghapus dosa-dosa besar. Hal itu sebagai mana tergambar dalam ucapan Ali bin
Abi Thalib. Demikian pula dikatakan Ibnu Abd Al-Barr dari Al-Makhul.
Ibnu Al-Jauzi secara lebih terperinci menjelaskan keutaamaan berbuat baik
kepada kedua orang tua dalam kitabnya Birr Al-Walidain. Allah
SWT berfirman:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar
berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku
kembalimu.”(Q.S. Luqman [31]: 14).
b. Bersikap baik kepada saudara
Agama Islam
memerintahkan untuk berbuat baik kepada sanak saudara atau kaum kerabat
sesudah menunaikan kewajiban kepada
Allah SWT. dan ibu bapak. Hidup rukun dan damai dengan saudara dapat tercapai
apabila hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan tolong-menolong.
Pertalian kerabat itu dimulai dari yang lebih dekat dengan menurut tertibnya
sampai kepada yang lebih jauh. Kita wajib membantu mereka, apabaila mereka
dalam kesukaran. Sebab, dalam hidup ini hampir semua orang mengalami kesukaran
dan kegoncangan jiwa. Apabila mereka memerlukan pertolongan yang bersifat
benda, bantulah dengan benda, Apabila mengalami kegoncangan jiwa atau gelisah,
cobalah menghibur atau menasihatinya. Sebab, bantuan itu tidak hanya berwujud
uang (benda), tetapi juga bantuan moril. Kadang-kadang bantuan moril lebih
besar artinya daripada bantuan materi. Rasulullah SAW. bersabda:
“Berbuat baiklah kepada ibu dan bapakmu,
saudaramu perempuan, dan saudaramu laki-laki, Sesudah itu (kerabat) yana lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.”
4. Akhlak terhadap Masyarakat
a. Berbuat baik pada tetangga
Tetangga adalah oranag yang terdekat
dengan kita. Dekat karena bukan pertalian darah atau pertalian persaudaraan.
Bahkan ,mungkin tidak seagama dengan kita. Dekat disini adalah orang yang
berdekatan dengan rumah kita.Ada atsar yang menunjukan bahwa tetangga
adalah empat puluh rumah (yang berada disekitar rumah) dari setiap penjuru mata
angin. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa yang berdekatan dengan
rumahmu adalah tetangga.
Para ulama membagi tetangga menjadi tiga macam.
·
Tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan
kekeluargaan. Tetangga semacam ini mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga,
hak Islam, dan hak kekerabatan.
·
Tetangga muslim saja, tapi bukan kerabat.
Tetangga semacam ini mempunyai dua hak, yaitu tetangga dan hak islam.
·
Tetangga kafir walaupun kerabat. Tetangga
semacam ini hanya mempunyai satu hak, yaitu tetangga saja.
b. Suka menolong orang lain
Dalam hidup ini
jarang sekali ada orang yang tidak memerlukan pertolongan orang lain. Ada
kalanya karena sengsara dalam hidup; ada kalanya penderitaan karena penderitaan
batin atau kegelisahan jiwa ; ada kalanya sedih mendapat berbagai musibah. Oleh
sebab itu, belum tentu orang kaya dan orang yang mempunyai kedudukan tidak
memerlukan pertolongan orang lain.
Orang mukmin apabila melihat orang lain
tertimpa kesusahaan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan
kemampuanya. Apabila tidak ada bantuan berupa benda, kita dapat membantu orang
tersebut dengan nasihat atau kata-kata yang dapat menghibur hatinya. Bahkan,
sewaktu-waktu bantuan jasa lebih diharapakan daripada bantuan-bantuan lainya.
5. Akhlak terhadap Lingkungan
Pada dasarnya,
akhlak yang di ajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interkasi manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan
penciptanya.
Dalam pandangan akhlak islam, seseorang tidak
dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
karena hal ini tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan
penciptanya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang
sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini
mengantarkan manusia bertanggung jawab sehinnga ia tidak melakukan perusakan
bahkan dengan kata lain.”Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai
sebagai perusakan pada diri manusia sendiri,”
Binatang, Tumbuhan, dan benda-benda tidak
bernyawa, semua itu diciptakan oleh Allah SWT. dan menjadi milik-Nya, serta
semua memiliki kebergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang
muslim untuk menyadari bahwa semuanya “umat” Tuhan yang harus diperlakukan
secara wajar dan baik. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6): 38
ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti
manusia sehinnga semuanya seperti ditulis
Al-Qurthubi (w. 671 H) di dalam tafsirnya “Tidak boleh diperlakukan
secara aniaya.”
Jangankan dalam masa damai, dalam peperangan
pun terdapat petunjuk Al-Qur’an yang melarang melakukan penganiyaan. Jangankan
terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun
dilarang, kecuali terpaksa, tatapi itu pun harus seizin Allah SWT., dalam arti
harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan yang besar.
2.4 PENGERTIAN AKHLAK
TERCELA (MADZMUMAH)
Kata Madzmumah berasal dari
bahasa Arab yang artinya tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak
tercela. Istilah ini digunakan oleh beberapa kitab tentang akhlak, seperti ihya
‘ulumu Ad-Din dan Ar-Rislah Al-Qusairiyyah. istilah lain yang digunakan
adalah masawi’ al-akhlaq sebagaimana digunakan oleh Asy-Syamiri.
Segala bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji
disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela
dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai manusia.
Bentuk-bentuk akhlak tercela bisa berkaitan dengan Allah SWT, Rasulullah SAW, dirinya,
keluarganya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Banyak keterangan
yang menjelaskan perintah menjauhi akhlak tercela dan pelakunya, diantaranya:
1. Rasulullah SAW.
Bersabda:
“seandainya akhlak buruk itu
seseorang yang berjalan di tengah-tengah manusia, ia pasti orang yang buruk. Sesungguhnya, Allah tidak
menjadikan perangkat jahat.”
2. Rasulullah SAW.
Bersabda:
“sesungguhnya akhlak tercela merusak
kebaikan sebagaimana cuka merusak madu.”
2.5 MACAM-MACAM AKHLAK
TERCELA
1. Syirik
Syirik secara bahasa adalah mempersekutukan Allah, secara istilah adalah
perbuatan yang mempersekutukan Allah SWT. dengan sesuatu yang lain. Orang yang
berbuat syirik disebut musyrik. Seorang musyrik melakukan sesuatu perbuatan
terhadap makhluk (manusia maupun benda) yang seharusnya perbuatan itu hanya
ditunjukan kepada Allah seperti menuhankan sesuatu selain Allah dengan
menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya, menaatinya, atau melakukan
perbuatan lain yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Ada tiga
macam syirik berdasarkan definisi umum, yaitu: (1) Ay-Syirik I Ar-Rububiyah,
yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya mengenai sesuatu berkaitan
dengan pemeliharaan alam; (2) Asy-Syirik f Al-Asma’ wa Ash-Shifa,
yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya berdasarkan nama dan sifat; (3) Asy-Syirik
fi Al-Uluhiyyah, yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya mengenai
ketuhanan.
Adapun definisi syirik secara khusus
adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT. Dan memperlakukannya seperti Allah
SWT. seperti berdo’a dan meminta syafaat. Syirik ada dua macam: yaitu syirik
akbar (syirik besar) dan syirik ashgar (syirik kecil). Syirik
akbar adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT. Lalu menyembahnya. Pelakunya
keluar dari Islam dan segala amal baiknya terhapus. Jika mati dalam keadaaan
seperti itu, maka ia akan abadi dalam neraka jahanam. Siksanya tidak akan
diringankan sedikit pun. Adapun Syirik ashgar adalah setiap perbuatan
yang menjadi perantara menuju syirik akbar, atau perbuatan yang dicap
syirik oleh nash, tetapi tidak sampai mencapai derajat syirik akbar.
Perbedaan antara syirik besar dan
syirik kecil dapat dijelaskan sebagai berikut
1.
Syirik besar
tidak akan diampuni Allah SWT. kecuali melalui taubat yang sebenarnya sedangkan
syirk kecil diampuni atau tidaknya bergantung pada kehendaknya-Nya.
2.
Syirik besar
akan menghapus seluruh amal baik, sedangkan syirik kecil tidak sampai menghapus
seluruh amal baik, kecuali perbuatan-perbuatan yang menyertainya.
3.
Syirik besar
menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, sedangkan syirik kecil tidak.
4.
Syirik besar
menyebabkan pelakunya abadi dalam neraka, sedangkan syirik kecil sama seperti
dosa-dosa lainnya.
2. Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata
sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur
adalah sifatnya. Menurut syara, kufur adalah tidak beriman kepada Allah
SWT. Dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan. Kufur ada
jenis yaitu kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah perbuatan yang
menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan abadi dalam neraka. Kufur besar ada lima macam.Yaitu:
1
Kufur karena
mendustakan para Rasul. Allah SWT. berfirman:
“Dan siapakah yang lebih lazim daripda orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan Allah atau orang yang mendustakan yang hak ketika
(yang hak) itu datang kepadanya? Buka-kah dalam neraka jahanam ada tempat bagi
orang-orang kafir?”(Q.S.
Al-Ankabut [29]:68)
2
Kufur karena
enggan dan sombong, padahal tahu kebenaran risalah para rasul. Allah SWT.
berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada malaikat, sujud lah
kamu kepada adam! Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Ia menolak dan
menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 34)
3
Kufur karena
ragu, yaitu ragu-ragu terhadap kebenaran para rasul. Allah SWT. berfirman:
“ dan dia memasuki dengan sikap merugikan dirinya sendiri (karena
angkuh dan kafir), dia berkata ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
dan aku kira hari kiamat itu tidak akan datang dan sekiranya aku dikembaliakan
kepada tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang baik dariada ini!
Kawanya (yang beriman) berkata kepadanya sambil bercakap-cakap dengannya,
apakah engkau ingkar kepada tuhan yang menciptkan engkau dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, lalu dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang
sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak
meytukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”(Q.S. Al-Khaf [18]: 35-38)
4
Kufur karena
berpaling, yaitu berpaling secara menyeluruh dari agama dan apa yang dibawa
para rasul. Allah SWT berfirman:
“kami tidak akan menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam wktu yang
ditentukan. Namun, orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang
diberikan kepada mereka.”(Q.S. Al-Ahqaf [46]: 3)
5
Kufur karena
nifak, yaitu I’tikad, menampakan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Allah
SWT berfirman:
“yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman,
kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehinggah mereka tidak dapat
mengerti.”(Q.S. Al-Munafiqun [63]: 3)
Adapun kufur kecil, yaitu kufur yang
tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tidak menyebabkan abadi
dalam neraka. Pelakunya hanya mendapatkan ancaman keras. Kufur kecil adalah
dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa
kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
3. Nifak dan Fasik
Secara bahasa, nifak berarti lubang tempat keluarnya yarbu
(binatang sejenis tikus) dari sarangnya. Jika ia dicari dari lubang yang satu,
ia akan keluar dari lubang lain. Dikatakan pula, kata nifak berasal dari kata
yang berarti lubang bawah tanah tempat bersembunyi. Adapun nifak menurut syara,
artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan
kejahatan. Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentang
dengan apa yang terkandung di dalam hati. Dinamakan demikian karena pelakunya
masuk Islam melalui satu pintu, lalu keluar dari pintu yang lain. Atas dasar
itu, Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang munafik itu orang-orang fasik
(Q.S. At-Taubah [9]:67), yaitu keluar dari syara’.
Nifak terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
1.
Nifak I’tiqadi
adalah nifak besar yang pelakunya menampakkan keIslaman, tetapi menyembunyikan
kekufuran dalam hatinya. Jenis nifak ini menyebabkan pelakunya keluar dari
agama Isalam dan abadi dalam neraka. Allah SWT menyifati pelakunya dengan sifat-sifat
buruk seperti, kafir, tidak memiliki iman, mengolok-olok Islam dan pemeluknya,
dan cenderung kepada musuh Allah SWT. Nifak I’tiqadi ini ada enam macam, yaitu
sebagai berikut.
a.
Mendustakan
Rasulullah SAW.
b.
Mendustakan
sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
c.
Membenci
Rasulullah SAW.
d.
Membenci
sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
e.
Merasa gembira
dengan kemunduran agama Rasulullah SAW.
f.
Membenci
kemenangan agama Rasulullah SAW.
2.
Nifak ‘amali,
yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, tetapi
dalam hatinya masih terdapat iman. Nifak jenis ini tidak mengeluarkannya dari
agama Islam, tetapi merupakan washilah (perantara) kepada yang demikian.
Pelakunya berada dalam keadaan iman-nifak. Jika perbuatan nifaknya lebih
banyak, hal ini bisa menjadi sebab terjerumusnya ke dalam nifak sesungguhnya,
Perbedaan antara nifak besar dan
nifak kecil dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Nifak besar
menyebabkan pelakunya keluar agama Islam, sedangkan nifak kecil tidak demikian.
b.
Nifak besar
berarti bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang
ditampakkan mengenai keyakinan, sedangkan nifak kecil berarti bertolak belakang
antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai perbuatan
semata, bukan keyakinan.
c.
Nifak besar
tidak akan keluar dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang keluar
darinya.
d.
Pelaku nifak
besar umumnya tidak bertaubat kepada Allah SWT. Sedangkan pelaku nifak kecil
terkadang bertaubat kepada-Nya.
4. Takabur dan Ujub
Takabur terbagi
dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir. Takabur batin adalah perilaku dan
akhlak diri, sedangkan takabur lahir adalah perbuatan anggota-anggota tubuh
yang muncul dari takabur batin. Perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari
takabur batin sangat banyak sehingga tidak dapat disebtkan satu persatu.
Dilihat dari subjeknya, takabur terbagi
pada tiga bagian
1
Takabur kepada
Allah SWT. Inilah takabur yang paling berat dan keji. Ini seperti yang
dilakukan Fir’aun karena ia mengaku dirinya dapat memerangi Tuhan langit atau
takabur yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Tuhan.
2
Takabur kepada
rasul, yaitu tidak mau mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Serta menghina dan
menyepelekan ajarannya ini seperti perilaku orang Quraisy yang menentang dakwah
Nabi Muhammad SAW.
3
Takabur
terhadap sesama manusia, yaitu menganggap orang lain remeh dan hina. Meskipun tingkatannya lebih rendah
daripada yang pertama dan kedua, kesombongan jenis ketiga ini tetap saja merupakan
perilaku yang sangat tercela karena, kesombongan, keagungan, dan kemuliaan
tidak layak , kecuali bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Al-Ghazali
menuturkan bahwa seseorang tidak takabur atau ujub, kecuali ketika ia merasa
dirinya memiliki kesempurnaan, baik bearkaitan dengan agama atau dunia. Berkaitan
dengan agama, misalnya, ia takabur karena merasa paling dekat dengan Allah
dibandingakan dengan yang lainnya. Adapun berkaitan daengan dunia, ia merasa
dirinya lebih kaya atau terhormat daripada yang lainya.
5. Dengki
Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasud, yaitu perasaan yang
timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki
olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa
yang dimiliki orang tesebut diperoleh dengan tidak wajar. Adapun menurut Imam
Al-Ghazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang
lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu.
Al-Ghazali membagi
dengki pada empat tingkat. Pertama, menginginkan lenyapnya kenikmatan
orang lain, meskipun kenikmatan itu tidak berpindah kepada dirinya. Kedua,
menginginkan lenyapnya kenikmatan oranglain karena dia sendiri menginginkannya.
Ketiga, tidak menginginkan kenikmatan itu sendiri, tetapi menginginkan
kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia berusaha merusak kenikmatan
orang lain. Keempat, menginginkan kenikmatan serupa. Kenikmatan itu dari
orang lain. Sikap keempat ini diperbolehkan dalam urusan Agama.
Apabila penyakit
dengki mulai bersarang dalam hati, segeralah berusaha mengobatinya dengan cara
berikut.
1.
Minta maaf
kepada orang yang didengki (dihasadi), walaupun terasa berat. Nabi Muhammad
SAW. Bersabda, “berjabat tanganlah kamu (minta maaf), niscaya akan hilang
darimu penyakit dengki, tunjuk mununjuk, dan cinta mencintailah kamu, niscaya
akan hilang iri hati” (H.R. Malik).
2.
Menyadrai dan
mengingat bahwa semua nikmat yang diberikan Allah SWT kepada umat islam yang
dikehendaki-Nya, sudah pasti tidak merugikan orang lain. Sebab, nikmat yang
diberikan Allah SWT kepada seorang, tidak ada sangkut pautnya dengan orang
lain.
6. Gibah
Ibnu Hajar (773
H-852 H) menuturkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
gibah. Raghib Al-Ashfahani menjelaskan bahwa gibah adalah membicarakan aib
orang lain dan tidak ada keperluan dalam penyebutannya. Al-Ghazali menjelaskan
bahwa gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain yang
apabila penuturan itu sampai pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya. Ibnu
Atsir menjelasakan bahwa gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang
tidak pada tempatnya walaupun keburukan itu memang ada padanya. An-Nawawi
menjelaskan bahwa gibah adalah menuturkan keburukan orang lain, baik yang
dibicarakannya itu ada pada badannya, agamanya, dunianya,dirinya, kejadiannya,
akhlaknya, hartanya, anaknya, orangtuanya, istri atau suaminya, pembantu rumah
tangganya, pakaiannya, gaya berjalannya, gerakannya, senyumya, cemberutnya, air
mukanya, atau yang lainnya. Tetapi disebut gibah baik yang dengan lisan maupun
tulisan, atau yang terbentuk rumus, isyarat dengan mata, tangan, kepala, atau
yang lain.
7. Riya
Kata riya’
diambil dari kata dasar ar-ru’yah. Yang artinya memancing perhatian orang
lain agar dinilai sebagai orang baik. Riya merupakan salah satu sifat tercela
yang harus dibuang jauh-jauh dalam jiwa kaum muslim karena riya’ dapat
menggugurkan amal ibadah. Riya adalah memperhatikan diri kepada orang lain.
Maksudnya beramal buka karena Allah tapi karena manusia, riya ini erat
hubungannya dengan sifat takabur.
Sifat riya muncul dalam beberapa bentuk kegiatan, diantaranya:
a.
Riya’ dalam
beribadat
Orang biasanya memperhatikan kekhusyukan apabila dia berada di
tengah-tengah jamaah atau karena ada orang yang melihatnya.
b.
Riya’ dalam
berbagai kegiatan
Orang yang rajin dan tekun bekerja selama ada orang yang melihat.
Dia bekerja seolah-olah penuh semangat, padahal dalam hati kecil tidak
demikian. Ia rajin bekerja apabila ada pujian, tetapi apabila tidak ada lagi
yang memuji, semangatnya menuru. Orang riya’ biasanya bersikap sombong dan
angkuh, seolah-olah hanya dia yang pandai, dan berguna dalam masyarakat. Allah
SWT. memperingatkan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung
halamanya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta
menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala apa yang
mereka kerjakan.” (Q.S.
Al-Anf’al [8]: 47)
c.
Riya’dalam
berderma atau bersedekah
apabila mendermakan hartanya pada orang lain, orang riya’ bermaksud
bukan karena ingin menolong dengan ikhlas, tetapi ia berderma supaya dikatakan
sebagai dermawan dan pemurah. Padahal, orang yang bersedekah karena riya’ tidak
akan mendapatkan pahala, dan amalnya sia-sia. Memperlihatkan sedekahnya, dan
ucapannya tersebut dapat menyakiti perasaan si penerimanya. Oleh sebab itu,
Allah SWT. memperingatkan dengan firman-Nya:
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan meyakini (perasaan penerima), seperti orang yang
menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir.”(Q.S.
Al-Baqarah [2]: 264)
d.
Riya’ dalam
berpakaian
Orang riya’ biasanya memakai pakaian
yang bagus, perhiasan yang serba mahal dan beragam dengan harapan agar dia
disebut orang kaya, mampu, dan pandai berusaha sehingga melebihi orang lain.
Jika sifat seperti itu sudah melekat pada dirinya, dia tidak akan segan-segan
meminjam pakaian dari orang lain, apabila kebetulan dia tidak memilikinya.
Tujuannya hanya dipamerkan dan sekedar mendapat pujian. Jadi, orang itu
berpakaian tidak karena mematuhi ajaran untuk menutup aurat, tetapi karena
riya’.
Di dalam Al-Qur’an
dan Sunnah banyak sekali ancaman tentang bahaya riya. Riya temasuk kedurhakaan
hati yang sangat berbahaya terhadap diri, amal, masyarakat dan umat di antara
bahaya riya adalah sebagai berikut:
Pertama,
riya lebih berbahaya bagi kaum muslimin dari pada fitnah dajjal. Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih
tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad-Dajjal?” Dia berkata, “Kami
mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syikrul khafi; yaitu seseorang shalat,
lalu ia menghiasi (merperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan
shalatnya.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua, riya
lebih sangat merusak dari pada srigala penyergap domba. “Rasulullah SAW.
bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan dilepaskan ditengah
sekumpulan domba lebih merusak daripada ketamakan seseorang kepada harta dan
kedudukan bagi agamanya.” (HR. Ahmad). Rasulullah SAW. juga memberikan
permisalan rusaknya agama seorang muslim karena tamaknya kepada harta,
kemuliaan, pangkat dan kedudukan. Semua ini menggerakan riya. Didalam diri
seseorang.
Ketiga, amal
shaleh akan hilang pengaruh baiknya dan tujuannya yang besar bila disertai
riya. Allah SWT berfirman:
“Maka celakalah bagi orang yang
shalat yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
riya’dan mencegah (menolong dengan barang) yang berguna.’ (QS. Al-Ma’un: 4-7).
Orang yang berbuat
riya dan tidak mau menolong orang lain, karena shalat mereka tidak mempunyai
pengaruh dalam hati mereka, sehingga mencegah kebaikan dari hamba-hamba Allah.
Mereka hanyalah menunaikan gerakan-gerakan shalat dan memperindahnya, karena
semua mata memandangnya, padahal hati mereka tidak memahami, tidak tahu
hakikatnya dan tidak mengagungkan Allah SWT. Karena itu, shalat mereka tidak
berpengaruh terhadap hati dan amal. Riya menjadikan amal itu kosong tidak ada
nilainya.
Keempat,
riya akan menghapus dan membatalkan shalih. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah:264)
Kelima, Riya
mewariskan kehinaan dan kerendahan. Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa
memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah
akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hamba-Nya, Allah rendahkan dia dan
menghinakannya.”(HR. Thabrani).
Ketujuh, perilaku
riya tidak akan mendapatkan ganjaran di akhirat. Dari Ubay bin Ka’ab, ia
berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “samapaikan kabar gembira kepada umat ini
dengan keluhuran kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan
kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa diantara mereka yang melakukan amal akhirat
untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Ahmad).
Kedelapan,
riya akan menambah kesesatan seseorang. Allah SWT. berfirman:
“mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang berima, padahal mereka hanya menipu
diri mereka sendiri mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit lalu
ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka
berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 9-10)
Kesembilan,
riya merupakan sebab kekalahan umat Islam Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah akan menolong umat ini dengan orang-orang yang lemah, yaitu
dengan do’a, shalat, dan keikhlasan mereka,” (HR. an-Nasa’i)
Ikhlas karena
Allah menjadi sebab ditolongnya umat ini dari musuh-musuh mereka. Allah
melarang kita keluar berperang dengan sombong dan riya, karena hal ini akan
membawa kepada kekalahan. Allah berfirman:
“Dan jangan lah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari
kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta
menghalangi orang dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka
kerjakan.”(QS. Al-Anfal: 47).
8. Ghadab (Marah)
Sifat ghadab
merupakan sifat buruk, karena sifat ini ditimbulkan dari nafsu yang ingin
menang sendiri dan tidak menerima ketentuan yang telah Allah berikan. Sifat
marah ini lebih menurutkan hawa nafsu, sehingga pada umumnya orang yang marah
mengakibatkan seseorang gelap mata dan tidak berpikir secara sehat.
Seorang ahli kimia
ternama Prancis, bernama Jiande dan seorang pakar psikolog dari amerika bernama
Almasy. Mereka telah mengadakan penelitian pada manusia dengan kesimpulan, bila
perasaan seseoramg yang sedang mengalami perubahan drastis
(marah, cemburu, kecewa, benci), maka aka nada banyak zat kimia berbahaya
(racun) yang diekskresi dari dalam tubuh manusia. Bahkan nafas yang dikeluarkan
dari mulutnya, sudah memiliki kandungan zat kimia yang tidak sama.
Dalam Islam, Nabi
Muhammad SAW. telah mengajarkan kepada kita bila sedang marah,
segera berwudhu (bersuci), supaya menjadi tenang. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, “Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan
dari api, dan api dapat dipadamka dengan air, karena itu jika salah seseorang
dari kalian marah, maka berwudhulah.” (HR. Ahmad).”
2.6 INDIKATOR AKHLAK
TERPUJI DAN TERCELA
1. Baik dan Buruk
menurut Agama
Perilaku manusia yang baik ditunjukan oleh sifat-sifat dan gerak
kehidupanya sehari-hari. Manusia sebagai individu dan sebagai makhluk sosial,
tidak berhenti dari perilaku. Perilaku manusia adapat berubah-ubah meskipun
manusia dapat membuat perencanaan untuk bertidak secara rutin.
Manusia wajib mengerti dan memahami
makna baik dan buruk. Sesuatu yang baik menurut manusia belum tentu baik
menurut Allah SWT. Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang buruk menurut manusia
belum tentu menurut Allah SWT. Hal tersebut dapat dialami oleh seluruh manusia
karena pada dasarnya, akal pikiran manusia dan kemampuan intelegensinya sangat
terbatas.
Allah Swt. menjelaskan dalam
Al-Qur’an surat fussilat ayat 34-35,:
”dan tidaklah sama kebaikan dengan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang
yang ada rasa permusuhan diantara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.
Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidakdi anugrahkan, kecuali kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan ysng besar.” (Q.S. Fussilat: 34-35)
Firman Allah SWT. diatas,
menjelaskan perbuatan baik dan buruk, perilaku jahat dan bajik. manusia beriman
harus mengenal secara lebih mendalam tentang jenis-jenis perbuatan yang baik
dan buruk, sehingga setiap tindakan merupakan pilihan yang rasional dan dijaga
tuntunan Allah SWT. dan Rasulullah SAW.
Indikator utama
dari perbuatan yang baik adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan yang
diperintahkan oleh ajaran Allah dan Rasulullah SAW yang termuat di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Perbuatan yang
mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat.
3.
Perbuatan yang
meningkatkan
martabat kehidupan manusia dimana Allah dan sesama manusia.
4.
Perbuatan yang
menjadi bagian dari tujuan syariat Islam, yaitu memelihara agama Allah, akal,
jiwa, keturunan, dan harta kekayaan
Indikator perbuatan buruk atau
Akhlak yang tercela adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan yang
didorong oleh hawa nafsu yang datangnya dari setan.
2.
Perbuatan yang
diotivasi oleh ajaran thogut yang mendatangkan kerugian bagi diri
sendiri dan orang lain.
3.
Perbuatan yang
membahayakan kehidupan di dunia dan merugikan di akhirat.
4.
Perbuatan yang
menyimapang dari tujuan syariat Islam, yaitu merusak agama, akal, jiwa
keturunan, dan harta kekayaan.
5.
Perbuatan yang
menjadiakan permusuhan dan kebencian.
6.
Perbuatan yang
menimbulkan bencana bagi kemanusiaan.
7.
Perbuatan yang
menjadikan kebudayaan manusia menjadi penuh dengan keserakahan dan nafsu setan.
8.
Perbuatan yang
melahirkan konflik, peperanagan, dan dendam yang tidak berkesudahan.
Al-Qur’an banyak menyajikan ayat-ayat
yang mengemukakan akhlak yang baik. Selain secara langsung menetapkan
indikatornya, juga menetapkan jenis akhlaknya. Misalnya, dalam Al-Qur’an surat
Al-Furqan ayat 63:
”Dan hamba-hamba Tuhan yang maha
penyanyang (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan
apbila orang-orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. (Q.S.Al-Furqan: 63)
Firman Allah SWT. tersebut
menjelaskan jenis Akhlak orang-orang yang menyebarkan kasih sayang
terhadap sesama manusia. Indikatornya adalah tidak sombong, rendah hati, dan
murah senyum. Meskipun orang jahil menyapanya, orang yang berakhlak mulia akan
menyapanya dengan sapaan yang menyejukan dan menyelamatkan. Mengucapkan
asslamu, alaikum warrahmatullahi wabarakatuh adalah ucapan yang mendoakan sesama muslim
untuk memperoleh kasih sayang Allah SWT. dan keberkahannya.
Terdapat suatu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang menjelaskan sabda Nabi Muhammad
SAW. “Bukanlah
kekuatan itu karena seseorang berani bergulat dan bertengkar, kekuatan
seseorang terletak dari kecerdasannya mengendalikan diri ketika ia sedang
marah.
Dalam Asy-Sy’ura ayat 25, Allah SWT.
berfirman:
”Dan dialah yang menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan, dan
mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S.Asy-Syuara:25)
Ayat diatas, menjelaskan akhlak Allah
SWT. yang selalu menerima taubat hamba-Nya dengan mengampuni
kesalahan-kesalahan orang-orang yang bertaubat. Hal itu merupakan pelajaran
beharga bagi manusia bahwa manusia yang berakhlak mulia adalah manusia yang
pemaaf kepada
orang lain.
Demikain
pula , dalam surat Asy-Sy’ura ayat 15, Allah SWT. berfirman
”karena itu, serulah (mereka
beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu
(Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, aku beriman
kepada kitab yang diturunkan Allah dan aku perintahkan agar berlaku adil di
antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami, perbuatan kami dan
kamu perbuatan kamu. Tidak ada (perlu) petengkaran antara kami dan kamu. Allah
mengimpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah (kita) kembali. (Q.S Asy-Sy’ura:
15)
Firman Allah SWT.
tersebut sangat jelas dan luar biasa karena akhlak yang harus diwujudkan oleh
orang-orang muslim adalah akhlak bertoleransi kepada sesama manusia. Allah SWT.
mengakui bahwa keimanan tidak dapat dipaksakan, tetapi bagi orang muslim,
dakwah kepada jalan Allah SWT. harus tetap dijalankan, dengan menggunakan
metode yang baik, strategis, dan tidak mendatangkan pertikaian.
Indikator Akhlak
baik menurut ayat di atas, semakin diperkuat dalam surat Al-Hujarat ayat 13,
yang artinya:
”wahai manusia! Sungguh, kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa,
sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”(Q.S. Al-Hujurat:13)
Itulah firman
Allah SWT. yang kembali memberikan penjelasan tentang keanekaragaman
berbudaya, berbangsa, dan etnis manusia. Manusia dituntun untuk saling
berinteraksi dengan sesame manusia. Pergaulan manusia harus dikembangkan seluas
munkin,tetapi bagi Allah SWT. evaluasi terakhir yang dijadikan patokan utama adalah
ketakwaan manusia.
Ketakwaan manusia
akan semakin meningkat apabila manusia selalu memperkuat keyakinan tentang
kekuasaan Allah SWT. bahwa seluruh gerak gerik manusia selalu diawasi oleh
Allah SWT. karena pengawasan Allah SWT. yang melekat, manusia akan selalu
berhati-hati dalam menjalankan kehidupan, menjaga akhlaknya di hadapan Allah
SWT. dalam pergaulannya dengan sesama manusia. Manusia beriman akan
memiliki kesadaran yang utuh tentang kehidupan abadi di akhirat.
Indikator akhlak
tercela menurut pandangan Allah SWT. juga dijelaskan oleh Allah
SWT. dalam Al-Qur’an, diantaranya surat An-Najm ayat 32:
”(yaitu) mereka yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh,
Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak dia
menjadikankamu dari tanah, lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka
janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang
bertaqwa. (Q.S.An-Najm:32)
Firman Allah SWT
diatas, dapat dipahami dengan logika antagonistika, yaitu kebalika dari makna
aslinya bahwa akhlak yang buruk diindikasikan oleh perbuatan manusia yang
selalu berbuat dosa dan menganggap dirinya suci, sehingga ia akan lupa untuk
bertobat kepada Allah SWT.
Dosa terberat pada kemanusiaan adalah
melakukan penindasan kepada sesama manusia, mejajah, dan mengambil hak orang lain. Kezaliman merupakan
akhlak yang akan di azab oleh Allah SWT. sebagaimana bangsa-bangsa yang selalu menjajah
bangsa-bangsa yang lemah. Firman Allah SWT. diatas dapat di pahami bahwa
indikator akhlak tercela berupa perbuatan yang nista dan dosa, terutama
berkaitan dengan orang berupa lain. Oleh karena itu, setiap umat Islam sebaiknya
menjadi muslim yang pemaaf bagi muslim yang lainya, dan selalu menghormati
hak-hak orang lain meskipun non muslim.
Larangan-larangan
Allah SWT. yang merupakan indikator akhlak yang tercela, artinya yang wajib ditinggalkan oleh umat Islam
dijelaskan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an secara keseluruhan bertujuan untuk
membenuk akhlak yang terpuji.
Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Qasas ayat 83,:
”Negeri akhirat itu kami jadikan
bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di
bumi. Dan kesuadahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S.Al-Qasas:83)
Firman Allah SWT.
dalam ayat-ayat Al-Qur’an diatas, menjadi dalil tentang akhlak yang tercela
yang membuat
manusia terhalang untuk masuk kedalam kampung yang penuh dengan kenikmatan.
Manusia tertutup untuk memperoleh kenikmatan surga. Akhlak yang
dimaksudkan adalah akhlak yang tercela, yaitu kehidupan yang sombong dan
takabbur. Allah SWT. menyatakan bahwa kesombongan manusia hanyalah bagian dari
kekerdilan manusia. Hal ini karena kesombongan menunjukan semakin kecil dan
lemahnya manusia. Sehebat apapun manusia, kesombongan tidak akan dapat menembus
bumi dan melebihi tingginya gunung. Seharusnya manusia malu terhadap dalamnya
bumi dan tingginya gunung dan langit, yang kedudukan keduanya sama sebagai
makhluk yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, Allah SWT. menghendaki manusia
hidup dengan penuh dengan kerendahan hati.
Indikator akhlak tecela
dalam bentuk kesombongan dapat berupa penolakan terhadap hak yang datang dari
Allah
SWT. meninggalkan ibadah dan memandang kehidupan hanya
bersifat materi semata. Manusia yang meninggalkan perintah Allah SWT. di
akhirat dan perilaku tersebut tergolong pada kekufuran atas adanya hari
akhirat. Akhlak demikian seperti akhlaknya orang-orang ateis yang tidak
mengakui adanya Tuhan. Oleh karena itu, keberadaan bagi mereka hanyalah materi
semata, dan tidak ada kehidupan setelah kematian.
2. Indikator Akhlak Terpuji
dalam Filsafat
Pandangan-pandangan tentang akhlak dalam kajian filsafat melahirkan
berbagai aliran yang kemudian digolongkan pada aliran etika dalam filsafat atau
filsafat paradigmanya didasarkan pada aksiologi dalam filsafat.
Filsafat sebagai
induk pemikiran ilmiah selalu berada di belakang setiap kemajuan suatu
peradaban. Langkah pertamanya dimulai ketika manusia menemukan tata cara belajar melalui trial and error,
cara ini membimbing manusia pada kemampuan menemukan pengetahuan ilmiah yang
melibatkan observasi dan eksperimen.
Socrates (470
SM-399 SM). Misalanya adalah filsuf yang menentang sofistik dengan mengatakan
bahwa benar dan baik adlah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua
orang . Ia seorang filsuf yang jujur dan berani mengatakan meskipun ia harus
membunuh dirinya sendiri.
Demikain pula,
dialektika keilmuan yang dibanagun oleh Plato dan muridnya Aristoteles. Plato terkesan
idealistik dan meyakini bahwa eksistensi berada diluar aspek fisik. Sementara
bagi muridnya Aristoteles eksistensi melekat pada suatau yang fisik. Bagi Plato
kebenaran yang ditangkap oleh pancaindra
dan dibenarakan rasional oleh rasio tidak lebih dari sebuah bayang-bayang yang
bukan saja memilikinilai jarak dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu itu
sendiri. Sedangkan menurut Aristoteles keberadaan kebenaran yang paling hakiki,
berada diluar segala sesuatu yang empiris dan fisik. Oleh sebab itu,
kebenaran yang harus dicari adalah kebenaran metafisik yang mengadakan sesuatu
yang ada sifatnya sementara. Dengan demikian, ajaran akhlak filosofinya seperti
ajaran yang memberikan hikmah tentang adanaya kekuasaan yang mahamutlak.
Pengaruh tradisi
empiris-rasional
yang dibangun Aristoteles dan diawali para gurunya di Yunani, telah mengubah
dunia mistik menjadi dunia ilmu. Namun, proses itu tidak bertahan lama, sebab
penalaran mistik mengalahkan penalaran ilmiah yang telah susah payah dikerjakan
oleh para filsuf besar Yunani.
Setelah
kematian Aristoteles, filsafat Yunani Kuno kembali menjadi ajaran praktis dan
mistik. Ajaran mistik terlihat dari ajaran Stoa, Eficurus, dan Plotinus.
Pudarnya kekuasaan Romawi menjadi isyarat kearah datangnya tahapan baru,
filsafat dan ilmu harus mengabdi pada agama semakin tampak dan nyata (Ancilla
Theologiae). Filsafat Yunani dikesan sangat sekuler, khususnya pada pemikiran
Aristoteles telah dicairkan dari antinominya dengan doktrin Gerejani.filsafat lebih
bercorak teologis dan ideologis (bersifat tertutup) dibandingkan cengan corak
sebelumnya yang ilmiah yang (bersifat terbuka).
Biara
tidak saja menjadi tempat aktivitas agama, tetapi menjadi pusat kegiatan intelektual.
Ilmu pengetahuan dihubungkan dengan kitab suci umat kristiani dalam bentuk
hubungan history of scientific progress (sejarah perkembangan Ilmu), tidak pada
social psychology-Nya. Elastisitas ilmu pengetahuan menjadi tidak tampak,
bahkan hilang sama sekali. Ilmu pengetahuan terikat oleh doktrin yang bersifat
tertutup dan jauh dari karakter dialogis.
Kondisi
ajaran Kristiani yang menempatkan kitab suci dengan ilmu dalam posisi tersebut,
akan menjadi catatan penting, bukan saja bagi masyarakat Kristen sesudahnya,
tetapi yang paling menarik justru bagi masyarakat dan komunitas lain, seperti
Islam. Masyarakat agama terakhir ini merespons hubungan agama dan ilmu dalam
bentuk hubungan yang tidak history of scientific progress, tetapi
keduanya dihubungkan dalam bentuk social psychology (psikologi sosial).
Bentuk
hubungan seperti yang di peragakan masyrakat Kristen dicatat sejarah telah
melahirkan sejumlah kerugian, diantaranya terjadinya pertentangan antara kajian
keilmuan dengan kajian keagamaan. Akibatnya, perkembangan ilmu penegtahuan
menentang doktrin agama dan keilmuan merupakan para penentang agama yang harus
disingkirkan.
Agama
Kristen mengharuskan masyarakat bermoral mengikuti ajaran Kristen. Gereja
sebagai pusat kebenaran dan pembentuk keharusan brahlak. Secara filosofis,
indikator akhlak dalam perspektif filsafat tertuju pada kebenaran agama, yang
dalam hal ini Kristen telah memenangkan dunianya sebagai dunia
moralitas Gerejani yang absolut pada masa itu.
Akan
tetapi, sepanjang moralitas gerjani yang dipaksakan, sistem filsafat Plotinus
mengajarkan kesatuan yang disebut Allah SWT. atau “yang satu” (to Hen).
Artinya, semua berasal dan kembali pada “yang satu”. Pandanagan tersebut
menimbulkan gerakan pemikiran Dari atas kebawah dan dari bawah ke
atas. Pada gerakan dari atas kebawah, “yang satu” merupakan puncak hierarki
semua makhluk. Suatu taraf berasal dari taraf lain yang lebih tinggi melalui
jalan emanasi yang perlu, bahkan merupakan keharusan. Taraf lebih tinggi tidak
bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi tidak berubah, sedangkan
kesempurnaanya tidak berkurang. Prosesnya adalah sebagai berikut, dari “yang
satu” dikeluarkan akal budi (nus) sesuai dengan gagasan utama filsafat
Plato. Plotinus mengartikanya sebagai intelek yang memikirkan dirinya sendiri.
Dalam akal budi, terdapat dualitas, yaitu pemikiran (yang memikirkan) dan yang
dipikirkan. Akal budi melahirkan jiwa dunia (psykhe), dan dari jiwa
dunia dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe
merupakan jagat raya. Sebagai taraf terendah, materi merupakan yang paling
tidak sempurna dan sumber dari kejahatan.
Pada
gerakan dari bawah keatas, setiap taraf dalam hierarki bertujuan kembali
pada taraf yang lebih tinggi yang akhirnya menuju Allah SWT. karena hanya
manusialah yang memiliki tiga taraf itu, manusialah yang mampu kembali kepada
Allah SWT. kembalinya manusia kepada Allah SWT. dilakukan melalui tiga langkah,
yaitu penyucian manusia ketika melepaskan diri dari materi dengan cara bertapa,
penyatuan manusia dengan Tuhan melebihi pengetahuan dan ekstasi.
Neoplatonisme
merupakan aliran filsaat yang dianggap sebagai filsafat baru dalam filsafat
Yunani Kuno, menjadi aliran intelektual dominan yang tampak bersaing dengan
dunia Kristen (teologi kristiani). Seorang filsuf yang sukses dalam mengarjakan
neoplatoisme di Athena adalah Proklos (410-485 SM). Berkat
keberhasilannya, pada 529M, Kaisar Justinianus dari Byzantium menutup seluruh
sekolah filsafat kafir di Athena yang
dianggapnya sebagai akhir masa filsafat Yunani Kuno. Kafir di sini maksudnya
adalah dilandasi oleh pikiran-pikiran filosofis
manusia, bukan gereja.
Kesadaran
untuk berakhlak mengikuti pola sufistik telah dikembangkan sejak zaman Yunani
Kuno. Jiwa adalah pertemuan yang sesungguhnya antara diri dan yang Mahatunggal.
Oleh sebab itu, kaum gereja terus menentang filsafat yang mengajarkan kekufuran
dan mengajak semua masyarakat untuk berakhlak dengan akhlak Gereja.
Zaman
terus bergulir. Hingga abad ke-4 yang disebut sebagai Zaman Keemasan Patristik
Latin, lahir seorang filsuf besar yang juga dipandang sebagai Bapak Gereja dari
Barat, yaitu Augustinus (354-430). Dia juga dinilai sebagai pemikir terbesar
untuk seluruh zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan pemikiran
Augustinius adalah pemikiran merupakan integrasi dan teologi Kristen dan
pemikiran filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani kepribadiannya. Ia
sendiri tidak sepaham dengan pendapat yang mengatkan bahwa filsafat itu otonom
atau lepas dari iman Kristiani. Menurut pendapatnya, filsafat dapat dipahami
sebagai “filsafat Kristiani” atau “kebijaksanaan Kristiani” Augustinus penganut
neoplatonisme dan stoisisme.
Dalam
pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami, yaitu:
1.
Iluminasi atau
peneranagan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat peneranagan dari
rasio Tuhani. Tuhan adalah guru yang tinggi dalam batin dan meneranagi roh
manusia.
2.
Dunia jasmani
terus-menerus berkembang, tetapi bergantung pada Tuhan. Mula-mula tuhan
menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetapi mengandung
benih (rationes seminales) beruapa prinsip bagi perkembangan jasmani. Prinsip
pekembanganaya berbeda denagan prinsip Darwin karena tidak mengandung mutasi
jernih. Menurut pandangannya, didalam benih itu segala hal telah tiada, seperti
sesudah telur lahirnya ayam. Menurutnya, suatu masalah tidaka akan mencapai
jalan buntu apabila berdasarkan Al-Kitab.
Menurut pemikiran Augustinus,
manusia yang di penagruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualism ekstrem
Plato, jiwanya senantiasa terkurung oleh tubuh. Tubuh bukan merupakan sumber
kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas.
(Wiramihardja, 2006: 54)
Pandangan Augustinis membawa pesan
tentang pentingnya manusia bertuhan berakhlak dengan tuntunan ajaran Tuhan
dalam Kristen. Dengan demikian, manusia terdiri atas jasmani dan rohani yang
harus berjalan seimbang karena jiwa menggerakan badan, badan mengamalkan
motivasi jiwa, dan jiwa harus selalu dibimbing oleh ajaran-ajaran yang datang
dari Tuhan. Dengan demikian terwujudlah akhlak manusia yang sejiwa dengan ajaran
tuhan.
3.
Indikator
Akhlak Baik dan Buruk dalam Ilmu
Revolusi ilmu pengetahuan yang
dihasilkan
oleh para ilmuan dan para filsuf Barat Modern terus berkembang. Perkembangan
ini semakin memperlihatkan hasil yang maksimal, terutama ketika Einstein
merombak kerangka filsafat Newton yang sudah mapan melalui teori quantum-nya,
yang telah mengubah persepsi dunia ilmu tentang sifat-sifat dasar dan perilaku
materi sedemikian rupa, sehinnga para pakar dapat melanjutkan penelitiannya.
Melalui karya Einstein ini, manusia modern dapat mengembangkan ilmu alamiah
dasar, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, dan molekuler yang pada tahp
tertentu telah dibangun di Yunani dan dunia Islam, menjadi ilmu pengetahuan
yang demikian luas dan mendalam, yang tidak hanya mengglobalkan dunia, tetapi
juga telah melahirkan revolusi besar, dalam bebagai tatanan sistem
kehidupan dunia.
Dalam perspektif ilmu, akhlak yang
benar adalah yang didasarkan pada rasio. Oleh karena itu, manusia berakhlak
harus rasional. Pemahaman ini melahirkan aliran rasionalisme yang awalnya merupakan
aliran dalam filsafat. Akan, tetapi pendekatan rasional dalam keilmuan selalu
mengacu pada sistematika berpikir yang tertib, yaitu melalui penelitian,
percobaan-percobaan di laboratorium, pemahaman logika, hipotensis yang di uji
dan disimpulkan hasil-hasilnya.
Selain harus rasional,
berakhlak menjadi bagian dari membuat percobaan pengalaman. Oleh, sebab itu,
akhlak manusia akan berkembang jika bersifat fositif dan objektif dengan
pendekatan empiris. Empirisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang
menekankan peran pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta mengecilkan
peranan akal. Istilah empirisme diambil dari kata Yunani “empeiria”
yang berarti mencoba-coba atau pengalaman.
Filsafat emperisme tentang
teori makna, sangat berdekatan dengan aliran positivism logis (logical
positivism) dan filsafat Ludwig Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan
empirisme selalu harus dipahami melalui
penafsiaran pengalaman. Oleh karena itu bagi penganut empirisme, jiwa
dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern)
jumlah yang dapat diindra, dan hubunag kausalitas sebagai urutan perstiwa
yang sama. Penganut empirisme berpandanagan bahwa pengalaman yang merupakan sumber pengetahuan bagi
manusia, yang jelas-jelas melalui rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki
kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu.
John Locke (1632-1704)
salah seorang penganut empirisme, mengatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih ibarat kertas kosong yang belum
bertuliskan apa pun. Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba
pengalaman denagan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam
kehidupan. kertas tersebut mulai mengamati bertuliskan sebagai penglaman
indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang
pertama dan sederhana. (Juhaya S. Pradja,1997: 18)
Akal sejenis ini tempat
penampungan secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti
semua pengetahuan manusia betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali pada sampai
pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapih di dalam akal.
Jiak terdapat pengalaman manusia tidak dapat lagi diaktuliasi. Dengan demikian,
hal itu bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.
Selain
John Locke, pada era modern, muncul pula George Barkeley (1685-1753), yang
berpandanagan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang dari
pengalaman. Oleh karena itu tidak ada ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja
dari pengalaman karena idea tidak bersifat independen. Pengalaman konkret
adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia karena penalaran
bersifat abstrak dan membutuhkan ransangan dari pengalaman. Berbagai gejela fisikal akan ditangkap oleh
indra dan dikumpulkan dalam daya ingatan manusia, sehingga pengalaman indrawi
menjadi akumulasi pengetahuan berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya
dibutuhkan akal. Dengan demikian fungsi akal tidak sekadar menjelaskan
bentuk-bentuk khayali semata, melainkan dalam konteks yang realistik.
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat, hingga
melahirkan positivism. Aliran ini
diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1875) yang dilahirkan di
Montpellier pada tahun 1798, dari keluarga pegawai negeri yang beragama
Katholik. Karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophie Positive,
yaitu: ”Kursus
tentang filsafat Positif” (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan adalah Discour L’esprit Positive
(1844), yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif. Dalam karya inilah Comte
menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivism, hukum tiga stadia,
klasifikasi ilmu-ilmu pengatahuan, dan bagan mengenai tatanan
dan kemajuan.
Juhaya S. Pradja
mengatakan bahwa positif artinya sama dengan faktual yaitu apa
yang didasarkan pada fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan tidak boleh
melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivism menolak fisafat metafisika karena
semua itu merupakan kebohongan. Yang termasuk ilmu pengetahuan hanyalah
fakta-fakta yang ada. Positivisme tidak seperti empirisme yang menerima
pengalaman batiniah. Bagi positivism, hanya pengalaman indralah yang benar-benar
sebagai sumber pengetahuan faktual, sedangkan yang lainya tidak
berarti apa-apa.
Teori yang kedua yaitu
teori pengetahuan bahwa pengetahuan berbasis pada pengalaman. Jika sekadar
pemahaman teoristis, belum menjadi pengetahuan yang benar. Manusia akan maju
akhlaknya jika manusia berfikir ilmiah, yang artinya mengutamakan objektivitas,
rasional, indrawi, dan tentu saja logis dan kritis. Jika akhlak manusia tidak
didasarkan pada pertimbangan yang ilmiah, ujung-ujungnya akan tidak berdaya
atau terjebak oleh kebenaran semu dan penuh dengan hal-hal yang berbasis pada
mitos dan mistik.
Akhlak manusia terjatuh karena terlalu
mengedepankan agama sebagai doktrin, sementara yang dibutuhkan manusia demi
kelangsungan akhlaknya adalah menjadikan kemampuan rasio dan pengalamannya
sebagai doktrin yang tidak terelakan kebenarannya.
4. Indikator Akhlak Baik dan
Buruk Perspektif Budaya
Budaya
berasal dari dua kata, yaitu “budi” artinya akal dan “daya” artinya kekuatan.
Dengan demikian, budaya diartikan sebagai kekuatan akal. Potensi akal akan
terwujud Kebudayaan sebagai sistem hidup, dalam arti cara manusia mempertahanan
kehidupanya. Oleh sebab itu, akhlak baik dalam perspektip budaya adalah
dengan melihat dan meneliti cara kerja dan cara berfikir manusia untuk
mengembangkan kehidupanya dari generasi ke generasi.
Prinsip-prinsip dasar
dalam berbudaya bersifat universal dan mengendalikan semua tipe
perilaku manusia tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Manusia akan terus menciptakan kebudayaannya
secara sadar maupun tidak sadar. Dalam
kebudayaan manusia, hal yang mendasar dari perilaku individu memiliki
subjektivitas dan orientasi yang berbeda. Perbedaan tersebut diintegrasikan
oleh adanya norma-norma tertentu. Norma yang ada dapat membawa orientasi
motivasional dan orientasi nilai menjadi satu karena adanya interaksi struktual
dengan tujuan jangka panjang yang sama. Moralitas dalam kehidupan masyarakat yang beragama, misalnya sistem nilai
yang menentukan tujuan yang sama di setiap kepentingan dan orientasi individu
dalam berperilaku. Oleh sebab itu baik
dimensi motivasional maupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri manusia,
dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku sosial. Kemudian, terbentuklah kebudayaan.
Orientasi individu
terdiri atas dua macam dengan berbagai dimensinya, yaitu (1) orientasi
motivasional yang berdimensi kognitif, katektik, dan evaluatif. (2) orientasi
nilai dengan dimensi kognitif, apresiatip dan dimensi moral. Dimensi kognitif
dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pengetahuan orang yang
bertindak mengenai situasinya, khususnya jika dihubungkan dengan kebutuhan dan
tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini
mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan ransangan
yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan kerangsangan yang
lainya. Dimensi katetik dalam orientasi
motivasional menunjuk pada reakasi apresiatif atau emosional dari orang yang
bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek di dalamnya. Ini mencerminkan kebutuhan kebutuhan dan
tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif
terhadap elemen-elemen dalam lingkungan yang memberikan kepuasan atau dapat
digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif terhadap
aspek-aspek dalam lingkungan yang mengecewakan.
Dimensi evaluative menunjuk pada
dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara
alternatif. Orang selalu
memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan atau kalau bukan
semua situasi, ada kemugkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi katektik.
Kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif-alternatif ini
merupakan dimensi evaluatif. (Jhonson, 1986:115)
Ketiga dimensi
yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga dimensi dalam
orientasi motivasional. Akan tetapi keduanaya saling bergantung meskipun
kadang-kadang dimensi-dimensi tersebut dapat berdiri sendiri. Perbedaan yang
prinsipil adalah komponen-komponen dalam orientasi nilai menunjuk pada standar
normatif
umum, bukan pada keputusan-keputusan dengan orientasi tertentu. Dengan demikian, dimensi kognitif dalam
orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima
atau menolak berbagai interpretasi kognitif yang situasional. Kaum ilmuwan
misalnya, tidak akan menerima penjelasan
yang bersifat magis mengenai gejela alam. Sama halnya dimensi apresiatif
menunjuk pada standar yang mencangkup dalam pengungkapan perasaan atau
keterlibatan afektif.
Dimensi
moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar abstrak yang
digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya
terhadap sistem itu secara keseluruhan, baik individu maupun sosial pada akar
tindakan bersangkutan. Orientasi nilai keseluruhan memengaruhi dimensi
avaluatif dalam orientasi motivasional.
Ketiga dimensi
orientasi nilai atas mencerminkan pola-pola sosial normatif yang diresapi di
setiap individu.
Dimensi-dimensi itu dapat juga digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek
sistem budaya yang berbeda. Sebagamana dikognitif
berhubungan dengan sistem-sistem kepercayaan
budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan
simbolisme ekspresif, dan dimensi moral behubungan dengan sistem budaya dalam orientasi
nilai. Intinya konsep-konsep ini memberikan semacam
analisis paralel mengenai pola-pola budaya dan orientai subjektif individu.
Perbedaan
dalam setiap orientasi individu akan bertahan karena terdapat
prioritas-prioritas tertentu. Misalanya, orientasi motivasional dalam konteks
dimensi kognitif diprioritaskan pada
tipe tindakan yang merupakan manifestasi intelektual,
kegiatan ekspresif akan muncul kalau dimensi evaluasi yang di prioritaskan, hasinya
berupa tindakan moral. Seperti halnya
berbagai dimensi orientasi, tindakan individu dapat diklasifikasikan secara
sistematis. Begitu pula, berbagai dimensi situasi. Perbedaan yang paling
fundamental adalah antara benda-benda nonsosial dan sosial.
Benda-beda nonsosial diklasifikasikan ke dalam benda-benda fisik dan
benda-benda budaya. Benda-benda sosial adalah makhluk hidup yang dinamis, baik
individu-individu maupun kolektivitas-kolektivitas individual dalam
berintegrasi dan berinteraksi. Tekanan dalam analisis Parsons adalah orientasi pada orang lain dengan
siapa dia terlabat dalam interaksi.
Interaksi
sosial adalah wujud kolektivitas dari interaksi individual yang diwarnai oleh
orientasi motivasional dan orientasi nilai dengan segala dimensinya. Aksi
sosial adalah perilaku yang sering berinterakasi. Dengan demikian, interaksi
menjadi sangat penting dalam membentuk kebudayaan kolektif. Apakah tindakan yang diwujudkan individu, bagaimana
berintegrasi dengan tindakan individu lain, mengapa dapat berinteraksi dan
interelasi; apa hasil dari interaksi tersebut?
Hasil dari interaksi dapat berubah kebudayaan yang didalamnya terdapat
norma-norma sosial baru. Sementara, disisi lain, norma yang dapat membentuk
perilaku sosial yang diakui dan diyakini sesuai dengan maksud dan tujuan yang
akan dicapai. Tujuan yang dimaksud adalah perpanduan antara orientasi
motivasional dan orientasi nilai.
Dari pemahaman
diatas, dapat diambil subtansinya bahwa pola interaksi berpangkal pada motivasi
individunya masing-masing. Oleh karena itu, pengamatan pada individu sebagai
pelaku atau aktor tindakan sangat penting dalam mengkaji akhlak berbudaya.
Selebihnya, teori ini mencermati secara mendalam terhadap tindakan individu
yang berhubungan dengan individu yang lainya, yang pada asalnya setiap individu
memiliki kepentingan yang berbeda. Karena adanya perbedaan orientasi tersebut,
hubungan sosial itu menjadi dinamis dan saling berkolaborasi secara aktif. Akan
tetapi, ujung dari interaksi dengan menekankan pada tujuan kolektif,
dinamikanya akan semakin berkurang, bahkan hilang karena semua pihak yang
terlibat dalam interaksi saling menyesuaikan diri dan menyeimbangkan kepuasan
masing-masing.
Kebutuhan
individu terpuaskan oleh adanya interaksi timbal-balik dan fungsional yang
berlangsung lama. Interaksi yang berjalan lama akan menguatkan pertahanan
budaya kolektifnya sehingga kemungkinan besar menjelma menjadi kultur khas,
masyarkat khas, perilaku khas, dan terinstusikan jika perilaku yang
bersangkutan telah mendarah daging (internalistik)
Sistem sosial
terbentuk dari individu-individu yang dalam interaksinya menjamin kebutuhan
dasar yang seimbang. Setiap tindakan sosial adalah tindakan kumpulan
individu-individu dengan tindakan kolektif. Melalui konsep kolektivitas, suatu
organisasi sosial yang khusus dibentuk menjadi struktur kebudayaan. Suatu
kolektivitas merupakan seperangkat posisi tertentu dan orang-orang dengan
posisinya masing-masing saling berinterksi menurut peranya sendiri-sendiri.
Suatu institusi disebut sebagai suatu kompleks keutuhan peran yang melembaga
secara struktur amat penting dalam melembagakan tindakan individu-individu.
Kompleksitas tindakan tersebut disistematisasikan oleh institusi bersangkutan
yang wujud relatif karena sistem normatifnya adalah kebudayaan.
Dengan pemahaman
teoretik tersebut diatas, indikator akhlak yang terpuji atau tercela menurut
kebudayaan sifatnya sangat relatif karena sistem normatif yang dijadiakan
standar baik dan buruk adalah tradisi yang telah melembagakan. Akan tetapi,
tradisi normatif dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu agama, legenda,
mitos, filsafat, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari semua bahwa akhlak adalah
pondasi dasar manusia untuk menjadi baik dan lebih baik lagi dan mengarah pada
tujuan hidup. Akhlak juga terbagi dua yaitu akhlak mahmudah (perilaku
yang baik) dan akhlak madzmumah (perilaku yang tercela atu kurang baik) dalam
hal ini juga terdapat, ruang lingkup akhlak yang terpenting adalah ruang
lingkup keluarga karena dari situ cikal bakal manusia tahu man yang baik dan
mana buruk dan ada juga metode-metode yang insyallah bias mengubah akhlak
madzmumah yang menjadi akhlak mahmudah dan meningkatkan lagi akhlak mahmudah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Rohison Anwar, M.Ag,Akhlak Tasawuf.
penerbit CV. Pustaka Setia Bandung
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Drs.K.H Abdul
Hamid, M.Ag Ilmu Akhlak penerbit CV.
Pustaka Setia Bandung
Maftuh Ahnan,
2005. Keagungan Akhlak Rasulullah SAW penerbit
Terang-Surabaya
Drs.H.Dadan Nurul Haq,
M.Ag & Dr.H.Hasbiyallah, M.Ag, 2012. Pendidikan Akidah akhlak penerbit
Fajar media, komplek Bumi Harapan Cibiru Blok DD.13 No.2 Bandung 40393
Tidak ada komentar:
Posting Komentar