Kamis, 05 Januari 2017



Daftar Isi.................................................................................................................. 1
Kata pengantar......................................................................................................... 2
I.                    Pendahuluan.......................................................................................... 3
1.1  Latar Belakang................................................................................. 3
1.2  Rumusan Masalah........................................................................... 4
1.3  Tujuan.............................................................................................. 4           
II.                 Pembahasan........................................................................................... 5
2.1  Pengertian Akhlak........................................................................... 5
2.2  Pengertian Akhlak Terpuji.............................................................. 6
2.3  Macam-macam Akhlak Terpuji....................................................... 7
1.      Akhlak terhadap Allah SWT..................................................... 8
2.      Akhlak terhadap Diri Sendiri................................................... 13
3.      Akhlak terhadap Keluarga....................................................... 20
4.      Akhlak terhadap Masyarakat................................................... 21
5.      Akhlak terhadap Lingkungan.................................................. 22
2.4  Pengertian Akhlak Tercela............................................................ 23
2.5  Macam-macam Akhlak Tercela.................................................... 23
1.    Syirik...................................................................................... 23
2.    Kufur....................................................................................... 24
3.    Nifak dan Fasik....................................................................... 26
4.    Takabur dan Ujub................................................................... 27           
5.    Dengki.................................................................................... 28
6.    Gibah...................................................................................... 28
7.    Riya......................................................................................... 29
8.    Ghadab................................................................................... 32
2.6 Indikator Akhlak Terpuji dan Tercela........................................... 33
1.      Baik dan Buruk menurut Agama............................................. 33
2.      Indikator Akhlak Terpuji dalam Filsafat................................. 34
3.      Indikator Akhlak Baik dan Buruk dalam Ilmu........................ 36
4.      Indikator Akhlak Baik dan Buruk Persepektif Budaya........... 38
III.              Kesimpulan.......................................................................................... 41
IV.              Daftar Pustaka..................................................................................... 42
     KATA PENGATAR
Alhamdulillah Hirobbil ‘alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Macam-macam dan indikator akhlak” dengan baik dan tanpa halangan. Tujuan dari penyusunan makalah ini, sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai mata kuliah Aqidah Akhlak. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih, kepada:
  1. Allah SWT, yang telah memberi kesempatan untuk penulis menimba ilmu dan pengalaman yang berharga, selama menyusun makalah ini.
  2. Orang Tua dan seluruh keluarga tercinta. Atas motivasi dan doa yang tak henti.
  3. Bpk. H. Wawan Setiawan Abdillah, dosen mata kuliah Aqidah Akhlak yang telah memberikan masukan yang berharga selama menyelesaikan pembuatan makalah ini.
  4. Serta Rekan-rekan dan semua pihak yang selalu mendukung.
Makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena itu, Kritik dan saran sangat membantu dalam menyempurnakan dan mengembangkan bidang kajian ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.





Bandung, 17 Desember 2015

BAB I

PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
            Ajaran akhlak dalam islam bersumber dari wahyu illahi yang termasuk dalam Al-Qur’an dan sunnah. Akhlak dalam Islam bukanlah moral dan kondisional dan situsasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak untuk memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat kelak. Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting.
            Di dalam Al-Qur’an saja banyak ayat-ayat yang membicarakan masalah akhlak, belum lagi dengan hadits-hadits Nabi SAW. baik perkataan maupun perbuatan, yang memberikan pedoman akhlak yang mulia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Akhlak dalam islam bukanlah moral yang harus disesuaikan dengan suatu kondisi dan situasi, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai-nilai mutlak, nilai-nilai baik dan buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan saja, dimana saja dalam aspek kehidupan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
            Ajaran akhlak dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia. Manusia akan mendapatkan kaebahagian yan hakiki bukan semu bila mengikuti nilai-nilai kebaikan yang di ajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah dua sumber akhak dalam Islam. Akhlak islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat dengan fitrahnya itu. Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur’an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia di ciptakan oleh Allah SWT. memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaanya. Allah SWT. berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam sesuai fitrah Allah disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
 (QS. Ar-Rum :30).
            Oleh sebab itu fitrah manusia kepada kesucian dan cenderung pada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah SWT. namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar misalnya pengaruh pendidikan, lingkungan, pakaian juga pergaulan. Sehingga manusia sulit membedakan antara akhlak terpuji dan akhlak tercela. Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membahas tentang “Macam-macam dan indikator akhlak”.
           
1.2     Rumusan Masalah
-           Apa pengertian akhlak?
-           Apa pengertian akhlak terpuji dan akhlak tercela?
-           Apa saja yang termasuk akhlak terpuji dan akhlak tercela?
-           Apa saja indikator akhlak terpuji dan tercela?
1.3       Tujuan penulisan
-           Bentuk peyelesaian tugas mata kuliah Akidah dan Akhlak
-           Menjelaskan akhlak terpuji dan tercela beserta macam-macamnya
-           Menjelaskan macam-macam indikator akhlak terpuji dan tercela
-           Mengetahui penerapan akhlak terpuji dan akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
           













BAB II
PEMBAHASAN

2.1       PENGERTIAN AKHLAK
            akhlak secara etimologi berasal dari kata khuluq dan jama’nya akhlaq, yang berarti budi pekerti, etika dan moral. Demikian pula kata khuluq mempunyai kesesuaian dengan khilqun, hanya saja khuluq merupakan perangai manusia dari dalam diri (ruhaniah) sedang khilqun merupakan perangai manusia dari luar (jasmani)
            Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-akhlaq wa Thathir al-A’raq mendefinisikan akhlak dengan keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak memerlukan pikiran. Akhlak adalah sikap hati yang mudah mendorong anggota tubuh untuk berbuat sesuatu”.
            Menurut Ahmad Yamin, yang disebut akhlak ialah kehendak yang di biasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak. Sedang yang dimaksud kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedangkan kebiasaan ialah perbuaan yang di ulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Jika apa yang bernama kehendak itu dikerjakan berulang-kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian yang berproses menjadi akhlak.
            Definisi-definisi akhlak secara subtansial tampak saling melengkapi, dan memiliki lama ciri penting dari akhlak yaitu:
1.      Akhlak adalah perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadianya.
2.      Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur, atau gila.
3.      Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbutan akhlak adalah perbuatan dilakukan tas dasar kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan.
4.      Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main, karna bersandiwara.
5.      Sejalan denagan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik), akhlak adalah perbuatan dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT. Bukan karna ingin mendapatkan suatu pujian.
Akhlak mempunyai dua pencerminan yang tampak dan lahir pada diri seseorang yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela. Seseorang berakhlak tercela, apabila setiap harinya kebiasaan yang ditunjukan dari dirinya adalah perbuatan jelek dan jahat. Perbuatan sikap tercela itu sudah makanan dan perhiasan sehari-harinya. Sebaliknya seseorang dikatakan berakhlak ,terpuji apabila setiap harinya melakukan perbutan kebaikan dan kemuliaan. Kebaikan dan kemuliaan itulah yang menjadi pakaian dan hiasan hidup sehari-harinya.

 2.2      PENGERTIAN AKHLAK MAHMUDAH (TERPUJI)
Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlaq karimah  (akhlak mulia), atau makarim al-akhlaq (akhlak mulia), atau alm-akhlaq al-munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya). Istilah yang kedua berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW. yang terkenal yaitu: “Aku diutus untuk menyempurnakan perangi (budi pekerti) yang mulia.
Berikut ini dikemukakan beberapa penjelasan tentang pengertian akhlak terpuji:
·         Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT. sehingga mempelajari dan mengamalakannya merupakan kewajiban individual setiap muslim.
·         Menurut Al-Quzwaini, akhlak terpuji adalah ketepatan jiwa dengan perilaku yang baik dan terpuji.
·         Menurut Al-Marwadi, akhlak terpuji adalah perangai yang baik dan ucapan yang baik.
·         Menurut Ibnu Qayyim, pangkal akhlak terpuji adalah ketundukan dan keinginan ya      ng tinggi. Sifat-sifat terpuji, menurutnya, berpangkal dari kedua hal itu. Ia memberikan gambaran tentang bumi yang tunduk pada ketentuan Allah SWT. ketika air turun menimpanya, bumi merespons dengan kesuburan dan menumbuhkan tanam-tanaman yang indah. Demikian pula manusia, tatkala diliputi rasa ketundukan kepada Allah SWT. lalu turun taufik dari Allah SWT. ia akan meresponsnya dengan-sifat-sifat terpuji.
·         Menurut Ibnu Hazm, pangkal akhlak terpuji ada empat, yaitu adil, paham, keberanian, dan kedermawanan.
·         Menurut Abu Dawud As-Sijistani (w. 275/889), akhlak terpuji adalah perbuatan-perbuatan yang disenangi, sedangkan akhlak tercela adalah perbuatan-perbuatan yang harus di hindari.
Keutamaan akhlak terpuji disebutkan dalam banyak hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh abu dzarr dari Nabi Muhammad SAW:
“Wahai Abu Dzarr! ‘Maukah aku tunjukan dua hal yang sangat ringan dipunggung, tetap sangat berat di timbangan (pada hari kiamat kelak)? ‘Abu Dzarr menjawab, Tentu, wahai rasulullah’. Beliau melanjutkan, Hendaklah kamu melakukan akhlak terpuji dan ban yak diam. Demi allah yang tanganku berada di genggaman-Nya, tidak ada makhluk lain yang dapat bersolek dengan kedua hal tersebut.

2.2       MACAM-MACAM AKHLAK TERPUJI
            Dalam menentukan macam-macam akhlak terpuji, para pakar muslim umumnya merujuk pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Ini tentunya seiring konsep baik dan buruk dalam pandangan Islam sebagaimana yang telah dipaparkan. Muhammad bin Abdillah As-Sahim, umpamanya, menyebutkan bahwa di antara akhlak terpuji adalah bergaul secara baik dan berbuat baik secara kepada sesama, adil, rendah hati, jujur, dermawan, tawakal, ikhlas bersyukur, sabar dan takut kepada Allah SWT. Selain sifat-sifat itu, Al-Qurthubi (1214-1273) menambahakan dengan sifat memberi nasihat kepada sesama, membenci dunia, zuhud serta mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya.  Hassan Al-Athtar menambahinya dengan keselamatan batin (hati). Al-Muttaqi Al-Hindi (1477-1567) dalam kanz Al-Ummal menjelaskan secara rinci akhlak terpuji bedasarkan secara abjad. Hampir semua akhlak terpujinya disebutkan dalam kitabnya.
            Dalam sebuah riwayat dari Aisyah dikatakan bahwa akhlak terpuji ada sepuluh, yaitu jujur, berani di jalan Allah SWT. memberi kepada pengemis, membalas kebaikan orang lain, silaturrahmi, memnunaikan amanat, memuliakan tetangga, memuliakan tamu, dan malu (Perawi tidak menyebutkan kesepuluhnya).
            Selanjutnya, uraian akhlak terpuji berikut ini akan dijelaskan bedasarkan pembagian berikut: (1) akhlak kepada Allah SWT. (2) akhlak terhadap diri sendiri; (3) akhlak terhadap keluarga; (4) akhlak terhadap masyarakat; (5) akhlak terhadap lingkungan.
1.         Akhlak terhadap Allah SWT.
Di antara akhlak kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut.
a.         Menauhidkan Allah SWT.
            Definisi tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT. sata-satunya yang memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat.  Tauhid dapat dibagi ke dalam tiga bagian.
1.         Tauhid Rububiyyah, yaitu meyakini bahwa Allah SWT. satu-satunya Tuhan  yang menciptakan alam ini, yang memilikinya, yang mengatur perjalanannya, yang menghidup dan mematikan, yang menurunkan rezeki kepada makhluk, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat, yang mengabulkan do’a dan permintaan hamba ketika terdesak, yang berkuasa melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang memberi dan mecegah, di tangan-Nya segala kebaikan dan bagi-Nya penciptaan dan juga segala urusan.
2.         Tauhid Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah SWT. seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah SWT. termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah SWT.


3.         Tauhid Asma dan Sifat yaitu mengesakan Allah dengan cara menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (dalam firmannya) atau yang disebutkan oleh Rasul-Nya (dalam hadits), tanpa mengilustrasikan (Takyif), menyerupakan dengan sesuatu (Tamtsil), menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama atau sifat tersebut (Ta’thil).
b.         Berbaik sangka (husnu zhann)
            Berprasangka baik kepada apapun yang Allah SWT. berikan kepada kita.semua nikmat yang kita terima dari Allah harus disikapi dengan baik sangka. Sehingga kita rela dan ikhlas menerima nikmat-Nya tersebut. Jika kita selalu berprasangka baik kepada Allah SWT. niscahya kita akan selalu merasa bersyukur atas apa yang Allah SWT. berikan kepada kita, dan kita yakin  bahwa itu adalah yang terbaik bagi kita menurut Allah SWT. sebab, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah SWT. Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT. merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-sungguh kepada-Nya.  
c.         Zikrullah
            Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT. Karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat dan tempat. Diriwayatkan dari aisyah bahwa Rasulullah SAW. senantiasa mengingat Allah SWT. pada sepanjang hidupnya (H.R. Muslim). Zikrullah merupakan aktivitas paling baik dan paling mulia bagi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak inginkah kalian kuberitahu tentang amal yang lebih baik yang dapat meningkatkan derajat kalian di hadapan Allah, yang lebih bagus daripada menyedekahkan emas dan perak yang lebih baik dari pada kalian berperang melawan musuh, lalu kalian saling memukul dengan mereka? Kaum muslim menjawab, ya, tentu saja kami ingin.’ Rasullullah bersabda, yaitu dzikir kepada Allah yang maha agung dan mahatinggi.”        
d.         Tawakal
            Tawakal dalam bahasa arab tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu menanti akibat dari suatu keadaan. Dengan demikian, hamba percaya dengan bagian Allah SWT. untuknya. Apa yang telah ditentukan Allah SWT. untuknya, ia yakin pasti akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak ditentukan Allah SWT. untuknya, ia pun yakin pasti tidak akan memperolehnya.
            Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam mengantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal  dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
            Tawakal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemahaman manusia akan takdir, ridha, ikhtiar, sabar dan doa. Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT. untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudaratan, baik menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat.         Allah SWT. berfirman:  
“…Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Q.S. Al-Imran [3]: 159)
            Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan ikhtiar atau mengesampingkan  usaha. Ibnu Rajab menegaskan, “Tawakal tidak serta merta menafikan ikhtiar untuk memilih sebab-sebab yang telah di tetapkan Allah SWT, Tidak pula menafikan menjalani sunnatullah yang telah di tetapkan, Sebab, Allah SWT. memerintahkan hamba-Nya untuk menjalani sebab-sebab di samping perintah bertawakal Menjalani sebab dilakukan oleh anggota tubuh, sedangkan tawakal di lakukan oleh hati. Pendapat senada diungkapkan oleh Al-Ghazali Ia menegaskan bahwa hakikat tawakal tidak menafikan sebab. Sebab, jika sebab tidak di perlukan, seseorang tidak perlu menjulurkan tali timba untuk mengambil air dari sumur. Ia hanya tinggal menunggu Allah SWT. mengutus seseorang untuk membantunya mengambilkan air.
            Takdir Allah SWT. dan sunnatullah terhadap makhluk-Nya terkait erat dengan ikhtiar makhluk itu sendiri sebab Allah SWT. yang telah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar. Pada saat yang sama, dia juga memerintahkan hamba-Nya untuk bertawakal. Ikhtiar itu adalah perintahnya terhadap jasad lahiriah kita, sedangkan tawakal adalah perintah-Nya  terhadap hati kita sebagai manisfetasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Banyak diantara para ulama yang telah menjelaskan makna tawakal, diantranya adalah Al-Munawi beliau mengatakan tawakal adalah menampakan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali. Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan,“Tawakal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk. “Al-Hasan Al-bashri pernah ditanya tentang tawakal, maka beliau menjawab, “Ridha kepada Allah SWT. Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, Tawakal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.
Sifat Tawakkal ini memiliki keutamaan yang luar biasa diantaranya adalah:
1.      Tawakal adalah setengah agama.
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Fatihah ayat 5 Allah SWT berfirman:“Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadamu kami memohon pertolongan. “para ahli tafsir menjelaskan bahwa induk Al-Qur’an adalah surat Al-Fatihah. Sedangkan inti dari surat Al-Fatihah adalah ayat ke-5 di atas. Dengan kata lain, ajaran yang terkandung dalam ayat ini merupakan inti dari ajaran Islam adalah beribadah hanya kepada Allah semata. Sementara kita tidak bisa mewujudkan  tujuan ini kecuali hanya dengan bantuan dari Allah SWT. penggalan pertama ayat ini: “hanya kepadaMu kami beribadah” merupakan tujuan ajaran Islam, sedangkan penggalan kedua. “hanya kepadaMu kami memohon pertolongan” merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan inti ajaran Islam tersebut.
2.      Tawakal merupakan pondasi tegaknya iman dan terwujudnya amal shaleh.
Ibnu Qayyim menyatakan, “Tawakal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali diatas pondasi tawakkal.”
3.      Tawakkal merupakan bukti iman seseorang.
Allah berfirman:
Bertawakkal-lah kalian hanya kepada Allah jika kalian orang-orang beriman.
 (QS. Al-Maidah:23). Ayat ini menunjukan bahwa tawakkal hanya kepada Allah merupakan bagian dari iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.


4.      Tawakkal merupakan amal para Nabi
Hal ini sebagai keterangan Ibn-Abbas r.a ketika menjelaskan satu kalimat “hasbunallaah wa ni’mal wakil” yang artinya “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan sebaik-baik dzat tempat bergantunnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “sesungguhnya kalimat yang diucapkan Nabi Ibrahim a.s ketika beliau dilempar kedalam api dan juga yang di ucapkan Nabi Muhammad SAW. ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah Arab telah bersatu untuk menyerang kalian{Kaum Muslimmin)…” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i)
5.      Orang yang bertawakkal kepada Allah akan dijamin kebutuhannya.
Allah berfirman:
 “dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscahnya Allh akan mencukupkan (kebutuhannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusa-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu .” (QS. At- Thalaq: 3)
e.         Khauf (takut)
            Khauf menurut etimologi adalah takut, secara istilah adalah sifat takut hanya kepada Allah SWT. karena siksa dan ancaman-Nya yang amat dahsyat, sehingga orang yang memiliki sifat khauf ini senantiassa melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhkan seluruh larangan-Nya dengan penuh ridha dan ikhlas.
Allah SWT berfirman:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf)dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. “(Q.S. As-Sajda: 16).
            Khauf merupakan bagian dari sifat mulia, karena dengan sifat ini, seseorang semakin menyadari bahwa dirinya hanya manusia lemah dan tidak berdaya jika siksa dan ancaman Allah menghampiri dirinya. Rasa takut (khauf) merupakan sifat kejiwaan dan kecendrungan alami yang bersemayam dalam hati manusia. Ali bin Abi Thalib r.a berkata: “barangsiapa yang takut, aman!”
            Sebagai gambaran pentingnya sifat takut ini adalah jika kita tidak takut hujan, kita tidak akan sedia payung, bila kita tidak takut sakit, kita tidak berupaya meningkatkan kesehatan kita.
            Islam memandang rasa takut yang ada dalam diri manusia sebagai aib yang harus dihilangkan. Namun demikian, rasa tajut akan menjadi sesuatu yang buruk apabila seseorang tidak mampu mengatur dan menyalurkan rasa takutnya, apa lagi rasa takut itu jadi perintang kemajuan, kebebasan dan kehormatannya.
2.         Akhlak terhadap Diri Sendiri
Di antara akhlak terpuji terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut.
a.         Sabar
            Menurut penuturan Abu Thalib Al-Makky (w. 386/996), sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridhaan Tuhannya dan mengantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah SWT. terhadapnya . Sabar dapat didefinisikan pula dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati ridha serta menyerahkan diri kepada allah SWT. setelah berusaha. Selain itu, sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada Allah SWT. yaitu menjalankam perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
            Sabar dalam pandangan Al-Ghazali merupakan tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-orang yang hendak menuju Allah SWT.  Ciri utama sabar, menurut Al-Muhasibi adalah mengadu kepada siapa pun ketika mendapatkan musibah dari Allah SWT.
            Al-Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa lafaz ash-shabar dalam Al-Qur’an disebutkan di sembilan puluh tempat (ayat). Hal ini menunjukkan sabar memiliki kedudukan tinggi dan mulia dalam Islam. Oleh karena itu, Al-Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sabar setengah dari keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur.
Berikut ini kata sabar dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Sabar sebagai perintah dari Allah SWT, Firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat (Q.S. Al-Baqarah: 153)
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu (Q.S. Al-Imran: 200)
Perintah sabar dalam dua ayat di atas menerangkan bahwa sabar termasuk ibadah dari ibadah-ibadah yang Allah SWT wajibkan kepada hamba-Nya terlebih lagi, Allah SWT kuatkan perintah sabar tersebut dalam ayat yang kedua (bersabarlah dan kuatkan kesabaranya). Sekaligus juga menunjukkan bahwa ada orang-orang yang kesabaranya tipis dan ada juga yang kuat kesabarannya. Barang siapa yang memiliki kesabaranya yang kuat itu, berarti ia telah menduduki derajat yang tinggi disisi Alah SWT. bahkan perintah sabar pula kepada Rasulullah SAW sebagai mana firman-Nya:
Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru rabb mereka di waktu pagi dan senja dengan mengharap wajah-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)
2.      Larangan dari lawan kesabaran
Allah SWT juga melarang dari perbuatan yang meniadakan kesabaran. Sebagaimana firman-Nya:
”Dan janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang tinggi (derajatnya), jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Imran:139).
Adanya larangan  dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengurangi atau menghilangkan kesabaran menguatkan sifat perintah untuk bersabar. Sehingga sabar itu benar-benar meupakan ibadah yang bersifat wajib bukan sebatas sunnah (anjuran).
3.      Pujian Allah SWT terhadap orang-orang yang bersabar
Allah SWT. memuji mereka sebagai orang-orang jujur dalam keimanannya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 177)
Dalam kitab Madarijus Salikin karya Al-Imam Ibnul Qayyim, disebutkan bahwa ayat-ayat yang semisal ini banyak dalam Al-Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dancobaan dari Allah SWT it benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
4.      Mendapat kecintaan dari Allah SWT
Semua orang beriman berharap menjadi golongan orang-orang yang di cintai oleh Allah SWT. Allah SWT mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa golongan yang mendapatkan kecintaan-Nya adalah orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dari Allah SW. Sebagimana Allah SWT tegaskan dalam firmanya:
dan Allah it mencintai orang-orang yang sabar”(Q.S. Al-Imran:146)
5.      Allah SWT bersama orang-orang yang sabar
Allah SWT berfirman:
Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.(Q.S. Al-Anfal:46)
Yang dimaksud Allah SWT bersama orang-orang yang sabar adalah penjagaan dan pertolongan Allah selalu menyertai mereka. Bahkan dalam ayat lain, Allah SWT.benar-benar menjamin penjagaan dan pertolongan-Nya itu selalu bersama dengan orang-orang yang sabar. Sebagaimana firman-Nya :
”Ya, jika kamu bersabar dengan bertakwa, dengan mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscahya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. (Q.S. Al-Imran:125)
6.      Mendapatkan ganjaran yang lebih baik dari amalnya
Allah SWT memberikan ganjaran bagi orang-orang yang sabar melebihi usaha atau amalan yang ia lakukan. Sebagaimana firman-Nya:
”Dan sesungguhnya kami memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl:126)
7.      Mendapat ampunan
Selain Allah SWT. memberikan ganjaran yang lebih baik dari amalnya kepada orang yang sabar, Allah SWT juga memberikan ampuna kepada mereka seperti firman Allah SWT:
”kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal shaloih, mereka itulah yang akan mendapatkan ampunan dan ganjaran yang besar.”(Q.S. Hud:11)
8.      Mendapat martabat tinggi didalam surga
Anugrah yang lebih besar  bagi orang-orang yang sabar  adalah berhak mendapatkan martabat yang lebih tinggi dalam al-jannah, Allah SWT berfirman yang artinya: Mereka (orang-orang yang sabar) itulah yang akan dibalas dengan martabat yang tinggi ( dalam al-jannah)  dikarenakan kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya.”(Al-Furqan:75)
9.      Sabar adalah jalan yang terbaik
Sabar merupakan jalan terbaik bagi siapa yang mengiginkan kebaikan dunia dan akhiratnya. Hal ini sebagaimana Allah firmankan:
”...kalau seandainya kalian mau bersabar, sungguh itu berakibat lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Q.S An-Nisa:25).
b.         Syukur
            Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur ini ditandai dengan keyakinan hati bahwa nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT.,bukan selain-Nya, lalu diikuti pujian oleh lisan, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk sesuatu yang dibenci pemberinya.
            Bentuk syukur terhadap nikmat Allah SWT. yang telah diberikan adalah dengan jalan mempergunakan nikmat Allah SWT. dengan sebaik-baiknya. Adapun karunia yang diberikan Allah SWT. harus kita manpaatkan dan kita pelihara, seperti pacaindra, harta benda, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Apabila kita sudah mensyukri karunia Allah SWT.itu berarti kita telah bersyukur kepada-Nya sebagai penciptanya. Bertambah banyak kita bersyukur, bertambah pula nikmat yang kita terima.
            Profesor psikologi asal Univesity of california, Davis, AS. Robert Emmons, sekaligus pakar terkemuka di bidang penelitian”sikap bersyukur”, telah memperlihatkan bahwa dengan setiaphari mencatat rasa syukur atas kebaikan yang diterima. Orang mnjadi lebih teratur berolah raga, lebih sedikit megeluhkan gejela penyakit, dan merasa keseluruhannya hidupnya lebih baik dibandingkan dengan dengan mereka yang suka berkeluh kesah setiap hari.
            Insan bersyukur menyatakan diri mereka merasakan tingginya perasaan positif, kepuasan hidup, semangat hidup, dan pengharapan baik dimasa depan, mereka juga mengalami kemurungan dan tekanan batin dengan kadar rendah. Kalangan yang memiliki kebiasaan kuat dalam bersyukur atau berterima kasih memiliki kemampuan menyelami kemampuan orang lain. Dan mengambil dari sudut pandang orang lain. Mereka ditenggarai lebih memilih dermawan dan lebih ringan tangan oleh orang-orang dijalinan persahabatan mereka.
            Pribadi-pribadi  yang bersyukur dilaporkan memiliki sifat materialistis yang rendah. Mereka tidak begitu menarug perhatian penting pada hal-hal yang bersifat materi. Mereka cenderung tidak menilai keberhasilan atau keberuntunan diri mereka sendiri dan orang lain dari jumlah harta benda yang mereka kumpulkan.
            Dibandingkan dengan kaum yang kurang berterima kasih, kalangan yang bersyukur cenderung bukan berwatak pendengki terhadap kaum kaya, dan bersikap mudah memberikan apa yang mereka punya kepada orang lain.
c.         Menunaikan Amanah
            Pengertian amanah menurut arti bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan (tsiqah), atau kejujuran, kebalikan dari khianat.   Amanah Adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun tugas kewajiban. Pelaksanan amanat denagan baik biasa disebut al-amin yang berarti dapat di percaya, jujur, setia, aman.
                Suatu amanah sebenarnya adalah suatu tugas yang bera dipikul, kecuali bagi orang yang memiliki sifat dan sikap amanah. Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya, kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh.”(Q,S Al-Ahzab[33]: 72)
            Berkaitan amanat ini, Amir ibn Muhammad Al-Madary pernah bertutur, “Siapa yang menyempurnakan dirinya dengan sifat amanat, ia telah menyempurnakan keberagamannya secara kesuluruhanya.
            Di antara manifestasi amanat, menurut Muhammad Al-Ghazali adalah berusaha sekeras mungkin melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara sempurna. Termasuk didalamnya adalah memenuhi hak-hak orang lain yang dipercayakan kepadanya untuk ditunaikan.
d.         Benar atau Jujur
            Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngada, dan tidak pula menyembunyikannya. Lain halnya apabila yang disembunyikannya itu bersifat rahasia atau karena menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan adalah mengerjakannya sesuau sesuai dengan petunjuk agama. Apa yang boleh dikerjakan menurut perintah agama, berarti itu benar. Dan apa yang tidak boleh dikerjakan sesuai dengan larangan agama, berarti itu tidak benar.
            Diantara ciri benar atau jujur menurut Al-Muhasiby adalah mengharapkan keridaan Allah SWT.semata dalam perbuatan , tidak mengharapkan imbalan dari makhluk, dan benar dalam ucapan.  Apa yang dituturkan Al-Muhasiby sejalan apa yang dikatakan Al-Ghazali. Ia menegaskan bahwa benar dan jujur yang sempurna adalah hendaklah seseorang mendapatkan sifat riya’ dari dirinya, sehingga bagi dirinya tidak perbedaan antara orang yang memuji dan mencelanya. Sebab,ia tahu bahwa yan memberikan manfaat atau bahaya hanyalah Allah SWT. semata, sementara makhluk tidak memberikan apa-apa.  Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya, kebenaran itu membawa pada kebaikan dan kebaikanitu membawa ke surga. Seseorang yang membiasakan diri berkata benar tercatat disisi Allah sebagai orang yang benar.”(H.R. Muttafaq)
            Jika kebenaran dan kejujuran telah membudaya dalam suatu masyarakat, akan terlihat suatu kehidupan yang serasi (harmonis), aman, dan damai dalam masyrakat itu.


e.         Menepati janji (al-wafa’)
            Dalam Islam, janji merupakan utang. Utang harus di bayar (ditepati). Kalau kita mengadakan suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikan pada waktunya. Janji mengandung tanggung jawab. Apabila tidak kita penuhi atau tidak kita tunaikan, dalam pandangan Allah SWT., kita termasuk orang yang berdosa. Adapun  dalam pandangan manusia, mungkin kita tidak percaya lagi, dianggap remeh, dan sebagainya. Akhirnya, kita mersa canggung bergaul, merasa rendah diri, jiwa gelisah, dan tidak tenang.
            Di samping perintah agama, menepati janji dalam pandangan Al-Mawardi (386-450H) merupakan salah satu kewajiban seorang pemimpin, bahkan menjadi tonggak berdirinya pemerintahan yang di pimpinnya. Sebab, jika seseorang pemimpin tidak dapat dipercaya dengan janjinya terjadi banyak pembangkangan dari rakyat Dengan demikian, tonggak pemeritah pun terancam roboh.
Rasulullah SAW menjelaskan:
            “Tanda orang munafik itu tiga, yaitu apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji, ia mangkir, dan apabila diberi amanah (dipercaya), ia berkhianat.”(H.R.Bukhari dan muslim)
f.          Memelihara kesucian diri
            Memelihara kesucian diri (a-iffah) adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Upaya memelihara kesucian diri hendaknya dilakukan setiap hari agar diri tetap berada dalam status kesucian. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat rencana dan angan-angan yang buruk. Menurut Al-Ghazali, dari kesucian diri akan lahir sifat-sifat terpuji lainnya, seperti kedermawanan, malu, sabar, toleran, qanaah, wara, lembut, dan membantu.
            Kesucian diri terbagi dalam beberapa bagian:
1.         kesucian panca indra
2.         kesucian jasad
3.         kesucian dari memakan harta orang lain
4.         kesucian lisan
            Berkaitan denagan keutamaan kesucian diri Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Seseorang tidak akan memperoleh kesempurnaan jika pada dirinya tidak terdapat dua hal, yaitu menyucikan diri dari keinginan meminta harta orang lain dan keinginan untuk mengambilnya  Muhammad bin Ali berkta, “Kesempurnaan terdapat dalam tiga hal yaitu kesucian diri dalam beragama, sabar dalam menghadapi musibah, dan mengelola kehidupan dengan baik. Rasulullah SAW. bersabda:
“Barang siapa yang berusaha menjaga diri (dari yang haram), niscahya Allah menjaga (dari yang haram), barang siaoa yang merasa cukup niscahya Allah memberikan kekayaan kepadanya.
3.         Akhlak terhadap Keluarga
a.         Berbakti kepada orangtua
Berbakti kepada kedua orangtua merupakan faktor utama diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal saleh yang paling utama yang dilakukan oleh seseorang muslim. Salah satu keutamaan berbuat baik kepada kedua orangtua, disamping melaksanakan ketaatan atas perintah Allah SWT. adalah menghapus dosa-dosa besar. Hal itu sebagai mana tergambar dalam ucapan Ali bin Abi Thalib. Demikian pula dikatakan Ibnu Abd Al-Barr dari Al-Makhul. Ibnu Al-Jauzi secara lebih terperinci menjelaskan keutaamaan berbuat baik kepada kedua orang tua dalam kitabnya Birr Al-Walidain. Allah SWT berfirman:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”(Q.S. Luqman [31]: 14).
b.         Bersikap baik kepada saudara
            Agama Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada sanak saudara atau kaum kerabat sesudah  menunaikan kewajiban kepada Allah SWT. dan ibu bapak. Hidup rukun dan damai dengan saudara dapat tercapai apabila hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan tolong-menolong. Pertalian kerabat itu dimulai dari yang lebih dekat dengan menurut tertibnya sampai kepada yang lebih jauh. Kita wajib membantu mereka, apabaila mereka dalam kesukaran. Sebab, dalam hidup ini hampir semua orang mengalami kesukaran dan kegoncangan jiwa. Apabila mereka memerlukan pertolongan yang bersifat benda, bantulah dengan benda, Apabila mengalami kegoncangan jiwa atau gelisah, cobalah menghibur atau menasihatinya. Sebab, bantuan itu tidak hanya berwujud uang (benda), tetapi juga bantuan moril. Kadang-kadang bantuan moril lebih besar artinya daripada bantuan materi. Rasulullah SAW. bersabda:
“Berbuat baiklah kepada ibu dan bapakmu, saudaramu perempuan, dan saudaramu laki-laki, Sesudah itu (kerabat)  yana lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.”
4.         Akhlak terhadap Masyarakat
a.         Berbuat baik pada tetangga
            Tetangga adalah oranag yang terdekat dengan kita. Dekat karena bukan pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan ,mungkin tidak seagama dengan kita. Dekat disini adalah orang yang berdekatan dengan rumah kita.Ada atsar yang menunjukan bahwa tetangga adalah empat puluh rumah (yang berada disekitar rumah) dari setiap penjuru mata angin. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa yang berdekatan dengan rumahmu adalah tetangga.
Para ulama membagi tetangga menjadi tiga macam.
·         Tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Tetangga semacam ini mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
·         Tetangga muslim saja, tapi bukan kerabat. Tetangga semacam ini mempunyai dua hak, yaitu tetangga dan hak islam.
·         Tetangga kafir walaupun kerabat. Tetangga semacam ini hanya mempunyai satu hak, yaitu tetangga saja.
b.   Suka menolong orang lain
      Dalam hidup ini jarang sekali ada orang yang tidak memerlukan pertolongan orang lain. Ada kalanya karena sengsara dalam hidup; ada kalanya penderitaan karena penderitaan batin atau kegelisahan jiwa ; ada kalanya sedih mendapat berbagai musibah. Oleh sebab itu, belum tentu orang kaya dan orang yang mempunyai kedudukan tidak memerlukan pertolongan orang lain.
      Orang mukmin apabila melihat orang lain tertimpa kesusahaan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan kemampuanya. Apabila tidak ada bantuan berupa benda, kita dapat membantu orang tersebut dengan nasihat atau kata-kata yang dapat menghibur hatinya. Bahkan, sewaktu-waktu bantuan jasa lebih diharapakan daripada bantuan-bantuan lainya.
5.         Akhlak terhadap Lingkungan
            Pada dasarnya, akhlak yang di ajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interkasi manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya.
Dalam pandangan akhlak islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptanya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia bertanggung jawab sehinnga ia tidak melakukan perusakan bahkan dengan kata lain.”Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri,”
Binatang, Tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa, semua itu diciptakan oleh Allah SWT. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki kebergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia sehinnga semuanya seperti ditulis  Al-Qurthubi (w. 671 H) di dalam tafsirnya “Tidak boleh diperlakukan secara aniaya.”
Jangankan dalam masa damai, dalam peperangan pun terdapat petunjuk Al-Qur’an yang melarang melakukan penganiyaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun dilarang, kecuali terpaksa, tatapi itu pun harus seizin Allah SWT., dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan yang besar.

2.4       PENGERTIAN AKHLAK TERCELA (MADZMUMAH)
Kata Madzmumah berasal dari bahasa Arab yang artinya tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak tercela. Istilah ini digunakan oleh beberapa kitab tentang akhlak, seperti ihya ‘ulumu Ad-Din dan Ar-Rislah Al-Qusairiyyah. istilah lain yang digunakan adalah masawi’ al-akhlaq sebagaimana digunakan oleh Asy-Syamiri.
 Segala bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai manusia. Bentuk-bentuk akhlak tercela bisa berkaitan dengan Allah SWT, Rasulullah SAW, dirinya, keluarganya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
            Banyak keterangan yang menjelaskan perintah menjauhi akhlak tercela dan pelakunya, diantaranya:
1.         Rasulullah SAW. Bersabda:
“seandainya akhlak buruk itu seseorang yang berjalan di tengah-tengah manusia, ia pasti orang   yang buruk. Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan perangkat jahat.”
2.         Rasulullah SAW. Bersabda:
“sesungguhnya akhlak tercela merusak kebaikan sebagaimana cuka merusak madu.”

2.5       MACAM-MACAM AKHLAK TERCELA
1.         Syirik
Syirik secara bahasa adalah mempersekutukan Allah, secara istilah adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah SWT. dengan sesuatu yang lain. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik. Seorang musyrik melakukan sesuatu perbuatan terhadap makhluk (manusia maupun benda) yang seharusnya perbuatan itu hanya ditunjukan kepada Allah seperti menuhankan sesuatu selain Allah dengan menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya, menaatinya, atau melakukan perbuatan lain yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Ada tiga macam syirik berdasarkan definisi umum, yaitu: (1) Ay-Syirik I Ar-Rububiyah, yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya mengenai sesuatu berkaitan dengan pemeliharaan alam; (2) Asy-Syirik f Al-Asma’ wa Ash-Shifa, yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya berdasarkan nama dan sifat; (3) Asy-Syirik fi Al-Uluhiyyah, yaitu menyamakan Allah SWT. Dengan makhluk-Nya mengenai ketuhanan.
Adapun definisi syirik secara khusus adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT. Dan memperlakukannya seperti Allah SWT. seperti berdo’a dan meminta syafaat. Syirik ada dua macam: yaitu syirik akbar (syirik besar) dan syirik ashgar (syirik kecil). Syirik akbar adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT. Lalu menyembahnya. Pelakunya keluar dari Islam dan segala amal baiknya terhapus. Jika mati dalam keadaaan seperti itu, maka ia akan abadi dalam neraka jahanam. Siksanya tidak akan diringankan sedikit pun. Adapun Syirik ashgar adalah setiap perbuatan yang menjadi perantara menuju syirik akbar, atau perbuatan yang dicap syirik oleh nash, tetapi tidak sampai mencapai derajat syirik akbar.
Perbedaan antara syirik besar dan syirik kecil dapat dijelaskan sebagai berikut
1.      Syirik besar tidak akan diampuni Allah SWT. kecuali melalui taubat yang sebenarnya sedangkan syirk kecil diampuni atau tidaknya bergantung pada kehendaknya-Nya.
2.      Syirik besar akan menghapus seluruh amal baik, sedangkan syirik kecil tidak sampai menghapus seluruh amal baik, kecuali perbuatan-perbuatan yang menyertainya.
3.      Syirik besar menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, sedangkan syirik kecil tidak.
4.      Syirik besar menyebabkan pelakunya abadi dalam neraka, sedangkan syirik kecil sama seperti dosa-dosa lainnya.
 2.        Kufur
            Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur adalah sifatnya. Menurut syara, kufur adalah tidak beriman kepada Allah SWT. Dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan. Kufur ada jenis yaitu kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan abadi dalam neraka. Kufur besar ada  lima macam.Yaitu:
1        Kufur karena mendustakan para Rasul. Allah SWT. berfirman:
“Dan siapakah yang lebih lazim daripda orang-orang yang mengada-adakan kebohongan Allah atau orang yang mendustakan yang hak ketika (yang hak) itu datang kepadanya? Buka-kah dalam neraka jahanam ada tempat bagi orang-orang kafir?”(Q.S. Al-Ankabut [29]:68)
2        Kufur karena enggan dan sombong, padahal tahu kebenaran risalah para rasul. Allah SWT. berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada malaikat, sujud lah kamu kepada adam! Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 34)
3        Kufur karena ragu, yaitu ragu-ragu terhadap kebenaran para rasul. Allah SWT. berfirman:
“ dan dia memasuki dengan sikap merugikan dirinya sendiri (karena angkuh dan kafir), dia berkata ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku kira hari kiamat itu tidak akan datang dan sekiranya aku dikembaliakan kepada tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang baik dariada ini! Kawanya (yang beriman) berkata kepadanya sambil bercakap-cakap dengannya, apakah engkau ingkar kepada tuhan yang menciptkan engkau dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak meytukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”(Q.S. Al-Khaf [18]: 35-38)
4        Kufur karena berpaling, yaitu berpaling secara menyeluruh dari agama dan apa yang dibawa para rasul. Allah SWT berfirman:
“kami tidak akan menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam wktu yang ditentukan. Namun, orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang diberikan kepada mereka.”(Q.S.  Al-Ahqaf [46]: 3)
5        Kufur karena nifak, yaitu I’tikad, menampakan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Allah SWT berfirman:
yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehinggah mereka tidak dapat mengerti.”(Q.S. Al-Munafiqun [63]: 3)
Adapun kufur kecil, yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tidak menyebabkan abadi dalam neraka. Pelakunya hanya mendapatkan ancaman keras. Kufur kecil adalah dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.

3.         Nifak dan Fasik
            Secara bahasa, nifak berarti lubang tempat keluarnya yarbu (binatang sejenis tikus) dari sarangnya. Jika ia dicari dari lubang yang satu, ia akan keluar dari lubang lain. Dikatakan pula, kata nifak berasal dari kata yang berarti lubang bawah tanah tempat bersembunyi. Adapun nifak menurut syara, artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentang dengan apa yang terkandung di dalam hati. Dinamakan demikian karena pelakunya masuk Islam melalui satu pintu, lalu keluar dari pintu yang lain. Atas dasar itu, Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang munafik itu orang-orang fasik (Q.S. At-Taubah [9]:67), yaitu keluar dari syara’.
            Nifak terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Nifak I’tiqadi adalah nifak besar yang pelakunya menampakkan keIslaman, tetapi menyembunyikan kekufuran dalam hatinya. Jenis nifak ini menyebabkan pelakunya keluar dari agama Isalam dan abadi dalam neraka. Allah SWT menyifati pelakunya dengan sifat-sifat buruk seperti, kafir, tidak memiliki iman, mengolok-olok Islam dan pemeluknya, dan cenderung kepada musuh Allah SWT. Nifak I’tiqadi ini ada enam macam, yaitu sebagai berikut.
a.       Mendustakan Rasulullah SAW.
b.      Mendustakan sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
c.       Membenci Rasulullah SAW.
d.      Membenci sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
e.       Merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah SAW.
f.        Membenci kemenangan agama Rasulullah SAW.
2.      Nifak ‘amali, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, tetapi dalam hatinya masih terdapat iman. Nifak jenis ini tidak mengeluarkannya dari agama Islam, tetapi merupakan washilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam keadaan iman-nifak. Jika perbuatan nifaknya lebih banyak, hal ini bisa menjadi sebab terjerumusnya ke dalam nifak sesungguhnya,
Perbedaan antara nifak besar dan nifak kecil dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Nifak besar menyebabkan pelakunya keluar agama Islam, sedangkan nifak kecil tidak demikian.
b.      Nifak besar berarti bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai keyakinan, sedangkan nifak kecil berarti bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai perbuatan semata, bukan keyakinan.
c.       Nifak besar tidak akan keluar dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang keluar darinya.
d.      Pelaku nifak besar umumnya tidak bertaubat kepada Allah SWT. Sedangkan pelaku nifak kecil terkadang bertaubat kepada-Nya.
4.         Takabur dan Ujub
            Takabur terbagi dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir. Takabur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur lahir adalah perbuatan anggota-anggota tubuh yang muncul dari takabur batin. Perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin sangat banyak sehingga tidak dapat disebtkan satu persatu.
Dilihat dari subjeknya, takabur terbagi pada tiga bagian
1        Takabur kepada Allah SWT. Inilah takabur yang paling berat dan keji. Ini seperti yang dilakukan Fir’aun karena ia mengaku dirinya dapat memerangi Tuhan langit atau takabur yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Tuhan.
2        Takabur kepada rasul, yaitu tidak mau mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Serta menghina dan menyepelekan ajarannya ini seperti perilaku orang Quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.
3        Takabur terhadap sesama manusia, yaitu menganggap orang lain remeh  dan hina. Meskipun tingkatannya lebih rendah daripada yang pertama dan kedua, kesombongan jenis ketiga ini tetap saja merupakan perilaku yang sangat tercela karena, kesombongan, keagungan, dan kemuliaan tidak layak , kecuali bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
            Al-Ghazali menuturkan bahwa seseorang tidak takabur atau ujub, kecuali ketika ia merasa dirinya memiliki kesempurnaan, baik bearkaitan dengan agama atau dunia. Berkaitan dengan agama, misalnya, ia takabur karena merasa paling dekat dengan Allah dibandingakan dengan yang lainnya. Adapun berkaitan daengan dunia, ia merasa dirinya lebih kaya atau terhormat daripada yang lainya.
5.         Dengki
            Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasud, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tesebut diperoleh dengan tidak wajar. Adapun menurut Imam Al-Ghazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu.
            Al-Ghazali membagi dengki pada empat tingkat. Pertama, menginginkan lenyapnya kenikmatan orang lain, meskipun kenikmatan itu tidak berpindah kepada dirinya. Kedua, menginginkan lenyapnya kenikmatan oranglain karena dia sendiri menginginkannya. Ketiga, tidak menginginkan kenikmatan itu sendiri, tetapi menginginkan kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia berusaha merusak kenikmatan orang lain. Keempat, menginginkan kenikmatan serupa. Kenikmatan itu dari orang lain. Sikap keempat ini diperbolehkan dalam urusan Agama.
            Apabila penyakit dengki mulai bersarang dalam hati, segeralah berusaha mengobatinya dengan cara berikut.
1.      Minta maaf kepada orang yang didengki (dihasadi), walaupun terasa berat. Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “berjabat tanganlah kamu (minta maaf), niscaya akan hilang darimu penyakit dengki, tunjuk mununjuk, dan cinta mencintailah kamu, niscaya akan hilang iri hati” (H.R. Malik).
2.      Menyadrai dan mengingat bahwa semua nikmat yang diberikan Allah SWT kepada umat islam yang dikehendaki-Nya, sudah pasti tidak merugikan orang lain. Sebab, nikmat yang diberikan Allah SWT kepada seorang, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
6.         Gibah
            Ibnu Hajar (773 H-852 H) menuturkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan gibah. Raghib Al-Ashfahani menjelaskan bahwa gibah adalah membicarakan aib orang lain dan tidak ada keperluan dalam penyebutannya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain yang apabila penuturan itu sampai pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya. Ibnu Atsir menjelasakan bahwa gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak pada tempatnya walaupun keburukan itu memang ada padanya. An-Nawawi menjelaskan bahwa gibah adalah menuturkan keburukan orang lain, baik yang dibicarakannya itu ada pada badannya, agamanya, dunianya,dirinya, kejadiannya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orangtuanya, istri atau suaminya, pembantu rumah tangganya, pakaiannya, gaya berjalannya, gerakannya, senyumya, cemberutnya, air mukanya, atau yang lainnya. Tetapi disebut gibah baik yang dengan lisan maupun tulisan, atau yang terbentuk rumus, isyarat dengan mata, tangan, kepala, atau yang lain.
7.         Riya
            Kata riya’ diambil dari kata dasar ar-ru’yah. Yang artinya memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik. Riya merupakan salah satu sifat tercela yang harus dibuang jauh-jauh dalam jiwa kaum muslim karena riya’ dapat menggugurkan amal ibadah. Riya adalah memperhatikan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal buka karena Allah tapi karena manusia, riya ini erat hubungannya dengan sifat takabur.
Sifat riya muncul dalam beberapa bentuk kegiatan, diantaranya:
a.       Riya’ dalam beribadat
Orang biasanya memperhatikan kekhusyukan apabila dia berada di tengah-tengah jamaah atau karena ada orang yang melihatnya.
b.      Riya’ dalam berbagai kegiatan
Orang yang rajin dan tekun bekerja selama ada orang yang melihat. Dia bekerja seolah-olah penuh semangat, padahal dalam hati kecil tidak demikian. Ia rajin bekerja apabila ada pujian, tetapi apabila tidak ada lagi yang memuji, semangatnya menuru. Orang riya’ biasanya bersikap sombong dan angkuh, seolah-olah hanya dia yang pandai, dan berguna dalam masyarakat. Allah SWT. memperingatkan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamanya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Anf’al [8]: 47)
c.       Riya’dalam berderma atau bersedekah
apabila mendermakan hartanya pada orang lain, orang riya’ bermaksud bukan karena ingin menolong dengan ikhlas, tetapi ia berderma supaya dikatakan sebagai dermawan dan pemurah. Padahal, orang yang bersedekah karena riya’ tidak akan mendapatkan pahala, dan amalnya sia-sia. Memperlihatkan sedekahnya, dan ucapannya tersebut dapat menyakiti perasaan si penerimanya. Oleh sebab itu, Allah SWT. memperingatkan dengan firman-Nya:
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan meyakini (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 264)
d.      Riya’ dalam berpakaian
Orang riya’ biasanya memakai pakaian yang bagus, perhiasan yang serba mahal dan beragam dengan harapan agar dia disebut orang kaya, mampu, dan pandai berusaha sehingga melebihi orang lain. Jika sifat seperti itu sudah melekat pada dirinya, dia tidak akan segan-segan meminjam pakaian dari orang lain, apabila kebetulan dia tidak memilikinya. Tujuannya hanya dipamerkan dan sekedar mendapat pujian. Jadi, orang itu berpakaian tidak karena mematuhi ajaran untuk menutup aurat, tetapi karena riya’.
            Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali ancaman tentang bahaya riya. Riya temasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap diri, amal, masyarakat dan umat di antara bahaya riya adalah sebagai berikut:
            Pertama, riya lebih berbahaya bagi kaum muslimin dari pada fitnah dajjal. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad-Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syikrul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu ia menghiasi (merperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya.” (HR. Ibnu Majah)
            Kedua, riya lebih sangat merusak dari pada srigala penyergap domba. “Rasulullah SAW. bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan dilepaskan ditengah sekumpulan domba lebih merusak daripada ketamakan seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.” (HR. Ahmad). Rasulullah SAW. juga memberikan permisalan rusaknya agama seorang muslim karena tamaknya kepada harta, kemuliaan, pangkat dan kedudukan. Semua ini menggerakan riya. Didalam diri seseorang.
            Ketiga, amal shaleh akan hilang pengaruh baiknya dan tujuannya yang besar bila disertai riya. Allah SWT berfirman:
“Maka celakalah bagi orang yang shalat yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’dan mencegah (menolong dengan barang) yang berguna.’ (QS. Al-Ma’un: 4-7).
            Orang yang berbuat riya dan tidak mau menolong orang lain, karena shalat mereka tidak mempunyai pengaruh dalam hati mereka, sehingga mencegah kebaikan dari hamba-hamba Allah. Mereka hanyalah menunaikan gerakan-gerakan shalat dan memperindahnya, karena semua mata memandangnya, padahal hati mereka tidak memahami, tidak tahu hakikatnya dan tidak mengagungkan Allah SWT. Karena itu, shalat mereka tidak berpengaruh terhadap hati dan amal. Riya menjadikan amal itu kosong tidak ada nilainya.
            Keempat, riya akan menghapus dan membatalkan shalih. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah:264)
            Kelima, Riya mewariskan kehinaan dan kerendahan. Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hamba-Nya, Allah rendahkan dia dan menghinakannya.”(HR. Thabrani).
            Ketujuh, perilaku riya tidak akan mendapatkan ganjaran di akhirat. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “samapaikan kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa diantara mereka yang melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Ahmad).
            Kedelapan, riya akan menambah kesesatan seseorang. Allah SWT. berfirman:
mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang berima, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 9-10)
            Kesembilan, riya merupakan sebab kekalahan umat Islam Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menolong umat ini dengan orang-orang yang lemah, yaitu dengan do’a, shalat, dan keikhlasan mereka,” (HR. an-Nasa’i)
            Ikhlas karena Allah menjadi sebab ditolongnya umat ini dari musuh-musuh mereka. Allah melarang kita keluar berperang dengan sombong dan riya, karena hal ini akan membawa kepada kekalahan. Allah berfirman:
“Dan jangan lah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi orang dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.”(QS. Al-Anfal: 47).
8.         Ghadab (Marah)
            Sifat ghadab merupakan sifat buruk, karena sifat ini ditimbulkan dari nafsu yang ingin menang sendiri dan tidak menerima ketentuan yang telah Allah berikan. Sifat marah ini lebih menurutkan hawa nafsu, sehingga pada umumnya orang yang marah mengakibatkan seseorang gelap mata dan tidak berpikir secara sehat.
            Seorang ahli kimia ternama Prancis, bernama Jiande dan seorang pakar psikolog dari amerika bernama Almasy. Mereka telah mengadakan penelitian pada manusia dengan kesimpulan, bila perasaan seseoramg yang sedang mengalami perubahan drastis (marah, cemburu, kecewa, benci), maka aka nada banyak zat kimia berbahaya (racun) yang diekskresi dari dalam tubuh manusia. Bahkan nafas yang dikeluarkan dari mulutnya, sudah memiliki kandungan zat kimia yang tidak sama.
            Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW. telah mengajarkan kepada kita bila sedang marah, segera berwudhu (bersuci), supaya menjadi tenang. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan dari api, dan api dapat dipadamka dengan air, karena itu jika salah seseorang dari kalian marah, maka berwudhulah.” (HR. Ahmad).”


2.6       INDIKATOR AKHLAK TERPUJI DAN TERCELA
1.         Baik dan Buruk menurut Agama
            Perilaku manusia yang baik ditunjukan oleh sifat-sifat dan gerak kehidupanya sehari-hari. Manusia sebagai individu dan sebagai makhluk sosial, tidak berhenti dari perilaku. Perilaku manusia adapat berubah-ubah meskipun manusia dapat membuat perencanaan untuk bertidak secara rutin.
Manusia wajib mengerti dan memahami makna baik dan buruk. Sesuatu yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah SWT. Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang buruk menurut manusia belum tentu menurut Allah SWT. Hal tersebut dapat dialami oleh seluruh manusia karena pada dasarnya, akal pikiran manusia dan kemampuan intelegensinya sangat terbatas.
Allah Swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an surat fussilat ayat 34-35,:
”dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan diantara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidakdi anugrahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan ysng besar.” (Q.S. Fussilat: 34-35)
Firman Allah SWT. diatas, menjelaskan perbuatan baik dan buruk, perilaku jahat dan bajik. manusia beriman harus mengenal secara lebih mendalam tentang jenis-jenis perbuatan yang baik dan buruk, sehingga setiap tindakan merupakan pilihan yang rasional dan dijaga tuntunan Allah SWT. dan Rasulullah SAW.
            Indikator utama dari perbuatan yang baik adalah sebagai berikut:
1.      Perbuatan yang diperintahkan oleh ajaran Allah dan Rasulullah SAW yang termuat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.      Perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat.
3.      Perbuatan yang meningkatkan martabat kehidupan manusia dimana Allah dan sesama manusia.
4.      Perbuatan yang menjadi bagian dari tujuan syariat Islam, yaitu memelihara agama Allah, akal, jiwa, keturunan, dan harta kekayaan

Indikator perbuatan buruk atau Akhlak yang tercela adalah sebagai berikut:
1.      Perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu yang datangnya dari setan.
2.      Perbuatan yang diotivasi oleh ajaran thogut yang mendatangkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain.
3.      Perbuatan yang membahayakan kehidupan di dunia dan merugikan di akhirat.
4.      Perbuatan yang menyimapang dari tujuan syariat Islam, yaitu merusak agama, akal, jiwa keturunan, dan harta kekayaan.
5.      Perbuatan yang menjadiakan permusuhan dan kebencian.
6.      Perbuatan yang menimbulkan bencana bagi kemanusiaan.
7.      Perbuatan yang menjadikan kebudayaan manusia menjadi penuh dengan keserakahan dan nafsu setan.
8.      Perbuatan yang melahirkan konflik, peperanagan, dan dendam yang tidak berkesudahan.
Al-Qur’an banyak menyajikan ayat-ayat yang mengemukakan akhlak yang baik. Selain secara langsung menetapkan indikatornya, juga menetapkan jenis akhlaknya. Misalnya, dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan ayat 63:
”Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyanyang (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apbila orang-orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (Q.S.Al-Furqan: 63)
Firman Allah SWT. tersebut menjelaskan jenis Akhlak orang-orang yang menyebarkan kasih sayang terhadap sesama manusia. Indikatornya adalah tidak sombong, rendah hati, dan murah senyum. Meskipun orang jahil menyapanya, orang yang berakhlak mulia akan menyapanya dengan sapaan yang menyejukan dan menyelamatkan. Mengucapkan asslamu, alaikum warrahmatullahi wabarakatuh adalah ucapan yang mendoakan sesama muslim untuk memperoleh kasih sayang Allah SWT. dan keberkahannya.
Terdapat suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang menjelaskan sabda Nabi Muhammad SAW. “Bukanlah kekuatan itu karena seseorang berani bergulat dan bertengkar, kekuatan seseorang terletak dari kecerdasannya mengendalikan diri ketika ia sedang marah.

Dalam Asy-Sy’ura ayat 25, Allah SWT. berfirman:
”Dan dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan, dan mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S.Asy-Syuara:25)
Ayat diatas, menjelaskan akhlak Allah SWT. yang selalu menerima taubat hamba-Nya dengan mengampuni kesalahan-kesalahan orang-orang yang bertaubat. Hal itu merupakan pelajaran beharga bagi manusia bahwa manusia yang berakhlak mulia adalah manusia yang pemaaf kepada orang lain.
      Demikain pula , dalam surat Asy-Sy’ura ayat 15, Allah SWT. berfirman
”karena itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, aku beriman kepada kitab yang diturunkan Allah dan aku perintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami, perbuatan kami dan kamu perbuatan kamu. Tidak ada (perlu) petengkaran antara kami dan kamu. Allah mengimpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah (kita) kembali. (Q.S Asy-Sy’ura: 15)
            Firman Allah SWT. tersebut sangat jelas dan luar biasa karena akhlak yang harus diwujudkan oleh orang-orang muslim adalah akhlak bertoleransi kepada sesama manusia. Allah SWT. mengakui bahwa keimanan tidak dapat dipaksakan, tetapi bagi orang muslim, dakwah kepada jalan Allah SWT. harus tetap dijalankan, dengan menggunakan metode yang baik, strategis, dan tidak mendatangkan pertikaian.
            Indikator Akhlak baik menurut ayat di atas, semakin diperkuat dalam surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya:
”wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”(Q.S. Al-Hujurat:13)
            Itulah firman Allah SWT. yang kembali memberikan penjelasan tentang keanekaragaman berbudaya, berbangsa, dan etnis manusia. Manusia dituntun untuk saling berinteraksi dengan sesame manusia. Pergaulan manusia harus dikembangkan seluas munkin,tetapi bagi Allah SWT. evaluasi terakhir yang dijadikan patokan utama adalah ketakwaan manusia.
            Ketakwaan manusia akan semakin meningkat apabila manusia selalu memperkuat keyakinan tentang kekuasaan Allah SWT. bahwa seluruh gerak gerik manusia selalu diawasi oleh Allah SWT. karena pengawasan Allah SWT. yang melekat, manusia akan selalu berhati-hati dalam menjalankan kehidupan, menjaga akhlaknya di hadapan Allah SWT. dalam pergaulannya dengan sesama manusia. Manusia beriman akan memiliki kesadaran yang utuh tentang kehidupan abadi di akhirat.
            Indikator akhlak tercela menurut pandangan Allah SWT. juga dijelaskan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an, diantaranya surat An-Najm ayat 32:
”(yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak dia menjadikankamu dari tanah, lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S.An-Najm:32)
            Firman Allah SWT diatas, dapat dipahami dengan logika antagonistika, yaitu kebalika dari makna aslinya bahwa akhlak yang buruk diindikasikan oleh perbuatan manusia yang selalu berbuat dosa dan menganggap dirinya suci, sehingga ia akan lupa untuk bertobat kepada Allah SWT.
Dosa terberat pada kemanusiaan adalah melakukan penindasan kepada sesama manusia, mejajah, dan mengambil hak orang lain. Kezaliman merupakan akhlak yang akan di azab oleh Allah SWT. sebagaimana bangsa-bangsa yang selalu menjajah bangsa-bangsa yang lemah. Firman Allah SWT. diatas dapat di pahami bahwa indikator akhlak tercela berupa perbuatan yang nista dan dosa, terutama berkaitan dengan orang berupa lain. Oleh karena itu, setiap umat Islam sebaiknya menjadi muslim yang pemaaf bagi muslim yang lainya, dan selalu menghormati hak-hak orang lain meskipun non muslim.
            Larangan-larangan Allah SWT. yang merupakan indikator akhlak yang tercela, artinya  yang wajib ditinggalkan oleh umat Islam dijelaskan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an secara keseluruhan bertujuan untuk membenuk akhlak yang terpuji.
           
Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Qasas ayat 83,:
”Negeri akhirat itu kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesuadahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S.Al-Qasas:83)
            Firman Allah SWT. dalam ayat-ayat Al-Qur’an diatas, menjadi dalil tentang akhlak yang tercela yang membuat manusia terhalang untuk masuk kedalam kampung yang penuh dengan kenikmatan. Manusia tertutup untuk memperoleh kenikmatan surga. Akhlak yang dimaksudkan adalah akhlak yang tercela, yaitu kehidupan yang sombong dan takabbur. Allah SWT. menyatakan bahwa kesombongan manusia hanyalah bagian dari kekerdilan manusia. Hal ini karena kesombongan menunjukan semakin kecil dan lemahnya manusia. Sehebat apapun manusia, kesombongan tidak akan dapat menembus bumi dan melebihi tingginya gunung. Seharusnya manusia malu terhadap dalamnya bumi dan tingginya gunung dan langit, yang kedudukan keduanya sama sebagai makhluk yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, Allah SWT. menghendaki manusia hidup dengan penuh dengan kerendahan hati.
            Indikator akhlak tecela dalam bentuk kesombongan dapat berupa penolakan terhadap hak yang datang dari Allah SWT. meninggalkan ibadah dan memandang kehidupan hanya bersifat materi semata. Manusia yang meninggalkan perintah Allah SWT. di akhirat dan perilaku tersebut tergolong pada kekufuran atas adanya hari akhirat. Akhlak demikian seperti akhlaknya orang-orang ateis yang tidak mengakui adanya Tuhan. Oleh karena itu, keberadaan bagi mereka hanyalah materi semata, dan tidak ada kehidupan setelah kematian.
2.         Indikator Akhlak Terpuji dalam Filsafat
            Pandangan-pandangan tentang akhlak dalam kajian filsafat melahirkan berbagai aliran yang kemudian digolongkan pada aliran etika dalam filsafat atau filsafat paradigmanya didasarkan pada aksiologi dalam filsafat.
            Filsafat sebagai induk pemikiran ilmiah selalu berada di belakang setiap kemajuan suatu peradaban. Langkah pertamanya dimulai ketika manusia menemukan  tata cara belajar melalui trial and error, cara ini membimbing manusia pada kemampuan menemukan pengetahuan ilmiah yang melibatkan observasi dan eksperimen.
            Socrates (470 SM-399 SM). Misalanya adalah filsuf yang menentang sofistik dengan mengatakan bahwa benar dan baik adlah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua orang . Ia seorang filsuf yang jujur dan berani mengatakan meskipun ia harus membunuh dirinya sendiri.
            Demikain pula, dialektika keilmuan yang dibanagun oleh Plato dan muridnya Aristoteles. Plato terkesan idealistik dan meyakini bahwa eksistensi berada diluar aspek fisik. Sementara bagi muridnya Aristoteles eksistensi melekat pada suatau yang fisik. Bagi Plato kebenaran  yang ditangkap oleh pancaindra dan dibenarakan rasional oleh rasio tidak lebih dari sebuah bayang-bayang yang bukan saja memilikinilai jarak dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu itu sendiri. Sedangkan menurut Aristoteles keberadaan kebenaran yang paling hakiki, berada diluar segala sesuatu yang empiris dan fisik. Oleh sebab itu, kebenaran yang harus dicari adalah kebenaran metafisik yang mengadakan sesuatu yang ada sifatnya sementara. Dengan demikian, ajaran akhlak filosofinya seperti ajaran yang memberikan hikmah tentang adanaya kekuasaan yang mahamutlak.
            Pengaruh tradisi empiris-rasional yang dibangun Aristoteles dan diawali para gurunya di Yunani, telah mengubah dunia mistik menjadi dunia ilmu. Namun, proses itu tidak bertahan lama, sebab penalaran mistik mengalahkan penalaran ilmiah yang telah susah payah dikerjakan oleh para filsuf besar Yunani.
            Setelah kematian Aristoteles, filsafat Yunani Kuno kembali menjadi ajaran praktis dan mistik. Ajaran mistik terlihat dari ajaran Stoa, Eficurus, dan Plotinus. Pudarnya kekuasaan Romawi menjadi isyarat kearah datangnya tahapan baru, filsafat dan ilmu harus mengabdi pada agama semakin tampak dan nyata (Ancilla Theologiae). Filsafat Yunani dikesan sangat sekuler, khususnya pada pemikiran Aristoteles telah dicairkan dari antinominya dengan doktrin Gerejani.filsafat lebih bercorak teologis dan ideologis (bersifat tertutup) dibandingkan cengan corak sebelumnya yang ilmiah yang (bersifat terbuka).
            Biara tidak saja menjadi tempat aktivitas agama, tetapi menjadi pusat kegiatan intelektual. Ilmu pengetahuan dihubungkan dengan kitab suci umat kristiani dalam bentuk hubungan history of scientific progress (sejarah perkembangan Ilmu), tidak pada social psychology-Nya. Elastisitas ilmu pengetahuan menjadi tidak tampak, bahkan hilang sama sekali. Ilmu pengetahuan terikat oleh doktrin yang bersifat tertutup dan jauh dari karakter dialogis.
            Kondisi ajaran Kristiani yang menempatkan kitab suci dengan ilmu dalam posisi tersebut, akan menjadi catatan penting, bukan saja bagi masyarakat Kristen sesudahnya, tetapi yang paling menarik justru bagi masyarakat dan komunitas lain, seperti Islam. Masyarakat agama terakhir ini merespons hubungan agama dan ilmu dalam bentuk hubungan yang tidak history of scientific progress, tetapi keduanya dihubungkan dalam bentuk social psychology (psikologi sosial).
            Bentuk hubungan seperti yang di peragakan masyrakat Kristen dicatat sejarah telah melahirkan sejumlah kerugian, diantaranya terjadinya pertentangan antara kajian keilmuan dengan kajian keagamaan. Akibatnya, perkembangan ilmu penegtahuan menentang doktrin agama dan keilmuan merupakan para penentang agama yang harus disingkirkan.
            Agama Kristen mengharuskan masyarakat bermoral mengikuti ajaran Kristen. Gereja sebagai pusat kebenaran dan pembentuk keharusan brahlak. Secara filosofis, indikator akhlak dalam perspektif filsafat tertuju pada kebenaran agama, yang dalam hal ini Kristen telah memenangkan dunianya sebagai dunia moralitas Gerejani yang absolut pada masa itu.
            Akan tetapi, sepanjang moralitas gerjani yang dipaksakan, sistem filsafat Plotinus mengajarkan kesatuan yang disebut Allah SWT. atau “yang satu” (to Hen). Artinya, semua berasal dan kembali pada “yang satu”. Pandanagan tersebut menimbulkan gerakan pemikiran Dari atas kebawah dan dari bawah ke atas. Pada gerakan dari atas kebawah, “yang satu” merupakan puncak hierarki semua makhluk. Suatu taraf berasal dari taraf lain yang lebih tinggi melalui jalan emanasi yang perlu, bahkan merupakan keharusan. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi tidak berubah, sedangkan kesempurnaanya tidak berkurang. Prosesnya adalah sebagai berikut, dari “yang satu” dikeluarkan akal budi (nus) sesuai dengan gagasan utama filsafat Plato. Plotinus mengartikanya sebagai intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Dalam akal budi, terdapat dualitas, yaitu pemikiran (yang memikirkan) dan yang dipikirkan. Akal budi melahirkan jiwa dunia (psykhe), dan dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe merupakan jagat raya. Sebagai taraf terendah, materi merupakan yang paling tidak sempurna dan sumber dari kejahatan.
            Pada gerakan dari bawah keatas, setiap taraf dalam hierarki bertujuan kembali pada taraf yang lebih tinggi yang akhirnya menuju Allah SWT. karena hanya manusialah yang memiliki tiga taraf itu, manusialah yang mampu kembali kepada Allah SWT. kembalinya manusia kepada Allah SWT. dilakukan melalui tiga langkah, yaitu penyucian manusia ketika melepaskan diri dari materi dengan cara bertapa, penyatuan manusia dengan Tuhan melebihi pengetahuan dan ekstasi.
            Neoplatonisme merupakan aliran filsaat yang dianggap sebagai filsafat baru dalam filsafat Yunani Kuno, menjadi aliran intelektual dominan yang tampak bersaing dengan dunia Kristen (teologi kristiani). Seorang filsuf yang sukses dalam mengarjakan neoplatoisme di Athena adalah Proklos (410-485 SM). Berkat keberhasilannya, pada 529M, Kaisar Justinianus dari Byzantium menutup seluruh sekolah filsafat kafir di Athena  yang dianggapnya sebagai akhir masa filsafat Yunani Kuno. Kafir di sini maksudnya adalah dilandasi oleh pikiran-pikiran filosofis manusia, bukan gereja.
            Kesadaran untuk berakhlak mengikuti pola sufistik telah dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno. Jiwa adalah pertemuan yang sesungguhnya antara diri dan yang Mahatunggal. Oleh sebab itu, kaum gereja terus menentang filsafat yang mengajarkan kekufuran dan mengajak semua masyarakat untuk berakhlak dengan akhlak Gereja.
            Zaman terus bergulir. Hingga abad ke-4 yang disebut sebagai Zaman Keemasan Patristik Latin, lahir seorang filsuf besar yang juga dipandang sebagai Bapak Gereja dari Barat, yaitu Augustinus (354-430). Dia juga dinilai sebagai pemikir terbesar untuk seluruh zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan pemikiran Augustinius adalah pemikiran merupakan integrasi dan teologi Kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani kepribadiannya. Ia sendiri tidak sepaham dengan pendapat yang mengatkan bahwa filsafat itu otonom atau lepas dari iman Kristiani. Menurut pendapatnya, filsafat dapat dipahami sebagai “filsafat Kristiani” atau “kebijaksanaan Kristiani” Augustinus penganut neoplatonisme dan stoisisme.
            Dalam pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami, yaitu:
1.      Iluminasi atau peneranagan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat peneranagan dari rasio Tuhani. Tuhan adalah guru yang tinggi dalam batin dan meneranagi roh manusia.
2.      Dunia jasmani terus-menerus berkembang, tetapi bergantung pada Tuhan. Mula-mula tuhan menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetapi mengandung benih (rationes seminales) beruapa prinsip bagi perkembangan jasmani. Prinsip pekembanganaya berbeda denagan prinsip Darwin karena tidak mengandung mutasi jernih. Menurut pandangannya, didalam benih itu segala hal telah tiada, seperti sesudah telur lahirnya ayam. Menurutnya, suatu masalah tidaka akan mencapai jalan buntu apabila berdasarkan Al-Kitab.
Menurut pemikiran Augustinus, manusia yang di penagruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualism ekstrem Plato, jiwanya senantiasa terkurung oleh tubuh. Tubuh bukan merupakan sumber kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas. (Wiramihardja, 2006: 54)
Pandangan Augustinis membawa pesan tentang pentingnya manusia bertuhan berakhlak dengan tuntunan ajaran Tuhan dalam Kristen. Dengan demikian, manusia terdiri atas jasmani dan rohani yang harus berjalan seimbang karena jiwa menggerakan badan, badan mengamalkan motivasi jiwa, dan jiwa harus selalu dibimbing oleh ajaran-ajaran yang datang dari Tuhan. Dengan demikian terwujudlah akhlak manusia yang sejiwa dengan ajaran tuhan.
3.      Indikator Akhlak Baik dan Buruk dalam Ilmu
Revolusi ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuan dan para filsuf Barat Modern terus berkembang. Perkembangan ini semakin memperlihatkan hasil yang maksimal, terutama ketika Einstein merombak kerangka filsafat Newton yang sudah mapan melalui teori quantum-nya, yang telah mengubah persepsi dunia ilmu tentang sifat-sifat dasar dan perilaku materi sedemikian rupa, sehinnga para pakar dapat melanjutkan penelitiannya. Melalui karya Einstein ini, manusia modern dapat mengembangkan ilmu alamiah dasar, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, dan molekuler yang pada tahp tertentu telah dibangun di Yunani dan dunia Islam, menjadi ilmu pengetahuan yang demikian luas dan mendalam, yang tidak hanya mengglobalkan dunia, tetapi juga telah melahirkan revolusi besar, dalam bebagai tatanan sistem kehidupan dunia.
Dalam perspektif ilmu, akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio. Oleh karena itu, manusia berakhlak harus rasional. Pemahaman ini melahirkan aliran rasionalisme yang awalnya merupakan aliran dalam filsafat. Akan, tetapi pendekatan rasional dalam keilmuan selalu mengacu pada sistematika berpikir yang tertib, yaitu melalui penelitian, percobaan-percobaan di laboratorium, pemahaman logika, hipotensis yang di uji dan disimpulkan hasil-hasilnya.
      Selain harus rasional, berakhlak menjadi bagian dari membuat percobaan pengalaman. Oleh, sebab itu, akhlak manusia akan berkembang jika bersifat fositif dan objektif dengan pendekatan empiris. Empirisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang menekankan peran pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari kata Yunani “empeiria” yang berarti mencoba-coba atau pengalaman.
      Filsafat emperisme tentang teori makna, sangat berdekatan dengan aliran positivism logis (logical positivism) dan filsafat Ludwig Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus  dipahami melalui penafsiaran pengalaman. Oleh karena itu bagi penganut empirisme, jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindra, dan hubunag kausalitas sebagai urutan perstiwa yang sama. Penganut empirisme berpandanagan bahwa pengalaman        yang merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas melalui rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu.
      John Locke (1632-1704) salah seorang penganut empirisme, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apa pun. Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman denagan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. kertas tersebut mulai mengamati bertuliskan sebagai penglaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana. (Juhaya S. Pradja,1997: 18)
      Akal sejenis ini tempat penampungan secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti semua pengetahuan manusia betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali pada sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapih di dalam akal. Jiak terdapat pengalaman manusia tidak dapat lagi diaktuliasi. Dengan demikian, hal itu bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.
 Selain John Locke, pada era modern, muncul pula George Barkeley (1685-1753), yang berpandanagan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman. Oleh karena itu tidak ada ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman karena idea tidak bersifat independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan ransangan dari pengalaman. Berbagai gejela fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingatan manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian fungsi akal tidak sekadar menjelaskan bentuk-bentuk khayali semata, melainkan dalam konteks yang realistik.
      Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat, hingga melahirkan positivism. Aliran ini  diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1875) yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798, dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katholik. Karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophie Positive, yaitu: ”Kursus tentang filsafat Positif” (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan adalah Discour L’esprit Positive (1844), yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif. Dalam karya inilah Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivism, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengatahuan, dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan.
      Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa positif artinya sama dengan faktual yaitu apa yang didasarkan pada fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivism menolak fisafat metafisika karena semua itu merupakan kebohongan. Yang termasuk ilmu pengetahuan hanyalah fakta-fakta yang ada. Positivisme tidak seperti empirisme yang menerima pengalaman batiniah. Bagi positivism, hanya pengalaman indralah yang benar-benar sebagai sumber pengetahuan faktual, sedangkan yang lainya tidak berarti apa-apa.
      Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan bahwa pengetahuan berbasis pada pengalaman. Jika sekadar pemahaman teoristis, belum menjadi pengetahuan yang benar. Manusia akan maju akhlaknya jika manusia berfikir ilmiah, yang artinya mengutamakan objektivitas, rasional, indrawi, dan tentu saja logis dan kritis. Jika akhlak manusia tidak didasarkan pada pertimbangan yang ilmiah, ujung-ujungnya akan tidak berdaya atau terjebak oleh kebenaran semu dan penuh dengan hal-hal yang berbasis pada mitos dan mistik.
      Akhlak manusia terjatuh karena terlalu mengedepankan agama sebagai doktrin, sementara yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan akhlaknya adalah menjadikan kemampuan rasio dan pengalamannya sebagai doktrin yang tidak terelakan kebenarannya.
4.   Indikator Akhlak Baik dan Buruk Perspektif Budaya
      Budaya berasal dari dua kata, yaitu “budi” artinya akal dan “daya” artinya kekuatan. Dengan demikian, budaya diartikan sebagai kekuatan akal. Potensi akal akan terwujud Kebudayaan sebagai sistem hidup, dalam arti cara manusia mempertahanan kehidupanya. Oleh sebab itu, akhlak baik dalam perspektip budaya adalah dengan melihat dan meneliti cara kerja dan cara berfikir manusia untuk mengembangkan kehidupanya dari generasi ke generasi.
      Prinsip-prinsip dasar dalam berbudaya bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Manusia akan terus menciptakan kebudayaannya secara sadar maupun tidak sadar. Dalam kebudayaan manusia, hal yang mendasar dari perilaku individu memiliki subjektivitas dan orientasi yang berbeda. Perbedaan tersebut diintegrasikan oleh adanya norma-norma tertentu. Norma yang ada dapat membawa orientasi motivasional dan orientasi nilai menjadi satu karena adanya interaksi struktual dengan tujuan jangka panjang yang sama. Moralitas dalam kehidupan masyarakat yang beragama, misalnya sistem nilai yang menentukan tujuan yang sama di setiap kepentingan dan orientasi individu dalam berperilaku.  Oleh sebab itu baik dimensi motivasional maupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri manusia, dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku sosial. Kemudian, terbentuklah kebudayaan.
      Orientasi individu terdiri atas dua macam dengan berbagai dimensinya, yaitu (1) orientasi motivasional yang berdimensi kognitif, katektik, dan evaluatif. (2) orientasi nilai dengan dimensi kognitif, apresiatip dan dimensi moral. Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pengetahuan orang yang bertindak mengenai situasinya, khususnya jika dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan ransangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan kerangsangan yang lainya. Dimensi katetik dalam orientasi motivasional menunjuk pada reakasi apresiatif atau emosional dari orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek di dalamnya. Ini mencerminkan kebutuhan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan yang mengecewakan.
Dimensi evaluative menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan atau kalau bukan semua situasi, ada kemugkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi katektik. Kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif-alternatif ini merupakan dimensi evaluatif. (Jhonson, 1986:115)
Ketiga dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga dimensi dalam orientasi motivasional. Akan tetapi keduanaya saling bergantung meskipun kadang-kadang dimensi-dimensi tersebut dapat berdiri sendiri. Perbedaan yang prinsipil adalah komponen-komponen dalam orientasi nilai menunjuk pada standar normatif umum, bukan pada keputusan-keputusan dengan orientasi tertentu. Dengan demikian, dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif yang situasional. Kaum ilmuwan misalnya,  tidak akan menerima penjelasan yang bersifat magis mengenai gejela alam. Sama halnya dimensi apresiatif menunjuk pada standar yang mencangkup dalam pengungkapan perasaan atau keterlibatan afektif.
            Dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan, baik individu maupun sosial pada akar tindakan bersangkutan. Orientasi nilai keseluruhan memengaruhi dimensi avaluatif dalam orientasi motivasional.
Ketiga dimensi orientasi nilai atas mencerminkan pola-pola sosial normatif yang diresapi di setiap individu. Dimensi-dimensi itu dapat juga digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Sebagamana dikognitif berhubungan  dengan sistem-sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif, dan dimensi moral behubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai. Intinya konsep-konsep ini memberikan semacam analisis paralel mengenai pola-pola budaya dan orientai subjektif individu.
            Perbedaan dalam setiap orientasi individu akan bertahan karena terdapat prioritas-prioritas tertentu. Misalanya, orientasi motivasional dalam konteks dimensi kognitif diprioritaskan  pada tipe tindakan  yang merupakan  manifestasi intelektual, kegiatan ekspresif akan muncul kalau dimensi evaluasi yang di prioritaskan, hasinya berupa tindakan moral. Seperti halnya berbagai dimensi orientasi, tindakan individu dapat diklasifikasikan secara sistematis. Begitu pula, berbagai dimensi situasi.  Perbedaan yang paling fundamental adalah antara benda-benda nonsosial dan sosial. Benda-beda nonsosial diklasifikasikan ke dalam benda-benda fisik dan benda-benda budaya. Benda-benda sosial adalah makhluk hidup yang dinamis, baik individu-individu maupun kolektivitas-kolektivitas individual dalam berintegrasi dan berinteraksi. Tekanan dalam analisis Parsons adalah orientasi pada orang lain dengan siapa dia terlabat dalam interaksi.
            Interaksi sosial adalah wujud kolektivitas dari interaksi individual yang diwarnai oleh orientasi motivasional dan orientasi nilai dengan segala dimensinya. Aksi sosial adalah perilaku yang sering berinterakasi. Dengan demikian, interaksi menjadi sangat penting dalam membentuk kebudayaan kolektif. Apakah tindakan yang diwujudkan individu, bagaimana berintegrasi dengan tindakan individu lain, mengapa dapat berinteraksi dan interelasi; apa hasil dari interaksi tersebut?  Hasil dari interaksi dapat berubah kebudayaan yang didalamnya terdapat norma-norma sosial baru. Sementara, disisi lain, norma yang dapat membentuk perilaku sosial yang diakui dan diyakini sesuai dengan maksud dan tujuan yang akan dicapai. Tujuan yang dimaksud adalah perpanduan antara orientasi motivasional dan orientasi nilai.
Dari pemahaman diatas, dapat diambil subtansinya bahwa pola interaksi berpangkal pada motivasi individunya masing-masing. Oleh karena itu, pengamatan pada individu sebagai pelaku atau aktor tindakan sangat penting dalam mengkaji akhlak berbudaya. Selebihnya, teori ini mencermati secara mendalam terhadap tindakan individu yang berhubungan dengan individu yang lainya, yang pada asalnya setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda. Karena adanya perbedaan orientasi tersebut, hubungan sosial itu menjadi dinamis dan saling berkolaborasi secara aktif. Akan tetapi, ujung dari interaksi dengan menekankan pada tujuan kolektif, dinamikanya akan semakin berkurang, bahkan hilang karena semua pihak yang terlibat dalam interaksi saling menyesuaikan diri dan menyeimbangkan kepuasan masing-masing.
            Kebutuhan individu terpuaskan oleh adanya interaksi timbal-balik dan fungsional yang berlangsung lama. Interaksi yang berjalan lama akan menguatkan pertahanan budaya kolektifnya sehingga kemungkinan besar menjelma menjadi kultur khas, masyarkat khas, perilaku khas, dan terinstusikan jika perilaku yang bersangkutan telah mendarah daging (internalistik)
 Sistem sosial terbentuk dari individu-individu yang dalam interaksinya menjamin kebutuhan dasar yang seimbang. Setiap tindakan sosial adalah tindakan kumpulan individu-individu dengan tindakan kolektif. Melalui konsep kolektivitas, suatu organisasi sosial yang khusus dibentuk menjadi struktur kebudayaan. Suatu kolektivitas merupakan seperangkat posisi tertentu dan orang-orang dengan posisinya masing-masing saling berinterksi menurut peranya sendiri-sendiri. Suatu institusi disebut sebagai suatu kompleks keutuhan peran yang melembaga secara struktur amat penting dalam melembagakan tindakan individu-individu. Kompleksitas tindakan tersebut disistematisasikan oleh institusi bersangkutan yang wujud relatif karena sistem normatifnya adalah kebudayaan.
Dengan pemahaman teoretik tersebut diatas, indikator akhlak yang terpuji atau tercela menurut kebudayaan sifatnya sangat relatif karena sistem normatif yang dijadiakan standar baik dan buruk adalah tradisi yang telah melembagakan. Akan tetapi, tradisi normatif dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu agama, legenda, mitos, filsafat, dan sebagainya.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan dari semua bahwa akhlak adalah pondasi dasar manusia untuk menjadi baik dan lebih baik lagi dan mengarah pada tujuan hidup. Akhlak juga terbagi dua yaitu akhlak mahmudah (perilaku yang baik) dan akhlak madzmumah (perilaku yang tercela atu kurang baik) dalam hal ini juga terdapat, ruang lingkup akhlak yang terpenting adalah ruang lingkup keluarga karena dari situ cikal bakal manusia tahu man yang baik dan mana buruk dan ada juga metode-metode yang insyallah bias mengubah akhlak madzmumah yang menjadi akhlak mahmudah dan meningkatkan lagi akhlak mahmudah.















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
 Prof. Dr. Rohison Anwar, M.Ag,Akhlak Tasawuf. penerbit CV. Pustaka Setia Bandung
 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Drs.K.H Abdul Hamid, M.Ag Ilmu Akhlak  penerbit CV. Pustaka Setia Bandung
Maftuh Ahnan, 2005. Keagungan Akhlak Rasulullah SAW penerbit Terang-Surabaya
Drs.H.Dadan Nurul Haq, M.Ag & Dr.H.Hasbiyallah, M.Ag, 2012. Pendidikan Akidah akhlak penerbit Fajar media, komplek Bumi Harapan Cibiru Blok DD.13 No.2 Bandung 40393



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar