Rabu, 04 Januari 2017

KAJIAN PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
   Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA maupun PERDATA. Seperti istilah di atas, ‘Runcing Kebawah Tumpul Keatas’ itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya? Apakah kita bisa melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh masyarakat Indonesia juga melihat kenyataanya.

   Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukumyangmorat-marit.

   Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan. Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?

   Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.

   Pengembangan hukum teoretis di Indonesia, baik melalui proses legislasimaupun melalui praktik pengadilan, maka pembicaraan kita tidak lepas dari apa yang disebut dengan hukum dan  bagaimana memahami dan mengaplikasikan ke dalam kasus konkrit secara intelektual, bermetode, logik, sistematik, rasional dan kritikal, yang meliputi (1) Kajian ilmu-ilmu hukum; (2) Kajian teori hukum; dan (3) Kajian filsafat hukum.
   Kajian ilmu-ilmu hukum meliputi tatanan hukum normatifyang berlaku positif di Indonesia maupun ilmu-ilmu hukum dalam tataran dogmatikhukum yang meliputi pula interpretasi, dan konstruksi serta teori-teori tentang argumentasi hukum; sedangkan kajian ilmu-ilmu hukum empirik, meliputi perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum.
   Kajian teori hukum adalah juga tatanan hukum positif yang meliputi analisis tentang pengertian hukum, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum, analisis konsep yuridis, hubungan antara hukum dan logika, teori argumentasi dan metode penemuan hukum yang meliputi metode interpretasi dan metode konstruksi.
   Kajian filsafat hukum adalah bagian dari dan dipengaruhi oleh filsafat umum dan teori ilmu hukum yang bersifat ekstra yuridis dan kritis yang inti persoalannya meliputi landasan daya ikat dari hukum serta landasan penilaian keadilannya.
   Untuk membangun teori hukum melalui praktik pengadilan yang obyek kajiannya meliputi ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum yang merupakan satu kesatuan yang holistik, secara bermetode membentuk suatu argumentasi hukum untuk memecahkan kasus konkrit dan akhirnya membentuk suatu teori hukum melalui yurisprudensi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi hukum di Indonesia?
2. Apa saja pengertian tentang hukum?
3. Bagaimana pengembangan hukum teoritis?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Hukum Di Indonesia
Indonesia Sebagai Negara Hukum
Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Berdasarkan rechstaat sebagai landasan konseptual, itu menggambarkan bahwa Indonesia tanpa adanya konstitusi pun merupakan negara yang selalu berdasarkan hukum. Ini pun menjadi keadaan yang faktual seperti cerita lama Van Vollen Hoven yang menunjukkan adanya 19 wilayah hukum (rechtskringen) di Indonesia.
Penegakkan Hukum Di Indonesia
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum. Kata hukum disini seperti hal yang sudah tidak ada nilainya untuk rakyat menengah kebawah. Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke atas. Hukum di Indonesia saat ini dapat dikendalikan dengan mudahnya oleh orang-orang yang berkuasa. Maksud orang-orang yang berkuasa disini adalah unsur politik. Semuanya dapat dikendalikan, hal ini memicu terjadinya Negara kekuasaan sentralis (machstaat).
Unsur politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia seperti Negara yang tidak mempunyai hukum. Banyak masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh unsur politik. Bahkan Ketua KPK pun mengakui salah satu masalah Negara yaitu proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik(Republika, Rabu, 27 Juli 2001). Kasus-kasus hukum saat ini cenderung melibatkan organisasi politik dan jabatan. Syafi’i ma’arif menyatakan jika keadaan hukum saat ini tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para penguasa-penguasa Negara. Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyabab hancurnya penegakkan hukum di Indonesia.
Faktor-Faktor Hancurnya Sebuah Penegakkan Hukum
1. Penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan.
Contoh : pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2. Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.
Ketidakadilan Dalam Hukum
Dunia hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana tidak, selain tidak benar-benar dijalankan berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara di Indonesia juga tidak seimbang. Terlihat jelas bahwa kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil seperti contoh di atas yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat pemerintahan yang kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan jabatan tinggi, sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan tanggapan yang minim dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak sesuai dengan hukum Negara yaitu sila kelima dalam pancasila yang bunyinya : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Contoh kasus yang membuktikan bahwa tidak adanya keadilan dalam hukum di Indonesia. Di Indonesia kita bisa melihat seberapa mudahnya memutar-balikkan suatu kasus. Bagaimana suatu kasus kecil dapat menjadi besar, dan sebaliknya, kasus besar yang menghabiskan uang Negara bisa di buat menjadi lebih ringan atau dianggap sebagai kasus kecil. Contoh saja di Banyumas, Jawa Tengah seorang nenek mengambil 3 buah kakao yang bernilai Rp 2000 milik PT. Rumpun Sari Anta (RSA) yang mendapatkan hukuman pidana 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Sedang dalam kasus Panda Nababan yang berkedudukan selaku sekretaris fraksi PDIP yang di duga menerima uang suap Rp 1,5 miliar dalam kasus travel cek dalam pemilihan Deputi Gubernur senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang diungkap oleh jaksa penuntut umum komisi pemberantasan korupsi (KPK) hanya diberi hukuman selama 1 tahun 5 bulan. Menyedihkan sekali melihat para penegak hukum di Indonesia tidak berlaku adil terhadap semua kalangan masyarakat.
Walaupun kasus ini masih diduga adanya rekayasa, tetapi kita bisa melihat dengan menerima Rp 1,4 miliar para penegak hukum memberikan hukuman 1 tahun 5 bulan sangat tidak sebanding dengan kasus Nenek Minah yang hanya mengambil 3 buah biji kakao yang bernilai Rp 2000 yang kemudian mendapat hukuman selama 1 bulan 15 hari penjara.
   Selain kasus-kasus yang terjadi pada kalangan atas dan kalangan bawah. Hukum di Indonesia juga tercemar oleh para aparat hukum seperti jaksa dan hakimnya. Kasusnya adalah seorang jaksa tidak bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan tidak profesional dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
   Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
B. Beberapa Pengertian Tentang Hukum
   1. Roscoe Pound telah memperkenalkan sebuah konsep bahwa hukum adalah “as a tool of social engineering” (hukum sebagai sarana pembaharuan). Konsep ini kemudian ditransformasikan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembaharuan dan pembangunan hukum nasional Indonesia ketika Beliau menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI.
   Konsep “law” dalam “law as a tool of social engineering” menurut Pound, adalah berarti hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law) yang dalam hal ini dapat diartikan peran hakim sebagai pembaharu masyarakat.
   Dasar pemikiran Roscoe Pound dalam bukunya yang berjudul Interpretation of legal history, memberi pengertian tentang engineering interpretation, adalah “usaha-usaha yang dilakukan oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk selanjutnya nilai-nilai diadaptasikan oleh para legislator dan praktisi hukum dalam menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada tercapainya cita-cita dan tujuan hukum”.
   Pound selanjutnya memperlihatkan usahanya untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan mendasari nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang selalu berubah-ubah itu membuat Pound berasumsi bahwa hukum itu relatif, karena itu hukum memiliki sifat universal karena memiliki satu ide yaitu keadilan (keseimbangan).
   Pound telah memperhatikan dua konsep hukum yang bertolak belakang yaitu konsep hukum dari ajaran Hegel yang menyebabkan pesimistis dan stagnasi bagi peradilan; sedangkan ajaran Kohler yang menhendaki interpretasi untuk semua kasus sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bertitik tolak dari kedua ajaran yang berbeda tersebut, akhirnya Pound menawarkan teori baru yang disebut “terminisme logika”. Pound mengemukakan bahwa analogi baru dapat dilakukan oleh hakim jika telah terjadi perubahan sosial sebelumnya. Tetapi hakim yang melakukan analogi dalam mengadili kasus-kasus yang dihadapi, terlebih dahulu melakukan interpretasi terhadap kasus tersebut sehingga hakim dapat memutus secara seimbang.
   Mochtar Kusumaatmadja berbeda pendapat dengan Pound, Mochtar berpendapat bahwa sumber utama kaidah hukum di Indonesia yang terpengaruh oleh tradisi civil law system adalah peraturan perundang-undangan, bukan putusan hakim (judge made law) sebagaimana dalam tradisi common law system.
2. Hukum menurut John Austin
   John Austin lahir pada tahun 1790 di Sufflok, dari keluarga kaum pedagang, pernah berdinas tentara dan ditugaskan di Sisilia dan Marta, namun ia juga belajar hukum. Pada tahun 1818 bekerja sebagai advokat. Selanjutnya menjadi ilmuan hukum sebagai guru besar bidang jurisprudence di London. Kemudian mengundurkan diri sebagai Profesor lalu menjabat jabatan penting di lembaga kerajaan yaitu pada Criminal Law Commission dan Royal Commission untuk Malta.
   Walaupun ia seorang yuris Inggris, tetapi kuliahnya di Jerman (Born) telah memberi bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik dan hukum Eropah Kontinental pada dirinya. Kumpulan kuliahnya diterbikan menjadi buku berjul “The province of jurisprudence determined” pada tahun 1832. Karyanya yang lain berjudul “Lectures on jurisprudence” yang diterbitkan oleh istrinya yang bernama SARAH pasca Austin tutup usia tahun 1859. John Austin diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Positivisme hukum dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Berbeda dengan aliran hukum kodrat yang sibuk dengan uji validitas hukum buatan manusia dimana standar regulasinya adalah kitab suci dari agama samawi, sedangkan positivisme hukum yang walaupun melakukan juga uji validitas hukum akan tetapi standar regulasinya adalah juga undang-undang yang lebih tinggi yang disebut konstitusi. Hans Kelsen telah menjelaskan tentang adanya sistem hierarki dari norma-norma positif. Yang disebut Grund norm (norma dasar) yang kemudian diambil alih oleh Hans Nawiaskydengan Staats fundamental norm.
3. Beberapa konsep tentang hukum
   Parateoritisi hukum telah mencatat sekurang-kurangnya 4 konsep yang harus diperhatikan oleh setiap pengkaji di bidang hukum sebelum mereka mengkomunikasikan tentang apakah yang disebut hukum itu.
Beberapa konsep hukum akan dipaparkan pada berikut ini:
a.  Hukum dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem moral yang secara kodrati berlaku universal. Dalam proses legislasi yang juga disebut proses positivisasi, asas moral yang secara unversal merupakan kepribadian bangsa disebut ius constituendumsebagai asas kebenaran moral yang kemudian dibentuk menjadi hukum positif dalam bentuk ius constitutum (asas moral keadilan) yang telah menjadi hukum (norma positif).
b.  Hukum modern yang dikonsepkan sebagai hukum nasional (undang-undang inabstrakto – amar putusan hakim inconkreto). Hukum negara lebih mengutamakan nilai kepastian.
c.  Hukum dalam manifestasinya sebagai pola prilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam konsepnya sebagai asas-asas keadilan yang terpola dalam prilaku kehidupan masyarakat sehari-hari, ditunjuk oleh undang-undang untuk digali sebagai nilai-nilai hukum yang hidup tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat untuk kemudian dipahami dan diikuti sama seperti ketentuan hukum positif dalam menyelesaikan kasus konkrit di pengadilan.
d.  Hukum dikonsepkan sebagaimana dimaknakan oleh penegak hukum (struktur hukum) khususnya oleh hakim dalam kegiatannya pada proses penemuan hukum.
4. Hukum dalam pengertian mengadili menurut hukum. Tentang pengertian “hukum” dalam mengadili menurut hukum, dapat diartikan sebagai berikut:
Pertama :  mengadili menurut hukum adalah berarti mengadili menurut ketentuan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, termasuk pula hukum yang lahir dari sebuah perjanjian yang mengikat para pihak sebagai undang-undang (1338 BW); Kesusilaan dan ketertiban umum (1337 BW); dan keharusan memperhatikan kepatutan (1339 BW);
Kedua     :  mengadili menurut hukum dapat pula berarti menurut perwujudan asas legalitas dan asas non retroaktif, juga pembatasan sebagaimana dalam pasal 178 HIR/189 RBG.
Ketiga     :  mengadili menurut hukum adalah berarti mengadili menurut ketentuan normatif, dalam hal normatif tidak dapat memecahkan permasalahan fakta hukum maka ilmu hukum atau filsafat hermeneutika dan konstruktifisme kritis tampil memecahkan kebekuan normatif tersebut.
Keempat : mengadili menurut hukum dalam keterkaitan normatif dan sosiologis; maka teori hukum dan filsafat hukum akan memecahkan kebekuan normatif, dengan bersandar pada ajaran positivisme seperti ajaran “Reine Rechtslehre” atau “The Pure Theory of Law” atau teori murni tentang hukum menurut Hans Kelsen, dan selanjutnya pandangan sosiologis tentang hukum yang didukung oleh pandangan filsafat hukum seperti sosiological jurisprudence, teori tentang sosiologi hukum ini juga dipelopori oleh Eugen Ehrlich di Eropa yang memisahkan antara law in books dan law in action, di Amerika Serikat dipelopori oleh Roscoe Pound dengan teorinya law as a tool of social engineering.
C.  Pengembangan Hukum Teoretis
1. Ilmu-ilmu hukum
   Obyek kajian dalam paragraf ini adalah tatanan hukum positif yang berorientasi pada penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Bernaard Arief Sidharta menunjuk sedikitnya tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang harus dikembangkan yaitu:
a. Paradigma ilmu hukum Nasional Indonesia yang mengacu pada cita hukum Pancasila, tujuan hukum pengayoman, konsepsi Negara Hukum Pancasila, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara.
b. Obyek pengolahan sistematisasinya adalah tatanan hukum nasional Indonesia, tertulis maupun tidak tertulis.
c. Kegunaan studi dan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia dewasa ini adalah untuk pengembangan mutu penyelenggaraan hukum sehari-hari dan pelaksanaan pembangunan tata hukum nasional Indonesia.
   Sedangkan pengembangan ilmu-ilmu hukum melalui praktik pengadilan dalam hal fakta hukum tidak pas dengan aturan hukum yang mengaturnya sehingga aturan hukum tersebut harus ditafsirkan terlebih dahulu, yang dalam hal ini Edi Setiadi (Guru Besar Ilmu Hukum Pidana pada Universitas Islam Bandung) memberi penjelasan bahwa:
· Hakim bebas menafsirkan Undang-undang sesuai dengan social change and economic condition. arah legal development of flexible
· Melakukan penafsiran Undang-undang kearah legal development of flexible.
· Mencari/menemukan kehendak pembuat Undang-undang.
   Patokan dasar penafsiran adalah:
· Memberi makna/menentukan arti Undang-undang.
· Memberi isi konkrit ke dalam rumusan kaidah Undang-undang.
· Mencipta hukum baru sesuai dengan kejadian konkrit.
Ada beberapa alasan mengapa penafsiran Undang-undang atau konstuksi hukum diperlukan karena:
a. Hakim tidak boleh menolak sesuatu perkara yang diajukan kepadanya karena aturan hukum yang mengaturnya tidak jelas atau tidak ada, melainkan hakim wajib menemukan hukumnya.
b. Aturan hukum sudah ketinggalan sehingga tidak pas untuk memecahkan kasus konkrit yang diajukan kepadanya.
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum atau pembentukan hukum, oleh Edi Setiadi selanjutnya menjelaskan bahwa penemuan hukum adalah pembentukan hukum; menurut Beliau “Every time judge is confronted with a legal problem should contruct a theory what the law”
Penemuan hukum dalam hukum pidana dapat didefinisikan sebagai berikut:
· Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit.
· Eikema Holmes, penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit tertentu.
· Penemuan hukum adalah sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum.
Unsur-unsur terpenting dalam penemuan hukum adalah:
· Hukum atau sumber hukum.
· Fakta hukum.
Persoalan terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah cara menemukan hukum tersebut, dengan jalan penafsiran dan larangan analogi.
Ada beberapa asas-asas umum yang harus dipahami terlebih dahulu dalam melakukan penafsiran yaitu:
(1) Ada dua asas dalam prinsip regulasi yang saling terkait erat yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas.
(2) Prinsip relevansi dalam prinsip hukum pidana yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku sosial               yang patut  mendapat  reaksi  atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana.
     Prinsip relevansi ini berpijak pada fungsi umum hukum pidana yang secara tegas dinyatakan oleh Vos adalah bahwa hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal.
(3)   Asas kepatutan dari Marten Luther bahwa kepatutanlah yang harus menguji logika Juridis.
(4)   Asas in dubio proreo, jika terdapat keraguan, kita harus memilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa.
(5)   Exeptio format regulan atau adagium exeptio frimat vim legis in casibus non exceptis. Maksudnya: jika penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit.
(6)   Prinsip titulus est lex dan rubrica est lex; judul perundang-undangan                yang menentukan dan rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan.
(7)   Asas materil yang menyangkut aturan-aturan tidak tertulis yang mengacu atau merujuk pada suatu nilai sosial etis penting. Asas ini mengandung makna bahwa pada saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan; Hakim harus memperhatikan asas tersebut selama asas itu memang diakui dalam dunia hukum, sebagaimana dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.
   Asas materil ini berkaitan dengan sifat melawan hukum materil (SMHM). sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif dan SMHM dalam fungsinya yang positif. SMHM dalam fungsinya yang negatif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, jika menurut pandangan yang hidup dalam masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang tercela berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana; SMHM dalam fungsinya yang positif mengandung arti bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik, jika perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban  dalam masyarakat, perbuatan itu dapat dijatuhi pidana.
    SMHM dalam fungsinya yang negatif merupakan alasan pemaaf dan telah dianut dalam praktik pengadilan, sementara SMHM dalam fungsinya yang positif pada dasarnya bertentangan dengan asas legalitas.
Interpretasi dalam hukum pidana menurut:
· Code Penal Prancis, menetapkan La loi penale est d’interpretation stricte yang berarti hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit.
· Jonkers berpendapat, prinsip-prinsip penafsiran dalam hukum perdata sebagaimana termaktub dalam KUHPerdata juga dapat diterapkan dalam hukum pidana.
   Penemuan hukum yang dilakukan oleh ilmuan hukum disebut Doktrin; sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim yang berkaitan dengan kasus konkrit yang ditanganinya disebut yurisprudensi.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yurisprudensi:
(1)   Judge decision in a particular case;
(2)   The principles of law on which the decision in based;
(3)   Putusan berhubungan dengan perkembangan hukum;
(4)   Putusan tersebut belum diatur dalam undang-undang atau undang undang kurang jelas.
Sedangkan fungsi yurisprudensi adalah untuk:
(1)   Menegakkan terwujudnya law standard;
(2)   Menciptakan unified legal framework dan unified legal opinion;
(3)   Terciptanya kepastian penegakan hukum;
(4)   Mencegah disparitas pidana
2. Teori Hukum
   Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritis dalam persfektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam kaitan dengan keseluruhannya baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis terberi.
     Pokok telaah teori hukum mencakup:
(1) Analisis tentang pengertian hukum, pengertian dan struktur sistem hukum, sifat dan struktur norma hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, pengertian serta interelasi konsep-konsep yuridis (misalnya: subyek hukum, hak, kewajiban, hubungan hukum, peristiwa hukum, dan perikatan; (2) Ajaran metode dari hukum yang mencakup teori argumentasi yuridis (teori penalaran hukum), metode dari ilmu hukum dan metode penerapan hukum (metode penemuan dan pembentukan hukum); (3) Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum yang mempersoalkan keilmiahan dari ilmu hukum; dan (4) Kritik ideologi yang mencakup kritik terhadap norma hukum positif dan menganalisis norma hukum untuk mengungkapkan kepentingan dari ideologi yang melatar belakanginya.
   Analisis tentang pengertian hukum telah dikemukakan di atas pada awal pembahasan pada Bab ini, namun sekedar memperjelas, ditampilkan tentang apa yang dimaksud hukum positif yaitu :
· Hukum positif adalah hukum yang saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.
· Hukum positif (ius constitutum) termasuk di dalamnya hukum yang pernah berlaku, dan ius contituendum atau hukum yang dicita-citakan yaitu hukum yang didapati pada rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku atau peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku.
Terdapat beberapa unsur yang melekat pada hokum positif yaitu:
· Hukum positif mengikat secara umum atau khusus. misalnya: Undang-undang dan perjanjian, beschicking.
· Hukum positif ditegakkan oleh atau melalui pemerintah dan pengadilan. Asas penerapan hukum positif tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, keadilan, ketertiban umum dan kepentingan umum.
· Hukum Positif berlaku dan ditegakkan di Indonesia.
   Asas-asas penerapan hukum positif yaitu:
(1)   Asas konstitusional;
(2)   Asas non Retroaktif (tidak berlaku surut);
   Secara prinsip, semua aturan berlaku ke depan, namun dalam hal tertentu bisa saja aturan hukum itu berlaku surut dan menimbulkan keuntungan misalnya dalam hal keringanan hukuman, kenaikan gaji yang berlaku surut. Undang-undang bisajuga berlaku surut dengan tujuan memulihkan dan menegakkan keadilan atas berbagai tindakan yang menusuk rasa keadilan masyarakat seperti pelanggaran HAM berat. Akan tetapi pemberlakuan surut itu harus didasarkan atas perintah undang-undang.
   Asas pemberlakuan hukum yang lama yang disebut asas peralihan hukum misalnya pemberlakuan Rvsebagai hukum acara dalam hal tidak diatur dalam RBg/HIR karena dibutuhkan dalam praktek pengadilan, dalam hal ini terdapat beberapa asas peralihan hukum yaitu:
· Asas menerapkan hukum lama terhadap hubungan hukum dan peristiwa hukum yang telah ada atau akan ada selama belum ada peraturan baru.
· Aturan peralihan ini mengandung politik hukum dan politik seleksi.
· Mengandung politik hukum yaitu untuk mengisi kekosongan hukum guna kepastian hukum dan ketertiban hukum.
· Sedangkan politik seleksi adalah untuk menyesuaikan penerapan hukum lama dengan dasar-dasar, suasana dan tuntutan baru.
   Demikian pula terdapat asas-asas yang dapat digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan konflik hukum yaitu:
   a.    Lex superiori derogat legi inferiori
   · Hukum yang lebih tinggi diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang lebih rendah.
   · Misalnya undang-undang lebih diutamakan daripada Peraturan Pemerintah (PP).
b.    Lex specialis derogat legi generalis
· Ketentuan umum tetap berlaku kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
         · Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan lex generalis.
· Ketentuan lex spesialis harus berada dalam lingkungan hukum (Regim) yang sama dengan lex generalis (KUHAD – KUHPerdata)
        c.     Lex posteriori derogat legi priori
· Aturan yang baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama.
      · Prinsip pertama: aturan hukum yang baru sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama.
· Prinsip kedua: mengatur obyek yang sama.
d.    Asas mengutamakan hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis
· Apabila terjadi transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hokum tertulis atau ketentuan hukum tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis.
· Boleh mengesampingkan hukum-hukum tertulis apabila hukum tidak tertulis merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap ketentuan hukum tertulis itu apabila diterapkan akan bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kesusilaan, ataupun kepentingan umum atau ketertiban.
e. Asas-asas hukum  pidana
           1. Asas Legalitas
       · Terdiri dari Nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang), Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang), nulla poena sine crimen (tiada pidana tanpa kejahatan).
         Makna asas legalitas yaitu:
· Nullum crimen sine lege praevia (tiada kejahatan tanpa undang-undang sebelumnya).
· Nullum crimen sine poena legali (tiada kejahatan tanpa pidana).
· Ex post pacto criminal lawtidak diperbolehkan (non retroactive application of criminal law and criminal sanctions).
· Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 15 “dan Kami tidak mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul”.
Tujuan Azas Legalitas adalah:
· Memperkuat kepastian hukum.
· Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.
· Mengefektifkan detterent function dari sanksi pidana.
· Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
· Memperkokoh penerapan rule of law.
Asas praduga tak bersalah:
· Seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan bukti-bukti yang kuat dan sah.
 Asas in dubio proreo
· Dalam hukum Islam asas ini berbunyi “hindarkan hudud dalam keadaan ragu. Lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum.
· Keraguan ini muncul karena keraguan berkaitan tempat, keraguan yang disebabkan oleh pelaku, dan keraguan karena unsur yuridis.
Asas equality before the law
· Pada prinsipnya seseorang harus diperlakukan sama di depan hukum kecuali orang-orang yang mempunyai hak-hak khusus.
               Asas due process of law
  · Asas ini menghendaki proses peradilan pidana berjalan dengan baik dan menghasilkan suatu putusan yang berdasarkan doktrin interest of justice, bukan doktrin interest of judge.
Sepuluh asas dalam KUHAP
· Persamaan di depan hukum.
· Praduga tak bersalah.
· Memperoleh kompensasi dan rehabilitasi
· Memperoleh bantuan hukum
· Hak kehadiran terdakwa di pengadilan
· Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana.
· Peradilan yang terbuka untuk umum.
· Pelanggaran atas hak warga negara yang harus dilakukan secara tertulis dan berdasarkan undang-undang.
· Hak diberitahu tentang persangkaan dan perndakwaan.
· Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusan.

2. Filsafat Hukum
   Pengembangan hukum teoretis melalui studi tentang filsafat adalah suatu kajian tentang kearifan, yaitu usaha manusia untuk menjadi arif untuk dirinya atau untuk menemukan prinsip-prinsip kearifan itu, karena disanalah inti kebenaran. Esensi filsafat adalah mencari hakekat kebenaran.
   Apa yang ingin dicapai, diharapkan agar orang dapat berfikir secara benar, berbuat dan bertindak secara benar. Bertindak secara wajar adalah hasil berfikir menurut akal sehat (rasional).
   Mengapa perlu mempelajari filsafat, harapannya adalah agar kita dapat berbuat adil. Apa ukurannya bahwa kita itu adil atau tidak adil? Ukurannya adalah Norma atau aturan. Adil itu berarti kita berada pada posisi relativitas. Kebenaran filsafat adalah juga relatif, karena itu pengertian adil bisa berbeda-beda.
   Norma atau kaedah atau aturan yang menunjuk itu tidak selalu menunjuk secara tepat apa yang harus kita lakukan. Contoh: Undang-undang menunjuk batas waktu hukuman paling lama 5 (lima) tahun, artinya antara satu hari sampai 5 (lima) tahun; tetapi mana petunjuk untuk menentukan batas waktu diantara satu hari sampai lima tahun, tidaklah jelas. Karena itu kembalinya ke filsafat tentang mana yang wajar atau tidak wajar. Hukum yang diterapkan tidak memberi petunjuk apapun sebagaimana contoh tadi. Isi norma itu sendiri tidak menyebut mana yang wajar sesuai kasusnya, karena itu hakim harus berfikir ekstra yuridis.
   Hukum itu dibuat untuk tujuan tertentu, tetapi setelah diundangkan, sering menjadi tidak lengkap atau tertinggal karena kemajuan zaman. Hakimlah yang melengkapi atau mengisi kekosongannya.
   Jika tujuan hukum tidak tercapai disebabkan karena perbuatan hakim, maka perbuatan hakim itu menjadi tidak wajar. Contoh hakim menghukum 12 hari penjara bagi pencuri kakao 3 biji, hakim itu seharusnya berfikir ekstra yuridis agar penalarannya sesuai kewajaran. Hakim dalam penalarannya, selain ia harus melakukan social control, ia juga harus melakukan social engineering lewat putusannya, jadi ada kewajiban bagi hakim untuk berfikir ekstra yuridis dan komprehensif. Hakim yang telah menjatuhkan hukuman itu apakah layak atau tidak layak, adalah berarti bahwa hakim itu sudah berfikir ekstra yuridis. Putusan hakim itu benar karena ada aturan hukumnya; bahwa hakim itu telah berfikir ekstra yuridis karena ia telah keluar dari bunyi normatifnya.
   Mengapa harus melakukan kajian filsafat hukum, karena undang-undang itu dibuat atas pola fikir tertentu, setiap undang-undang yang dibuat, selalu ada sebab musababnya tertentu. Karena itu hakim yang melakukan penemuan hukum terhadap kasus konkrit, maka harus berfikir ekstra yuridis, kalau terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian, pilihlah keadilan; tetapi harus dipahami bahwa keadilan yang tertinggi adalah suatu ketidakpastian, karena keadilan itu nilainya relatif harus pula dipahami bahwa mengadili menurut hukum adalah jauh lebih baik daripada memutus tidak menurut hukum.
   Suatu teori yang disebut “Restorative justice” yaitu sebuah teori tentang keseimbangan perlindungan hukum antara pelaku dan korban; bahwa semakin serius suatu kejahatan, semakin tinggi nilai keadilan yang ingin diwujudkan maka semakin rendah nilai kepastian yang harus ditegakkan; sebaliknya, semakin tinggi nilai kepastian yang ingin diwujudkan maka semakin rendah nilai keadilan yang harus ditegakkan.
   Menegakkan hukum dan menegakkan keadilan adalah dua pilihan, akan tetapi dijembatani dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang holistik dalam penerapan hukum sebab antara hukum dan keadilan haruslah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (pasal 1 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
   Kepastian hukum, ciri-cirinya adalah bahwa putusan itu predictable atau hukumnya dapat diprediksi. Sangat tidak adil jika tidak ada kepastian hukum. Kepastian hukum adalah suatu instrumen penting dalam penegakan hukum.
   Mengapa hakim harus belajar filsafat hukum, karena penerapan hukum itu dapat berbeda-beda karena perbedaan waktu dan tempat atau karena ada perubahan masyarakat sehingga hukum harus mengikutinya.
   Karena itu antara teori hukum dan filsafat hukum saling mempengaruhi dalam praktik pengadilan. Betapapun teori hukum itu dibedakan dari filsafat hukum, namun ia bertumpu pada filsafat hukum. Dalam pengembangan teori hukum, selalu terdapat filsafat hukum tertentu yang melandasinya. Filsafat hukum menyibukkan diri dengan pertanyaan sebagaimana yang diuraikan Langemeijer tentang “landasan dan daya mengikatnyasuatu hukum”; dan pertanyaan tentang kriteria menilai kebenaran dan keadilan.
   Pertanyaan pertama tentang bagaimana kita memberikan landasan bagi daya mengikat dari hukum? Pertanyaan ini berkaitan dengan keberlakuan hukum dan secara khusus keberlakuan moral.
   Anerkennung Theorie (teori pengakuan), teori ini mengemukakan bahwa hukum itu berlaku karena ia oleh mayoritas orang secara faktual diterima (diakui, dipatuhi). Jadi disini keberlakuan moral dari hukum didasarkan pada keberlakuan faktual, atau sama seperti keberlakuan yuridik. Dalam dua hal itu satu faset dari keberlakuan hukum secara sepihak diabsolutkan. Pertanyaanya, atas dasar apa hukum itu secara faktual (secara yuridikal) sudah berlaku juga seharusnya dipatuhi? Terdapat banyak aturan hukum yang secara faktual dipatuhi (diakui oleh mayoritas penduduk, tetapi apakah dengan begitu legitimasi dari hukum sudah diberikan?
   Teori kekuasaan (machts theorie), hukum sesungguhnya adalah kekuasaan; hukum itu sendiri adalah suatu gejala kekuasaan dan ia sering membutuhkan kekuasaan lain untuk dapat mewujudkan dirinya.
   Menurut aliran hukum kodrat, daya mengikat dari hukum positif adalah(lex humana) didasarkan pada hukum kodrat. Bahwa pada asasnya manusia ingin hidup bersama / hidup bermasyarakat. Karena itu pengaturan-pengaturan untuk hidup bersama, mutlak harus diatur.
   Pertanyaan kedua “Dengan kriteria apa kita menilai keadilan dari hokum”? Konflik antara hukum dan etika, pertanyaanya apakah hukum positif yang isinya bertentnagan dengan etika harus dianggap tidak adil? Lalu masih boleh diterima sebagai hukum positif yang berlaku? Para pengikut hukum kodrat dan postitivisme akan memberi jawaban yang berbeda: Arti “Keadilan” dalam lingkungan hukum kodrat, Aristoteles dan Thomas Aquinas memberi arti keadilan itu sebagai ius titia distributiva dan ius titia commutativa yang merupakan bagian dari asas persamaan yang dipandang sebagai inti dari keadilan. Ketika di jaman kuno orang berbicara tentang “Suum cuique tribeuer” (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).
   Kelsen menerapkan kriteria formal. Kejadian-kejadian yang sama harus diperlakukan sama, tetapi kita terlebih dahulu harus mengetahui kejadian mana yang sama itu, dan mengapa hal itu dapat terjadi? Jawabannya adalah bahwa pada peristiwa yang sama diterapkan asas similia similibus. Hukum kodrat tidak memberikan aturan hukum yang langsung dapat diterapkan pada kasus konkrit tetapi memuat asas-asas yang harus dijabarkan ke dalam tata hukum positif, namun isi hukum positif secara substansial dapat bertentangan dengan asas-asas itu. Dalam hal ini oleh Thomas Aquinas berpendirian bahwa hukum positif itu tidak berlaku.




BAB III
KESIMPULAN
   1.   Aturan hukum (Undang-undang) bukanlah poros sebuah putusan hakim yang dinilai berbobot; aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks, kebenaran dan keadilan bukan terletak di dalam Undang-undang, inilah titik tolak pengembangan hukum teoretis, karenanya hakim harus selalu berfikir ekstra yuridis dalam menerapkan hukum ke dalam kasus konkrit yang dihadapinya.
   2.   Hakim sering berhadapan dua sisi yang berseberangan yaitu antara kebenaran (keadilan) dan kepastian dalam konteks tertentu. Tidak jarang terjadi kebenaran yang ditemukan oleh hakim lebih unggul daripada kebenaran yang ditawarkan oleh aturan formal, dalam hal inilah seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya, ia harus memenangkan kebenaran keadilan meskipun mengalahkan kepastian dari aturan formal (legisme),bilamana terjadi pertentangan antara normative dengan rasa keadilan maka yang pertama-tama tumbang adalah normatifnya , Contoh: KUHAP secara tegas menyatakan tidak ada upaya hukum atas putusan bebas. Mahkamah Agung mengendorkan ketentuan itu dengan membedakan putusan bebas murni (Vrijspraak) dengan putusan bebas tidak murni (Onslag Van rechtsvervolging) yaitu putusan yang membebaskan. Atas dasar itu jaksa dapat mengajukan kasasi. Adapula ketentuan dalam KUHAP bahwa yang boleh mengajukan PK, hanyalah terpidana atau keluarganya. Dalam hal terdapat kesalahan nyata di dalam putusan itu (alasan PK),tetapi di dalam putusan hakim adalah putusan bebas, maka terpidana atau keluarganya tidak mempunyai kepentingan mengajukan PK.
Penalaranya demikian (Sillogisme deduksi):
   Premismayor: Hanya si terpidana atau keluarganya yang boleh mengajukan PK.
              Premis minor:  Jaksa, apakah boleh mengajukan PK.
               Kesimpulan : Jaksa, bukan terpidana dan bukan keluarga terpidana, maka tidak boleh mengajukan PK.
   Jika demikian penalaran hakim dalam berfikir ekstra yuridis, maka kebenaran dan keadilan akan terkalahkan oleh kepastian hukum padahal kebenaran dan keadilan dalam konteks tersebut tidak ditemukan dalam bunyi Undang-undang, karena itu Mahkamah Agung membuka kesempatan bolehnya Jaksa mengajukan PK.
Contoh lain:
   Suatu fakta hukum tentang telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan terpidana terbukti bersalah, tetapi kesalahan terpidana tidak berdiri sendiri melainkan terdapat andil kesalahan pihak korban. Ancaman hukuman bagi terpidana adalah minimal 4 tahun penjara . Pengadilan menjatuhkan hukuman hanya satu tahun penjara  dan putusan itu dikuatkan di tingkat banding.
   Pada tingkat kasasi menjadi problema hukum karena Hakim menjatuhkan pidana satu tahun di bawah batas ancaman pidana minimal 4 tahun. Dua hakim agung berpendapat pengadilan salah menerapkan hukum dan kasasi yang diajukan oleh Jaksa harus dikabulkan; dalam dissenting opinion itu tiga hakim berpendapat  tidak salah menerapkan hukum dan permohonan kasasi oleh Jaksa harus ditolak karena penjatuhan pidana satu tahun itu adalah cerminan rasa keadilan masyarakat maupun oleh hakim (keluar dari bunyi Undang-undang demi tujuan kebenaran dan keadilan).
   3.   Boleh bahkan wajib bagi hakim berpandangan bahwa isi aturan hukum (Undang-undang) itu benar dan menjamin kepastian dan ketertiban umum; tetapi hakim yang berfikiran modern, mengambil keputusan keluar dari skenario aturan undang-undang terkadang menjamin kebenaran dan keadilan, tetapi tidak boleh berfikiran subyektif, karena itu hakim tidak boleh lari dari aspek normatif yuridis. Benyamin Cardoso mengingatkan bahwa kewibawaan seorang hakim adalah terletak pada kesetiaannya menjunjung tujuan hukum itu, karenanya seorang hakim, putusannya tidak boleh berkembang secara bebas tanpa batas.
   4.   Ilmu-ilmu hukum, teori ilmu hukum dan filsafat hukum, semuanya mengkaji tentang hukum, dan kajian bersama-sama secara holistik dalam memecahkan kasus konkrit sebagaimana dicontohkan pada kesimpulan nomor 2 diatas adalah merupakan salah satu bentuk pengembangan hukum teoretis.





DAFTAR PUSTAKA
­  Apeldoorn, L.J. Van, 2001, Pengantar Ilmu  Hukum, Jakart a: Pradnya Parami t a
­  Arrasjid, Chainur, 2000, DASAR­DASAR Ilmu Hukum, Jakart a: Sinar Grafika
­  Di rdj osisworo, Soedj ono, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart a: Rajawali
­  Kansil , C.S.T. , 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakart a:
Balai  Pustaka
­  Marzuki  Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu  Hukum, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group
­  Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. Kedua,
Yogy akart a:  Li berty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar