BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah
negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh
aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun
selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil
amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki
penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak
ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap
kasus hukum baik PIDANA maupun PERDATA. Seperti istilah di atas, ‘Runcing
Kebawah Tumpul Keatas’ itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi
penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya? Apakah kita bisa
melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh masyarakat Indonesia juga melihat
kenyataanya.
Kondisi Hukum di
Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik
diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum ,
kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses
berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik
begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia.
Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat
dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak
pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di
masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak
dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi
juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat
pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena
didorong oleh perangkat hukumyangmorat-marit.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan. Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan. Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Pengembangan hukum teoretis di Indonesia,
baik melalui proses legislasimaupun melalui praktik pengadilan, maka
pembicaraan kita tidak lepas dari apa yang disebut dengan hukum dan
bagaimana memahami dan mengaplikasikan ke dalam kasus konkrit secara
intelektual, bermetode, logik, sistematik, rasional dan kritikal, yang meliputi
(1) Kajian ilmu-ilmu hukum; (2) Kajian teori hukum; dan (3) Kajian filsafat
hukum.
Kajian ilmu-ilmu hukum meliputi tatanan
hukum normatifyang berlaku positif di Indonesia maupun ilmu-ilmu hukum dalam
tataran dogmatikhukum yang meliputi pula interpretasi, dan konstruksi serta
teori-teori tentang argumentasi hukum; sedangkan kajian ilmu-ilmu hukum
empirik, meliputi perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum,
antropologi hukum dan psikologi hukum.
Kajian teori hukum adalah juga tatanan hukum
positif yang meliputi analisis tentang pengertian hukum, asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum, analisis konsep yuridis, hubungan antara hukum dan logika,
teori argumentasi dan metode penemuan hukum yang meliputi metode interpretasi
dan metode konstruksi.
Kajian filsafat hukum adalah bagian dari dan
dipengaruhi oleh filsafat umum dan teori ilmu hukum yang bersifat ekstra
yuridis dan kritis yang inti persoalannya meliputi landasan daya ikat dari
hukum serta landasan penilaian keadilannya.
Untuk membangun teori hukum melalui praktik
pengadilan yang obyek kajiannya meliputi ilmu hukum, teori hukum dan filsafat
hukum yang merupakan satu kesatuan yang holistik, secara bermetode membentuk
suatu argumentasi hukum untuk memecahkan kasus konkrit dan akhirnya membentuk
suatu teori hukum melalui yurisprudensi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kondisi hukum di Indonesia?
2. Apa
saja pengertian tentang hukum?
3.
Bagaimana pengembangan hukum teoritis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Hukum Di Indonesia
Indonesia
Sebagai Negara Hukum
Indonesia
merupakan negara hukum, hal tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945
hasil amandemen. Berdasarkan rechstaat sebagai landasan konseptual, itu
menggambarkan bahwa Indonesia tanpa adanya konstitusi pun merupakan negara yang
selalu berdasarkan hukum. Ini pun menjadi keadaan yang faktual seperti cerita
lama Van Vollen Hoven yang menunjukkan adanya 19 wilayah hukum (rechtskringen)
di Indonesia.
Penegakkan
Hukum Di Indonesia
Dari
penjelasan di atas, pada dasarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum.
Kata hukum disini seperti hal yang sudah tidak ada nilainya untuk rakyat
menengah kebawah. Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini
hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun
sangat tumpul jika digunakan ke atas. Hukum di Indonesia saat ini dapat
dikendalikan dengan mudahnya oleh orang-orang yang berkuasa. Maksud orang-orang
yang berkuasa disini adalah unsur politik. Semuanya dapat dikendalikan, hal ini
memicu terjadinya Negara kekuasaan sentralis (machstaat).
Unsur
politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia seperti Negara
yang tidak mempunyai hukum. Banyak masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh
unsur politik. Bahkan Ketua KPK pun mengakui salah satu masalah Negara yaitu
proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik(Republika, Rabu, 27 Juli
2001). Kasus-kasus hukum saat ini cenderung melibatkan organisasi politik dan
jabatan. Syafi’i ma’arif menyatakan jika keadaan hukum saat ini tidak segera
diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya
penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum
saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para
penguasa-penguasa Negara. Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk
menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat
revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat
pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat
kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyabab hancurnya
penegakkan hukum di Indonesia.
Faktor-Faktor
Hancurnya Sebuah Penegakkan Hukum
1.
Penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan
keadilan.
Contoh : pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2. Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.
Contoh : pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2. Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.
Ketidakadilan
Dalam Hukum
Dunia
hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai masyarakat dalam negeri
maupun luar negeri. Bagaimana tidak, selain tidak benar-benar dijalankan
berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara di Indonesia juga tidak seimbang.
Terlihat jelas bahwa kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil
seperti contoh di atas yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat
pemerintahan yang kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan
jabatan tinggi, sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan
tanggapan yang minim dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia. Hal
tersebut membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak sesuai dengan hukum Negara
yaitu sila kelima dalam pancasila yang bunyinya : “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Contoh
kasus yang membuktikan bahwa tidak adanya keadilan dalam hukum di Indonesia. Di
Indonesia kita bisa melihat seberapa mudahnya memutar-balikkan suatu kasus.
Bagaimana suatu kasus kecil dapat menjadi besar, dan sebaliknya, kasus besar
yang menghabiskan uang Negara bisa di buat menjadi lebih ringan atau dianggap
sebagai kasus kecil. Contoh saja di Banyumas, Jawa Tengah seorang nenek
mengambil 3 buah kakao yang bernilai Rp 2000 milik PT. Rumpun Sari Anta (RSA)
yang mendapatkan hukuman pidana 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.
Sedang dalam kasus Panda Nababan yang berkedudukan selaku sekretaris fraksi
PDIP yang di duga menerima uang suap Rp 1,5 miliar dalam kasus travel cek dalam
pemilihan Deputi Gubernur senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang diungkap
oleh jaksa penuntut umum komisi pemberantasan korupsi (KPK) hanya diberi
hukuman selama 1 tahun 5 bulan. Menyedihkan sekali melihat para penegak hukum
di Indonesia tidak berlaku adil terhadap semua kalangan masyarakat.
Walaupun
kasus ini masih diduga adanya rekayasa, tetapi kita bisa melihat dengan
menerima Rp 1,4 miliar para penegak hukum memberikan hukuman 1 tahun 5 bulan
sangat tidak sebanding dengan kasus Nenek Minah yang hanya mengambil 3 buah
biji kakao yang bernilai Rp 2000 yang kemudian mendapat hukuman selama 1 bulan
15 hari penjara.
Selain kasus-kasus yang terjadi pada
kalangan atas dan kalangan bawah. Hukum di Indonesia juga tercemar oleh para
aparat hukum seperti jaksa dan hakimnya. Kasusnya adalah seorang jaksa tidak
bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir
muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak
hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan
bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan tidak profesional dan
bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut
disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara
pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai
ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari
cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat.
Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya
isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman
tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama
pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Sungguh ironis sekali
kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah
hukum Indonesia.
Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
B. Beberapa Pengertian Tentang Hukum
1. Roscoe Pound telah memperkenalkan sebuah
konsep bahwa hukum adalah “as a tool of social engineering” (hukum
sebagai sarana pembaharuan). Konsep ini kemudian ditransformasikan oleh Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembaharuan
dan pembangunan hukum nasional Indonesia ketika Beliau menjabat sebagai Menteri
Kehakiman RI.
Konsep “law” dalam “law as a tool of
social engineering” menurut Pound, adalah berarti hukum yang dibuat oleh
hakim (judge made law)
yang dalam hal ini dapat diartikan peran hakim sebagai pembaharu
masyarakat.
Dasar pemikiran Roscoe Pound dalam bukunya
yang berjudul Interpretation of legal history, memberi pengertian
tentang engineering interpretation, adalah “usaha-usaha yang dilakukan oleh
kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada
dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan
dan pertumbuhan masyarakat, untuk selanjutnya nilai-nilai diadaptasikan oleh
para legislator dan praktisi hukum dalam menyelesaikan dan mengambil kebijakan
terhadap konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada
tercapainya cita-cita dan tujuan hukum”.
Pound selanjutnya memperlihatkan usahanya
untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan mendasari
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang
selalu berubah-ubah itu membuat Pound berasumsi bahwa hukum itu relatif, karena
itu hukum memiliki sifat universal karena memiliki satu ide yaitu keadilan
(keseimbangan).
Pound telah memperhatikan dua konsep hukum
yang bertolak belakang yaitu konsep hukum dari ajaran Hegel yang menyebabkan
pesimistis dan stagnasi bagi peradilan; sedangkan ajaran Kohler yang menhendaki
interpretasi untuk semua kasus sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bertitik tolak dari kedua ajaran yang berbeda tersebut, akhirnya Pound menawarkan
teori baru yang disebut “terminisme logika”. Pound mengemukakan bahwa analogi
baru dapat dilakukan oleh hakim jika telah terjadi perubahan sosial sebelumnya.
Tetapi hakim yang melakukan analogi dalam mengadili kasus-kasus yang dihadapi,
terlebih dahulu melakukan interpretasi terhadap kasus tersebut sehingga hakim
dapat memutus secara seimbang.
Mochtar Kusumaatmadja berbeda pendapat
dengan Pound, Mochtar berpendapat bahwa sumber utama kaidah hukum di Indonesia
yang terpengaruh oleh tradisi civil law system adalah peraturan
perundang-undangan, bukan putusan hakim (judge made law) sebagaimana dalam tradisi common law system.
2. Hukum
menurut John Austin
John Austin lahir pada tahun 1790 di
Sufflok, dari keluarga kaum pedagang, pernah berdinas tentara dan ditugaskan di
Sisilia dan Marta, namun ia juga belajar hukum. Pada tahun 1818 bekerja sebagai
advokat. Selanjutnya menjadi ilmuan hukum sebagai guru besar bidang
jurisprudence di London. Kemudian mengundurkan diri sebagai Profesor lalu
menjabat jabatan penting di lembaga kerajaan yaitu pada Criminal Law
Commission dan Royal Commission untuk Malta.
Walaupun ia seorang yuris Inggris, tetapi
kuliahnya di Jerman (Born) telah memberi bukti yang penting tentang pengaruh
pemikiran politik dan hukum Eropah Kontinental pada dirinya. Kumpulan kuliahnya
diterbikan menjadi buku berjul “The province of jurisprudence
determined” pada tahun 1832. Karyanya yang lain berjudul “Lectures on
jurisprudence” yang diterbitkan oleh istrinya yang bernama SARAH pasca
Austin tutup usia tahun 1859. John Austin diakui sebagai ahli hukum pertama
yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Positivisme hukum dalam
definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai
norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Berbeda dengan aliran
hukum kodrat yang sibuk dengan uji validitas hukum buatan manusia dimana
standar regulasinya adalah kitab suci dari agama samawi, sedangkan positivisme
hukum yang walaupun melakukan juga uji validitas hukum akan tetapi standar
regulasinya adalah juga undang-undang yang lebih tinggi yang disebut
konstitusi. Hans Kelsen telah menjelaskan tentang adanya sistem hierarki dari
norma-norma positif. Yang disebut Grund norm (norma dasar) yang kemudian
diambil alih oleh Hans Nawiaskydengan Staats fundamental norm.
3.
Beberapa konsep tentang hukum
Parateoritisi hukum telah mencatat
sekurang-kurangnya 4 konsep yang harus diperhatikan oleh setiap pengkaji di bidang
hukum sebelum mereka mengkomunikasikan tentang apakah yang disebut hukum itu.
Beberapa
konsep hukum akan dipaparkan pada berikut ini:
a.
Hukum dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem moral yang secara kodrati
berlaku universal. Dalam proses legislasi yang juga disebut proses
positivisasi, asas moral yang secara unversal merupakan kepribadian bangsa
disebut ius constituendumsebagai asas kebenaran moral yang kemudian dibentuk
menjadi hukum positif dalam bentuk ius constitutum (asas moral keadilan) yang
telah menjadi hukum (norma positif).
b.
Hukum modern yang dikonsepkan sebagai hukum nasional (undang-undang inabstrakto
– amar putusan hakim inconkreto). Hukum negara lebih mengutamakan nilai
kepastian.
c.
Hukum dalam manifestasinya sebagai pola prilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum dalam konsepnya sebagai asas-asas keadilan yang terpola dalam prilaku
kehidupan masyarakat sehari-hari, ditunjuk oleh undang-undang untuk digali
sebagai nilai-nilai hukum yang hidup tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
untuk kemudian dipahami dan diikuti sama seperti ketentuan hukum positif dalam
menyelesaikan kasus konkrit di pengadilan.
d.
Hukum dikonsepkan sebagaimana dimaknakan oleh penegak hukum (struktur hukum)
khususnya oleh hakim dalam kegiatannya pada proses penemuan hukum.
4. Hukum
dalam pengertian mengadili menurut hukum. Tentang pengertian “hukum” dalam
mengadili menurut hukum, dapat diartikan sebagai berikut:
Pertama
: mengadili menurut hukum adalah berarti mengadili menurut ketentuan
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, termasuk pula hukum yang lahir dari
sebuah perjanjian yang mengikat para pihak sebagai undang-undang (1338 BW);
Kesusilaan dan ketertiban umum (1337 BW); dan keharusan memperhatikan kepatutan
(1339 BW);
Kedua
: mengadili menurut hukum dapat pula berarti menurut perwujudan asas
legalitas dan asas non retroaktif, juga pembatasan sebagaimana dalam pasal 178
HIR/189 RBG.
Ketiga
: mengadili menurut hukum adalah berarti mengadili menurut ketentuan
normatif, dalam hal normatif tidak dapat memecahkan permasalahan fakta hukum
maka ilmu hukum atau filsafat hermeneutika dan konstruktifisme kritis tampil
memecahkan kebekuan normatif tersebut.
Keempat : mengadili
menurut hukum dalam keterkaitan normatif dan sosiologis; maka teori hukum dan
filsafat hukum akan memecahkan kebekuan normatif, dengan bersandar pada ajaran
positivisme seperti ajaran “Reine Rechtslehre” atau “The Pure Theory
of Law” atau teori murni tentang hukum menurut Hans Kelsen, dan selanjutnya
pandangan sosiologis tentang hukum yang didukung oleh pandangan filsafat hukum
seperti sosiological jurisprudence, teori tentang sosiologi hukum ini juga
dipelopori oleh Eugen Ehrlich di Eropa yang memisahkan antara law in books dan
law in action, di Amerika Serikat dipelopori oleh Roscoe Pound dengan teorinya law
as a tool of social engineering.
C. Pengembangan Hukum
Teoretis
1.
Ilmu-ilmu hukum
Obyek kajian dalam paragraf ini adalah
tatanan hukum positif yang berorientasi pada penegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Bernaard Arief Sidharta
menunjuk sedikitnya tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang harus
dikembangkan yaitu:
a.
Paradigma ilmu hukum Nasional Indonesia yang mengacu pada cita hukum Pancasila,
tujuan hukum pengayoman, konsepsi Negara Hukum Pancasila, wawasan kebangsaan
dan wawasan nusantara.
b. Obyek
pengolahan sistematisasinya adalah tatanan hukum nasional Indonesia, tertulis
maupun tidak tertulis.
c. Kegunaan
studi dan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia dewasa ini adalah untuk
pengembangan mutu penyelenggaraan hukum sehari-hari dan pelaksanaan pembangunan
tata hukum nasional Indonesia.
Sedangkan pengembangan ilmu-ilmu hukum
melalui praktik pengadilan dalam hal fakta hukum tidak pas dengan aturan hukum
yang mengaturnya sehingga aturan hukum tersebut harus ditafsirkan terlebih
dahulu, yang dalam hal ini Edi Setiadi (Guru Besar Ilmu Hukum Pidana pada Universitas
Islam Bandung) memberi penjelasan bahwa:
· Hakim bebas menafsirkan Undang-undang sesuai dengan social change and
economic condition. arah legal development of flexible
· Melakukan penafsiran Undang-undang kearah legal development of flexible.
· Mencari/menemukan kehendak pembuat Undang-undang.
Patokan dasar penafsiran adalah:
· Memberi makna/menentukan arti Undang-undang.
· Memberi isi konkrit ke dalam rumusan kaidah Undang-undang.
· Mencipta hukum baru sesuai dengan kejadian konkrit.
Ada beberapa
alasan mengapa penafsiran Undang-undang atau konstuksi hukum diperlukan karena:
a. Hakim
tidak boleh menolak sesuatu perkara yang diajukan kepadanya karena aturan hukum
yang mengaturnya tidak jelas atau tidak ada, melainkan hakim wajib menemukan hukumnya.
b. Aturan
hukum sudah ketinggalan sehingga tidak pas untuk memecahkan kasus konkrit yang
diajukan kepadanya.
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum atau pembentukan hukum, oleh Edi
Setiadi selanjutnya menjelaskan bahwa penemuan hukum adalah pembentukan hukum;
menurut Beliau “Every time judge is confronted with a legal problem should
contruct a theory what the law”
Penemuan
hukum dalam hukum pidana dapat didefinisikan sebagai berikut:
· Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada
peristiwa konkrit.
· Eikema Holmes, penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit tertentu.
· Penemuan hukum adalah sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematik
yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum.
Unsur-unsur
terpenting dalam penemuan hukum adalah:
· Hukum atau sumber hukum.
· Fakta hukum.
Persoalan
terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah cara menemukan hukum
tersebut, dengan jalan penafsiran dan larangan analogi.
Ada beberapa
asas-asas umum yang harus dipahami terlebih dahulu dalam melakukan penafsiran
yaitu:
(1) Ada
dua asas dalam prinsip regulasi yang saling terkait erat yaitu asas
proporsionalitas dan asas subsidiaritas.
(2) Prinsip
relevansi dalam prinsip hukum pidana yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku sosial yang patut mendapat reaksi atau koreksi
dari sudut pandang hukum pidana.
Prinsip relevansi ini berpijak pada fungsi
umum hukum pidana yang secara tegas dinyatakan oleh Vos adalah bahwa hukum
pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal.
(3)
Asas kepatutan dari Marten Luther bahwa kepatutanlah yang harus menguji logika
Juridis.
(4)
Asas in dubio proreo, jika terdapat keraguan, kita harus memilih ketentuan atau
penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa.
(5)
Exeptio format regulan atau adagium exeptio frimat vim legis in
casibus non exceptis. Maksudnya: jika penyimpangan terhadap aturan umum
dilakukan, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit.
(6)
Prinsip titulus est lex dan rubrica est lex; judul perundang-undangan
yang menentukan dan rubrik atau
bagian perundang-undanganlah yang menentukan.
(7)
Asas materil yang menyangkut aturan-aturan tidak tertulis yang mengacu atau
merujuk pada suatu nilai sosial etis penting. Asas ini mengandung makna bahwa
pada saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan;
Hakim harus memperhatikan asas tersebut selama asas itu memang diakui dalam
dunia hukum, sebagaimana dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.
Asas materil ini berkaitan dengan sifat
melawan hukum materil (SMHM). sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang
negatif dan SMHM dalam fungsinya yang positif. SMHM dalam fungsinya yang
negatif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, jika
menurut pandangan yang hidup dalam masyarakat perbuatan itu bukan merupakan
perbuatan yang tercela berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang
tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana;
SMHM dalam fungsinya yang positif mengandung arti bahwa meskipun suatu perbuatan
tidak memenuhi rumusan delik, jika perbuatan tersebut dianggap bertentangan
dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, perbuatan itu dapat dijatuhi pidana.
SMHM dalam fungsinya yang negatif merupakan
alasan pemaaf dan telah dianut dalam praktik pengadilan, sementara SMHM dalam
fungsinya yang positif pada dasarnya bertentangan dengan asas legalitas.
Interpretasi
dalam hukum pidana menurut:
· Code Penal Prancis, menetapkan La loi penale est d’interpretation
stricte yang berarti hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit.
· Jonkers berpendapat, prinsip-prinsip penafsiran dalam hukum perdata
sebagaimana termaktub dalam KUHPerdata juga dapat diterapkan dalam hukum
pidana.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh ilmuan
hukum disebut Doktrin; sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim yang
berkaitan dengan kasus konkrit yang ditanganinya disebut yurisprudensi.
Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi yurisprudensi:
(1)
Judge decision in a particular case;
(2)
The principles of law on which the decision in based;
(3)
Putusan berhubungan dengan perkembangan hukum;
(4)
Putusan tersebut belum diatur dalam undang-undang atau undang undang kurang
jelas.
Sedangkan
fungsi yurisprudensi adalah untuk:
(1)
Menegakkan terwujudnya law standard;
(2)
Menciptakan unified legal framework dan unified legal opinion;
(3)
Terciptanya kepastian penegakan hukum;
(4)
Mencegah disparitas pidana
2. Teori
Hukum
Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum
adalah disiplin hukum yang secara kritis dalam persfektif interdisipliner
menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam
kaitan dengan keseluruhannya baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam
pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis terberi.
Pokok telaah teori hukum mencakup:
(1)
Analisis tentang pengertian hukum, pengertian dan struktur sistem hukum, sifat
dan struktur norma hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, pengertian
serta interelasi konsep-konsep yuridis (misalnya: subyek hukum, hak, kewajiban,
hubungan hukum, peristiwa hukum, dan perikatan; (2) Ajaran metode dari hukum
yang mencakup teori argumentasi yuridis (teori penalaran hukum), metode dari
ilmu hukum dan metode penerapan hukum (metode penemuan dan pembentukan hukum);
(3) Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum yang mempersoalkan keilmiahan dari
ilmu hukum; dan (4) Kritik ideologi yang mencakup kritik terhadap norma hukum
positif dan menganalisis norma hukum untuk mengungkapkan kepentingan dari ideologi yang melatar belakanginya.
Analisis tentang pengertian hukum telah
dikemukakan di atas pada awal pembahasan pada Bab ini, namun sekedar
memperjelas, ditampilkan tentang apa yang dimaksud hukum positif yaitu :
· Hukum positif adalah hukum yang saat ini sedang berlaku dan mengikat
secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadilan dalam Negara Indonesia.
· Hukum positif (ius constitutum) termasuk di dalamnya hukum yang pernah
berlaku, dan ius contituendum atau hukum yang dicita-citakan yaitu hukum yang
didapati pada rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku atau peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku.
Terdapat
beberapa unsur yang melekat pada hokum positif yaitu:
· Hukum positif mengikat secara umum atau khusus. misalnya: Undang-undang
dan perjanjian, beschicking.
· Hukum positif ditegakkan oleh atau melalui pemerintah dan pengadilan.
Asas penerapan hukum positif tidak boleh bertentangan dengan kepatutan,
keadilan, ketertiban umum dan kepentingan umum.
· Hukum Positif berlaku dan ditegakkan di Indonesia.
Asas-asas
penerapan hukum positif yaitu:
(1)
Asas konstitusional;
(2)
Asas non Retroaktif (tidak berlaku surut);
Secara prinsip, semua aturan berlaku ke
depan, namun dalam hal tertentu bisa saja aturan hukum itu berlaku surut dan
menimbulkan keuntungan misalnya dalam hal keringanan hukuman, kenaikan gaji
yang berlaku surut. Undang-undang bisajuga berlaku surut dengan tujuan
memulihkan dan menegakkan keadilan atas berbagai tindakan yang menusuk rasa
keadilan masyarakat seperti pelanggaran HAM berat. Akan tetapi pemberlakuan
surut itu harus didasarkan atas perintah undang-undang.
Asas pemberlakuan hukum yang lama yang
disebut asas peralihan hukum misalnya pemberlakuan Rvsebagai hukum acara dalam
hal tidak diatur dalam RBg/HIR karena dibutuhkan dalam praktek pengadilan,
dalam hal ini terdapat beberapa asas peralihan hukum yaitu:
· Asas menerapkan hukum lama terhadap hubungan hukum dan peristiwa hukum
yang telah ada atau akan ada selama belum ada peraturan baru.
· Aturan peralihan ini mengandung politik hukum dan politik seleksi.
· Mengandung politik hukum yaitu untuk mengisi kekosongan hukum guna
kepastian hukum dan ketertiban hukum.
· Sedangkan politik seleksi adalah untuk menyesuaikan penerapan hukum lama
dengan dasar-dasar, suasana dan tuntutan baru.
Demikian pula terdapat asas-asas yang dapat
digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan konflik hukum yaitu:
a. Lex superiori derogat
legi inferiori
· Hukum yang lebih tinggi
diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang lebih rendah.
· Misalnya undang-undang
lebih diutamakan daripada Peraturan Pemerintah (PP).
b.
Lex specialis derogat legi generalis
· Ketentuan umum tetap berlaku kecuali yang diatur khusus dalam aturan
hukum khusus tersebut.
· Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan lex generalis.
· Ketentuan lex spesialis harus berada dalam lingkungan hukum (Regim) yang
sama dengan lex generalis (KUHAD – KUHPerdata)
c. Lex
posteriori derogat legi priori
· Aturan yang baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama.
· Prinsip pertama: aturan
hukum yang baru sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama.
· Prinsip kedua: mengatur obyek yang sama.
d.
Asas mengutamakan hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis
· Apabila terjadi transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hokum
tertulis atau ketentuan hukum tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum
tidak tertulis.
· Boleh mengesampingkan hukum-hukum tertulis apabila hukum tidak tertulis
merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap
ketentuan hukum tertulis itu apabila diterapkan akan bertentangan dengan kepatutan,
keadilan, kesusilaan, ataupun kepentingan umum atau ketertiban.
e. Asas-asas hukum
pidana
1. Asas Legalitas
· Terdiri dari Nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa
undang-undang), Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang),
nulla poena sine crimen (tiada pidana tanpa kejahatan).
Makna asas legalitas yaitu:
· Nullum crimen sine lege praevia (tiada kejahatan tanpa undang-undang sebelumnya).
· Nullum crimen sine poena legali (tiada kejahatan tanpa pidana).
· Ex post pacto criminal lawtidak diperbolehkan (non retroactive application of criminal law and
criminal sanctions).
· Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 15 “dan Kami tidak mengazab sebelum kami
mengutus seorang Rasul”.
Tujuan
Azas Legalitas adalah:
· Memperkuat kepastian hukum.
· Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.
· Mengefektifkan detterent function dari sanksi pidana.
· Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
· Memperkokoh penerapan rule of law.
Asas praduga tak bersalah:
· Seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya
melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan bukti-bukti yang
kuat dan sah.
Asas in dubio proreo
· Dalam hukum Islam asas ini berbunyi “hindarkan hudud dalam keadaan ragu.
Lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum.
· Keraguan ini muncul karena keraguan berkaitan tempat, keraguan yang
disebabkan oleh pelaku, dan keraguan karena unsur yuridis.
Asas equality before the law
· Pada prinsipnya seseorang harus diperlakukan sama di depan hukum kecuali
orang-orang yang mempunyai hak-hak khusus.
Asas due process of law
· Asas ini menghendaki
proses peradilan pidana berjalan dengan baik dan menghasilkan suatu putusan
yang berdasarkan doktrin interest of justice, bukan doktrin interest of judge.
Sepuluh
asas dalam KUHAP
· Persamaan di depan hukum.
· Praduga tak bersalah.
· Memperoleh kompensasi dan rehabilitasi
· Memperoleh bantuan hukum
· Hak kehadiran terdakwa di pengadilan
· Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana.
· Peradilan yang terbuka untuk umum.
· Pelanggaran atas hak warga negara yang harus dilakukan secara tertulis
dan berdasarkan undang-undang.
· Hak diberitahu tentang persangkaan dan perndakwaan.
· Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusan.
2.
Filsafat Hukum
Pengembangan hukum teoretis melalui studi
tentang filsafat adalah suatu kajian tentang kearifan, yaitu usaha manusia
untuk menjadi arif untuk dirinya atau untuk menemukan prinsip-prinsip kearifan
itu, karena disanalah inti kebenaran. Esensi filsafat adalah mencari hakekat
kebenaran.
Apa yang ingin dicapai, diharapkan agar
orang dapat berfikir secara benar, berbuat dan bertindak secara benar.
Bertindak secara wajar adalah hasil berfikir menurut akal sehat (rasional).
Mengapa perlu mempelajari filsafat,
harapannya adalah agar kita dapat berbuat adil. Apa ukurannya bahwa kita itu
adil atau tidak adil? Ukurannya adalah Norma atau aturan. Adil itu berarti kita
berada pada posisi relativitas. Kebenaran filsafat adalah juga relatif, karena
itu pengertian adil bisa berbeda-beda.
Norma atau kaedah atau aturan yang menunjuk
itu tidak selalu menunjuk secara tepat apa yang harus kita lakukan. Contoh:
Undang-undang menunjuk batas waktu hukuman paling lama 5 (lima) tahun, artinya
antara satu hari sampai 5 (lima) tahun; tetapi mana petunjuk untuk menentukan
batas waktu diantara satu hari sampai lima tahun, tidaklah jelas. Karena itu
kembalinya ke filsafat tentang mana yang wajar atau tidak wajar. Hukum yang
diterapkan tidak memberi petunjuk apapun sebagaimana contoh tadi. Isi norma itu
sendiri tidak menyebut mana yang wajar sesuai kasusnya, karena itu hakim harus
berfikir ekstra yuridis.
Hukum itu dibuat untuk tujuan tertentu,
tetapi setelah diundangkan, sering menjadi tidak lengkap atau tertinggal karena
kemajuan zaman. Hakimlah yang melengkapi atau mengisi kekosongannya.
Jika tujuan hukum tidak tercapai disebabkan
karena perbuatan hakim, maka perbuatan hakim itu menjadi tidak wajar. Contoh
hakim menghukum 12 hari penjara bagi pencuri kakao 3 biji, hakim itu seharusnya
berfikir ekstra yuridis agar penalarannya sesuai kewajaran. Hakim dalam
penalarannya, selain ia harus melakukan social control, ia juga harus melakukan
social engineering lewat putusannya, jadi ada kewajiban bagi hakim untuk
berfikir ekstra yuridis dan komprehensif. Hakim yang telah menjatuhkan hukuman
itu apakah layak atau tidak layak, adalah berarti bahwa hakim itu sudah
berfikir ekstra yuridis. Putusan hakim itu benar karena ada aturan hukumnya;
bahwa hakim itu telah berfikir ekstra yuridis karena ia telah keluar dari bunyi
normatifnya.
Mengapa harus melakukan kajian filsafat
hukum, karena undang-undang itu dibuat atas pola fikir tertentu, setiap
undang-undang yang dibuat, selalu ada sebab musababnya tertentu. Karena itu
hakim yang melakukan penemuan hukum terhadap kasus konkrit, maka harus berfikir
ekstra yuridis, kalau terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian,
pilihlah keadilan; tetapi harus dipahami bahwa keadilan yang tertinggi adalah suatu
ketidakpastian, karena keadilan itu nilainya relatif harus pula dipahami bahwa
mengadili menurut hukum adalah jauh lebih baik daripada memutus tidak menurut
hukum.
Suatu teori yang disebut “Restorative
justice” yaitu sebuah teori tentang keseimbangan perlindungan hukum antara
pelaku dan korban; bahwa semakin serius suatu kejahatan, semakin tinggi nilai
keadilan yang ingin diwujudkan maka semakin rendah nilai kepastian yang harus
ditegakkan; sebaliknya, semakin tinggi nilai kepastian yang ingin diwujudkan
maka semakin rendah nilai keadilan yang harus ditegakkan.
Menegakkan hukum dan menegakkan keadilan
adalah dua pilihan, akan tetapi dijembatani dan dihubungkan menjadi satu
kesatuan yang holistik dalam penerapan hukum sebab antara hukum dan keadilan
haruslah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
(pasal 1 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Kepastian hukum, ciri-cirinya adalah bahwa
putusan itu predictable atau hukumnya dapat diprediksi. Sangat tidak adil jika
tidak ada kepastian hukum. Kepastian hukum adalah suatu instrumen penting dalam
penegakan hukum.
Mengapa hakim harus belajar filsafat hukum,
karena penerapan hukum itu dapat berbeda-beda karena perbedaan waktu dan tempat
atau karena ada perubahan masyarakat sehingga hukum harus mengikutinya.
Karena itu antara teori hukum dan filsafat
hukum saling mempengaruhi dalam praktik pengadilan. Betapapun teori hukum itu
dibedakan dari filsafat hukum, namun ia bertumpu pada filsafat hukum. Dalam
pengembangan teori hukum, selalu terdapat filsafat hukum tertentu yang
melandasinya. Filsafat hukum menyibukkan diri dengan pertanyaan sebagaimana
yang diuraikan Langemeijer tentang “landasan dan daya mengikatnyasuatu hukum”;
dan pertanyaan tentang kriteria menilai kebenaran dan keadilan.
Pertanyaan pertama tentang bagaimana kita
memberikan landasan bagi daya mengikat dari hukum? Pertanyaan ini berkaitan
dengan keberlakuan hukum dan secara khusus keberlakuan moral.
Anerkennung Theorie (teori pengakuan), teori
ini mengemukakan bahwa hukum itu berlaku karena ia oleh mayoritas orang secara
faktual diterima (diakui, dipatuhi). Jadi disini keberlakuan moral dari hukum
didasarkan pada keberlakuan faktual, atau sama seperti keberlakuan yuridik.
Dalam dua hal itu satu faset dari keberlakuan hukum secara sepihak
diabsolutkan. Pertanyaanya, atas dasar apa hukum itu secara faktual (secara
yuridikal) sudah berlaku juga seharusnya dipatuhi? Terdapat banyak aturan hukum
yang secara faktual dipatuhi (diakui oleh mayoritas penduduk, tetapi apakah
dengan begitu legitimasi dari hukum sudah diberikan?
Teori kekuasaan (machts theorie),
hukum sesungguhnya adalah kekuasaan; hukum itu sendiri adalah suatu gejala
kekuasaan dan ia sering membutuhkan kekuasaan lain untuk dapat mewujudkan
dirinya.
Menurut aliran hukum kodrat, daya mengikat
dari hukum positif adalah(lex humana) didasarkan
pada hukum kodrat. Bahwa pada asasnya manusia ingin hidup bersama / hidup
bermasyarakat. Karena itu pengaturan-pengaturan untuk hidup bersama, mutlak
harus diatur.
Pertanyaan kedua “Dengan kriteria apa kita
menilai keadilan dari hokum”? Konflik antara hukum dan etika, pertanyaanya
apakah hukum positif yang isinya bertentnagan dengan etika harus dianggap tidak
adil? Lalu masih boleh diterima sebagai hukum positif yang berlaku? Para
pengikut hukum kodrat dan postitivisme akan memberi jawaban yang berbeda: Arti
“Keadilan” dalam lingkungan hukum kodrat, Aristoteles dan Thomas Aquinas
memberi arti keadilan itu sebagai ius titia distributiva dan ius
titia commutativa yang merupakan bagian dari asas persamaan yang dipandang
sebagai inti dari keadilan. Ketika di jaman kuno orang berbicara tentang “Suum
cuique tribeuer” (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).
Kelsen menerapkan kriteria formal.
Kejadian-kejadian yang sama harus diperlakukan sama, tetapi kita terlebih
dahulu harus mengetahui kejadian mana yang sama itu, dan mengapa hal itu dapat
terjadi? Jawabannya adalah bahwa pada peristiwa yang sama diterapkan asas
similia similibus. Hukum kodrat tidak memberikan aturan hukum yang langsung
dapat diterapkan pada kasus konkrit tetapi memuat asas-asas yang harus
dijabarkan ke dalam tata hukum positif, namun isi hukum positif secara
substansial dapat bertentangan dengan asas-asas itu. Dalam hal ini oleh Thomas
Aquinas berpendirian bahwa hukum positif itu tidak berlaku.
BAB III
KESIMPULAN
1. Aturan hukum (Undang-undang)
bukanlah poros sebuah putusan hakim yang dinilai berbobot; aturan tidak bisa
diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks, kebenaran dan
keadilan bukan terletak di dalam Undang-undang, inilah titik tolak pengembangan
hukum teoretis, karenanya hakim harus selalu berfikir ekstra yuridis dalam
menerapkan hukum ke dalam kasus konkrit yang dihadapinya.
2. Hakim sering berhadapan dua
sisi yang berseberangan yaitu antara kebenaran (keadilan) dan kepastian dalam
konteks tertentu. Tidak jarang terjadi kebenaran yang ditemukan oleh hakim
lebih unggul daripada kebenaran yang ditawarkan oleh aturan formal, dalam hal
inilah seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya, ia harus
memenangkan kebenaran keadilan meskipun mengalahkan kepastian dari aturan
formal (legisme),bilamana terjadi pertentangan antara normative dengan rasa
keadilan maka yang pertama-tama tumbang adalah normatifnya , Contoh: KUHAP
secara tegas menyatakan tidak ada upaya hukum atas putusan bebas. Mahkamah
Agung mengendorkan ketentuan itu dengan membedakan putusan bebas murni (Vrijspraak)
dengan putusan bebas tidak murni (Onslag Van rechtsvervolging) yaitu
putusan yang membebaskan. Atas dasar itu jaksa dapat mengajukan kasasi. Adapula
ketentuan dalam KUHAP bahwa yang boleh mengajukan PK, hanyalah terpidana atau
keluarganya. Dalam hal terdapat kesalahan nyata di dalam putusan itu (alasan
PK),tetapi di dalam putusan hakim adalah putusan bebas, maka terpidana atau
keluarganya tidak mempunyai kepentingan mengajukan PK.
Penalaranya
demikian (Sillogisme deduksi):
Premismayor: Hanya si terpidana atau
keluarganya yang boleh mengajukan PK.
Premis minor: Jaksa, apakah
boleh mengajukan PK.
Kesimpulan : Jaksa, bukan terpidana dan bukan keluarga terpidana,
maka tidak boleh mengajukan PK.
Jika demikian penalaran hakim dalam berfikir
ekstra yuridis, maka kebenaran dan keadilan akan terkalahkan oleh kepastian
hukum padahal kebenaran dan keadilan dalam konteks tersebut tidak ditemukan
dalam bunyi Undang-undang, karena itu Mahkamah Agung membuka kesempatan
bolehnya Jaksa mengajukan PK.
Contoh
lain:
Suatu fakta hukum tentang telah terjadi
pelanggaran HAM berat, dan terpidana terbukti bersalah, tetapi kesalahan
terpidana tidak berdiri sendiri melainkan terdapat andil kesalahan pihak
korban. Ancaman hukuman bagi terpidana adalah minimal 4 tahun penjara .
Pengadilan menjatuhkan hukuman hanya satu tahun penjara dan putusan itu
dikuatkan di tingkat banding.
Pada tingkat kasasi menjadi problema hukum
karena Hakim menjatuhkan pidana satu tahun di bawah batas ancaman pidana
minimal 4 tahun. Dua hakim agung berpendapat pengadilan salah menerapkan hukum
dan kasasi yang diajukan oleh Jaksa harus dikabulkan; dalam dissenting opinion
itu tiga hakim berpendapat tidak salah menerapkan hukum dan permohonan
kasasi oleh Jaksa harus ditolak karena penjatuhan pidana satu tahun itu adalah
cerminan rasa keadilan masyarakat maupun oleh hakim (keluar dari bunyi
Undang-undang demi tujuan kebenaran dan keadilan).
3. Boleh bahkan wajib bagi hakim
berpandangan bahwa isi aturan hukum (Undang-undang) itu benar dan menjamin
kepastian dan ketertiban umum; tetapi hakim yang berfikiran modern, mengambil
keputusan keluar dari skenario aturan undang-undang terkadang menjamin
kebenaran dan keadilan, tetapi tidak boleh berfikiran subyektif, karena itu
hakim tidak boleh lari dari aspek normatif yuridis. Benyamin Cardoso
mengingatkan bahwa kewibawaan seorang hakim adalah terletak pada kesetiaannya
menjunjung tujuan hukum itu, karenanya seorang hakim, putusannya tidak boleh berkembang
secara bebas tanpa batas.
4. Ilmu-ilmu hukum, teori ilmu
hukum dan filsafat hukum, semuanya mengkaji tentang hukum, dan kajian
bersama-sama secara holistik dalam memecahkan kasus konkrit sebagaimana
dicontohkan pada kesimpulan nomor 2 diatas adalah merupakan salah satu bentuk
pengembangan hukum teoretis.
DAFTAR
PUSTAKA
Apeldoorn, L.J. Van, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart a: Pradnya Parami t a
Arrasjid, Chainur, 2000, DASARDASAR Ilmu Hukum, Jakart a: Sinar Grafika
Di rdj osisworo, Soedj ono, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart a:
Rajawali
Kansil , C.S.T. , 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakart a:
Balai Pustaka
Marzuki Peter Mahmud, 2008,
Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana
Prenada
Media Group
Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. Kedua,
Yogy akart a: Li berty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar