BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebelum
penjajah Belanda datang ke Indonesia, di Indonesia telah berdiri
kerajaan-kerajaan besar seperti : Samudera pasai dan Aceh Darussalam ( Sumatera
), Pajang, Demak, dan Cirebon ( Jawa ), Kerajaan Banjar dan Kutai ( Kalimantan
).
Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan
kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh
terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di
sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini
sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad
ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah ( 1465 – 1497
).
Sedangkan di Pulau Jawa juga berdiri kerajaan
Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian berdiri pula Kesultanan Pajang
yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan Cirebon adalah
kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Gunung
Jati.
Di Kalimantan
juga berdiri dua buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama
Sultan Suruiansyah, dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di
bandang atau lebih dikenal dengan sebutan Dato’Ri Bandang.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana awal mula kerajaan –
kerajaan Islam di Sumatera?
2. Bagaimana awal mula kerajaan –
kerajaan Islam di Jawa?
3. Bagaimana awal mula kerajaan –
kerajaan Islam di Kalimantan?
4. Bagaimana Hubungan Politik dan Keagamaan antara
Kerajaan-kerajaan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatera.
2.1.1.
Samudera Pasai.
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan
kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculan
sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahana abad ke 13 M,
sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.
Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh
adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu
dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan
tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik
al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu
diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan
juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana
barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P.
Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan
lain-lain.
Pendapat
bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh
cerita Cina dan pendapat Ibn batutah, seorang pengembara terkenal asala Maroko,
yang pada pertengahan abad ke-14 M ( tahun 746 H / 1345 M ) mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera
Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut
sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (
Samudera ) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama
muslim yakni Husein dan Sulaiman. [1][3]
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di
sana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan
rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi’i. Berdasarkan beritanya
pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan
tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi
berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Mata
uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan
untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut
menggunakan nama-nama Sultan Alaudin, Sultan manshur malik al-zahir, Sultan Abu
Zaid dan Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di
antaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan
Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan 15 M.
Kerajaan
Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. pada tahun 1521 M kerajaan ini
ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama 3 tahun, kemudian tahun 1524
M dianekasasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera
Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh
Darussalam.
2. 1.2.
Aceh
Darussalam.
Kerajaan
Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar.
Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini
sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad
ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah ( 1465 – 1497
). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. [2][5]
Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh darussalam mulai mengalami kemajuan
dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang sebelumnya
berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka
dikuasai Portugis ( 1511 M ). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh portugis
itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat
Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat
Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menajadi ramai dikunjungi oleh
para saudagar dari berbagai negeri.
Menurut
H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah
Aceh, dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad
ke-14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil,
yaitu Lamuri dan Aceh Dar al-kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang
pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Peletak
dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
al-Qahar. Dalam menghadapi balatentara Portugis, ia menjalin hubungan
persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara Islam yang lain
di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun
angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu nampaknya mengakui kerajaan
Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam
Islam.
2.2. Tumbuh
dan Berkembangnya Kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa
2.2.1.
Demak
Sebagaimana
telah disebutkan dalam bab terdahulu, perkembangan Islam di Jawa bersamaan
waktunya dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang
kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan
yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat
mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam
pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya,
terutama dalam persoalan-persoalan agama, di bantu oleh para ulama, Wali Songo.
Sebelumnya, Demak masih bernama Bintoro merupakan daerah vasal Majapahit yang
diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lamabat laun menjadi
pusat perkembangan agama Islamyang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan
Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu muslim
keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sambrang Lor, dikenal juga dengan
nama Pati Unus.
Pati
Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung
Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524 –
1546. Pada masa sultan Demak ketiga inilah Islam dikembangkan ke seluruh tanah
Jawa,bahkan sampai ke Kalimantan. Pada tahun 1527 Tuban dan majapahit jatuh ke
tangan kerajaan Demak. Pada tahun 1529 berhasil menundukan Madiun, Blora ( 1530
), Surabaya ( 1531 ), Pasuruan ( 1535 ), antara tahun 1541 – 1542 Lamongan,
Blitar, Wirasaba, dan Kediri ( 1544 ). Setelah Sultan Trenggono terbunuh, ia
digantikan oleh adiknya Prawoto. Kerajaan Demak berakhir setelah terbunuhnya Prawoto,
pembunuhnya adalah Aria panangsang dari Jipang pada tahun 1549.
2.2.2.
Pajang
Kesultanan
Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak.
Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman Pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak
panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan
Mataram.
Raja
pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di
lereng gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir
diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak
perempuannya. Kediaman penguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan
mencontoh kraton Demak.
Pada
tahun 1546 Sultan Demak meninggal dunia. Setelah itu muncul kekacauan di ibu
kota. Konon Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera
mengambil alih kekuasaan karena anak sulung Sultan Trenggono yang menjadi
pewaris tahta kesultanan, susuhunan Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Aria
Panangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang ( Bojonegoro sekarang ).
Selama
pemerintahan Sultan Adiwijaya, kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah
maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh agama
Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman.
Riwayat
kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. kerajaan pajang pada waktu itu memberontak
terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan,
rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
2.2.3.
Cirebon
Sultan
Gunung Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan
ini didirikan oleh Jati.
Di
awal abad ke-16, Cirebon merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan
Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di
sana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan
darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah
menganut agama Islam. Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon
sekitar 1470 – 1475 M. akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status
Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang terkenal dengan
gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang.
Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sebagai
keponakan dari Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati juga mempunyai hubungan
darah dengan raja Pajajaran. Raja dimaksud adalah Prabu Siliwangi, raja Sunda
yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran, yang nikah dengan nyai Subang Larang
tahun 1422.
Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali ( Galuh ), Sunda Kelapa dan Banten.
Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum Muslimin di Banten
diletakkan oleh Sunan Gunung jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika ia kembali ke
Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan hasanuddin. Sultan inilah
yang menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten tersebut,
akhirnya, kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga
penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan ( 1527 M ). Penyerangan ini dipimpin oleh
Falatehan dengan bantuan tentara Demak.
Setelah
Sunan Gunung Jatiwafat, ia diganti oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar
Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650, dan
digantikan oleh puteranya yang bergelar Panembahan Girilaya.
Keutuhan
Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pangeran Girilya itu.
Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua
puteranya, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan
Anom. Panembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama
dengan gelar Samsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman
dengan gelar Badruddin.
2.3. Tumbuh dan
Berkembangnya Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
Kalimantan
terlalu luas untuk berada di bawah satu kekuasan pada waktu datangnya Islam.
Daerah barat laut menerima Islam dari malaya, daerah timur dari makasar dan
wilayah selatan dari Jawa.
2.3.1.
Berdirinya Kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan
Tulisan-tulisan
yang membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan selatan selalu
mengidentifikasikan dengan berdirinya kerajaan Banjarmasin. Kerajaan Banjar
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya
dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana, antara pangeran
Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran
Tumenggung. Seperti dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika Raja
Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat, agar yang
mengantikannya nanti adalah cucunya Raden Samudera. Tentu saja keempat orang
puteranya tidak menerima sikap ayahnya itu, lebih-lebih Pangeran Tumanggung
yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan raja dipegang oleh anak
tertua, Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun.
Pangeran Mangkubumi tidak terlalu lama berkuasa. Ia terbunuh oleh seorang
pegawai istana yang berhasil dihasut Pangeran Tumanggung. Dengan meninggalnya
Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumanggunglah yang tampil menjadi raja Daha.
Dalam
pada itu Pangeran Samudera berkelana ke wilayah muara. Ia kemudian diasuh oleh
seorang patih, bernama Patih Masih. Atas bantuannya Pangeran Samudera dapat
menghimpun kekuatan perlawanan. Dalam serangan pertamanya Pangeran Samudera
berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering
dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa, Gujarat, dan
Malaka.
Dalam
peperangan itu, Pangeran Samudera memperoleh kemenangan, dan sesuai dengan
janjinya, ia beserta seluruh kerabat kraton dan penduduk Banjar menyatakan diri
masuk Islam. Pangeran Samudera sendiri, setelah masuk Islam, diberi nama Sultan
Suryanullah atau Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam
kerajaan Islam Banjar.
Ketika
Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya,
yakni daerah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan
Sambangan.
Sultan
Suryanullah diganti oleh putera tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah.
Raja-raja banjar berikutnya adalah Sultan Hidayatullah ( putera Sultan
Rahmatullah ) dan Marhum Panembahan yang dikenal dengan Musta’inullah. Pada
masa Marhum Panembahan, ibu kota kerajaan dipindahkan beberapa kali. Pertama ke
Amuntai, kemudian ke Tambangan dan Batang Banju, dan akhirnya ke Amuntai kembali.
Perpindahan ibu kota kerajaan itu terjadi akibat datangnya pihak Belanda ke
Banjar dan menimbulkan huru-hara.
2.3.2.
Kutai di Kalimantan Timur
Menurut
risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan
Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adalah Tuan di bandang, yang dikenal
dengan Dato’Ri Bandang dari makassar; yang lainnya adalah Tuan Tunggang
Parangan. Setelah pengislaman itu, Dato’Ri Bandang kembali ke Makassar
sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang terakhir inilah
Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun sebuah
mesjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama sekali mengikuti
pengajaran itu adalah Raja Mahkota Sendiri, kemudian pangeran, para menteri,
panglima dan hulubalang, dan akhirnya rakyat biasa.
Sejak
itu, Raja mahkota berusaha keras menyebarkan Islam dengan pedang. Proses
Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575.
penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu
puteranya, Aji di Langgar, dan pengganti-penggantinya, meneruskan perang ke
daerah Muara Kaman.
2.4. Hubungan Politik dan Keagamaan antara
Kerajaan-kerajaan Islam
Hubungan
antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang
terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk
kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri.
Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian
timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula Fadhillah
Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda
Kelapa.
Dalam
bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam
menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang
mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan
Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh.
Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis
dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
Meskipun
demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antarkerajaan-kerajaan Islam
itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak
ada. Peperangan di kalangan kerejaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi.
Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone.
Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula,
sering satu kerajaan Islam meminta bantuan kepada pihak lain, terutama Kompeni
Belanda, untuk mengalahkan kerajaan islam yang lain.
Hubungan
antarkerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan
keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi
Mekah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini
ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya
ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana.
Demikian
pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia
bagian timur. Karya-karya sastera dan keagamaan dengan segera berkembang di
kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi karya-karya itu seringkali mirip antara
satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom
kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi
budaya yang makin erat.
BAB III PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Sebelum
datangnya para penjajah, baik itu Belanda ataupun Portugis, di Indonesia telah
berdiri bermacam-macam kerajaan seperti :
1. Di Pulau
Sumatera, berdiri kerajaan :
a. Samudera Pasai.
b. Aceh
Darussalam.
2. Di Pulau Jawa,
berdiri kerajaan :
a. Demak.
b. Pajang.
c. Cirebon.
3. Di Pulau
Kalimantan, berdiri kerajaan :
a.
Kerajaan Banjar.
b. Kerajaan Kutai.
4. Dalam bidang politik, agama pada mulanya
dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau
kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik
maupun ekonomi. Tapi pada akhirnya masing-masing kerajaan Islam saling perang,
seperti : antara kerajaan Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan
Bone.
DAFTAR PUSTAKA
Tjandrasasmita,
Uka ( Ed ), 1984, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
& Ibrahim,
Muhammad dan Rusdi Sufi, 1989, ”Proses Islamisasi dan Munculnya
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam A. Hasymy ( Ed ), Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT Almaarif.
& De Graaf H.J, 1989, “Islam di Asia Tenggara
sampai Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra ( Ed ), Persepektif Islam di
Asia Tenggara, Jakarta : yayasan Obor Indonesia.
& Abdullah,
Taufik ( Ed ), 1992, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI.
& Machmud, Anas, “Turun
Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”.
& Djajadiningrat,
Hoesein, 1983, Tinjauan Kritis
tentang Sejarah Banten, Jakarta: Penerbit Djambatan.
& Ras, J.J, 1968,
Hikayat Banjar: A. Study in Malay Histoiography, The Hague Martinus
Nijhoff – KTLV.
& Yatim, Badri,
2002, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja
Grafindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar