BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah
suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa
itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, saya selaku penulis mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh
kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah
mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
II. Rumusan Masalah
- Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh!
- Menyebutkan pembagian kaidah fiqh!
- Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
- Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
- Apa perbedaan kaidah ushul dan kaidah fiqh?
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari
definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
PEMBAHASAN
I. Pengertian Qawaidul Fiqhiyah
Sebagai studi ilmu agama pada
umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi.
Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu
kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah
dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S.
An-Nahl : 26)
Sedangkan
dalam tinjauan terminologi (istilah) kaidah punya
beberapa arti, menurut Dr. Ahmad Asy-syafi’i dalam buku
Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan
hukum juz’i yang banyak”.1)
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang
biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.2)
Sedangkan arti
fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama” (Q.S. At-Taubat : 122). Dan juga sabda
Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh
Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.

1)Ahmad, Muhammad Asy-Syafi’i 1983 : Hlm. 4
2)Fathi, Ridwan, 1969 : Hlm. 171-172
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis)
yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas dapat
disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Dari pengertian diatas dapat diketahui
bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai
bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul
Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul
Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase
pertumbuhan dan pembentukan
Masa
pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman
kerasulan hingga abad ke-3 hijriyah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum
islam, dapat dibagi menjadi tiga; zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung
selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’
tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H
/ 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri
maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734
M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan
demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk
dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim
(kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan
tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat
dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh
karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat :
Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan
maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang
dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu
disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain)
dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”3)
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh.
Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah
fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk
kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan
mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun
berkenaan dengan mereka.
Generasi
berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub
ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah
yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak
memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah
atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama
berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan
terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
![]() |
3)Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Burnu. Hal. 77
2.
Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah
hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian
besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar
kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa
berikutnya.
Pada abad VIII
H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena
perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh
terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
·
Al-Asybah wa
al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
·
Kitab
al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
·
Al-Majmu’
al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
·
Al-Qawaid fi
al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase
kematangan dan penyempurnaan
Abad X H
dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya.
Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah :
“seseorang tidak dibolehkan mengelola
harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut
disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh
karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan
mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
1. Segi fungsi
Dari segi
fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra
al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan
kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan
seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan
demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
2. Segi
mustasnayat
Dari sumber
pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang
tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh
yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah
:
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan
sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh
lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada
kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi
kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
·
Kaidah kunci
Kaidah kunci
yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan
kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan
mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas
merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
·
Kaidah asasi
Adalah kaidah
fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah
fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan /
perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan
tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan
kemudahan”
”Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
·
Kaidah fiqh
yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh
yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha utsmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul
Fiqh) adalah :
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
- Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
- Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
- Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
- Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
- Kaidah dapat membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
- Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
- Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
- Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
- Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
- Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
- Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata
bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar, telah
sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan
qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh
begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad
Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah
sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan
serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya
menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya
banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
- Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani
menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, berdalil
hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa
setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena
memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti
pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil
yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan
kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh
Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada
kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai
berai.”
Dalam konteks
studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’iah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua
bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan
yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh yang di dalamnya terdapat pembahasan
mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang
jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah
dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah
kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan
kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
- Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
- Kemudharatan itu harus dihilangkan
- Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
- Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
- Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’
menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah
ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah,
walaupun kebahasaannya masih tetap diakui.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah
Fiqh
- Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
- Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
- Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah
fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh
yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya
(bagian-bagiannya).
2. Salah satu
manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh.
3. Adapun kedudukan
dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
· Sebagai
pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua
dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
· Sebagai
dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia
yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu
saya menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul
Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang
lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta
: kencana, 2006
Mujib,
Abdul, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel,
1978.
Usman,
Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers,
1999.
Effendi,
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.
Mubarok,
Jaih, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers, 2002.
Djazuli, HA, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.
Asjmuni, A Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta :
Bulan Bintang, 1976.
Ash-shiddiqie, Hasbi, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.,
1999.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut
: Dar al-Kalam, 1998.
Faisal, Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung
: Pustaka Bani Quraisy , 2004.
http://moenawar.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar