Rabu, 04 Januari 2017




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya setiap ilmu pengetahuan antara yang satu dengan yang lainnya itu saling berhubungan. Akan tetapi hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, pertengahan, bahkan ada pula yang jauh.
Pada pembahasan kali ini kita akan mengkaji bersama tentang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak, yaitu diantaranya ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, filsafat, sains modern, dan yang berkaitan dengan keimanan.
Konsep akhlakul karimah adalah konsep hidup yang lengkap dan tidak hanya mengatur hubungan antara  manusia dengan alam sekitarnya, tetapi juga terhadap penciptanya. Allah menciptakan ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur’an. Namun tidak semua orang mengetahui atau percaya akan hal itu. Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia dalam menggali ilmu-ilmu yang ada dalam Alqur’an itu sendiri. Oleh karena itu permasalahan hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu lainnya ini diangkat, yakni keterkaitan antara  akhlak Islam dan ilmu berdasarkan Ilmu Hadis.

B.  Rumusan masalah
      1)      Bagaimanakah hubungan ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat?
2)      Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf?
3)      Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan?
4)      Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Akidah dan Ibadah?














BAB II
PEMBAHASAN



1.       Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat
a.      Arti kata filsafat
Adapun arti kata filsafat atau falsafah itu pada asalnya kata pinjaman dari pada bahasa gerik-purba atau Yunani dibentuk menurut tata bahasa Arab (saraf). Asalnya merupakan kata rangkaian, terdiri daripada kata phielin artinya gemar atau suka dan kata sophia artinya pengetahuan(ilmu). Dengan semudah-mudahnyakata itu dapat kita bahasa indonesiakan dengan misalnya: ingin-tahu atau suka-tahu. Tapi salinan itu sungguh pun jelas dan boleh pula dikatakan tegas, tidak terasa tepat. Rasanya tawar atau dangkal; tidak sama rasanya dengan kata filsafat dalam istilah.
Maknanya amat mendalam dan nilainya amat meninggi. Bagiannya yang pertama menaikan makna keinginan itu ketingkat yang menyamai ‘asyik disertai hasrat’, tak kurang daripada cinta asmara. Tak mau puas, tak senang diam, jika tidak mencapai, mendapat pokok tujuannya dengan sepenuhnya. Dan poko tujuan itu, dalam bagian kedua kata itu, telah beroleh makna,, pengetahuan yang sempurna sepenuh-penuhnya, yang dapat dicapai dengan pemeriksaan teliti dan dengan pikir sedalam-dalamnya dan selanjut-lanjutnya tentang kenyataan yang sebenarnya, sehingga mencapai tingkat tahu-kenal dan tahu-pandai.
Tahu dengan makna yang amat cukup itu ialah yang dinamakan ma’rifat, dan kenyataan yang sebenarnya itu ialah yang dinamakan hakekat. Maka dapatlah kita makna kan filsafat dengan : “hasrat kepada ma’rifat hakekat”. Dan dengan seluas luas nyadapatlah kita terangkan filsafat itu sebagai hasil daripada pikir yang sedalam-dalam dan selanjut-lanjutnya tentang masalah yang penting berkenaan dengan wujud, asal, guna dan nilai tiap-tiap benda dan tiap-tiap peristiwa dalam keadaan. Semata-mata karena hasrat dan ma’rifat belaka dan disamping itu hasrat akan pengertian yang yakin tentang kelakuan yang sebaik-baiknya, dalam segala hal ihwal kehidupan bagaimana pun juga, yang sesuai dengan ke ikhlasan niat yang utama semata-mata karena hasrat akan kebajikan.
b.      Bahan filsafat:
Adapun yan menjadi bahan bagi filsafat adalah dua perkara: pertama, dalam keadaan yang kita hidup ditengah-tengahnya. Kedua, pendapat akal yang kita bentuk didalam pikiran kita.
Maka bagian filsafat yang mendapatkan pengetahuan daripada pemeriksaan alam keadaan itu dengan menggunakan pancaindra, yaitu alat dinamakan filsafat akal.
Periksa kita yang lima: pelihat (mata), pendengar (telinga), perasa (kulit), pembau (hidung), dan pengecap (lidah) dinamakan filsafat alam. Dan bagian filsafat yang mendapatkan pengetahuan dari budi pikiran atau akal kedua “taikat” itu perlu dipakai bersama-sama hasil filsafat alam menambah jumlah pengetahuan dan menjadi ujian pendapat akalnya, oleh karena pendapat akal tidak mungkin bertentangan dengan kenyataan yang terbukti dengan pasti didalam alam, sebagai hasil periksa selidik dan teliti, atau sebagai pengalaman dalam filsafat alam.
Sebaliknya filsafat akal menjadi ujian pula bagi pendapat-pendapat filsafat alam. Periksa, selidik dan teliti dilakukan dengan alat anggota dan alat perkakas buatan tidak ada yang mencapai tingkat sempurna dan yang ada tidak pasti selamat semata-mata daripada salah dan keliru. Oleh karena itu didalam alam keadaan masih terlalu amat banyak yang luput daripada pemeriksaan manusia. Dengan tiap kemajuan pendapat, pengetahuan dan pendapat tiap kali pula terbukti, bahwa masih sangat banyak yang belum dapat dicapai dengan pemeriksaan manusia,dibalik segenap jumlah yang sudah diketahui.
Disitulah tempat himpunan antara filsafat alam (dengan makna alam kejadian atau alam tabiat) yang dinamakan physic (sebutan fisik), dengan alam akal yang pada hakekatnya masih bersifat alam tabiat juga oleh hubungannya dengan otak-benak,alat pemikir manusia, tapi tidk berupa benda yang dapat diukur,ditakar, ditimbang dengan alat pemeriksaan kebendaan dan kejasmanian (mengenai batang tubuh dengan segala anggota dan a;atnya dan hajat kebutuhan kehidupannya) daripada alam tabi’at. Maka dinamakanlah lanagan atau metaphysica (sebutan metafisik) dalam ilmu filsafat. (bahasa arabnya: ‘aqliyah).
Filsafat merupakan upaya berfikir mendalam, radikal, hingga ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang sedang dikaji. Diantara obyek yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah manusia.
       Para filosof muslim seperti ibnu sina mengatakan kalau jiwa manusia itu merupakan satu unit tersendiri dan memiliki wujud yang terlepas dari badan. Dan sesungguhnya jiwa manusia itu tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, namun untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir maka jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada awalnya badanlah yang membantu jiwa manusia untuk berfikir. Pemikiran dari ibnu sina ini memberi petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak. Sedangkan menurut Al-ghazali manusia itu terbagi atas 3 golongan. Pertama kaum awam, yaitu orang yang berfikiran sederhana sekali. Kedua kaum pilihan, yang mempunyai akal tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga kaum penengkar. Pendapat Al-ghazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan daya tangkap mereka. Dengan pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Selain itu, filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam, dan makhluk lainnya. Sehingga dengan filsafat akan lebih memudahkan dalam mendalami ilmu akhlak.



2.      Ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
a.      Pengertian tasawuf secara istilah
Pengertian tasawuf secara istilah,telah banyak di formulasikan oleh para ahli yang satu sama lain berbeda sesuai dengan seleranya masing-masing. Adapun yang berpendapat bahwa Tasawuf adalah aspek ajaran islam yang paling penting karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi pelaksanaan ajaran-ajaran islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah ajaran islam. Tasawuf juga dapat dikatakan sebagai jalan spritual dan merupakan dimensi batin. Dengan demikian, jelas bahwa tasawuf sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkahlaku yang merupakan substansi islam. Hakikat tasawuf adalah perpindahan sikap mental, keadaan jiwa dari suatu keadaan pada keadaan lain yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih sempurna, suatu perpindahan dari alam kebendaan ke alam rohani. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usah membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian.
Pengertian ilmu tasawuf menurut para ahli:
1.      Al-jurairi, tasawuf adalah memasuki ke dalam segala budi (akhlak) yang bersifat sunni,dan keluar, dari budi pekerti yang rendah.
2.      Al-junaidi, tasawuf adalah yang mematikanmu, dan hak lah yang menghidupknmu.
3.      Amir bun Usman Al-Makki, tasawuf adalah seorang hamba  yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
4.      Muhammad Ali Al-Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia.
5.      Syamnun, menyatakan tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
b.       Ciri umum tasawuf:
Karena sulit memberikan definisi yang lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani (peneliti tasawuf) tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya Madkhal ila At-Tashawuf  Al-islami (pengantar ke Tasawuf islam). Menurutnya,secara umum, tasawuf  mempunyai lima ciri umum, yaitu memiliki moral,pemenuhan fana(sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT.
Tasawuf bertujuan memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari tuhan. Hubungan tersebut mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat tuhan. Kesadaran menuju kontak komunikasidan dialog antar roh manusia dan tuhan. Dengan cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaan nya yang dekat dengan tuhan akan membentuk ittihad (bersatu) dengan tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “sufisme”, baik pada agama islam maupun diluarnya.
Tasawuf beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi), dalam bentuk “tasawuf amali” kemudian “tasawuf falsafi”. Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Ada perasaan benar –benar berada di hadirat tuhan. Para suffi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
.
c.        Dasar-dasar tasawuf dalam Al-qur’an:
Dewasa ini, kajian tantang tasawuf semakin banyak diminati orang. Sebagai bukti, misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tentang tasawuf yang banyak kita temui telah mengisi berbagai perpustakaan terutama di negara-negara yang berpenduduk muslim,juga negara-negara barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnyaadalah nonmuslim. Ini menjadi salah satu alasan tingginya keterkaitan mereka terhadap tasawuf.
Adapun untuk kecenderungan kedua, mengisyaratkan bahwa kajian tasawuf menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan , boleh jadi, hanya berfungsi sebagai sebuah pengayaan keilmuan,  ditengah keilmuan- keilmuan lain yang berkembang di dunia.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proporsional dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf yang makin banyak menarik peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang kuat, disamping untuk memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tesis ini dapt diterima, jelas dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam kemasan yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf itu sendiri. Untuk melihat dasar-dasar tentang tasawuf.
  Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf menurut Harun Nasution ketika beliau mempelajari tasawuf ternyata di dalam Al-Qur’an dan Hadis juga mementingkan akhlak. Dalam  Al-Qur’an dan Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, murah hati, sabar, baik sangka, berkata benar, bersih hati, berani, kesucian, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikir lurus. Diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah sangat diutamakan, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya. Di mana yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa sendiri berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang hal yang buruk. Inilah yang dimksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagian besar pembicaraan tasawuf berkaitan dengan pengetahuan tentang ketuhanan tetapi tidak dengan jalan ilmu dan pembuktian ilmiah tetapi, dengan jalan penyasian esoteri. Ini  berarti bahwa hati manusia harus berfungsi sebagai cermin yang bersih sehingga dapat menangkap hakikat dan mengikap tirai. Dengan cara itu, hati seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asmanya dan sifat-sifatnya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian perintah allah dan juga melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur'an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma'ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau  al-attishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Antara Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf memiliki hubungan yang berdekatan. Pengertian ilmu tasawuf adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa.
Tujuan Ilmu Tasawuf itu sendiri adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji dan tujuan lainnya adalah membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Pada dasarnya bertasawuf adalah melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjutr dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran dan al-Hadits menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialisasian, rasa keadilan, tolong-menolong, murah hati, berani, kesuian, hemat, dan lain sebagainya. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seseorang muslim dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil. Jadi hubungan antara Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf dalam Islam ialah bahwa akhlak merupakan pangkal tolak tasawuf, sedangkan tasawuf adalah esnsi dari akhlak itu.

3.      Ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan (tarbiyah)
   Hakikat pendidikan adalah menyiapkan dan mendampingi seseorang agar memperolah kemauan dalam menjalani kesempurnaan. Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya. Semula anak belum tau perhitungan, setelah memasuki dunia pendidikan sedikit banyak mengetahui. Kemudian dengan bekal ilmu tersebut, mereka memiliki ilmu luas dan diterapkan ke hal tingkah laku ekonomi. Begitu pula apabila, siswa diberi pelajaran “akhlak” maka memberitahu bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya (tuhan). Dengan demikian, strategi sekali dikalangan pendidikan dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. Maka dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan, untuk bisa dijadikan agent perubahan sifat dan perilaku manusia. Ilmu pendidikan dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Ahmad D.Marimba mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendidikan dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan orang tua dirumah, guru di sekolah serta pimpinan tokoh masyarakat di lingkungan. Semua lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak untuk meciptakan akhlak yang baik bagi generasi bangsa. Kebutuhan manusia terhadap pendidikan beragam seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia yang membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatan fisiknya, yang membuutuhkan pendidikan etika agar menjaga tingkah lakunya, ia butuh pendidikan akal agar jalan pikirannya sehat, ia membutuhkan pendidikan ilmu agar memperoleh ilmu-ilmu yang bermanfaat, ia membutuhkan pendidikan disiplin ilmu tertentu agar dapat mengenal alam ia membutuhkan pendidikan social agar membawanya mampu bersosialisasi ia membutuhkan pendidikan agama untuk memmbimbing roh nya menuju allah SWT: ia membutuhkan pula pendidikan akhlak agar prilakunya searah dengan prilaku yang baik.pendidikan akhlak merupakan benang perekat yang merajut semua jenis pendidikan ditas dengan kata lain semua jenis pendidikan diatas harus nunduk pada kaidah-kaidah akhlak.
4.      Ilmu akhlak dengan akidah dan ibadah
Islam telah menghubungkan secara erat antara akidah dan akhlak. Dalam islam, akhlak bertolak dari tujuan-tujuan akidah. Akidah merupakan barometer bagi perbuatan, ucapan, dengan segala bentuk interaksi sesama manusia. Berdasarkan terangan al-qur’an dan as-sunnah, iman kepada allah SWT menuntut seseorang memliki akhlak terpuji. Sebaliknay akhlak tercela membuktikan ketidak adaan iman tersebut. Berikut ini akan di kemukakan beberapa contoh tentang pengukuran kadar iman seseorang dengan akhlak terpujinya.
Keterkaitan antara ahlak dan aqidah dapat didlihat ketika allah mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia. Ketika al-qur’an menyuruh berlaku adil, sebelunya ia menyebutkan tentang iman. Allah yang artinya ”wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencanmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu unntuk beraku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dejat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada allah, sungguh allah maha teliti apa yang kamu kerjakan”
      Dalam hadits lain rasulullah bersabda yang artinya: “kebaikan itu berakhlak baik”
Iman tidak cukup sekedar disimpan dalam hati, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatan nyata dan amal soleh. Hanya iman yang melahirkan amal soleh lah yang dinamakan iman sempurna. Akhlak mulia merupakan mata rantai keimanan. Contohnya: rasa malu berbuat jahat merupakan salahsatu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya yang artinya “malu adalah cabang iman”
Sebaliknya, akhlak buruk adalah yang menyalahi prinsip keimanan. Sekalipun suatu perbuatan pada lahirnya baik, tetapi jika titik tolaknya bukan keimanan, perbuatan tersebut tidak dapat penilaian di sisi allah.
Adapun kaitan ilmu akhlak dan akidah dapat dijeaskan bahwa tujuan akhir ibadah adalah keluhuran akhlak. Ibadah terpenting yang disyariahkan islam dan yang paling pertama dihisab pada hari kiamat adalah solat. Hikmah di syariatkannya solat adalah menjauhi perbuatan keji dan munkar.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas kami sebagai penyaji memberikan simpulan sebagai berikut:
1.        Ilmu akhlak dengan filsafat juga saling berkaitan. Dengan adanya filsafat yang mengkaji sesuatu secara mendalam akan memudahkan dalam mendalami ilmu akhlak. Dengan kata lain akhlak dapat dijadikan sebagai objek kajian dalam filsafat.
2.       Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf itu saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal ini tampak pada nilai-nilai yang sama dalam hal takwa kepada sang pencipta.
3.       Ilmu Akhlak dan Ilmu pendidikan sangat erat hubungannya, dimana ilmu pendidikan dijadikan sebagai media transfer ilmu akhlak, sehingga terciptanya akhlak yang baik bagi generasi penerus bangsa.
4.       Ilmu akhlak dengan ilmu akidah dan ibadah sangat erat hubungannya  bahwa akhlak bertolak dari tujuan-tujuan akidah.













DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rusihon, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia.
Salim.A.Hadji, 1967, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir, dan Tawakal. Jakarta:
            Cintamas.
Mustofa, 2014, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar