BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada
hakikatnya setiap ilmu pengetahuan antara yang satu dengan yang lainnya itu
saling berhubungan. Akan tetapi hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan,
pertengahan, bahkan ada pula yang jauh.
Pada
pembahasan kali ini kita akan mengkaji bersama tentang ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan ilmu akhlak, yaitu diantaranya ilmu tasawuf, ilmu tauhid,
ilmu jiwa, ilmu pendidikan, filsafat, sains modern, dan yang berkaitan dengan
keimanan.
Konsep
akhlakul karimah adalah konsep hidup yang lengkap dan tidak hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan alam
sekitarnya, tetapi juga terhadap penciptanya. Allah menciptakan ilmu
pengetahuan bersumber dari Al-Qur’an. Namun tidak semua orang mengetahui atau
percaya akan hal itu. Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia dalam
menggali ilmu-ilmu yang ada dalam Alqur’an itu sendiri. Oleh karena itu
permasalahan hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu lainnya ini diangkat,
yakni keterkaitan antara akhlak Islam
dan ilmu berdasarkan Ilmu Hadis.
B. Rumusan masalah
1) Bagaimanakah hubungan ilmu
Akhlak dengan Ilmu Filsafat?
2) Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf?
3) Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan?
4) Bagaimanakah hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Akidah dan Ibadah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat
a.
Arti kata
filsafat
Adapun arti kata filsafat atau
falsafah itu pada asalnya kata pinjaman dari pada bahasa gerik-purba atau
Yunani dibentuk menurut tata bahasa Arab (saraf). Asalnya merupakan kata
rangkaian, terdiri daripada kata phielin
artinya gemar atau suka dan kata sophia
artinya pengetahuan(ilmu). Dengan semudah-mudahnyakata itu dapat kita bahasa
indonesiakan dengan misalnya: ingin-tahu atau suka-tahu. Tapi salinan itu
sungguh pun jelas dan boleh pula dikatakan tegas, tidak terasa tepat. Rasanya
tawar atau dangkal; tidak sama rasanya dengan kata filsafat dalam istilah.
Maknanya amat mendalam dan nilainya
amat meninggi. Bagiannya yang pertama menaikan makna keinginan itu ketingkat
yang menyamai ‘asyik disertai hasrat’, tak kurang daripada cinta asmara. Tak
mau puas, tak senang diam, jika tidak mencapai, mendapat pokok tujuannya dengan
sepenuhnya. Dan poko tujuan itu, dalam bagian kedua kata itu, telah beroleh
makna,, pengetahuan yang sempurna sepenuh-penuhnya, yang dapat dicapai dengan
pemeriksaan teliti dan dengan pikir sedalam-dalamnya dan selanjut-lanjutnya
tentang kenyataan yang sebenarnya, sehingga mencapai tingkat tahu-kenal dan
tahu-pandai.
Tahu dengan makna yang amat cukup
itu ialah yang dinamakan ma’rifat, dan kenyataan yang sebenarnya itu ialah yang
dinamakan hakekat. Maka dapatlah kita makna kan filsafat dengan : “hasrat
kepada ma’rifat hakekat”. Dan dengan seluas luas nyadapatlah kita terangkan
filsafat itu sebagai hasil daripada pikir yang sedalam-dalam dan
selanjut-lanjutnya tentang masalah yang penting berkenaan dengan wujud, asal,
guna dan nilai tiap-tiap benda dan tiap-tiap peristiwa dalam keadaan.
Semata-mata karena hasrat dan ma’rifat belaka dan disamping itu hasrat akan
pengertian yang yakin tentang kelakuan yang sebaik-baiknya, dalam segala hal
ihwal kehidupan bagaimana pun juga, yang sesuai dengan ke ikhlasan niat yang
utama semata-mata karena hasrat akan kebajikan.
b.
Bahan filsafat:
Adapun yan menjadi bahan bagi
filsafat adalah dua perkara: pertama, dalam keadaan yang kita hidup
ditengah-tengahnya. Kedua, pendapat akal yang kita bentuk didalam pikiran kita.
Maka bagian filsafat yang
mendapatkan pengetahuan daripada pemeriksaan alam keadaan itu dengan
menggunakan pancaindra, yaitu alat dinamakan filsafat akal.
Periksa kita yang lima: pelihat (mata),
pendengar (telinga), perasa (kulit), pembau (hidung), dan pengecap (lidah)
dinamakan filsafat alam. Dan bagian filsafat yang mendapatkan pengetahuan dari
budi pikiran atau akal kedua “taikat” itu perlu dipakai bersama-sama hasil
filsafat alam menambah jumlah pengetahuan dan menjadi ujian pendapat akalnya,
oleh karena pendapat akal tidak mungkin bertentangan dengan kenyataan yang
terbukti dengan pasti didalam alam, sebagai hasil periksa selidik dan teliti,
atau sebagai pengalaman dalam filsafat alam.
Sebaliknya filsafat akal menjadi
ujian pula bagi pendapat-pendapat filsafat alam. Periksa, selidik dan teliti
dilakukan dengan alat anggota dan alat perkakas buatan tidak ada yang mencapai
tingkat sempurna dan yang ada tidak pasti selamat semata-mata daripada salah
dan keliru. Oleh karena itu didalam alam keadaan masih terlalu amat banyak yang
luput daripada pemeriksaan manusia. Dengan tiap kemajuan pendapat, pengetahuan
dan pendapat tiap kali pula terbukti, bahwa masih sangat banyak yang belum
dapat dicapai dengan pemeriksaan manusia,dibalik segenap jumlah yang sudah
diketahui.
Disitulah tempat himpunan antara filsafat alam (dengan makna alam
kejadian atau alam tabiat) yang dinamakan physic (sebutan fisik), dengan alam
akal yang pada hakekatnya masih bersifat alam tabiat juga oleh hubungannya
dengan otak-benak,alat pemikir manusia, tapi tidk berupa benda yang dapat
diukur,ditakar, ditimbang dengan alat pemeriksaan kebendaan dan kejasmanian
(mengenai batang tubuh dengan segala anggota dan a;atnya dan hajat kebutuhan
kehidupannya) daripada alam tabi’at. Maka dinamakanlah lanagan atau metaphysica
(sebutan metafisik) dalam ilmu filsafat. (bahasa arabnya: ‘aqliyah).
Filsafat merupakan upaya berfikir mendalam, radikal,
hingga ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti
atau hakikat mengenai segala sesuatu yang sedang dikaji. Diantara obyek yang
erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah manusia.
Para
filosof muslim seperti ibnu sina mengatakan kalau jiwa manusia itu merupakan
satu unit tersendiri dan memiliki wujud yang terlepas dari badan. Dan
sesungguhnya jiwa manusia itu tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, namun untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir maka jiwa masih berhajat pada
badan. Karena pada awalnya badanlah yang membantu jiwa manusia untuk berfikir.
Pemikiran dari ibnu sina ini memberi petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat
terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi
konsep ilmu akhlak. Sedangkan menurut Al-ghazali manusia itu terbagi atas 3
golongan. Pertama kaum awam, yaitu
orang yang berfikiran sederhana sekali. Kedua kaum pilihan, yang mempunyai akal
tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga
kaum penengkar. Pendapat Al-ghazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan
cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan daya tangkap
mereka. Dengan pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode
dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Selain itu, filsafat
juga membahas tentang Tuhan, alam, dan makhluk lainnya. Sehingga dengan
filsafat akan lebih memudahkan dalam mendalami ilmu akhlak.
2.
Ilmu akhlak
dengan ilmu tasawuf
a.
Pengertian
tasawuf secara istilah
Pengertian tasawuf secara
istilah,telah banyak di formulasikan oleh para ahli yang satu sama lain berbeda
sesuai dengan seleranya masing-masing. Adapun yang berpendapat bahwa Tasawuf
adalah aspek ajaran islam yang paling penting karena peranan tasawuf merupakan
jantung atau urat nadi pelaksanaan ajaran-ajaran islam. Tasawuf inilah yang
merupakan kunci kesempurnaan amaliah ajaran islam. Tasawuf juga dapat dikatakan
sebagai jalan spritual dan merupakan dimensi batin. Dengan demikian, jelas
bahwa tasawuf sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral
serta tingkahlaku yang merupakan substansi islam. Hakikat tasawuf adalah
perpindahan sikap mental, keadaan jiwa dari suatu keadaan pada keadaan lain
yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih sempurna, suatu perpindahan dari alam
kebendaan ke alam rohani. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu
yang mempelajari usah membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari
jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian.
Pengertian ilmu tasawuf menurut para ahli:
1. Al-jurairi, tasawuf adalah memasuki ke dalam segala budi (akhlak) yang bersifat
sunni,dan keluar, dari budi pekerti yang rendah.
2. Al-junaidi, tasawuf adalah yang mematikanmu, dan hak lah yang menghidupknmu.
3. Amir bun Usman
Al-Makki, tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang
utama.
4. Muhammad Ali
Al-Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia
yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah
kaumnya yang mulia.
5. Syamnun, menyatakan tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu dan tidak
dimiliki sesuatu.
b.
Ciri umum tasawuf:
Karena sulit memberikan definisi
yang lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani (peneliti
tasawuf) tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya Madkhal ila At-Tashawuf
Al-islami (pengantar ke Tasawuf islam). Menurutnya,secara umum,
tasawuf mempunyai lima ciri umum, yaitu
memiliki moral,pemenuhan fana(sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan
intuitif langsung, timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT.
Tasawuf bertujuan memperoleh suatu
hubungan khusus langsung dari tuhan. Hubungan tersebut mempunyai makna dengan
penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat tuhan. Kesadaran menuju
kontak komunikasidan dialog antar roh manusia dan tuhan. Dengan cara bahwa
manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaan nya yang dekat dengan tuhan akan
membentuk ittihad (bersatu) dengan
tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “sufisme”, baik pada agama islam
maupun diluarnya.
Tasawuf beresensi pada hidup dan
berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi),
dalam bentuk “tasawuf amali” kemudian “tasawuf falsafi”. Tujuan tasawuf untuk
bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Ada perasaan benar –benar berada di
hadirat tuhan. Para suffi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan
cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual
kaum sufi.
.
c.
Dasar-dasar tasawuf dalam Al-qur’an:
Dewasa ini, kajian tantang tasawuf
semakin banyak diminati orang. Sebagai bukti, misalnya, semakin banyaknya buku
yang membahas tentang tasawuf yang banyak kita temui telah mengisi berbagai
perpustakaan terutama di negara-negara yang berpenduduk muslim,juga
negara-negara barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnyaadalah nonmuslim. Ini
menjadi salah satu alasan tingginya keterkaitan mereka terhadap tasawuf.
Adapun untuk kecenderungan kedua,
mengisyaratkan bahwa kajian tasawuf menarik untuk dikaji secara
akademis-keilmuan , boleh jadi, hanya berfungsi sebagai sebuah pengayaan
keilmuan, ditengah keilmuan- keilmuan
lain yang berkembang di dunia.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut
menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proporsional
dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf yang makin banyak menarik
peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang kuat, disamping untuk
memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tesis ini dapt diterima, jelas
dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam kemasan yang dilengkapi dengan
dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf itu sendiri.
Untuk melihat dasar-dasar tentang tasawuf.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu
Tasawuf menurut Harun Nasution ketika beliau mempelajari tasawuf ternyata di
dalam Al-Qur’an dan Hadis juga mementingkan akhlak. Dalam Al-Qur’an dan Hadis menekankan nilai-nilai
kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, murah hati, sabar, baik sangka,
berkata benar, bersih hati, berani, kesucian, menepati janji, disiplin,
mencintai ilmu, dan berfikir lurus. Diketahui bahwa dalam tasawuf masalah
ibadah sangat diutamakan, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain
sebagainya. Di mana yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan
takwa sendiri berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya,
yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang hal yang buruk. Inilah yang
dimksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagian besar pembicaraan tasawuf
berkaitan dengan pengetahuan tentang ketuhanan tetapi tidak dengan jalan ilmu
dan pembuktian ilmiah tetapi, dengan jalan penyasian esoteri. Ini berarti bahwa hati manusia harus berfungsi
sebagai cermin yang bersih sehingga dapat menangkap hakikat dan mengikap tirai.
Dengan cara itu, hati seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asmanya
dan sifat-sifatnya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah
ibadah amat menonjol, karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian perintah allah dan juga melakukan
serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain
sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan
akhlak. Ibadah dalam al-Qur'an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat
baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar
ma'ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari
hal-hal yang tidak baik. Tegasnya
orang yang bertakwa adalah orang yang
berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah,
terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam
diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi
akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-attishaf
bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki
Allah.
Antara Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf memiliki hubungan
yang berdekatan. Pengertian ilmu tasawuf adalah ilmu yang dengannya dapat
diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa.
Tujuan Ilmu Tasawuf itu sendiri adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang
tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji dan tujuan lainnya
adalah membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang dapat
menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dengan demikian dalam proses
pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Pada
dasarnya bertasawuf adalah melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa,
zakat, haji, dan sebagainya. Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
lebih lanjutr dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa
Al-Qur'an dan Al-Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran dan al-Hadits menekankan
nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialisasian, rasa
keadilan, tolong-menolong, murah hati, berani, kesuian, hemat, dan lain
sebagainya. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seseorang muslim
dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil. Jadi hubungan antara Ilmu
Akhlak dan Ilmu Tasawuf dalam Islam ialah bahwa akhlak merupakan pangkal tolak
tasawuf, sedangkan tasawuf adalah esnsi dari akhlak itu.
3.
Ilmu akhlak
dengan ilmu pendidikan (tarbiyah)
Hakikat
pendidikan adalah menyiapkan dan mendampingi seseorang agar memperolah kemauan
dalam menjalani kesempurnaan. Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya
terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan,
agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya. Semula
anak belum tau perhitungan, setelah memasuki dunia pendidikan sedikit banyak mengetahui.
Kemudian dengan bekal ilmu tersebut, mereka memiliki ilmu luas dan diterapkan
ke hal tingkah laku ekonomi. Begitu pula apabila, siswa diberi pelajaran
“akhlak” maka memberitahu bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku,
bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya (tuhan). Dengan demikian, strategi
sekali dikalangan pendidikan dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang
baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. Maka dibutuhkan beberapa unsur
dalam pendidikan, untuk bisa dijadikan agent perubahan sifat dan perilaku
manusia. Ilmu pendidikan dalam berbagai literatur banyak
berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya
tujuan pendidikan. Ahmad D.Marimba mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang
mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendidikan
dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan orang tua dirumah, guru di sekolah
serta pimpinan tokoh masyarakat di lingkungan. Semua lingkungan ini merupakan
bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat
dilaksanakannya pendidikan akhlak untuk meciptakan akhlak yang baik bagi
generasi bangsa. Kebutuhan manusia terhadap
pendidikan beragam seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia yang membutuhkan
pendidikan fisik untuk menjaga kesehatan fisiknya, yang membuutuhkan pendidikan
etika agar menjaga tingkah lakunya, ia butuh pendidikan akal agar jalan
pikirannya sehat, ia membutuhkan pendidikan ilmu agar memperoleh ilmu-ilmu yang
bermanfaat, ia membutuhkan pendidikan disiplin ilmu tertentu agar dapat
mengenal alam ia membutuhkan pendidikan social agar membawanya mampu
bersosialisasi ia membutuhkan pendidikan agama untuk memmbimbing roh nya menuju
allah SWT: ia membutuhkan pula pendidikan akhlak agar prilakunya searah dengan
prilaku yang baik.pendidikan akhlak merupakan benang perekat yang merajut semua
jenis pendidikan ditas dengan kata lain semua jenis pendidikan diatas harus
nunduk pada kaidah-kaidah akhlak.
4.
Ilmu akhlak
dengan akidah dan ibadah
Islam telah menghubungkan secara
erat antara akidah dan akhlak. Dalam islam, akhlak bertolak dari tujuan-tujuan
akidah. Akidah merupakan barometer bagi perbuatan, ucapan, dengan segala bentuk
interaksi sesama manusia. Berdasarkan terangan al-qur’an dan as-sunnah, iman
kepada allah SWT menuntut seseorang memliki akhlak terpuji. Sebaliknay akhlak
tercela membuktikan ketidak adaan iman tersebut. Berikut ini akan di kemukakan
beberapa contoh tentang pengukuran kadar iman seseorang dengan akhlak
terpujinya.
Keterkaitan antara ahlak dan aqidah
dapat didlihat ketika allah mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia. Ketika
al-qur’an menyuruh berlaku adil, sebelunya ia menyebutkan tentang iman. Allah
yang artinya ”wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencanmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu unntuk beraku tidak adil.
Berlaku adillah karena adil itu lebih dejat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada allah, sungguh allah maha teliti apa yang kamu kerjakan”
Dalam hadits lain
rasulullah bersabda yang artinya: “kebaikan itu berakhlak baik”
Iman tidak cukup sekedar disimpan
dalam hati, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatan nyata dan amal soleh.
Hanya iman yang melahirkan amal soleh lah yang dinamakan iman sempurna. Akhlak
mulia merupakan mata rantai keimanan. Contohnya: rasa malu berbuat jahat
merupakan salahsatu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya
yang artinya “malu adalah cabang iman”
Sebaliknya, akhlak buruk adalah yang
menyalahi prinsip keimanan. Sekalipun suatu perbuatan pada lahirnya baik,
tetapi jika titik tolaknya bukan keimanan, perbuatan tersebut tidak dapat
penilaian di sisi allah.
Adapun kaitan ilmu akhlak dan akidah
dapat dijeaskan bahwa tujuan akhir ibadah adalah keluhuran akhlak. Ibadah
terpenting yang disyariahkan islam dan yang paling pertama dihisab pada hari
kiamat adalah solat. Hikmah di syariatkannya solat adalah menjauhi perbuatan
keji dan munkar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas kami sebagai penyaji
memberikan simpulan sebagai berikut:
1. Ilmu akhlak
dengan filsafat juga saling berkaitan. Dengan adanya filsafat yang mengkaji
sesuatu secara mendalam akan memudahkan dalam mendalami ilmu akhlak. Dengan
kata lain akhlak dapat dijadikan sebagai objek kajian dalam filsafat.
2. Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf itu saling berkaitan
satu sama lain. Dalam hal ini tampak pada nilai-nilai yang sama dalam hal takwa
kepada sang pencipta.
3. Ilmu Akhlak dan Ilmu pendidikan sangat erat
hubungannya, dimana ilmu pendidikan dijadikan sebagai media transfer ilmu akhlak,
sehingga terciptanya akhlak yang baik bagi generasi penerus bangsa.
4. Ilmu akhlak dengan ilmu akidah dan ibadah sangat erat
hubungannya bahwa akhlak bertolak dari tujuan-tujuan akidah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
Rusihon, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia.
Salim.A.Hadji,
1967, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir, dan Tawakal.
Jakarta:
Cintamas.
Mustofa,
2014, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar