Kamis, 05 Januari 2017

‘ULUMUL QURAN




BAB I
MUKADIMAH

A.   Definisi ‘Ulumul Quran
Istilah ‘Ulumul Quran” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu “Ulum” dan “Al-Quran”. Kata ‘Ulum merupakan bentuk jamak dari kata “’ilm”, yamh berarti “ilmu-ilmu”. Istilah “’Ilm” merupakan bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang artinya pemahaman dan pengetahuan sesuai dengan makna dasarnya, yaitu “Al-fahmu wa Al-idrak” (pemahaman dan pengetahuan).
Kata “’ulum” adalah bentuk jamak dari kata”’ilm”, yang berasal dari kata dasar “’alima-ya’lamu-‘ilman”, yang berarti “mendapatkan atau mengetahui sesuatu dengan jelas” atau menjangkau sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya”.
‘Ulumul Quran adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan sengan Al-Quran dari segi asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya AlQuran), pengumpulan dan penerbitan Al-Quran, pengetahuan tentang surah-surah Makkiyah dan Madaniyah, an-nasikh wal mansukh dan sebagainya. Ilmu ini dinamakan juga dengan Ushul Al-Tafsir (dasar-dasar tafsir).
‘Al-Quran menurut ulama ushul fiqih dan ulama bahasa adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang lafaz-lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surah Al-Fatihah sampai An-Nas.
B.    Perkembangan ‘Ulumul Quran
‘Ulumul Quran mulai tumbuh semenjak masa Rasullulah Saw. Beliau adalah mufasir awal, tetapi penafsirannya tidak ditulis (secara resmi) oleh para sahabat. Penafsirannya hanya disampaikan kepada sahabat yang lain dan tabi’in dengan periwayatannya yang dari mulut ke mulut. Ada beberapa sebab mengapa penafsiran Rasullulah, sebagai bagian dari ‘Ulumul Quran, tidak ditulis oleh para sahabat.
1.      Ada larangan dariRrasullulah Saw menulis sesuatu selain Al-Quran, karena dikhawatirkan perhatian para sahabat menjadi terbagi; tidak sepenuhnya kepada AlQuran, padahal penurunan Al-Quran masih berlangsung, atau khawatir tercampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Quran.
2.     Para sahabat merasa tidak perlu menulisnya sebab mereka orang-orang yang dihabit, dan jika ada problem mereka bisa langsung bertanya kepada Rasullulah Saw.
3.     Banyak para sahabat yang tidak pandai menulis.



Pertama kali istilah ‘Ulumul Quran digunakan dan dirintisoleh Ali Ibn Al-Marzuban (309 H) pada abad III. Dilanjutkan oleh Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id Al-Hufni (430 H) pada abad V. Kemudian dikembangkan oleh Ibn Al-Jauzi (597 H) Pada abad VI dan diteruskan oleh Al-Sakhawi (643 H) pada abad VII. Selanjutnya disempurnakan oleh Al-Zarkasyi (794 H) pada abad VIII dan ditingkatkan lagi oleh Al-Bulqini (824 H) dan Al-Kafiyaji (879 H) hingga akhirnya disempurnakan lagi oleh Al-Suyuthy pada akhir abad XI dan awal abad VIII H.



C.   Tema dan Ruang Lingkup ‘Ulumul Quran
Pertama, pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan Nuzul Al-Quran, yaitu:
·       Auqat Al-Nuzul wa Mawathin Al-Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat-ayat yang ditunkan di Mekah yang dinamakan Makkiyah.
·       Asbabun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan sebab-sebab turunnya Al-Quran.
·       Tarikhun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat yang mula-mula diturunkan dalam kaitanh waktunya, yang berulang-ulang diturunkannya, yang terakhir hukumnya dari turunnya, yang turun tidak berurutan, yang turun dalam satu kesatuan, dan lain-lain.
Kedua, pembahsan masalah sanas. Hal ini berhubungan dengan enam macam persoalan    yakni mutawatir, ahad,syadz, beragam qiraat Nabi, para perawi dan huffazh, kaifiyat Al-tahammul (cara penerimaan riwayat).
Ketiga, masalah bacaan (tata cara membaca), yaitu soal waqaf, ibtida’, imalah, madd, men-takhfif-kan (meringankan bacaan) hamzah, idgham dan lain-lain.
Keempat, masalah pembahsan lafaz. Hal ini terkait dengan beberapa soal, yaitu gharib, mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, isti’arah dan tasyibih.
Kelima, masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan hukum.
Keenam, masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan lafaz, yaitu fashl, dan washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.







BAB II
MAKNA DAN NAMA LAIN AL-QURAN

A.   Makna Al-Quran
     
Bila seseorang mendengar kata Al-Quran, ia segera mengetahui bahwa yang dimaksud adalah “kalam Allah” atau kalamullah subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw; membacanya ibadah, susunan kata dan isinya merupakan mukjizat, termaktub didalam mushaf dan dinukil secara mutawatir. Dialah sang Maha Esa yang memberi nama kitab suci agama Islam Al-Quran sejak ayat pertamanya turun, yaitu :

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)


Bacalah dengan menyebeut Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-‘Alaq [96]: 1)
B.    Nama-nama lain Al-Quran
Ibnu Abd Al-Malik menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk memberi nama-nama lain Al-Quran diantaranya:
1.     Kitab (Ad-Dukhan, ayat 1 dan 2)
2.     Quran (Al-       Waqi’ah, ayat 77)
3.     Kalam (At-Taubah, ayat 6)
4.     Nur (An-Nisaa’, ayat 174)
5.     Hudan (Luqman, ayat 3)
6.     Rahman (Yunus, ayat 58)
7.     Furqan (Al-Furqan, ayat 1)
8.     Syifa’ (Al-Isra’, ayat 82)
9.     Maw’izhah (Yunus, ayat 57)
10. Dzikra (Al-Anbiya’, ayat 50)
11. Karim (Al-Waqi’ah, ayat 77)
12. Ali (Al-Zukhruf, ayat 41)
13. Hikmah (Al-Qamar, ayat 5)
14. Hakim (Yunus, ayat 1 dan 2)
15. Muhaymin (Al-Maidah, ayat 48)
16. Mubarak (Shad, ayat 29)
17. Habl (Ali Ilmran, ayat 103)
18. Shirath (Al-An’am, ayat 153)
19. Al-Qayyim (Al-Kahfi, ayat 1 dan 2)
20. Fadhla (At-Tharikh, ayat 13)


























BAB III
RASULLULAH MENERIMA WAHYU

A.   Cara Turunnya Wahyu
Allah SWT Berfirman dalam surat As-Syura, ayat 51 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْياً أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

Dan tidak terdapat bagi seseorang manusia bahwa Allah bercakap-cakap kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari balik hijab, atau Dia mengirim utusan lalu mewahyukan dengan izin-Nya (QS As-Syura [42]: 51)
      Menurut ayat ini, untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya, Allah berkomunikasi dengan manusia dengan tiga cara.
      Pertama, mwlalui wahyu. Wahyu ini memiliki beberapa pengertian seperti:
1.     Isyarat
2.     Bisikan
3.     I’lam (memberi insting)
4.     Ilham
Kedua,   cara lain Allah berkomunikasi dengan manusia (menurut surah Al-Asyura ayat 51) dari balik hijab. Maksudnya, Allah SWT berkomunikasi langsung kepada para Nabi-Nya tanpa perantara seperti yang terjadi ketika Rasullulah Saw mengalami peristiwa Isra Miraj.
Ketiga, dengan mengirim utusan. Cara inilah yang sering terjadi, dimana Allah mengutus Malaikat Jibril untuk memyampaikan wahyu kepada para nabi.
B.    Ayat Pertama Dan Terakhir Turun
Penulis kitab Manahil Al-‘Irfan melihat sedikitnya ada tiga faedah yang dapat dipetik dari mengetahui hal seperti ini, yaitu sebagai berikut.
1.     Untuk membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
2.     Untuk mengetahui m’Tarikh Tasyri’. Artinya, perjalanan sejarah penetapan hukum islam dapat ditangkap secara lebih jelas dengan mengetahui hal ini.
3.     Untuk dapat mengikuti secara pasti perjalanan turunnya Al-Quran yang berangsur-angsur.
















BAB IV
NUZUL AL-QURAN

A.   Definisi dan Waktu Nuzul Al-Quran
Nuzul Quran terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Quran. Nuzul berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Nuzul juga berarti singgah atau tiba ditempat tertentu.
Didalam hubungannya dengan pembahsan Nuzul Al-Quran, kata Syekh Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mahabitsi ‘Ulum Al-Qurannya, yang dimaksud dengan Nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah tidak lain adalah Al-Quran.
Didalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang mengatakan bahwa Al-Quran turun:
1.     Pada bulan Ramadhan
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Pada bulan Ramadhan dimana ditunkan Al-Quran QS  Al-Baqarah [2]: 185)
2.     Pada malam yang diberi berkah
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ




Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) dimalam yang diberi berkah (QS Al-Dukhan [44]: 3)
3.     Pada malam Al-Qadar
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١)

Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) dimalam Al-Qadar. (QS Al-Qadar [97]: 1)
Menurut tiga ayat diatas, Al-Quran turun sekaligus pada bulan Ramadhan dimana terdapat malam Al-Qadar, suatu malam yang penuh berkah. Dengan demikian, apabila kita memperingati Malam Nuzul Al-Quran, maka nuzul (turun) yang dimaksud bukan nuzulnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw. Karena kenyataan sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad menerima ayat-ayat Al-Quran bukan sekaligus, tetapi beliau menerimanya secara berangsur-angsur lebih dari 20 tahun.
B.    Asbab Nuzul
Dipandang dari segi peristiwa nuzulnya, ayat Al-Quran ada dua macam. Pertama, ada yang diturunkan tanpa ada keterkaitannyadengan sebab tertentu, semata-mata sebagai hidayah bagi manusia. Kedua, ayat Al-Quran diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu.
C.   Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Beberapa pakar ‘Ulumul Quran mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Hal ini merupakan suatu hal yang keliru tentang Asbab Nuzul dalam mrmahami Al-Quran. Ada beberapa faedah yang dapat memahami Asbab Nuzul untuk memahami Al-Quran diantaranya:
Ø Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menagkap ayat-ayat Al-Quran.
Ø Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
D.   Cara Mengetahui Asbab Nuzul
Asbab Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada jaman Rasullulah Saw. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengambil sumber dari orang yang menyaksikan peristiwa dalam hal ini, riwayat para sahabat Rasullulah Saw yang mendengar dan menyaksikan kejadian yang berhubungan dengan turunnya ayat tertentu.




























BAB V
TUJUH HURUF AL-QURAN

Persoalan tentang Al-Quran yang diturunkan dengan “tujuh huruf” ini sulit dibantah. Menurut pakar dibidang ini, riwayat “tujuh ayat” dinyatakan kuat. Narasumbernya adalah para sahabat terkemuka dengan jumlah yang cukup banyak. Menurut Amir Abdul Aziz, jumlahnya sekitar 40 orang.
Diantaranya yaitu Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al-Yamani, Zaid bin Arqam, Samurah bin Jundad, Abdullah nin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah Al-Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, Umar bin Khaththab, Mu’adz bin Jabal, dan Hisyam bin Hakim.
Celah-celah untuk membantah tujuh huruf yang dengannya Al-Quran diturunkan, boleh dibilang tertutup. Dalam waktu yang bersamaan, tidak ada informasi yang menunjuk kepastian “wujud” dari tujuh huruf itu. Tak ada satu pun riwayat yang memberi kejelasan huruf yang dimaksud Rasullulah Saw. Oleh karena itu, sekalipun para ulama sepakat Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, mereka berbeda pendapat mengenai hakikat tujuh huruf itu. Persilangan pendapat para ulama mengenai “tujuh huruf ini begitu tajam, Jumlah pendapatnya pun banyak sekali. Misalnya sebagai berikut :
1.     Bahwa tujuh huruf yang dimaksud hadis-hadis di atas tidak akan mungkin ditangkap hakikat atau maksudnya oleh manusia. Sebabnya, hakikat tujuh huruf itu tidak mungkin diinterpresentasikan sebagai huruf hija’iyah, kalimat atau arah. Padahal dari segi bahasa, tidak dikenal pengertian lain, kecuali tiga makna yang disebut diatas.
2.      Bahwa yang dimaksud tujuh huruf itu bukan hakikat bilangan, melainkan Al-tahsil, Al-tasyir (kemudahan) dan Al-sa’ah (keleluasaan, kelapangan)
3.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat
4.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tempat terjadinya perubahan. Ketujuh tempat dijelaskan dibawah ini.
Ø Kata yang berubah harakatnya, sementara bentuk tulisan dan maknanya tetap tidak berubah.
Ø Kata yang berubah maknanya karena perubahan kedudukan tata bahasa, sementara bentuk tulisannya tak berubah.
Ø Kata yang mengalami perubahan makna karena berubahnya huruf, tetapi bentuk tulisannya tetap.
Ø Kata yang bentuk tulisan dan maknanya mengalami perubahan.
Ø Perubahan susunan kalimat dengan taqdim(mendahulukan)dan ta’khir (mengakhirkan).
Ø Per4bedaan yang didalam lahjah (logat) yang terjadi pada fathah, imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgam, dan lain-lain.
5.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam kalam didalam Al-Quran yang satu sama lainnya berbeda.
6.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh lafaz yang berbeda, tetapi mempunyai pengertian yang sama.
7.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh istilah.
8.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tata cara dan mengucapkan, seperti pada masalah-masalah berikut; idgam, izhar, tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad dan qashr.
9.     Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh logat pada tujuh kabilah Arab. Menurut penganut mazhab ini, bukan berarti satu huruf bias tujuh macam, tetapi tujuh logat bahasa Arab yang digunakan oleh kabilah-kabilah Arab digunakan dalam bahasa Al-Quran. Sebagian ayat-ayat Al-Quran, menurut penganut haluan ini, diturunkan dengan logat kabilah Quraisy. Sementara sebagian lainnya dengan logat Hudzail. Ada pula yang dengan logat Tamim, Adz, Rabi’ah dan Hawazin.
BAB VI
MAKKIYAH DAN MADANIYAH

A.   Definisi Makkiyah dan Madaniyah
Studi tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sesungguhnya tidak lebih dari memahami pengelompokan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Dalam hubungan ini, sekurang-kurangnya ada tiga definisi (ta;rif) yang sering dikemukakan para pakar di bidang ini, yaitu:
1.     Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Quran yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah.
2.     Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah sekalipun turunnya ayat itu setelah hijrah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah.
3.     Makkiyah adalah ayat-ayat yang khitbah-nya ditujukan kepada penduduk Mekah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang khitbah-nya ditujukan kepada penduduk Madinah.
Dari pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah sekurang-kurangnya akan didapati tiga faedah.
Pertama, mengetahui ayat-ayat mana saja yang nasikh dan ayat-ayat mana saja yang mansukh bila terlihat adanya dua ayat yang berbeda pesan.
Kedua, bahwa makna dan pesan yang dikandung ayat tertentu sering kali berkaitan dengan sebab tertentu pada kasus dan tempat kejadian tertentu pula. Dengan adanya klasifikasi ini, usaha memahami ayat Al-Quran secara benar akan terbantu kekeliruan akan dapat ditekan sekecil apapun.
Ketiga, bahwa kehidupan Rasullulah Saw adalah uswah hasanah, suri teladan bagi setiap mukmin. Dengan melihat ayat-ayat yang turun di Mekah dan Madinah, akan diketahui pendekatan pembinaan pribadi maupun masyarakat mukmin yang dilakukan Al-Quran.
B.    Cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Ciri-ciri surat Makkiyah:
Ø Terdapat kata kalla disebagian besar atau seluruh ayatnya.
Ø Terdapat sujud tilawah disebagian atau seluruh ayat-ayatnya.
Ø Diawali dengan huruf tahijji seperti qaf, nun, dan hamim.
Ø Memuat kisah Adam dan iblis (kecuali surat Al-Baqarah)
Ø Memuat kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
Ø Didalamnya terdapat khithab (seruan) kepada semua manusia m(wahai semua manusia)
Ø Meneru dengan kalimat “Anak Adam”.
Ø Isinya member penekanan pada masalah aqidah.
Ø Ayatnya pendek-pendek.

C.    Ciri-ciri surah Madaniyah:
Ø Terdapat kalimat “orang-orang yang beriman” pada ayat-ayatnya.
Ø Terdapat hokum-hukum faraidh, hudud, qishahsh dan jihad didalamnya.
Ø Menyebut “orang-orang munafik” (kecuali Al-Ankabut)
Ø Memuat bantahan terhadap Ahlu Al-kitab (Yahudi dan Nasrani)
Ø Memuat hokum syara’, seperti ibadah, mu’amalah dan Al-ahwal Al-syakhshiyah.
Ø Ayatnya panjang-panjang.

Ada suatu hal yang perlu diingat, bahwa surat Makkiyah dan Madaniyah. Bisa jadi surat yang diklasifikasikan Makkiyah terdapat ayat-ayat Madaniyah. Begitu pula sebaliknya.
D.   Surah-Surah yang Turun di Mekah dan Madaniyah
Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran menulis bahwa surat-surat yang turun di Mekah berjumlah 83 surat sedangkan di Madinah sebanyak 28 surat.
E.    Ayat-Ayat yang Turun di Mekah dan Hukumnya Madaniyah
Ayat-ayat yang turun di Mekah dan hukumnya Madaniyah adalah sebagai berikut.
Ø Ayat 13 surah Al-Hujurat.
Ø Ayat 13 sampai dengan 5 surah Al-Maidah.
Ø Ayat 13 surah Al-Hujurat, turun pada waktu Fathu Mekah. Ayat ini dinyatakan Madaniyah karena turun sesudah hijrah, dan tiga surah Al-Maidah, yakni ayat 3, 4, dan 5 turun pada hari Jumat. Kala itu umat Islam sedang wuquf di Padang Arafah dalam peristiwa Haji Wada’. Haji ini dilaksanakan Rasullulah Saw setelah beliau berhijrah. Maka, ketiga ayat diatas diklasifikasikan sebagai ayat-ayat Madaniyah kendati pun turun di Arafah dan seperti diketahui Arafah adalah kawasan disekitar Mekah.
F.    Ayat-Ayat yang Turun di Madinah, dan Hukumnya Makkiyah
Ø Al-Mumtahanah
Surah Al-Mumtahanah turun ketika Rasullulah Saw hendak berangkat menuju Mekah menjelang Futuh Mekah. Ini terjadi setelah hijrah.
Ø Ayat 41 surah An-Nahl
Ø Awal surah At-Taubah sampai dengan ayat 28. Ayat-ayat ini sesungguhnya Madaniyah, tetapi khithab-nya ditujukan kepada penduduk Mekah.

G.   Makkiyah Mirip Madaniyah
Pada pemahasan terdahulu disinggung kasus ayat 32 surah An-Najm. Disana ada kata “kayaaira” yang statusnya bias jadi membingungkan banyak orang karena hampir semua ulama mendefinisikannya sebagai “Pelanggaran hokum yang mengakibatkan had”. Padahal sebelumnya Rasullulah Saw meninggalkan Mekah menuju Madinah untuk berhijrah, hukuman itu belum dikenal.
H.   Madaniyah Mirip Makkiyah
Didalam kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran hanya ada tiga ayat Madaniyah yang mirip Makkiyah yaitu.
Ø Ayat 17 surah Al-Anbiya’, yang turun sehubungan dengan kedatangan delegasi kaum Nasrani Najran.
Ø Ayat 1 surah Al-A’diyat.
Ø Ayat 32 surah Al-Anfal.
I.     Ayat-Ayat yang Turun Pada Malam Hari
Kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran dan kitab milik Amir Abdul Aziz menyebutkan ada surah yang diturunkan pada malam hari diantaranya.
Ø Ayat 1 surah Al-Hajj. Ayat ini turun ketika terjadi peperangan Bani Al-Mushthaliq
Ø Ayat 67 surah Al-Maidah
Ø Ayat 56 surah Al-Qashash
Ø Ayat 190 sampai dengan surah Ali Imran
Ø Surah Al-An’am
Ø Surah Maryam
J.     Ayat-Ayat yang Turun Pada Musim Dingin
Ø Aisyah, menurut catatan kitab Dirasat fi’Ulum Al-Quran mengatakan bahwa ayat 11 surah Al-Nur yang sabab nuzulnya berkaitan dengan dirinya diturunkan pada musim dingin.
Ø Ayat 9 surah Al-ahzab.Khudzaifah meriwayatkan, pada malam Al-Ahzab, orang-orang berpencar dengan Rasullulah Saw kecuali 12 orang. Rasullulah Saw dating dan mengatakan kepada mereka “Bangkitlah dan berangkatlah ke Al-Ahzab”.
K.   Ayat-Ayat yang Turun di Perjalanan
Ø Ayat 281 surah Al-Baqarah, turun di Mina pada tahun terjadi Haji Wada.
Ø Ayat 58 surah Al-Nisa’. Ayat ini turun kepada Nabi Muhammad pada hari futuh saat beliau berada di Ka’bah.
Ø Ayat 176 surah Al-Nisa’.
Ø Ayat 3 surah Al-Maidah, turun di Arafah pada waktu Haji Wada.
L.    Ayat-Ayat yang Turun Musyayya’
Musyayya’ artinya diiringi, dikawal, dan diantar. Ada beberapa ayat Al-Quran yang ketika turun dikawal sejumlah malaikat sebagai penghormatan. Ayat-ayat yang ketika turun diperlakukan seperti itu disebut, “ayat musyayya”. Ayat-ayat atau surah-surah tersebut adalah:
Ø Al-Fatiah, surah ini ketika turun dikawal 30.000 malaikat.
Ø Ayat Kursi, ketika turun dikawal 30.000 malaikat.
Ø Surah Yunus, surah ini ketika turun dikawal 70.000 malaikat.
Ø Surah Al-An’am, dikawal 20.000 malaikat.
Ø Ayat 45 surah Al-Zukhfur, turun dikawal 20.000 malaikat.









BAB VII
PENULISAN AL-QURAN

Orang Mesir Kuno, menurut Syekh Abu Abdullah Al-Zanjani, mempunyai tiga macam jenis tulisan, yaitu tulisan Hieroglif, Herotik dan Demotik. Heiroglif adalah tulisan yang dipakai khusus oleh par apemeluk agama. Sementara yang kedua (Herotik) adalah jenis tulisan resmi yang dipakai dikantor-kantor pemerintahan, sedangkan yang ketiga (Demotik) digunakan oleh masyarakat umum. Dari ketiga jenis tulisan tersebut, Demotik dianggap sebagai bagian penting dari cikal bakal khat (tulisan) Arab.
A.   Tradisi Hafalan Al-Quran
Menurut Dr. Shubhiy Shalih dalam Mabahits fi’Ulum mempunyai dua pengertian, yaitu Al-hifzhu (menghafal) dan Al-kitabah, yakni menulis Al-Quran pada benda-benda yang dapat ditulis.
Rasullulah Saw pernah ditegur Allah Swt karena beliau dinilai terlalul tergesa-gesa. Begitu Jibril dating kepada Rasullulah Saw, beliau sudah tak sabar lagi ingin segera menguasai ayat-ayat yang baru beliau terima dari Jibril. Karena sikap itulah, Allah menasehatkan agar jangan terburu-buru menggerakan lidah.
Jadi, setiap kali menerima wahyu Al-Quran, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat 16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang harus dilalui Rasullulah Saw.
Pertama, tahap penghimpunan Al-Quran dibenak Rasullulah yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat AlQuran. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan dihadapan Rasullulah Saw.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini, Rasullulah Saw diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.
Oleh Karena pesan Al-Quran tidak hanya untuk Rasullulah Saw, tetapi untuk semua orang terutama yang bertaqwa.
Sejumlah sahabat yang menguasai Al-Quran sepenuhnya, mereka adalah sebagai berikut.
Ø Dari kalangan muhajirin : Abu Bakar,Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah,Sa’d, Ibnu Mas’ud, Khudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin Sa’ib, Ibnu Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Amr bin Al-‘Ash dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ø Dari kalangan Anshar : Ubai bin Ka’ab, ABU Darda’, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, ‘Ubadah bin Al-Shamit, Mu’adz alias Abu Hulaiman, Mujamma’ bin Jariah, Fadhalah bin Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad.
B.    Penulisan Al-Quran pada Zaman Rasullulah
Rasullulah Saw. Mengangkat beberapa orang sebagai juru tulis. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasullulah Saw. Mereka adalah Abu Bakar, Utsman, Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka,ab, Tsabit bin Qais dan beberapa sahabat lainnya.
 Para sahabat menulis Al-Quran pada ‘usub (pelepah qurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta) dan aqtab (bantalan dari kayu yang bias dipasang diatas punggung unta). Salah seorang ”juru tulis” wahyu yang mendapat kepercayaan fari Rasullulah Saw. Yaitu Zaid bin Tsabit, menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasullulah menyusun Al-Quran dari riqa’, Aku yang mengumpulkannya dari riqa’, aktaf dan hafalan-hafalan orang”.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampur aduknya ayat-ayat Al-Quran dengan lainnya, misaqlnya hadis Rasullulah Saw., maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Quran. Hal ini bias dilihat dari hadis riwayat Muslim dai Abi Said Al-Khudry yang berbunyi:
“Janganlah kalian tulis dariku selain Al-Quran. Barang siapa yang telah menulis (sumberku) selain Al-Quran supaya menghapusnya”.
C.   Penghimpinan Al-Quran pada Zaman Abu Bakar
Setelah Rasullulah Saw, wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq terpilih menjadi khalifah pertama. Sejak hari-hari pertama sebagai kepala Negara sahabat yang juga mertua Rasullulah Saw. Ini telah diadang sejumlah masalah berat. Satu diantaranya adalah soal murtadnya sujumlah orang dari islam.
Abu Bakar sebagai kepala Negara melihat gerakan Musailamah sebagai bahaya besar. Beliau bertekad gerakan itu, tujuannya menggempur Musailamah dan para pengikutnya yang murtad itu. Pasukan muslimin berhasil melumpuhkan Musailamah dan pengikutnya. Tapi saying, pasukan muslim yang yang dikomandoi oleh Panglima Khalid bin Walid gugur sekitar 700 hafiz Al-Quran. Termasuk diantaranya Zaid Ibn Al-Khaththab, saudara kandung Umar bin Khathab yang mansyur itu.
D.   Penghimpunan Al-Quran pada Zaman Utsman
Penghimpunan Al-Quran pada masa Abu Bakar Al-Shiddiq bias disebut “penghimpunan terpadu”. Gagasan disodorkan oleh Umar. Keputusan diambil oleh kepala Negara. Kemudian dilaksanakan oleh suatu “tim” uang didalam pelaksanaan tugasnya melibatkan masyarakat umum.
Umar yang disebut-sebut sebagai “anggota tim” yang aktif berpesan kepada sahabat-sahabat Rasullulah Saw. Lainnya: “Siapa saja yang pernah mendapatkan sesuatu berupa Al-Quran dari Rasullulah Saw. Agar segera membawanya.” Melihat ucapan ini, seakan-akan semua catatan Al-Quran yang dimiliki oleh sahabat tertentu dapat diterima untuk kemudian dihimpun dalam bentuk mushaf. Seusungguhnya tidak demikian Yang diterima oleh” tim penghimpun Al-Quran” ini hanya catatan yang mempunyai dua “syahid” atau dua saksi. Ketentuan “dua saksi” ini ditetapkan berdasarkan keputusan khalifah Abu Bakar.
E.    Utsman Membakar Mushaf
Utsman melalui “Panitia Empat” yang dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu usha lagi yaitu membakar mushaf lainnya, Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.
Ø Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarakan riwayat ahad.
Ø Mengabaikan ayat yang bacaannya di-nasakh dan ayat tersebut tidak diyakini di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
Ø Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berberda dengan mushaf Utsman.
Ø Sistem penulisan yang digunakan Mushaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Al-Quran ketika turun.
Ø Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nsaikh-mansukh.
Setelah mushaf dipinjam Utsman dari Abu Bakar, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Mushaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat.



BAB VIII
RASM AL-QURAN dan PERKEMBANGANNYA
A.   Kaidah Penulisan Al-Quran
Rasm Al-Quran adalah tata cara menulis Al-Quran yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan.Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah yaitu:
1.     Al-Hadzf yaitu membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.
2.     Al-Ziyadah yaitu penambahan kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani adalah alif, ya dan wawu.
3.     Kaidah Hamzah (berharkat).
4.     Badal.
5.     Washal dan Fashal.
6.     Kata yang bias dibaca dua bunyi.
B.    Pencetakan Al-Quran
Al-Quran cetakan pertama kali muncul di Bunduqiyah, tahun 1530 M. Penerbitan Al-Quran dengan label Islam dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulana Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Leningrad, Uni Soviet, Petersburg, Rusia, sekarang.
Dinegara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Quran di perempatan pertama abad ke 20. Panitia yang dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342H/ 1923 Mberhasil menerbitkan mushaf Al-Quran cetakan yang bagus.






BAB IX
SEKITAR SURAH Dan AYAT

A.   Surah
Dari segi lughawi-nya, surah berarti manzilah atau kedudukan. Arti lainnya adalah syaraf, atau kemuliaan. Menurut definisi yang dikenal dalam hubungannya dengan Al-Quran, surah adalah “kelompok tersendiri dari ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai awal dan akhir.” Abdul Wahhab Abdulmajid Ghazlan mendefinisikan lain. Menurutnya, surah adalah “kelompok tersendiri dari Al-Quran yang terdiri dari sedikitnya tiga ayat.”
Ada empat kelompok surah yang dapat dijadikan pijakan yaitu diantaranya sebagai berikut.
1.     Al-Thiwal yaitu surah yang panjang-panjang.
2.     Al-Mi;un yaitu surah-surah Al-Quran yang ayatnya sekitar 100 ayat.
3.     Al-Matsani yaitu surah-surah yang ayatnya kurang dari seratus ayat. Disebut matsani yang berarti diulang-ulang karena surah ini sering dibaca ulang, lebih dari surah Al-Mi’un atau Al-Thiwal.
4.     Al-Mufashshal yang berarti terputus-putus, karena seringnya terputua. Sebabnya itu surahnya pendek.
B.    Ayat
Bagi Umat Islam, lebih-lebih dalam membahas masalah Al-Quran tak ada sumber yang lebih bernilai ketimbang Al-Quran itu sendiri. Informasi menyangkut jati diri seseorang, misalnya, yang bias dipertanggungjawabkan adalah bila dating dari orang itu sendiri. Saat yang dibahas masalah Al-Quran, makna yang paling tepat menerangkan “jati diri” adalah Al-Quran itu sendiri.
Didalam Al-Quran, terdapat bermacam-macam arti ayat:
Pertama, ayat berarti tanda. Ini bias disimak di dalam surah Al-Baqarah ayat 248 yang berbunyi

Sesungguhnya tanda ia menjadi raja, adalah kembalinya taubat kepadamu.
Kedua, ayat berarti’ibrah atau pelajaran. Dalam surah Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ



Sesungguhnya didalam penciptaan lagit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air. Lalu dengan air itu (Dia hidupkan bumi setelah mati) keringnya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awann yang dikendalikan antara langit dan bumi, syngguh merupakan pelajaran bagi orang yangberakal. (QS Al-Baqarah [2]; 164)
Ketiga, ayat juga berarti mukjizat. :Ayat: dalam pengertian ini dapat dilihat dari surah Al-Baqarah yang berbunyi:
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ (شَدِيدُ الْعِقَابِ  البقرة:٢١١)

Tanyakanlah kepada Bani Israil:”Berapa banyaknya mukjizat yang nyata yang telah Kami berikan kepada mereka?” (QS Al-Baqarah [2]: 211)
Keempat, ayat yang berarti hal aneh. Al-Zurqanain mengartikan kata ayat pada surah Al-Mu’minun, ayat 50 menjadi Al-amru Al-‘ajib. Yakni perkara atau hal aneh.
Dan putra Maryam beserta ibunya adalah hal aneh. Dan lindungi mereka di suatau tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat banyak padang rumputmdan sumber-sumber air bersih yang mengalir (QS Al-Mu’minun [23]: 50).

Al-Zarkany melihat ada tiga faedah mengetahui ayat, yaitu sebagai berikut.
1.     MMengetahui bahwa setiap tiga ayat pendek-pendek pun mengandung mukjizat.
2.     Sebagian ulama mengatakan bahwa berhenti membaca pada setiap akhir surah adalah sunah.Ketetapan ini memang dalil riwayat Abu Daud dari Ummu Salamah yang mengatakan: “Bahwasannya Rasullulah Saw. Bila membaca (Al-Quran) memutus bacaannya demi ayat.”
3.     Didalam khotbah ada keharusan membaca ayat secara utuh. Artinya membaca ayat secara keseluruhan. Tanpa pengetahuan batas-batas ayat, sulit untuk menjalankan ketentuan ini.













BAB X
FAWATIH AL-SUWAR dan KHAWATIM AL-SUWAR

Al-Quran adalah lautan ilmu yang tidak ada habis-habisnya untukdikaji dari berbagai sisi. Bahkan orientasi pun tidak ketinggalan untuk mengetahui rahasia dibalik teks-teks Al-Quran tersebut. Salah satu pengkajian, sekaligus kemukjizatan Al-Quran adalah kajian terhadap kata-kata pembuka dan kata-kata penutup Al=Quran. Surah-surah Al-Quran yang terdiri dari 144 surah, ternyata diawali dengan beberapa macam pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai macam penutup (khawatim Al=suwar). Pembuka dan penutup ini memiliki maksud dan tujuan tetentu yang akan berimplikasi pengungkapan isi suatu surah.
A.   Fawatih Al-Suwar
Istilah “fawatih” adalah jamak dari kata “faith” yang secara lughawi berate pembuka. Sedangkan “suwar” adalah jamak dari kata “surah” sebagai sebutan dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran yang diberi nama tertentu. Jadi “fawatih Al-suwar” berarti pembukaan-pembukaan surah.
Menurut Badruddin Muhammad Al-Zarkasyi, Allah SWT telah memberikan pembukaan terhadap kitab-Nya dengan sepuluh macam bentuk dan tidak ada satupun surah yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu, dintaranya sebagai berikut.
1.     Pembukaan dengan pujian kepada Allah (Al-istiftah bi Al-tsama).
2.     Pembukaan dengan huruf yang terputus-putus (Al-ahruf Al-muqatha’ah).
3.     Pembukaan dengan panggilan (Al-istiftah bi Al-nida).
4.     Pembukaan dengan kalimat berita (Al-istiftah bi Al-jumlah Al-khabariyah).
5.     Pembukaan dengan sumpah (Al-istiftah bi Al-qasam).
6.     Pembukaan dengan syarat (Al-istiftah bil-syarth).
7.     Pembukaan dengan kata kerja perintah (Al-istiftah bi Al-amr).
8.     Pembukaan dengan pernyataan (Al-istiftah bi Al-istifham).
9.     Pembukaan dengan do’a ( Al-istiftah bi Al-du’a).
10. Pembukaan dengan alas an (Al-istiftah bi Al-ta’lil).
B.    Khawatim Al-Suwar
Istilah “khawatim” adalah bentuk jamak dari “khatimah”, yang berarti penutup atau penghabisan. Menurut bahasa, “khawatim Al-Suwar” berarti penutup surah-surah Al-Quran. Menurut istilah, “Khawatim Al-Suwar” adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surah-surah Al-Quran yang member isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk mengetahui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya.
Menrut sementara penelitian, sedikitnya ada 16 macam Khawatim Al-Suwar:
1.     Penutupan dengan mengagungkan Allah (Al-ta’zhim).
2.     Penutupan dengan anjuran ibadah dan tasbih (Al-‘ibadah wa Al-tyasbih).
3.     Penutupan dengan pujian (Alyahmid).
4.     Penutupan dengan do’a.
5.     Penutupan dengan wasiat.
6.     Penutupan dengan perintah dan msalah taqwa.
7.     Penutupan dengan masalah kewarisan.
8.     Penutupan dengan janji dan ancaman (Al-wa’d wa Al-wa’id).
9.     Penutupan dengan hiburan bagi Nabi Swa.
10. Penutupan dengan sifat-sifat Al-Quran.
11. Penutupan dengan bantahan (Al-jadl).
12. Penutupan dengan ketauhidan.
13. Penutupan dengan kisah.
14. Penutupan dengan anjuran jihad.
15. Penutupan dengan perincian maksud.
16. Penutupan dengan pertanyaan.
17.  
C.   Aqsam (Sumpah) dalam Al-Quran
1.     Definisi Aqsam dan Unsur-unsurnya
Kata “aqsam” adalah bentuk jamak dari “qasam” artinya”half dan “yamin” yang keduanya berarti sumpah. “Aqsam” selanjutnya didefinisikan sebagai” pengikatan jiwa (hati) melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar dan agung baik secara hakiki maupun secara I’tiqad (keyakinan) oleh orang yang bersumpah itu.” Aqsam Al-Quran yaitu sumpah-sumpah yang disampaikan Allah Swt untuk meyakinkan kebenaran risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, Muhammad Saw.
Unsur-unsur yang membentuk qasam ada tiga, yaitu:
a.     Fi’l Al-qasam.
b.     Al-Muqsambih.
c.     Al-Muqsam ‘alaih.
D.   Macam-Macam Faedah Qasam
Qasam itu ada kalanya zhahir (jelas/tegas) dan ada kalanya mudhmar (tersembunyi, tersirat).
a.     Qasam Zhahir
Qasam zhahir adalah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’l Al-qasam dan Al-musam bih.
b.     Qasam Mudhmar
Qasam mudhmar yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’l qasam dan tidak pula Al-muqsam bih.










BAB XI
TAFSIR, TA’WIL Dan TARJAMAH

A.   Definisi Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
Secara etimologi kata “tafsir” berasal dari kata “fassara” yang berarti “menjelaskan,” “menyingkap”, “menampakkan” atau “menerangkan’ makna yang abstrak. Kata “Al-fasr” berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.
Secara terminologis, “tafsir” berarti ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Definisi lain tentang “tafsir” dikemukakan oleh Al-Shabuny bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Quran dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Pengertian “ta’wil” menurut sebagian ulama, sama dengan tafsir. Namun, ulama yang lain membedakannya, bahwa “ta’wil” adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ke makna lain yang lebih sesuai karena alas an yang dapat diterima oleh akal.
Dari pengertian kedua istilah, dapat disimpulkan bahwa “tasir” adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Al-Quran yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah. Sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbatkan dari ayat Al-Quran berdasarkan alas an-alsant tertentu.
B.    Macam-Macam Tafsir
1.     Berdasarkan Sumbernya
Ø Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Quran dan/atau sunah sebagai sumber penafsirannya.
Ø Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
2.     Berdasarkan Corak Penafsirannya
Ø Tafsir shufi/isyari, corak penafisran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyarah.
Ø Tafsir Fiqih, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih.
Ø Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan fislasat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam.
Ø Tafsir’Ilmy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Ø Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’I, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah social kemasyarakatan.
3.     Berdasarkan Metodenya
Ø Metode Tahlili (Metode Analisis)
Metode tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufasir tersebut.
Ø Metode Ijmali (Metode Global)
Metode ijmali, yaitu penafsiran Al=Quran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tetapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
Ø Metode Muqaran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Al-Quran dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Quran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.
Ø Metode Maudhu’I (Metode Tematik)
Yaitu menjelaskan konsep Al-Quran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimoun seluruh ayat Al-Quran yang membicarakan tema tersebut.




BAB XII
MUNASABAH AL-QURAN

A.   Definisi Munasabah
Kata munasabah secara etimologis berarti “musyakalah” (keserupaan) dan “muqarabah” (kedekatan). Adapun menurut pengertian terminologis, beberapa ulama mendefinisikannya sebagai berikut.
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafaz umum dan lafaz khusus, atau hubungan antara ayat yang terkait dengah sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Menurut Ibnu Al-Ara’bi, munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Quran sehingga merupakan seolah-o;lah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
B.    Urgensi Munasabah
Keseluruhan teks dalam Al-Quran, sebagaimana juga telah disinggung dimuka, merupakan kesatuan structural yang bagian-bagiannya saling terkait. Kesuluruhan teks Al-Quran menghasilkan pandangan dunia yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan Al-Quran sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan dan mencerdaskan.
C.   Macam-Macam Munasabah
1.     Sifat
Ø Zhahir Al-irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bias menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat laiinya.
Ø Khafiy Al-irtibath, yaitu persesuain tau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan yang lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, seolah-olah msaing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri, baik karena ayat yang satu itu di ‘Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
2.     Materi
Ø Munasabah Antar Ayat
Yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambung-sambungan ayat, meliputi, pertama di-‘athaf-kannya ayat yang satu pada ayat yang lain, kedua tidak di-‘athaf-kannya, ketiga digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradisi, kelima dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain.
Ø Munasabah Antar Surah
Munasabah antarsurah tidak lepas dari pandangan holistic Al-Quran yang menyatakan  Al-Quran sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral.”







BAB XIII
QIRAAT

Qiraat merupakan salah satu cabang-cabang ilmu Al-Quran, tetapi tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Qiraat secara etimologi berarti “bacaa”, sedangkan secara terminology umumnya berarti “suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam quraa’ (ahli bacaan Al-Quran) yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan dan metode dan juga riwayatnya.”
A.   Sikap Para Ulama Terhadap Qiraat
Pada dasawarsa pertama Abad IV Hijriah, seorang ulama dari Bagdad pernah dikecam. Menurut tuduhan yang dijatuhkan kepada ulamaitu, ia telah mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian “tujuh kata” yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Abu Bakar Ahmad, alias Ibnu Mujahid, demikian nama ulama yang dituduh itu sesungguhnya sesungguhnya tidak sengaja melahirkan sesuatu yang baru dan telah menyebabkan ia dituduh menyesatkan banyak orang. Padahal apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah mengoleksi qiraat-qiraat para imam qiraat terkemuka. Akan tetapi, agaknya ulama-ulama yang menuduhnya sesat.
Ketika Ibnu Mujahid menghimoun qiraat-qiraat mereka, ia meniadakan nama Yakub yang berasal dari Bashrah untuk kemudian posisinya digantikan dengan Al-Kasa’I (wafat 182 H). Penggeseran ini member pesan seolah-olah Ibnu Mujahid menganggap cukup qari Bashrah diwakili oleh Abu Amr. Sementara itu, Ibnu Mujahid menetapkan tiga nama untuk Kufah. Mereka adalah Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kasa’i.
Kemudian yang dimaksud dengan Qiraat Empat Belas adalah sepuluh qiraat yang telah disebutkan ditambah dengan qiraat empat tokoh lainnya. Mereka yaitu:
§  Hasan Al-Bishri.
§  Muhammad bin Abdu Al-Rahman, yang mansyhur dengan sebutan Ibnu Muhaishan.
§  Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidiy.
§  Abu Al-Faraj Muhammad bin Ahmad Al-Syanbudzi.

Untuk menentukan diterimanya sebuah qiraat, para ulama menetapkan criteria-kriteria sebagai berikut.
§  Mutawatir, yaitu qiraat yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
§  Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
§  Sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman.
§  Mempunyai sanad yang shahih.
B.    Qiraat Syadz
Qiraat Syadz adalah qiraat yang sanadnya tidak shahih, yakni tidak memenuhi persyaratan yang diminta untuk keabsahan sebuah qiraat.
Disamping mutawatir dan syadz, juga terdapat jenis qiraat lain yang dikenal di dalam dunia ilmu Al-Quran, yang dijelaskan dibawah ini.

1.     Masyhur.
Qiraat mashyur adalah qiraat yang sanadnya sahih karena diriwayatkan oleh tokoh yang adil, dhabith (mempunyai ketelitian tulisan dan hafalan yang baik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sesuai dengan kaidah Mushaf Utsman.
2.     Shahih Sanad
Qiraat macam ini sanadnya shahih, tetapi tidak sama dengan tulisan Mushaf Utsman atau tidak seterkenal Qiraat Mashyur dan Mutawatir.
3.     Maudhu’
Qiraat ini hanya dinisbahkan kepada orang tanpa asal-usul yang pasti, bahkan tanpa asal-usul sama sekali.
4.     Qiraat Tambahan
Yaitu bacaan yang sesungguhnya sekedar penafsiran, tetapi dianggap qiraat.

C.   Sebab Perbedaan Para Qari
1.     Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
2.     Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
3.     Perbedaan pada perubahan huruf tanpa mengubah I’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah.
4.     Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tetapi tanpa perubahan maknanya.
5.     Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula.
6.     Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirinya.
7.     Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf.









BAB XIV
MUHKAM DAN MUTASYABIH

Ada ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat dan yang mutasyabihat. Atas dasar itulah para ulama member definisi kedua jenis ayat tersebut. Dr. Amir Aziz dalam Dirasat fi ‘Ulum Al-Quran mengiventarisasi enam definisi dalam masalah ini.
Pertama,definisi oleh Dr. Amir yaitu Muhkam atau muhkamat adalah ayat yang bias dilihat pesannya dengan gambling atau dengan melalui takwil, karena ayat yang perlu ditakwil itu mengandung pengertian lebih dari satu kemungkinan.
Kedua, definisi dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung bermacam-macam pengertian.
Ketiga, muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja ayat tersebut sudah dapat ditangkap, tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan.
Keempat, ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud,faraidh dan semua yang wajib diimani dan diamalkan.
Kelima, ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengandung halal dan haram. Ayat –ayat mutasyabihat di luar ayat-ayat tersebut.
Keenam, ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-nasakh (tidak mansukh). Sementara ayat yang mutasyabihat adalah ayat yang di-nasakh.

















BAB XV
PROBLEMATIKA NASAKH

A.   Mansa’
Dilihat dari segi bahasa, mansa’ berarti yang dilahirkan atau yang ditunda. Mansa’ didalam Al-Quran bermakna ayat-ayat yang mengandung hokum lantaran bersifat sementara. Dengan hilangnya sebab yang hanya bersifat sementara itu, maka berakhirlah masa berlaku hukumyang kemudian posisinya digantikan oleh nhukum lain yang baru. Contoh yang bias dikemukakan dalam hal ini adalah perintah kepada kaum Muslimin untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang bukan Muslim yang menyakiti kaum Muslimin.
B.    Takhshin Al-‘Am
Di sebuah masjid di pinggir kota metropolitan, diibaratkan ada seorang mubalig yang dengan semangat menggebu-gebu mengatakan, “Muda-mudi sekarang telah hanyut dalam kehidupan amoral. Mereka telah terkena penyakit wahan;yakni bergelimang dalam kecintaan terhadap dunia dan takut mati. Kecuali muda-mudi yang sering dating menghadiri pengajian dan ceramah-ceramah agama.”
Sekiranya kalimat yang keluar dari mulut seorang mubalig itu dibagi dua, maka paruh pertamanya memvonis pemuda telah hanyut ke lembah kebobrokan moral, sangat mencintai dunia. Dan tidak siap bahkan takut menghadapi kematian. Karena yang disebut “pemuda-pemudi” adalah umum, atau yang dalam pembahasan sekarang ini disebut ‘Am. Sementara diparuh kedua, yang dimulai dengan kata “kecuali” adalah pengecualian atau pengkhususan dari bentuk umum. Dengan adanya pengkhusuan ini, maka selain para muda-mudi yang berahklak bobrok, cinta dunia dan takut mati, ada pula pemuda yang masih baik-baik. Mereka adalah pemuda dan pemudi yang sering mengikuti pengajian dan rajin pergi ke masjid.
C.   Taqyid Muthlaq
Prof. Hasbi Ash-Shiddieq dalam Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsirnya, mendefinisikan muqayyad sebagai berikut: “Nash Muqayyad adalah Nash yang merujuk pada satu dan dikaitkannya dengan suatu sifat.” Dalam hal ini Hasbi mengambil contoh ungkapan yang berbunyi: “seorang budak yang beriman.” Maksudnya yaitu budak yang beriman tentu tidak termasuk budak yang tidak beriman.
D.   Tabyin Al-Mubham
Tabyin berarti memperjelas dan Al-mubham artinya kabur, tidak terang dan masih mengundang pertanyaan.
E.    Mujmal
Mujmal secara lughawi, berarti global. Dalam pengertian istilahnya, Mujmal dalam hubungannya dengan ayat Al-Quran, menurut Dr. Amir. Abd Al-Aziz, mempunyai definisi sebagai berikut: “Sesuatu yang belum jelas tampak penunjukkan (kalalah)-nya dan tidak diketahui maksud yang dikehendakinya secara sempurna.
Ada dua macam mujmal. Pertama, sesuatu yang tidak bias dijadikan rujukan pembebanan, karena pesannya yang bersifat global, kabur atau tidak jelas.
Kedua, mujmal yang melahirkan taklif (pembebanan, kewajiban). Ayat-ayat semacam ini harus dicari maksudnya, sampai terbongkar maksud yang dikandungnya dan pada akhirnya orang yang mukallaf mengamalkannya.
Mujmal terjadi karena dua sebab, yakni sebagai berikut.
1.     Isytirak, yakni pengertian ganda.
2.     Mengandung pengertian ‘athaf dan isti’naf.


BAB XVI
NASIKH-MANSUKH

A. Definisi Nasikh-Mansukh dan Pro-Kontra para Ulama
Dari segi bahasanya, ada kesepakatan para ulama mengenai makna kata nasakh, khususnya yang terdapat dalam ayat Al-Quran. Para penulis ‘Ulum Al-Quran biasanya menurunkan nasakh dalam beberapa makna. Ia bias berarti izalah yang bila diterjemahkan menjadi “penghilangan.”
Nasakh dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1.     Nasakh perintah sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan.
2.     Nasakh tajawwuz, yakni nasakh terhadap perintah yang diwajibkan kepada umat sebelum Islam.
3.     Nasakh terhadap perintah yang karena sebab tertentu yang kemudian dibatalkan lantaran hilangnya sebab.
B. Ayat-Ayat Yang Terkena Nasakh
Nasakh hanya terjadi pada ayat yang amar (perintah) dan nahi (larangan). Hatta amar dan nahi itu berbentuk khabar (kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab (permintaan). Sementara pada kalimat berbentuk khabar yang bukan bermakna thalab, nasakh tidak terjadi.
C. Ayat-Ayat yang Kena dan Bebas Nasakh
Dalam kaitannya ayat yang kemasukan nasikh dan mansukh, Dr. Shubhy Shalih. Penulis kitab Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menilai bahwa tidaklah berlebih-lebihan bila suatu ayat dipotong menjadi dua. Separuh diantaranya dinyatakan nasikh, sementara yang sepotong lagi dikatakan mansukh.
D. Ayat-Ayat yang Tidak Terkena Nasakh
Para ulama ushul, kata Dr. Amir abdul Aziz, sepakat bahwa nasakh hanya mungkin terjadi pada ayat yang menyangkut amar ma’ruf dan nahi munkar. Termasuk dalam kategori ini ayat-ayat yang bentuk kalimatnya khabar (berita) bermakna thalab (permintaan, tuntutan). Diluar ayat-ayat yang bentuk kalimatnya semacam ini, nasakh tidak terjadi
E. Ayat-Ayat yang Dinilai Mengandung Kontradiksi
Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin mengandung kontradiksi satu sama lainnya. Hal itu mendapat jaminan dari Allah Swt. Yang diantaranya surah An-Nisa’ ayat 82, surah Al-Baqarah ayat 51 dan surah Al-A’raf ayat 142.
























BAB XVII
ISRAILIYAT DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN

A.Definisi Israiliyat
Secara etimologis istilah “israiliyyat” adalah bentuk jamak dari kata “israiliyah”, yakni bentuk kata yang dinisbahkan pada bangsa Israil yang cikal bahasanya adalah Ibrani. Kata “Israil” tersusun atas dua kata yaitu “Isra” yang berarti hamba dan “Il” yang berarti Tuhan. Jadi, Israil adalah hamba Tuhan.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyah. Menurut Al-Dzahabi, israiliyah mengandung dua pengertian, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir Al-Quran dan Hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu Yahudi, Nasrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir Al-Quran dan Hadis yang sama sekali tidak di jumpai dasarnya sama sekali.
B.Proses Masuk dan Berkembangnya Israiliyah dalam Tafsir Al-Quran
 Pada masa Rasullulah Saw hidup, umat Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satua ayat, mereka akan langsung bertanya kepada Rasullulah Saw, kemudian beliau menjelaskan maksud kandungan ayat tersebut. Akan tetapi, sejak Rasullulah Saw tiada, umat ini banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, terkadang Al-Quran mengandung isyarat-isyarat yang belum bias dijangkau oleh pikiran-pikiran orang Arab. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tafsir yang bias membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat tersebut.
Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadis Rasullulah Saw, karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil langkah dengan cara menafsirkan satuayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang mereka tempuh adalah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Pada saat mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad dan lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya bagi mereka yang mempunyai kapasitas intelektual.
C.Pengaruh Israiliyat dalam Penafsiran Al-Quran
Israiliyat memberikan gambaran seolah-olah Islam agama khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Di samping itu, Israiliyyat bias menghilangkan kepercayaan umat Islam kepada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak sedikit cerita Israiliyyat yang munkar ini didasarkan kepada sahabat atau tabi’in. Seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, dan Wahhab bin Munabbih.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar