BAB
I
MUKADIMAH
A.
Definisi
‘Ulumul Quran
Istilah ‘Ulumul Quran” berasal dari bahasa
Arab yang terdiri dari dua kata yaitu “Ulum” dan “Al-Quran”. Kata ‘Ulum
merupakan bentuk jamak dari kata “’ilm”, yamh berarti “ilmu-ilmu”. Istilah
“’Ilm” merupakan bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang artinya
pemahaman dan pengetahuan sesuai dengan makna dasarnya, yaitu “Al-fahmu wa
Al-idrak” (pemahaman dan pengetahuan).
Kata “’ulum” adalah bentuk jamak dari
kata”’ilm”, yang berasal dari kata dasar “’alima-ya’lamu-‘ilman”, yang berarti
“mendapatkan atau mengetahui sesuatu dengan jelas” atau menjangkau sesuatu
dengan keadaan yang sebenarnya”.
‘Ulumul Quran adalah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang berhubungan sengan Al-Quran dari segi asbab an-nuzul
(sebab-sebab turunnya AlQuran), pengumpulan dan penerbitan Al-Quran,
pengetahuan tentang surah-surah Makkiyah dan Madaniyah, an-nasikh wal mansukh
dan sebagainya. Ilmu ini dinamakan juga dengan Ushul Al-Tafsir (dasar-dasar
tafsir).
‘Al-Quran menurut ulama ushul fiqih dan
ulama bahasa adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
lafaz-lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah yang
diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surah
Al-Fatihah sampai An-Nas.
B.
Perkembangan
‘Ulumul Quran
‘Ulumul Quran mulai tumbuh semenjak masa
Rasullulah Saw. Beliau adalah mufasir awal, tetapi penafsirannya tidak ditulis
(secara resmi) oleh para sahabat. Penafsirannya hanya disampaikan kepada
sahabat yang lain dan tabi’in dengan periwayatannya yang dari mulut ke mulut.
Ada beberapa sebab mengapa penafsiran Rasullulah, sebagai bagian dari ‘Ulumul
Quran, tidak ditulis oleh para sahabat.
1. Ada larangan dariRrasullulah Saw menulis sesuatu
selain Al-Quran, karena dikhawatirkan perhatian para sahabat menjadi terbagi;
tidak sepenuhnya kepada AlQuran, padahal penurunan Al-Quran masih berlangsung,
atau khawatir tercampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Quran.
2. Para
sahabat merasa tidak perlu menulisnya sebab mereka orang-orang yang dihabit,
dan jika ada problem mereka bisa langsung bertanya kepada Rasullulah Saw.
3. Banyak
para sahabat yang tidak pandai menulis.
Pertama kali istilah ‘Ulumul Quran
digunakan dan dirintisoleh Ali Ibn Al-Marzuban (309 H) pada abad III.
Dilanjutkan oleh Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id Al-Hufni (430 H) pada abad V.
Kemudian dikembangkan oleh Ibn Al-Jauzi (597 H) Pada abad VI dan diteruskan
oleh Al-Sakhawi (643 H) pada abad VII. Selanjutnya disempurnakan oleh
Al-Zarkasyi (794 H) pada abad VIII dan ditingkatkan lagi oleh Al-Bulqini (824
H) dan Al-Kafiyaji (879 H) hingga akhirnya disempurnakan lagi oleh Al-Suyuthy
pada akhir abad XI dan awal abad VIII H.
C.
Tema
dan Ruang Lingkup ‘Ulumul Quran
Pertama, pembahasan-pembahasan yang
berpautan dengan Nuzul Al-Quran, yaitu:
·
Auqat Al-Nuzul wa
Mawathin Al-Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat-ayat yang
ditunkan di Mekah yang dinamakan Makkiyah.
·
Asbabun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan sebab-sebab
turunnya Al-Quran.
·
Tarikhun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat yang
mula-mula diturunkan dalam kaitanh waktunya, yang berulang-ulang diturunkannya,
yang terakhir hukumnya dari turunnya, yang turun tidak berurutan, yang turun
dalam satu kesatuan, dan lain-lain.
Kedua,
pembahsan masalah sanas. Hal ini berhubungan dengan enam macam persoalan yakni mutawatir, ahad,syadz, beragam qiraat
Nabi, para perawi dan huffazh, kaifiyat Al-tahammul (cara penerimaan riwayat).
Ketiga,
masalah bacaan (tata cara membaca), yaitu soal waqaf, ibtida’, imalah, madd,
men-takhfif-kan (meringankan bacaan) hamzah, idgham dan lain-lain.
Keempat,
masalah pembahsan lafaz. Hal ini terkait dengan beberapa soal, yaitu gharib,
mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, isti’arah dan tasyibih.
Kelima,
masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan hukum.
Keenam,
masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan lafaz, yaitu fashl, dan
washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.
BAB
II
MAKNA
DAN NAMA LAIN AL-QURAN
A.
Makna
Al-Quran
Bila seseorang mendengar kata Al-Quran, ia segera mengetahui bahwa yang dimaksud adalah “kalam Allah” atau kalamullah subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw; membacanya ibadah, susunan kata dan isinya merupakan mukjizat, termaktub didalam mushaf dan dinukil secara mutawatir. Dialah sang Maha Esa yang memberi nama kitab suci agama Islam Al-Quran sejak ayat pertamanya turun, yaitu :
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
Bacalah dengan menyebeut Tuhanmu yang
telah menciptakan. (Al-‘Alaq [96]: 1)
B.
Nama-nama
lain Al-Quran
Ibnu Abd Al-Malik menggunakan ayat-ayat
Al-Quran untuk memberi nama-nama lain Al-Quran diantaranya:
1. Kitab
(Ad-Dukhan, ayat 1 dan 2)
2. Quran
(Al- Waqi’ah, ayat 77)
3. Kalam
(At-Taubah, ayat 6)
4. Nur
(An-Nisaa’, ayat 174)
5. Hudan
(Luqman, ayat 3)
6. Rahman
(Yunus, ayat 58)
7. Furqan
(Al-Furqan, ayat 1)
8. Syifa’
(Al-Isra’, ayat 82)
9. Maw’izhah
(Yunus, ayat 57)
10. Dzikra
(Al-Anbiya’, ayat 50)
11. Karim
(Al-Waqi’ah, ayat 77)
12. Ali
(Al-Zukhruf, ayat 41)
13. Hikmah
(Al-Qamar, ayat 5)
14. Hakim
(Yunus, ayat 1 dan 2)
15. Muhaymin
(Al-Maidah, ayat 48)
16. Mubarak
(Shad, ayat 29)
17. Habl
(Ali Ilmran, ayat 103)
18. Shirath
(Al-An’am, ayat 153)
19. Al-Qayyim
(Al-Kahfi, ayat 1 dan 2)
20. Fadhla
(At-Tharikh, ayat 13)
BAB
III
RASULLULAH
MENERIMA WAHYU
A.
Cara
Turunnya Wahyu
Allah SWT Berfirman dalam surat
As-Syura, ayat 51 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْياً أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak terdapat bagi seseorang
manusia bahwa Allah bercakap-cakap kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari
balik hijab, atau Dia mengirim utusan lalu mewahyukan dengan izin-Nya (QS
As-Syura [42]: 51)
Menurut
ayat ini, untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya, Allah berkomunikasi dengan
manusia dengan tiga cara.
Pertama,
mwlalui wahyu. Wahyu ini memiliki beberapa pengertian seperti:
1. Isyarat
2. Bisikan
3. I’lam
(memberi insting)
4. Ilham
Kedua, cara lain Allah berkomunikasi dengan manusia (menurut surah
Al-Asyura ayat 51) dari balik hijab. Maksudnya, Allah SWT berkomunikasi
langsung kepada para Nabi-Nya tanpa perantara seperti yang terjadi ketika
Rasullulah Saw mengalami peristiwa Isra Miraj.
Ketiga, dengan mengirim utusan. Cara
inilah yang sering terjadi, dimana Allah mengutus Malaikat Jibril untuk
memyampaikan wahyu kepada para nabi.
B.
Ayat
Pertama Dan Terakhir Turun
Penulis kitab Manahil Al-‘Irfan
melihat sedikitnya ada tiga faedah yang dapat dipetik dari mengetahui hal
seperti ini, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk
membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
2. Untuk
mengetahui m’Tarikh Tasyri’. Artinya, perjalanan sejarah penetapan hukum islam
dapat ditangkap secara lebih jelas dengan mengetahui hal ini.
3. Untuk
dapat mengikuti secara pasti perjalanan turunnya Al-Quran yang
berangsur-angsur.
BAB
IV
NUZUL
AL-QURAN
A.
Definisi
dan Waktu Nuzul Al-Quran
Nuzul Quran terdiri dari dua kata,
yakni Nuzul dan Al-Quran. Nuzul berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah. Nuzul juga berarti singgah atau tiba ditempat tertentu.
Didalam hubungannya dengan pembahsan
Nuzul Al-Quran, kata Syekh Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mahabitsi
‘Ulum Al-Qurannya, yang dimaksud dengan Nuzul adalah turunnya sesuatu dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah tidak lain adalah Al-Quran.
Didalam Al-Quran terdapat beberapa
ayat yang mengatakan bahwa Al-Quran turun:
1. Pada
bulan Ramadhan
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Pada bulan Ramadhan dimana ditunkan
Al-Quran QS Al-Baqarah [2]: 185)
2. Pada
malam yang diberi berkah
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
|
Sesungguhnya kami menurunkannya
(Al-Quran) dimalam yang diberi berkah (QS Al-Dukhan [44]: 3)
3. Pada
malam Al-Qadar
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١)
Sesungguhnya kami menurunkannya
(Al-Quran) dimalam Al-Qadar. (QS Al-Qadar [97]: 1)
Menurut tiga ayat diatas, Al-Quran
turun sekaligus pada bulan Ramadhan dimana terdapat malam Al-Qadar, suatu malam
yang penuh berkah. Dengan demikian, apabila kita memperingati Malam Nuzul
Al-Quran, maka nuzul (turun) yang dimaksud bukan nuzulnya Al-Quran kepada Nabi
Muhammad Saw. Karena kenyataan sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad menerima
ayat-ayat Al-Quran bukan sekaligus, tetapi beliau menerimanya secara
berangsur-angsur lebih dari 20 tahun.
B.
Asbab
Nuzul
Dipandang dari segi peristiwa
nuzulnya, ayat Al-Quran ada dua macam. Pertama, ada yang diturunkan tanpa ada
keterkaitannyadengan sebab tertentu, semata-mata sebagai hidayah bagi manusia.
Kedua, ayat Al-Quran diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu.
C.
Faedah
Mengetahui Asbab Nuzul
Beberapa pakar ‘Ulumul Quran
mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak
ada gunanya. Hal ini merupakan suatu hal yang keliru tentang Asbab Nuzul dalam
mrmahami Al-Quran. Ada beberapa faedah yang dapat memahami Asbab Nuzul untuk
memahami Al-Quran diantaranya:
Ø Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menagkap ayat-ayat Al-Quran.
Ø Mengatasi
keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
D.
Cara
Mengetahui Asbab Nuzul
Asbab Nuzul adalah peristiwa yang
terjadi pada jaman Rasullulah Saw. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk
mengetahuinya selain mengambil sumber dari orang yang menyaksikan peristiwa
dalam hal ini, riwayat para sahabat Rasullulah Saw yang mendengar dan
menyaksikan kejadian yang berhubungan dengan turunnya ayat tertentu.
BAB
V
TUJUH
HURUF AL-QURAN
Persoalan
tentang Al-Quran yang diturunkan dengan “tujuh huruf” ini sulit dibantah.
Menurut pakar dibidang ini, riwayat “tujuh ayat” dinyatakan kuat. Narasumbernya
adalah para sahabat terkemuka dengan jumlah yang cukup banyak. Menurut Amir
Abdul Aziz, jumlahnya sekitar 40 orang.
Diantaranya
yaitu Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al-Yamani, Zaid bin Arqam,
Samurah bin Jundad, Abdullah nin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah Al-Rahman
bin Auf, Utsman bin Affan, Umar bin Khaththab, Mu’adz bin Jabal, dan Hisyam bin
Hakim.
Celah-celah
untuk membantah tujuh huruf yang dengannya Al-Quran diturunkan, boleh dibilang
tertutup. Dalam waktu yang bersamaan, tidak ada informasi yang menunjuk
kepastian “wujud” dari tujuh huruf itu. Tak ada satu pun riwayat yang memberi
kejelasan huruf yang dimaksud Rasullulah Saw. Oleh karena itu, sekalipun para
ulama sepakat Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, mereka berbeda pendapat
mengenai hakikat tujuh huruf itu. Persilangan pendapat para ulama mengenai
“tujuh huruf ini begitu tajam, Jumlah pendapatnya pun banyak sekali. Misalnya
sebagai berikut :
1. Bahwa
tujuh huruf yang dimaksud hadis-hadis di atas tidak akan mungkin ditangkap
hakikat atau maksudnya oleh manusia. Sebabnya, hakikat tujuh huruf itu tidak
mungkin diinterpresentasikan sebagai huruf hija’iyah, kalimat atau arah.
Padahal dari segi bahasa, tidak dikenal pengertian lain, kecuali tiga makna
yang disebut diatas.
2. Bahwa yang dimaksud tujuh huruf itu bukan
hakikat bilangan, melainkan Al-tahsil, Al-tasyir (kemudahan) dan Al-sa’ah (keleluasaan,
kelapangan)
3. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat
4. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tempat terjadinya perubahan. Ketujuh tempat
dijelaskan dibawah ini.
Ø Kata
yang berubah harakatnya, sementara bentuk tulisan dan maknanya tetap tidak
berubah.
Ø Kata
yang berubah maknanya karena perubahan kedudukan tata bahasa, sementara bentuk
tulisannya tak berubah.
Ø Kata
yang mengalami perubahan makna karena berubahnya huruf, tetapi bentuk
tulisannya tetap.
Ø Kata
yang bentuk tulisan dan maknanya mengalami perubahan.
Ø Perubahan
susunan kalimat dengan taqdim(mendahulukan)dan ta’khir
(mengakhirkan).
Ø Per4bedaan
yang didalam lahjah (logat) yang terjadi pada
fathah, imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgam, dan lain-lain.
5. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam kalam didalam Al-Quran yang satu
sama lainnya berbeda.
6. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh lafaz yang berbeda, tetapi mempunyai
pengertian yang sama.
7. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh istilah.
8. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tata cara dan mengucapkan, seperti pada
masalah-masalah berikut; idgam, izhar,
tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad dan qashr.
9. Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh logat pada tujuh kabilah Arab. Menurut
penganut mazhab ini, bukan berarti satu huruf bias tujuh macam, tetapi tujuh
logat bahasa Arab yang digunakan oleh kabilah-kabilah Arab digunakan dalam
bahasa Al-Quran. Sebagian ayat-ayat Al-Quran, menurut penganut haluan ini,
diturunkan dengan logat kabilah Quraisy. Sementara sebagian lainnya dengan
logat Hudzail. Ada pula yang dengan logat Tamim, Adz, Rabi’ah dan Hawazin.
BAB
VI
MAKKIYAH
DAN MADANIYAH
A.
Definisi
Makkiyah dan Madaniyah
Studi tentang ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah sesungguhnya tidak lebih dari memahami pengelompokan ayat-ayat
Al-Quran berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Dalam hubungan ini,
sekurang-kurangnya ada tiga definisi (ta;rif) yang sering dikemukakan para
pakar di bidang ini, yaitu:
1. Makkiyah
adalah ayat-ayat Al-Quran yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah
ayat-ayat yang turun sesudah hijrah.
2. Makkiyah
adalah ayat-ayat yang turun di Mekah sekalipun turunnya ayat itu setelah
hijrah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah.
3. Makkiyah
adalah ayat-ayat yang khitbah-nya ditujukan kepada penduduk Mekah, dan
Madaniyah adalah ayat-ayat yang khitbah-nya ditujukan kepada penduduk Madinah.
Dari
pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah sekurang-kurangnya akan didapati
tiga faedah.
Pertama,
mengetahui ayat-ayat mana saja yang nasikh dan ayat-ayat mana saja yang mansukh
bila terlihat adanya dua ayat yang berbeda pesan.
Kedua,
bahwa makna dan pesan yang dikandung ayat tertentu sering kali berkaitan dengan
sebab tertentu pada kasus dan tempat kejadian tertentu pula. Dengan adanya
klasifikasi ini, usaha memahami ayat Al-Quran secara benar akan terbantu
kekeliruan akan dapat ditekan sekecil apapun.
Ketiga,
bahwa kehidupan Rasullulah Saw adalah uswah
hasanah, suri teladan bagi setiap mukmin. Dengan melihat ayat-ayat yang
turun di Mekah dan Madinah, akan diketahui pendekatan pembinaan pribadi maupun
masyarakat mukmin yang dilakukan Al-Quran.
B.
Cara
Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Ciri-ciri surat Makkiyah:
Ø Terdapat
kata kalla disebagian besar atau
seluruh ayatnya.
Ø Terdapat
sujud tilawah disebagian atau seluruh ayat-ayatnya.
Ø Diawali
dengan huruf tahijji seperti qaf, nun,
dan hamim.
Ø Memuat
kisah Adam dan iblis (kecuali surat Al-Baqarah)
Ø Memuat
kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
Ø Didalamnya
terdapat khithab (seruan) kepada semua manusia m(wahai semua manusia)
Ø Meneru
dengan kalimat “Anak Adam”.
Ø Isinya
member penekanan pada masalah aqidah.
Ø Ayatnya
pendek-pendek.
C. Ciri-ciri surah Madaniyah:
Ø Terdapat
kalimat “orang-orang yang beriman” pada ayat-ayatnya.
Ø Terdapat
hokum-hukum faraidh, hudud, qishahsh dan jihad didalamnya.
Ø Menyebut
“orang-orang munafik” (kecuali Al-Ankabut)
Ø Memuat
bantahan terhadap Ahlu Al-kitab (Yahudi dan Nasrani)
Ø Memuat
hokum syara’, seperti ibadah, mu’amalah dan Al-ahwal Al-syakhshiyah.
Ø Ayatnya
panjang-panjang.
Ada suatu hal yang perlu diingat,
bahwa surat Makkiyah dan Madaniyah. Bisa jadi surat yang diklasifikasikan
Makkiyah terdapat ayat-ayat Madaniyah. Begitu pula sebaliknya.
D.
Surah-Surah
yang Turun di Mekah dan Madaniyah
Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah
Al-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran menulis bahwa
surat-surat yang turun di Mekah berjumlah 83 surat sedangkan di Madinah
sebanyak 28 surat.
E.
Ayat-Ayat
yang Turun di Mekah dan Hukumnya Madaniyah
Ayat-ayat yang turun di Mekah dan
hukumnya Madaniyah adalah sebagai berikut.
Ø Ayat
13 surah Al-Hujurat.
Ø Ayat
13 sampai dengan 5 surah Al-Maidah.
Ø Ayat
13 surah Al-Hujurat, turun pada waktu Fathu Mekah. Ayat ini dinyatakan
Madaniyah karena turun sesudah hijrah, dan tiga surah Al-Maidah, yakni ayat 3,
4, dan 5 turun pada hari Jumat. Kala itu umat Islam sedang wuquf di Padang
Arafah dalam peristiwa Haji Wada’. Haji ini dilaksanakan Rasullulah Saw setelah
beliau berhijrah. Maka, ketiga ayat diatas diklasifikasikan sebagai ayat-ayat
Madaniyah kendati pun turun di Arafah dan seperti diketahui Arafah adalah
kawasan disekitar Mekah.
F.
Ayat-Ayat
yang Turun di Madinah, dan Hukumnya Makkiyah
Ø Al-Mumtahanah
Surah Al-Mumtahanah turun ketika
Rasullulah Saw hendak berangkat menuju Mekah menjelang Futuh Mekah. Ini terjadi setelah hijrah.
Ø Ayat
41 surah An-Nahl
Ø Awal
surah At-Taubah sampai dengan ayat 28. Ayat-ayat ini sesungguhnya Madaniyah,
tetapi khithab-nya ditujukan kepada
penduduk Mekah.
G.
Makkiyah
Mirip Madaniyah
Pada pemahasan terdahulu disinggung
kasus ayat 32 surah An-Najm. Disana ada kata “kayaaira” yang statusnya bias
jadi membingungkan banyak orang karena hampir semua ulama mendefinisikannya
sebagai “Pelanggaran hokum yang mengakibatkan had”. Padahal sebelumnya
Rasullulah Saw meninggalkan Mekah menuju Madinah untuk berhijrah, hukuman itu
belum dikenal.
H.
Madaniyah
Mirip Makkiyah
Didalam kitab Al-Burhan fi’Ulum
Al-Quran hanya ada tiga ayat Madaniyah yang mirip Makkiyah yaitu.
Ø Ayat
17 surah Al-Anbiya’, yang turun sehubungan dengan kedatangan delegasi kaum
Nasrani Najran.
Ø Ayat
1 surah Al-A’diyat.
Ø Ayat
32 surah Al-Anfal.
I.
Ayat-Ayat
yang Turun Pada Malam Hari
Kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran dan
kitab milik Amir Abdul Aziz menyebutkan ada surah yang diturunkan pada malam
hari diantaranya.
Ø Ayat
1 surah Al-Hajj. Ayat ini turun ketika terjadi peperangan Bani Al-Mushthaliq
Ø Ayat
67 surah Al-Maidah
Ø Ayat
56 surah Al-Qashash
Ø Ayat
190 sampai dengan surah Ali Imran
Ø Surah
Al-An’am
Ø Surah
Maryam
J.
Ayat-Ayat
yang Turun Pada Musim Dingin
Ø Aisyah,
menurut catatan kitab Dirasat fi’Ulum Al-Quran mengatakan bahwa ayat 11 surah
Al-Nur yang sabab nuzulnya berkaitan dengan dirinya diturunkan pada musim
dingin.
Ø Ayat
9 surah Al-ahzab.Khudzaifah meriwayatkan, pada malam Al-Ahzab, orang-orang
berpencar dengan Rasullulah Saw kecuali 12 orang. Rasullulah Saw dating dan
mengatakan kepada mereka “Bangkitlah dan berangkatlah ke Al-Ahzab”.
K.
Ayat-Ayat
yang Turun di Perjalanan
Ø Ayat
281 surah Al-Baqarah, turun di Mina pada tahun terjadi Haji Wada.
Ø Ayat
58 surah Al-Nisa’. Ayat ini turun kepada Nabi Muhammad pada hari futuh saat beliau berada di Ka’bah.
Ø Ayat
176 surah Al-Nisa’.
Ø Ayat
3 surah Al-Maidah, turun di Arafah pada waktu Haji Wada.
L.
Ayat-Ayat
yang Turun Musyayya’
Musyayya’ artinya diiringi, dikawal,
dan diantar. Ada beberapa ayat Al-Quran yang ketika turun dikawal sejumlah
malaikat sebagai penghormatan. Ayat-ayat yang ketika turun diperlakukan seperti
itu disebut, “ayat musyayya”. Ayat-ayat atau surah-surah tersebut adalah:
Ø Al-Fatiah,
surah ini ketika turun dikawal 30.000 malaikat.
Ø Ayat
Kursi, ketika turun dikawal 30.000 malaikat.
Ø Surah
Yunus, surah ini ketika turun dikawal 70.000 malaikat.
Ø Surah
Al-An’am, dikawal 20.000 malaikat.
Ø Ayat
45 surah Al-Zukhfur, turun dikawal 20.000 malaikat.
BAB
VII
PENULISAN
AL-QURAN
Orang
Mesir Kuno, menurut Syekh Abu Abdullah Al-Zanjani, mempunyai tiga macam jenis
tulisan, yaitu tulisan Hieroglif, Herotik dan Demotik. Heiroglif adalah tulisan
yang dipakai khusus oleh par apemeluk agama. Sementara yang kedua (Herotik)
adalah jenis tulisan resmi yang dipakai dikantor-kantor pemerintahan, sedangkan
yang ketiga (Demotik) digunakan oleh masyarakat umum. Dari ketiga jenis tulisan
tersebut, Demotik dianggap sebagai bagian penting dari cikal bakal khat
(tulisan) Arab.
A.
Tradisi
Hafalan Al-Quran
Menurut Dr. Shubhiy Shalih dalam
Mabahits fi’Ulum mempunyai dua pengertian, yaitu Al-hifzhu (menghafal) dan
Al-kitabah, yakni menulis Al-Quran pada benda-benda yang dapat ditulis.
Rasullulah Saw pernah ditegur Allah
Swt karena beliau dinilai terlalul tergesa-gesa. Begitu Jibril dating kepada
Rasullulah Saw, beliau sudah tak sabar lagi ingin segera menguasai ayat-ayat
yang baru beliau terima dari Jibril. Karena sikap itulah, Allah menasehatkan
agar jangan terburu-buru menggerakan lidah.
Jadi, setiap kali menerima wahyu
Al-Quran, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat 16-20 surah
Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang harus dilalui Rasullulah Saw.
Pertama, tahap penghimpunan Al-Quran
dibenak Rasullulah yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat
AlQuran. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan
dihadapan Rasullulah Saw.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap
bayan. Pada tahap yang terakhir ini, Rasullulah Saw diberitahukan pengertian
atau maksud ayat yang beliau terima.
Oleh Karena pesan Al-Quran tidak
hanya untuk Rasullulah Saw, tetapi untuk semua orang terutama yang bertaqwa.
Sejumlah sahabat yang menguasai
Al-Quran sepenuhnya, mereka adalah sebagai berikut.
Ø Dari
kalangan muhajirin : Abu Bakar,Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah,Sa’d, Ibnu Mas’ud, Khudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah
bin Sa’ib, Ibnu Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Amr bin Al-‘Ash
dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ø Dari
kalangan Anshar : Ubai bin Ka’ab, ABU Darda’, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik,
‘Ubadah bin Al-Shamit, Mu’adz alias Abu Hulaiman, Mujamma’ bin Jariah, Fadhalah
bin Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad.
B.
Penulisan
Al-Quran pada Zaman Rasullulah
Rasullulah Saw. Mengangkat beberapa
orang sebagai juru tulis. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan
semua wahyu yang diturunkan kepada Rasullulah Saw. Mereka adalah Abu Bakar,
Utsman, Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka,ab, Tsabit bin Qais dan
beberapa sahabat lainnya.
Para sahabat menulis Al-Quran pada ‘usub
(pelepah qurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf
(tulang unta) dan aqtab (bantalan dari kayu yang bias dipasang diatas punggung
unta). Salah seorang ”juru tulis” wahyu yang mendapat kepercayaan fari
Rasullulah Saw. Yaitu Zaid bin Tsabit, menuturkan pengalamannya dalam riwayat
Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasullulah menyusun Al-Quran
dari riqa’, Aku yang mengumpulkannya dari riqa’, aktaf dan hafalan-hafalan
orang”.
Untuk menghindari kerancuan akibat
bercampur aduknya ayat-ayat Al-Quran dengan lainnya, misaqlnya hadis Rasullulah
Saw., maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain
Al-Quran. Hal ini bias dilihat dari hadis riwayat Muslim dai Abi Said Al-Khudry
yang berbunyi:
“Janganlah kalian tulis dariku selain
Al-Quran. Barang siapa yang telah menulis (sumberku) selain Al-Quran supaya
menghapusnya”.
C.
Penghimpinan
Al-Quran pada Zaman Abu Bakar
Setelah Rasullulah Saw, wafat, Abu
Bakar Ash-Shiddiq terpilih menjadi khalifah pertama. Sejak hari-hari pertama
sebagai kepala Negara sahabat yang juga mertua Rasullulah Saw. Ini telah
diadang sejumlah masalah berat. Satu diantaranya adalah soal murtadnya sujumlah
orang dari islam.
Abu Bakar sebagai kepala Negara
melihat gerakan Musailamah sebagai bahaya besar. Beliau bertekad gerakan itu,
tujuannya menggempur Musailamah dan para pengikutnya yang murtad itu. Pasukan
muslimin berhasil melumpuhkan Musailamah dan pengikutnya. Tapi saying, pasukan
muslim yang yang dikomandoi oleh Panglima Khalid bin Walid gugur sekitar 700
hafiz Al-Quran. Termasuk diantaranya Zaid Ibn Al-Khaththab, saudara kandung
Umar bin Khathab yang mansyur itu.
D.
Penghimpunan
Al-Quran pada Zaman Utsman
Penghimpunan Al-Quran pada masa Abu
Bakar Al-Shiddiq bias disebut “penghimpunan terpadu”. Gagasan disodorkan oleh
Umar. Keputusan diambil oleh kepala Negara. Kemudian dilaksanakan oleh suatu
“tim” uang didalam pelaksanaan tugasnya melibatkan masyarakat umum.
Umar yang disebut-sebut sebagai
“anggota tim” yang aktif berpesan kepada sahabat-sahabat Rasullulah Saw.
Lainnya: “Siapa saja yang pernah mendapatkan sesuatu berupa Al-Quran dari
Rasullulah Saw. Agar segera membawanya.” Melihat ucapan ini, seakan-akan semua
catatan Al-Quran yang dimiliki oleh sahabat tertentu dapat diterima untuk kemudian
dihimpun dalam bentuk mushaf. Seusungguhnya tidak demikian Yang diterima oleh”
tim penghimpun Al-Quran” ini hanya catatan yang mempunyai dua “syahid” atau dua
saksi. Ketentuan “dua saksi” ini ditetapkan berdasarkan keputusan khalifah Abu
Bakar.
E.
Utsman
Membakar Mushaf
Utsman melalui “Panitia Empat” yang
dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu
dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu usha lagi yaitu
membakar mushaf lainnya, Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan
“Panitia Empat” itu tetap beredar.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf
yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.
Ø Harus
terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarakan riwayat ahad.
Ø Mengabaikan
ayat yang bacaannya di-nasakh dan ayat tersebut tidak diyakini di hadapan Nabi
pada saat-saat terakhir.
Ø Kronologi
surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan surahnya berberda dengan mushaf Utsman.
Ø Sistem
penulisan yang digunakan Mushaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai
dengan lafaz-lafaz Al-Quran ketika turun.
Ø Semua
yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf
sebagian sahabat di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau
penjelasan nsaikh-mansukh.
Setelah
mushaf dipinjam Utsman dari Abu Bakar, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah.
Mushaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat.
BAB
VIII
RASM
AL-QURAN dan PERKEMBANGANNYA
A.
Kaidah
Penulisan Al-Quran
Rasm Al-Quran adalah tata cara
menulis Al-Quran yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan.Mushaf
Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas
kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah yaitu:
1. Al-Hadzf
yaitu membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.
2. Al-Ziyadah
yaitu penambahan kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani adalah alif, ya
dan wawu.
3. Kaidah
Hamzah (berharkat).
4. Badal.
5. Washal
dan Fashal.
6. Kata
yang bias dibaca dua bunyi.
B.
Pencetakan
Al-Quran
Al-Quran cetakan pertama kali muncul
di Bunduqiyah, tahun 1530 M. Penerbitan Al-Quran dengan label Islam dimulai
pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulana Utsman. Dan mushaf cetakan
itu lahir di Leningrad, Uni Soviet, Petersburg, Rusia, sekarang.
Dinegara Arab, Raja Fuad dari Mesir
membentuk panitia khusus penerbitan Al-Quran di perempatan pertama abad ke 20.
Panitia yang dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342H/ 1923
Mberhasil menerbitkan mushaf Al-Quran cetakan yang bagus.
BAB
IX
SEKITAR
SURAH Dan AYAT
A.
Surah
Dari segi lughawi-nya, surah berarti
manzilah atau kedudukan. Arti lainnya adalah syaraf, atau kemuliaan. Menurut
definisi yang dikenal dalam hubungannya dengan Al-Quran, surah adalah “kelompok
tersendiri dari ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai awal dan akhir.” Abdul Wahhab
Abdulmajid Ghazlan mendefinisikan lain. Menurutnya, surah adalah “kelompok
tersendiri dari Al-Quran yang terdiri dari sedikitnya tiga ayat.”
Ada empat kelompok surah yang dapat
dijadikan pijakan yaitu diantaranya sebagai berikut.
1. Al-Thiwal
yaitu surah yang panjang-panjang.
2. Al-Mi;un
yaitu surah-surah Al-Quran yang ayatnya sekitar 100 ayat.
3. Al-Matsani
yaitu surah-surah yang ayatnya kurang dari seratus ayat. Disebut matsani yang
berarti diulang-ulang karena surah ini sering dibaca ulang, lebih dari surah
Al-Mi’un atau Al-Thiwal.
4. Al-Mufashshal
yang berarti terputus-putus, karena seringnya terputua. Sebabnya itu surahnya
pendek.
B.
Ayat
Bagi Umat Islam, lebih-lebih dalam
membahas masalah Al-Quran tak ada sumber yang lebih bernilai ketimbang Al-Quran
itu sendiri. Informasi menyangkut jati diri seseorang, misalnya, yang bias
dipertanggungjawabkan adalah bila dating dari orang itu sendiri. Saat yang
dibahas masalah Al-Quran, makna yang paling tepat menerangkan “jati diri”
adalah Al-Quran itu sendiri.
Didalam Al-Quran, terdapat
bermacam-macam arti ayat:
Pertama, ayat berarti tanda. Ini bias
disimak di dalam surah Al-Baqarah ayat 248 yang berbunyi
Sesungguhnya tanda ia menjadi raja,
adalah kembalinya taubat kepadamu.
Kedua, ayat berarti’ibrah atau
pelajaran. Dalam surah Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi:
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ
وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya didalam penciptaan lagit
dan bumi, silih bergantinya siang dan malam bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air. Lalu dengan air itu (Dia hidupkan bumi setelah mati) keringnya, dan
Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awann
yang dikendalikan antara langit dan bumi, syngguh merupakan pelajaran bagi
orang yangberakal. (QS Al-Baqarah [2]; 164)
Ketiga, ayat juga berarti mukjizat.
:Ayat: dalam pengertian ini dapat dilihat dari surah Al-Baqarah yang berbunyi:
سَلْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ (شَدِيدُ الْعِقَابِ البقرة:٢١١)
Tanyakanlah kepada Bani
Israil:”Berapa banyaknya mukjizat yang nyata yang telah Kami berikan kepada
mereka?” (QS Al-Baqarah [2]: 211)
Keempat, ayat yang berarti hal aneh.
Al-Zurqanain mengartikan kata ayat pada surah Al-Mu’minun, ayat 50 menjadi
Al-amru Al-‘ajib. Yakni perkara atau hal aneh.
Dan putra Maryam beserta ibunya
adalah hal aneh. Dan lindungi mereka di suatau tanah tinggi yang datar yang
banyak terdapat banyak padang rumputmdan sumber-sumber air bersih yang mengalir
(QS Al-Mu’minun [23]: 50).
Al-Zarkany melihat ada tiga faedah
mengetahui ayat, yaitu sebagai berikut.
1. MMengetahui
bahwa setiap tiga ayat pendek-pendek pun mengandung mukjizat.
2. Sebagian
ulama mengatakan bahwa berhenti membaca pada setiap akhir surah adalah sunah.Ketetapan
ini memang dalil riwayat Abu Daud dari Ummu Salamah yang mengatakan:
“Bahwasannya Rasullulah Saw. Bila membaca (Al-Quran) memutus bacaannya demi
ayat.”
3. Didalam
khotbah ada keharusan membaca ayat secara utuh. Artinya membaca ayat secara
keseluruhan. Tanpa pengetahuan batas-batas ayat, sulit untuk menjalankan
ketentuan ini.
BAB
X
FAWATIH
AL-SUWAR dan KHAWATIM AL-SUWAR
Al-Quran
adalah lautan ilmu yang tidak ada habis-habisnya untukdikaji dari berbagai
sisi. Bahkan orientasi pun tidak ketinggalan untuk mengetahui rahasia dibalik
teks-teks Al-Quran tersebut. Salah satu pengkajian, sekaligus kemukjizatan
Al-Quran adalah kajian terhadap kata-kata pembuka dan kata-kata penutup
Al=Quran. Surah-surah Al-Quran yang terdiri dari 144 surah, ternyata diawali
dengan beberapa macam pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai
macam penutup (khawatim Al=suwar). Pembuka dan penutup ini memiliki maksud dan
tujuan tetentu yang akan berimplikasi pengungkapan isi suatu surah.
A.
Fawatih
Al-Suwar
Istilah “fawatih” adalah jamak dari
kata “faith” yang secara lughawi berate pembuka. Sedangkan “suwar” adalah jamak
dari kata “surah” sebagai sebutan dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran yang
diberi nama tertentu. Jadi “fawatih Al-suwar” berarti pembukaan-pembukaan
surah.
Menurut Badruddin Muhammad
Al-Zarkasyi, Allah SWT telah memberikan pembukaan terhadap kitab-Nya dengan
sepuluh macam bentuk dan tidak ada satupun surah yang keluar dari sepuluh macam
pembukaan itu, dintaranya sebagai berikut.
1. Pembukaan
dengan pujian kepada Allah (Al-istiftah bi Al-tsama).
2. Pembukaan
dengan huruf yang terputus-putus (Al-ahruf Al-muqatha’ah).
3. Pembukaan
dengan panggilan (Al-istiftah bi Al-nida).
4. Pembukaan
dengan kalimat berita (Al-istiftah bi Al-jumlah Al-khabariyah).
5. Pembukaan
dengan sumpah (Al-istiftah bi Al-qasam).
6. Pembukaan
dengan syarat (Al-istiftah bil-syarth).
7. Pembukaan
dengan kata kerja perintah (Al-istiftah bi Al-amr).
8. Pembukaan
dengan pernyataan (Al-istiftah bi Al-istifham).
9. Pembukaan
dengan do’a ( Al-istiftah bi Al-du’a).
10. Pembukaan
dengan alas an (Al-istiftah bi Al-ta’lil).
B.
Khawatim
Al-Suwar
Istilah “khawatim” adalah bentuk
jamak dari “khatimah”, yang berarti penutup atau penghabisan. Menurut bahasa,
“khawatim Al-Suwar” berarti penutup surah-surah Al-Quran. Menurut istilah,
“Khawatim Al-Suwar” adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surah-surah
Al-Quran yang member isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk
mengetahui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya.
Menrut sementara penelitian,
sedikitnya ada 16 macam Khawatim Al-Suwar:
1. Penutupan
dengan mengagungkan Allah (Al-ta’zhim).
2. Penutupan
dengan anjuran ibadah dan tasbih (Al-‘ibadah wa Al-tyasbih).
3. Penutupan
dengan pujian (Alyahmid).
4. Penutupan
dengan do’a.
5. Penutupan
dengan wasiat.
6. Penutupan
dengan perintah dan msalah taqwa.
7. Penutupan
dengan masalah kewarisan.
8. Penutupan
dengan janji dan ancaman (Al-wa’d wa Al-wa’id).
9. Penutupan
dengan hiburan bagi Nabi Swa.
10. Penutupan
dengan sifat-sifat Al-Quran.
11. Penutupan
dengan bantahan (Al-jadl).
12. Penutupan
dengan ketauhidan.
13. Penutupan
dengan kisah.
14. Penutupan
dengan anjuran jihad.
15. Penutupan
dengan perincian maksud.
16. Penutupan
dengan pertanyaan.
17.
C.
Aqsam
(Sumpah) dalam Al-Quran
1. Definisi
Aqsam dan Unsur-unsurnya
Kata “aqsam” adalah bentuk jamak dari
“qasam” artinya”half dan “yamin” yang keduanya berarti sumpah. “Aqsam”
selanjutnya didefinisikan sebagai” pengikatan jiwa (hati) melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar dan agung baik
secara hakiki maupun secara I’tiqad (keyakinan) oleh orang yang bersumpah itu.”
Aqsam Al-Quran yaitu sumpah-sumpah yang disampaikan Allah Swt untuk meyakinkan
kebenaran risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, Muhammad Saw.
Unsur-unsur yang membentuk qasam ada
tiga, yaitu:
a. Fi’l
Al-qasam.
b. Al-Muqsambih.
c. Al-Muqsam
‘alaih.
D.
Macam-Macam
Faedah Qasam
Qasam itu ada kalanya zhahir
(jelas/tegas) dan ada kalanya mudhmar (tersembunyi, tersirat).
a. Qasam
Zhahir
Qasam zhahir adalah sumpah yang
didalamnya disebutkan fi’l Al-qasam dan Al-musam bih.
b. Qasam
Mudhmar
Qasam mudhmar yaitu yang didalamnya
tidak dijelaskan fi’l qasam dan tidak pula Al-muqsam bih.
BAB XI
TAFSIR, TA’WIL Dan TARJAMAH
A.
Definisi
Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
Secara etimologi kata “tafsir”
berasal dari kata “fassara” yang berarti “menjelaskan,” “menyingkap”,
“menampakkan” atau “menerangkan’ makna yang abstrak. Kata “Al-fasr” berarti
menyingkapkan sesuatu yang tertutup.
Secara terminologis, “tafsir” berarti
ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Definisi lain tentang “tafsir” dikemukakan oleh Al-Shabuny bahwa tafsir adalah
ilmu yang membahas tentang Al-Quran dari segi pengertiannya terhadap maksud
Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Pengertian “ta’wil” menurut sebagian
ulama, sama dengan tafsir. Namun, ulama yang lain membedakannya, bahwa “ta’wil”
adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ke makna lain yang lebih sesuai karena
alas an yang dapat diterima oleh akal.
Dari pengertian kedua istilah, dapat
disimpulkan bahwa “tasir” adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat
Al-Quran yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki
oleh Allah. Sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbatkan
dari ayat Al-Quran berdasarkan alas an-alsant tertentu.
B.
Macam-Macam
Tafsir
1. Berdasarkan
Sumbernya
Ø Tafsir
bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Quran dan/atau sunah sebagai
sumber penafsirannya.
Ø Tafsir
bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber
penafsirannya.
2. Berdasarkan
Corak Penafsirannya
Ø Tafsir
shufi/isyari, corak penafisran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk
tafsir Isyarah.
Ø Tafsir
Fiqih, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih.
Ø Tafsir
Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan fislasat,
termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam.
Ø Tafsir’Ilmy,
yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan
umum.
Ø Tafsir
Al-Adab Al-Ijtima’I, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada
masalah-masalah social kemasyarakatan.
3. Berdasarkan
Metodenya
Ø Metode
Tahlili (Metode Analisis)
Metode tahlili adalah metode
penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara analitis dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian
mufasir tersebut.
Ø Metode
Ijmali (Metode Global)
Metode ijmali, yaitu penafsiran
Al=Quran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tetapi mencakup
makna yang dikehendaki dalam ayat.
Ø Metode
Muqaran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah
menafsirkan Al-Quran dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Quran, kemudian
mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para
ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.
Ø Metode
Maudhu’I (Metode Tematik)
Yaitu menjelaskan konsep Al-Quran
tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimoun seluruh ayat
Al-Quran yang membicarakan tema tersebut.
BAB
XII
MUNASABAH
AL-QURAN
A.
Definisi
Munasabah
Kata munasabah secara etimologis
berarti “musyakalah” (keserupaan) dan “muqarabah” (kedekatan). Adapun menurut
pengertian terminologis, beberapa ulama mendefinisikannya sebagai berikut.
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah
mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafaz umum dan
lafaz khusus, atau hubungan antara ayat yang terkait dengah sebab akibat,
‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Menurut Ibnu Al-Ara’bi, munasabah
adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Quran sehingga merupakan seolah-o;lah merupakan
satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
B.
Urgensi
Munasabah
Keseluruhan teks dalam Al-Quran,
sebagaimana juga telah disinggung dimuka, merupakan kesatuan structural yang
bagian-bagiannya saling terkait. Kesuluruhan teks Al-Quran menghasilkan
pandangan dunia yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan Al-Quran
sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan dan mencerdaskan.
C.
Macam-Macam
Munasabah
1. Sifat
Ø Zhahir
Al-irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan
kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bias
menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat laiinya.
Ø Khafiy
Al-irtibath, yaitu persesuain tau kaitan yang samar antara ayat yang satu
dengan yang lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya,
seolah-olah msaing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri, baik karena ayat yang
satu itu di ‘Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan
dengan yang lain.
2. Materi
Ø Munasabah
Antar Ayat
Yaitu
munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk
persambung-sambungan ayat, meliputi, pertama di-‘athaf-kannya ayat yang satu
pada ayat yang lain, kedua tidak di-‘athaf-kannya, ketiga digabungkannya dua
hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradisi, kelima
dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain.
Ø Munasabah
Antar Surah
Munasabah
antarsurah tidak lepas dari pandangan holistic Al-Quran yang menyatakan Al-Quran sebagai “satu kesatuan” yang
“bagian-bagian strukturnya terkait secara integral.”
BAB
XIII
QIRAAT
Qiraat
merupakan salah satu cabang-cabang ilmu Al-Quran, tetapi tidak banyak orang
yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan
akademik. Qiraat secara etimologi berarti “bacaa”, sedangkan secara terminology
umumnya berarti “suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam quraa’ (ahli bacaan
Al-Quran) yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan dan metode dan juga
riwayatnya.”
A.
Sikap
Para Ulama Terhadap Qiraat
Pada dasawarsa pertama Abad IV
Hijriah, seorang ulama dari Bagdad pernah dikecam. Menurut tuduhan yang
dijatuhkan kepada ulamaitu, ia telah mengakibatkan kerancuan pemahaman orang
banyak terhadap pengertian “tujuh kata” yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Abu Bakar Ahmad, alias Ibnu Mujahid,
demikian nama ulama yang dituduh itu sesungguhnya sesungguhnya tidak sengaja
melahirkan sesuatu yang baru dan telah menyebabkan ia dituduh menyesatkan
banyak orang. Padahal apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah mengoleksi
qiraat-qiraat para imam qiraat terkemuka. Akan tetapi, agaknya ulama-ulama yang
menuduhnya sesat.
Ketika Ibnu Mujahid menghimoun
qiraat-qiraat mereka, ia meniadakan nama Yakub yang berasal dari Bashrah untuk
kemudian posisinya digantikan dengan Al-Kasa’I (wafat 182 H). Penggeseran ini
member pesan seolah-olah Ibnu Mujahid menganggap cukup qari Bashrah diwakili
oleh Abu Amr. Sementara itu, Ibnu Mujahid menetapkan tiga nama untuk Kufah.
Mereka adalah Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kasa’i.
Kemudian yang dimaksud dengan Qiraat
Empat Belas adalah sepuluh qiraat yang telah disebutkan ditambah dengan qiraat
empat tokoh lainnya. Mereka yaitu:
§ Hasan
Al-Bishri.
§ Muhammad
bin Abdu Al-Rahman, yang mansyhur dengan sebutan Ibnu Muhaishan.
§ Yahya
bin Al-Mubarak Al-Yazidiy.
§ Abu
Al-Faraj Muhammad bin Ahmad Al-Syanbudzi.
Untuk menentukan diterimanya sebuah
qiraat, para ulama menetapkan criteria-kriteria sebagai berikut.
§ Mutawatir,
yaitu qiraat yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi
kebohongan.
§ Sesuai
dengan kaidah bahasa Arab.
§ Sesuai
dengan tulisan Mushaf Utsman.
§ Mempunyai
sanad yang shahih.
B.
Qiraat
Syadz
Qiraat Syadz adalah qiraat yang
sanadnya tidak shahih, yakni tidak memenuhi persyaratan yang diminta untuk
keabsahan sebuah qiraat.
Disamping mutawatir dan syadz, juga
terdapat jenis qiraat lain yang dikenal di dalam dunia ilmu Al-Quran, yang
dijelaskan dibawah ini.
1. Masyhur.
Qiraat mashyur adalah qiraat yang
sanadnya sahih karena diriwayatkan oleh tokoh yang adil, dhabith (mempunyai
ketelitian tulisan dan hafalan yang baik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab,
dan sesuai dengan kaidah Mushaf Utsman.
2. Shahih
Sanad
Qiraat macam ini sanadnya shahih,
tetapi tidak sama dengan tulisan Mushaf Utsman atau tidak seterkenal Qiraat
Mashyur dan Mutawatir.
3. Maudhu’
Qiraat ini hanya dinisbahkan kepada
orang tanpa asal-usul yang pasti, bahkan tanpa asal-usul sama sekali.
4. Qiraat
Tambahan
Yaitu bacaan yang sesungguhnya
sekedar penafsiran, tetapi dianggap qiraat.
C.
Sebab
Perbedaan Para Qari
1. Perbedaan
dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
2. Perbedaan
pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
3. Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa mengubah I’rab dan bentuk tulisannya, sementara
maknanya berubah.
4. Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tetapi tanpa perubahan
maknanya.
5. Perbedaan
pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula.
6. Perbedaan
pada mendahulukan kata dan mengakhirinya.
7. Perbedaan
dengan menambah atau mengurangi huruf.
BAB
XIV
MUHKAM
DAN MUTASYABIH
Ada
ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat dan yang mutasyabihat. Atas dasar itulah para
ulama member definisi kedua jenis ayat tersebut. Dr. Amir Aziz dalam Dirasat fi
‘Ulum Al-Quran mengiventarisasi enam definisi dalam masalah ini.
Pertama,definisi
oleh Dr. Amir yaitu Muhkam atau muhkamat adalah ayat yang bias dilihat pesannya
dengan gambling atau dengan melalui takwil, karena ayat yang perlu ditakwil itu
mengandung pengertian lebih dari satu kemungkinan.
Kedua,
definisi dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya
mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung
bermacam-macam pengertian.
Ketiga,
muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja
ayat tersebut sudah dapat ditangkap, tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung
pengertian yang tidak dapat dirasionalkan.
Keempat,
ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan mengandung pesan pernyataan
halal, haram, hudud,faraidh dan semua yang wajib diimani dan diamalkan.
Kelima,
ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengandung halal dan haram. Ayat –ayat
mutasyabihat di luar ayat-ayat tersebut.
Keenam,
ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-nasakh (tidak mansukh). Sementara ayat
yang mutasyabihat adalah ayat yang di-nasakh.
BAB
XV
PROBLEMATIKA
NASAKH
A.
Mansa’
Dilihat dari segi bahasa, mansa’
berarti yang dilahirkan atau yang ditunda. Mansa’ didalam Al-Quran bermakna
ayat-ayat yang mengandung hokum lantaran bersifat sementara. Dengan hilangnya
sebab yang hanya bersifat sementara itu, maka berakhirlah masa berlaku
hukumyang kemudian posisinya digantikan oleh nhukum lain yang baru. Contoh yang
bias dikemukakan dalam hal ini adalah perintah kepada kaum Muslimin untuk
bersabar dan memaafkan orang-orang yang bukan Muslim yang menyakiti kaum
Muslimin.
B.
Takhshin
Al-‘Am
Di sebuah masjid di pinggir kota
metropolitan, diibaratkan ada seorang mubalig yang dengan semangat
menggebu-gebu mengatakan, “Muda-mudi sekarang telah hanyut dalam kehidupan
amoral. Mereka telah terkena penyakit wahan;yakni
bergelimang dalam kecintaan terhadap dunia dan takut mati. Kecuali muda-mudi yang
sering dating menghadiri pengajian dan ceramah-ceramah agama.”
Sekiranya kalimat yang keluar dari
mulut seorang mubalig itu dibagi dua, maka paruh pertamanya memvonis pemuda
telah hanyut ke lembah kebobrokan moral, sangat mencintai dunia. Dan tidak siap
bahkan takut menghadapi kematian. Karena yang disebut “pemuda-pemudi” adalah
umum, atau yang dalam pembahasan sekarang ini disebut ‘Am. Sementara diparuh
kedua, yang dimulai dengan kata “kecuali” adalah pengecualian atau pengkhususan
dari bentuk umum. Dengan adanya pengkhusuan ini, maka selain para muda-mudi
yang berahklak bobrok, cinta dunia dan takut mati, ada pula pemuda yang masih
baik-baik. Mereka adalah pemuda dan pemudi yang sering mengikuti pengajian dan
rajin pergi ke masjid.
C.
Taqyid
Muthlaq
Prof. Hasbi Ash-Shiddieq dalam Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsirnya,
mendefinisikan muqayyad sebagai
berikut: “Nash Muqayyad adalah Nash yang merujuk pada satu dan dikaitkannya
dengan suatu sifat.” Dalam hal ini Hasbi mengambil contoh ungkapan yang berbunyi:
“seorang budak yang beriman.” Maksudnya yaitu budak yang beriman tentu tidak
termasuk budak yang tidak beriman.
D.
Tabyin
Al-Mubham
Tabyin berarti memperjelas dan
Al-mubham artinya kabur, tidak terang dan masih mengundang pertanyaan.
E.
Mujmal
Mujmal secara lughawi, berarti
global. Dalam pengertian istilahnya, Mujmal dalam hubungannya dengan ayat
Al-Quran, menurut Dr. Amir. Abd Al-Aziz, mempunyai definisi sebagai berikut:
“Sesuatu yang belum jelas tampak penunjukkan (kalalah)-nya dan tidak diketahui
maksud yang dikehendakinya secara sempurna.
Ada dua macam mujmal. Pertama,
sesuatu yang tidak bias dijadikan rujukan pembebanan, karena pesannya yang
bersifat global, kabur atau tidak jelas.
Kedua, mujmal yang melahirkan taklif
(pembebanan, kewajiban). Ayat-ayat semacam ini harus dicari maksudnya, sampai
terbongkar maksud yang dikandungnya dan pada akhirnya orang yang mukallaf
mengamalkannya.
Mujmal terjadi karena dua sebab,
yakni sebagai berikut.
1. Isytirak,
yakni pengertian ganda.
2. Mengandung
pengertian ‘athaf dan isti’naf.
BAB
XVI
NASIKH-MANSUKH
A. Definisi Nasikh-Mansukh
dan Pro-Kontra para Ulama
Dari segi bahasanya, ada kesepakatan
para ulama mengenai makna kata nasakh, khususnya yang terdapat dalam ayat
Al-Quran. Para penulis ‘Ulum Al-Quran biasanya menurunkan nasakh dalam beberapa
makna. Ia bias berarti izalah yang bila diterjemahkan menjadi “penghilangan.”
Nasakh dibagi menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut.
1. Nasakh
perintah sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan.
2. Nasakh
tajawwuz, yakni nasakh terhadap perintah yang diwajibkan kepada umat sebelum
Islam.
3. Nasakh
terhadap perintah yang karena sebab tertentu yang kemudian dibatalkan lantaran
hilangnya sebab.
B. Ayat-Ayat Yang Terkena
Nasakh
Nasakh hanya terjadi pada ayat yang
amar (perintah) dan nahi (larangan). Hatta amar dan nahi itu berbentuk khabar
(kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab (permintaan). Sementara pada
kalimat berbentuk khabar yang bukan bermakna thalab, nasakh tidak terjadi.
C. Ayat-Ayat yang Kena dan
Bebas Nasakh
Dalam kaitannya ayat yang kemasukan
nasikh dan mansukh, Dr. Shubhy Shalih. Penulis kitab Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran
menilai bahwa tidaklah berlebih-lebihan bila suatu ayat dipotong menjadi dua.
Separuh diantaranya dinyatakan nasikh, sementara yang sepotong lagi dikatakan
mansukh.
D. Ayat-Ayat yang Tidak
Terkena Nasakh
Para ulama ushul, kata Dr. Amir abdul
Aziz, sepakat bahwa nasakh hanya mungkin terjadi pada ayat yang menyangkut amar
ma’ruf dan nahi munkar. Termasuk dalam kategori ini ayat-ayat yang bentuk
kalimatnya khabar (berita) bermakna thalab (permintaan, tuntutan). Diluar
ayat-ayat yang bentuk kalimatnya semacam ini, nasakh tidak terjadi
E. Ayat-Ayat yang Dinilai
Mengandung Kontradiksi
Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin
mengandung kontradiksi satu sama lainnya. Hal itu mendapat jaminan dari Allah
Swt. Yang diantaranya surah An-Nisa’ ayat 82, surah Al-Baqarah ayat 51 dan
surah Al-A’raf ayat 142.
BAB
XVII
ISRAILIYAT
DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN
A.Definisi Israiliyat
Secara
etimologis istilah “israiliyyat” adalah bentuk jamak dari kata “israiliyah”,
yakni bentuk kata yang dinisbahkan pada bangsa Israil yang cikal bahasanya
adalah Ibrani. Kata “Israil” tersusun atas dua kata yaitu “Isra” yang berarti
hamba dan “Il” yang berarti Tuhan. Jadi, Israil adalah hamba Tuhan.
Secara
terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyah.
Menurut Al-Dzahabi, israiliyah mengandung dua pengertian, pertama: kisah dan
dongeng yang disusupkan dalam tafsir Al-Quran dan Hadis yang asal
periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu Yahudi, Nasrani dan yang
lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam
ke dalam tafsir Al-Quran dan Hadis yang sama sekali tidak di jumpai dasarnya
sama sekali.
B.Proses Masuk dan
Berkembangnya Israiliyah dalam Tafsir Al-Quran
Pada masa Rasullulah Saw hidup, umat Islam
tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi
hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satua ayat, mereka akan
langsung bertanya kepada Rasullulah Saw, kemudian beliau menjelaskan maksud
kandungan ayat tersebut. Akan tetapi, sejak Rasullulah Saw tiada, umat ini
banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab,
terkadang Al-Quran mengandung isyarat-isyarat yang belum bias dijangkau oleh
pikiran-pikiran orang Arab. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tafsir yang
bias membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat
tersebut.
Langkah
pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadis Rasullulah Saw, karena
mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak
mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil langkah
dengan cara menafsirkan satuayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang
mereka tempuh adalah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta
memahami konteks posisi ayat tersebut. Pada saat mereka tidak menemukan jawaban
dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad dan
lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya bagi mereka yang
mempunyai kapasitas intelektual.
C.Pengaruh Israiliyat
dalam Penafsiran Al-Quran
Israiliyat
memberikan gambaran seolah-olah Islam agama khurafat dan kebohongan yang tidak
ada sumbernya. Di samping itu, Israiliyyat bias menghilangkan kepercayaan umat
Islam kepada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Tidak sedikit cerita Israiliyyat yang munkar ini didasarkan kepada sahabat atau
tabi’in. Seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, dan Wahhab bin Munabbih.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar