BAB II
A. TEORI POLITIK
Teori
adalah generalisasi yang abstrak mengenal beberapa fenomena.Dalam menyusun
generalisasi, teori selalu memakai dengan konsep-konsep.Teori Politik adalah
bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan kata lain,
teori politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik,
cara mencapai tujuan itu, kemungkinan -kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang
akan ditimbulkan oleh situasi politik tertentu dan kewajiban-kewajiban yang
diakibatkan oleh tujuan politik itu. Ada dua macam teori dalam teori politik
yang bersifat mutlak, yang pertama teori yang memiliki dasar moral atau
bersifat akhlak dan yang menentukan norma-norma untuk perilaku politik teori
tersebut seperti contohnya dibagi menjadi 3 yaitu filsafat politik, teori
politik sistematis, ideology politik. Dan teori yang kedua teori yang
menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak
mempersoalkan norma-norma atau nilai.
a.
Filsafat politik
Mencari penjelasan yang berdasarkan rasio, persoalan yang menyangkut alam semesta, harus dipecahkan dulu sebelum persoalan politik yang dialami shari-hari ditanggulangi. Sekaligus menjadi pedoman mencapai kehidupan yang baik(good life).
Mencari penjelasan yang berdasarkan rasio, persoalan yang menyangkut alam semesta, harus dipecahkan dulu sebelum persoalan politik yang dialami shari-hari ditanggulangi. Sekaligus menjadi pedoman mencapai kehidupan yang baik(good life).
b.
Teori politik sistematis (sytematic
political theory)
Merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik bahwa langsung menetapkan norma dalam kegiatan politik.
Merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik bahwa langsung menetapkan norma dalam kegiatan politik.
c.
Ideologi poitik
Himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, yang dimiliki seseorang atau kelompok atas dasar menentukan sikap terhadap problematika politik yang menentukan perilku politiknya.
Himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, yang dimiliki seseorang atau kelompok atas dasar menentukan sikap terhadap problematika politik yang menentukan perilku politiknya.
B. MASYARAKAT
Masyarakat
adalah keseluruhan antara hubungan antar manusia, masyarakat adalah suatu
sistem hubungan yang ditata. Manusia mempunyai naluri ubtuk hidup bersama dengan
orang lain yang harmonis. Manusia mempunyai kebutuhan fisik maupun mental yang
sukar dipenuhi seorang diri, maka harus bekerja sama untuk mencapai beberapa
nilai. Harold laswell merinci delapan nilai, yaitu:
o Kekuasaan
o Kekayaan
o Penghormatan
o Kesehatan
o Kejujuran
o Ketrampilan
o Pendidikan
o Kasih sayang
o Kekuasaan
o Kekayaan
o Penghormatan
o Kesehatan
o Kejujuran
o Ketrampilan
o Pendidikan
o Kasih sayang
C. NEGARA
Negara
merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari
kekuasaan politik yang dalam hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
geejala kekuasaan dalam masyarakat.
Negara itu merupakan organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannyasecara sah terhaddap semua golongan kekuasaan lainnyadan yang menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.
Negara itu merupakan organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannyasecara sah terhaddap semua golongan kekuasaan lainnyadan yang menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.
Negara mempunyai dua
tugas yaitu:
1.
Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala
kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak
menjadi antagonis yang membahayakan;
2.
Mengorganisir dan mengitegrasikan kegiatan
manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
keseluruhannya.
Ø Definisi
mengenai negara
Definisi negara menurut
para ahli:
1.
Roger H. Soltau
Negara
merupakan suatu alat atau wewenang yang mengendalikan atau mengatur persoalan
bersama atas nama rakyat atau masyarakat.
2.
Harold J. Laski
Negara
merupakan suatu kelompok masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang sifatnya memaksa & secara sah lebih agung daripada (personal)
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari rakyat atau masyarakat.
3.
Max Weber
Negara
merupakan kumpulan masyarakat yang memonopoli penggunaan kekerasan fisik secara
sah didalam suatu wilayah.
4.
Robert M. Mac. Iver
Negara adalah asosiasi yang berfungsi memelihara ketertiban dalam masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah yang diberi kekuasaan memaksa.
Negara adalah asosiasi yang berfungsi memelihara ketertiban dalam masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah yang diberi kekuasaan memaksa.
Ø Sifat-sifat
negara
Secara umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabatdan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaattan pada peraturan perundangan melalui penguasaan monopolis terhadap kekuasaan yang sah.
Sifat-sifat negara
Secara umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabatdan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaattan pada peraturan perundangan melalui penguasaan monopolis terhadap kekuasaan yang sah.
Sifat-sifat negara
1.
Sifat Memaksa
Negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai
kekuatan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan alat
penjamin hukum lainnya. Dengan sifat memaksa ini diharapkan semua peraturan
perundangan yang berlaku ditaati supaya keamanan dan ketertiban negara
tercapai. Bentuk paksaan yang dapat dilihat dalam suatu negara adalah adanya
Undang-Undang perpajakan yang memaksa setiap warga negara untuk membayar pajak,
bila ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukuman.
2.
Sifat Monopoli
Negara mempunyai sifat
monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Misalnya negara dapat
mengatakan bahwa aliran kepercayaan atau partai politik tertentu dilarang karena
dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat dan negara.
3.
Sifat Mencakup Semua ( All - embracing )
Semua peraturan
perundangan yang berlaku adalah untuk semua orang tanpa kecuali. Hal itu perlu,
sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara,
maka usaha negara untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.
Ø Unsur-Unsur
Negara
1.
Wilayah,setiap
negara menduduki tempat tertentu dimuka bumi dan mempunyai perbatasan tertentu.
2.
Penduduk,Setiap
negara mempunyai penduduk, dan kekuasaan negara menjangkau semua penduduk di
dalam wilayahnya.
3.
Pemerintah,Setiap
negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan
keputusan keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya.
4.
Kedaulatan,Kedaulatan
adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang undang dan melaksanakannya
dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Ø Tujuan
dan Fungsi Negara
1.
Melaksanakan
Ketertiban: Keteriban penting untuk mencegah terjadinya
bentrokan dalam masyarakat agar tujuan bersama dapat tercapai. Dalam hal ini,
negara berfungsi sebagai stabilisator. Negara memiliki kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat agar terjadi ketertiban. Dalam
melaksanakan ketertiban tersebut, negara mengacu pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Mengusahakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya: Fungsi Negara
selanjutnya adalah kewajiban untuk mengusahakan tercapainya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya. Dewasa ini, fungsi ini sangat penting, terutama untuk
negara baru atau negara-negara yang sedang berkembang.
3.
Melaksanakan
pertahanan: Negara wajib mempunyai alat-alat pertahanan agar
melaksanakan fungsi tersebut untuk menjaga, mencegah, dan menanggulangi
berbagai gangguan, ancaman, tantangan, dan hambatan.
4.
Menegakkan
keadilan: Untuk melaksanakan fungsi ini, negara dapat
menggunakan badan-badan pengadilan yang ada di negara tersebut. Keadilan adalah
hak setiap manusia, karena itu setiap orang harus memperoleh rasa
keadilan, memperoleh hak-haknya, serta terhindar dari perlakuan sewenang-wenang
ataupun ketidakadilan lainnya, baik yang dilakukan oleh orang lain bahkan
mungkin yang dilakukan oleh negara.
Ø Istilah
Negara dan Istilah Sistem Politik
konsep
"sistem" oleh sarjana politik ini dipinjam dari ilmu biologi,
dimana menurutnya sistem adalah bagian-bagian atau komponen-komponen yang
saling bergantung dengan saling berinteraksi. Pada dasarnya konsep sistem
politik itu sendiri dipakai dalam keperluan analisis karena sistem bersifat
abstrak dan terdiri dari beberapa variabel yang juga dapat diterapkan dalam
situasi yang konkret, seperti negara, atau kesatuan yang lebih besar yang
terdiri dari berbagai negara. Dalam konsep sistem politik terdapat
istilah-istilah seperti proses, struktur dan fungsi. Adapun uraiannya adalah
sebagai berikut.
Istilah-Istilah dalam
Konsep Sistem Politik
1.
Proses
Sistem Politik : Proses adalah pola-pola tingkah laku
(sosial dan politik) yang dibuat oleh manusia yang bertujuan mengatur hubungan
antara satu sama lain. Dalam suatu negara, lembaga-lembaga seperti parlemen,
partai, birokrasi, sekalipun sudah ada yang memiliki kehidupan sendiri yang
sebenarnya merupakan proses dari pola-pola ulangannya yang sudah mantap dan
mencerminkan struktur.
2.
Struktur
Sistem politik : Struktur adalah mencakup pada
lembaga-lembaga formal dan juga informal, misalnya parlemen, kepala negara,
jaringan komunikasi, kelompok kepentingan, dan sebagainya.
3.
Fungsi
Sistem Politik : Fungsi adalah membuat
keputusan-keputusan, policy (kebijakan) dengan mengikat mengenai alokasi dari
nilai-nilai yang sifatnya material yang mengarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat.
Dalam sistem politik
terdapat empat variabel yaitu:
1.
Kekuasaan, sebagai cara dalam mencapai
keinginannya seperti membagi sumber-sumber di antara setiap kelompok dalam
masyarakat.
2.
Kepentingan, yaitu tujuan-tujuan yang
dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok dalam politik
3.
Kebijakan, adalah hasil dari interaksi
antara kekuasaan dan kepentingan, yang biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
4.
Budaya politik, adalah orientasi dari
subjektif individu dalam sistem politik.
D. KONSEP KEKUASAAN
Ø Definisi
Kekuasaan adalah
kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri
sekalipun mengalami perlawanan, dan adapun dasar kemampuan ini.(Max`Weber dalam
buku Wirtschaft und Gessellshaft)
Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi untuk menyelenggarakan kekuasaan yang berbeda.
Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi untuk menyelenggarakan kekuasaan yang berbeda.
Ø Sumber
kekuasaan
Sumber kekuasaan dapat
berupa kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan. Dalam suatu kekuasaan selalu ada
satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selau ada hubungan tidak
seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan
ketergantungan.
Ø Pengaruh
Perumusan menurut Laswell
dan Kaplan, yaitu
Kekuasaan adalah memengaruhi kebijakan orang lain melalui sanksi yang sangat berat. Kekuasaan merupakan kasus khusus dari penyelenggaraan pengaruh, proses ancaman, jika mereka ttidak mematuhi kebijakan yang dimaksud.
Definisi lain dari Norman Barry:
Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seseorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu,dapat dikatakan terdorong untuk melakukan tinakan yang sedemikian. Sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
Kekuasaan adalah memengaruhi kebijakan orang lain melalui sanksi yang sangat berat. Kekuasaan merupakan kasus khusus dari penyelenggaraan pengaruh, proses ancaman, jika mereka ttidak mematuhi kebijakan yang dimaksud.
Definisi lain dari Norman Barry:
Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seseorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu,dapat dikatakan terdorong untuk melakukan tinakan yang sedemikian. Sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
BAB III
BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
Ø Pengantar
Ilmu politik mengalami
perkembangan yang sangat pesat dengan munculnya beberapa pendekatan (approaches)
yaitu Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusul dengan
Pendekatan Perilaku, Pasca-Perilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis. Selanjutnya
muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti Pilihan
Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan (Dependency Theory),
dan Institusionalisme Baru (New Institutionalism). Seorang sarjana politik
terkemuka, Vernon van Dyke mengatakan bahwa : “Suatu Pendekatan (approach)
adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”. Dengan kata
lain, istilah pendekatan mencakup standar atau tolak ukur yang dipakai untuk
memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan
dikesampingkan
Pendekatan
Pendekatan
Ø Pendekatan
Legal/Institusional
Pendekatan
Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang
abad 19 sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus
pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional
menyangkut antara lain sifat dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan
kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti
parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat
statis dan deskiptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah.
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan keeputusan.
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan keeputusan.
Ø Pendekatan
Perilaku
Pendekatan Perilaku
timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia
II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama,
sifat desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak
realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada
kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan
ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan
tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979),
antropologi dan psikologi. Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah
muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana ilmu politik untuk menerangkan
fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering disebut pandangan structural-functional.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering disebut pandangan structural-functional.
Ø Kritik
Terhadap Pendekatan Perilaku
Para sarjana
traditionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John
Hallowell menyerang pendekatan perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan
itu terlalu streril karena menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan
norma-norma dalam penelitian politik. Menurut kalangan tradisionalis, mereka
yang berada di balik Pendekatan Perilaku tidak mengusahakan mencari jawaban
atas pertanyaan yang mengandung nilai seperti apakah sistem politik demokrasi
yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil dan sebagainya.
Juga dilontarkan bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik dan pendapat umum.
Juga dilontarkan bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik dan pendapat umum.
Perbedaan para tradisinoalis dan behavoralis
Tradisional
• Menekankan nilai-nilai dan norma-norma
• Menekankan segi filsafat
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan
• Menonjolkan aspek historis yuridis
• Metode kualitatif
Behavoralis
• Menekankan fakta
• Menekankan penelitian empiris
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat murni
• Mengutamakan aspek sosiologi-psikologis
• Metode kualitatif
Sejumlah kalangan behavioralis menyadari bahwa mereka telah gagal meramalkan ataupun mengatasi keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini tidak menolak Pendekatan Perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik.
Ø Pendekatan
Neo-Marxis
Sementara para penganut
Pendekatan Perilaku sibuk menangkis serangan dari para sarjana Pasca-Perilaku,
muncullah kritik dari kubu lain, yaitu dari kalangan Marxis. Para Marxis ini,
yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk memmbedakan mereka dari orang Marxis
klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat
organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Ø Pendekatan
Ketergantungan (Dependency Theory)
Kalangan lain yang juga
berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai Teori
Ketergantungan, adalah kelompok yang menkhususkan penelitiannya pada hubungan
antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori Ketergantungan, yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara Dunia Ketiga.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori Ketergantungan, yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara Dunia Ketiga.
Ø Pendekatan
Pilihan Rasional (Rational Choice)\
Pendekatan ini muncul dan
berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang
dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya
plularitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas
dari peperangan besar selama empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-lomba
membangun ekonomi negaranya. Berbagai variasi analisis telah mengembangkan satu
bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy).
Dikatakan bahwa Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya
kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan
kebijakan publik. Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi diaplikasikan
dalam penelitian gejala-gejala politik. Metode induktif akan menghasilkan
model-model untuk berbagai tindakan politik.
Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia pollitik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakuaan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu menbuat pilihan. Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.
Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia pollitik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakuaan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu menbuat pilihan. Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.
Ø Pendekatan
Institusionalisme Baru
Institusionalisme Baru (New
Institutionalism) berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang diuraikan
sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan
lain. Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi seperti
Institusionalisme Baru Sosiologi, Institusionalisme Baru Ekonomi, dan sebagainya.
Institusionalisme Baru merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraaan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya.
Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan intitusi berinteraksi.
Inti dari Institusionalisme Baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut:
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka msing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.
Institusionalisme Baru menjadi sangat penting bagi negara-negarra yang baru membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif. Dalam proses ini nilai kembali memainkan peran penting.
Perbedaan Institusionalisme Baru dengan Institusionalisme Lama ialah perhatian Institusionalisme Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuih (full circle).
Institusionalisme Baru merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraaan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya.
Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan intitusi berinteraksi.
Inti dari Institusionalisme Baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut:
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka msing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.
Institusionalisme Baru menjadi sangat penting bagi negara-negarra yang baru membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif. Dalam proses ini nilai kembali memainkan peran penting.
Perbedaan Institusionalisme Baru dengan Institusionalisme Lama ialah perhatian Institusionalisme Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuih (full circle).
Institusionalis, sebaliknya dengan kontras berpendapat bahwa lembaga-lembaga didefinisikan sebagai perangkat aturan, norma, praktek dan prosedur pengambilan keputusan dengan harapan dapat mengatasi ketidak pastian yang merusak kerjasama.
BalasHapusKunjungi web saya tentang: Perbatasan Institusionalisme Judi Online