Kamis, 05 Januari 2017



BAB 1
ULUMUL QURAN

A.    Pengertian Study/’Ulumul Qur’an
Secara etimologi, ‘ulum Al-Qur’an terdiri dua kata, yaitu ‘ulumdanAl-Qur’an. ‘Ulumadalah jamak dariAl-‘alim yang berarti ilmu, maka ‘ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kataAl-Qur’an, secara harfiah, berasal dari kata qara’a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama; membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat di awal Surah Al-‘Alaq, bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam raya atau dimana saja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata ‘ulum Al-Qur’andapat diartikan kepada ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an.
Secara terminologi, Al-Qur’an berarti “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yang membacanya”.
Jadi, ‘ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash-Shabuni mendefinisikan ‘ulumul Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an-nuzul, Al-makki wa Al-madani, pengetahuan mengenai an-nasikh dan Al-mansukh, muhkam dan mutasyabihdan lain sebagainya segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Menurut Az-Zarqani, ‘ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nasikh dan mansukh, menolak syubhat darinya, dan lain-lain. Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an adalah termasuk dalam perbincangan ‘ulumul Qur’an.
Dari definisi yang ada tersebut ada perbedaan redaksi antara para ulama yang satu dengan ulama yang lain. Walaupun ada perbedaan, penulis melihat ada maksud yang sama, baik antara Ash-Shabuni maupun Az-Zarqani, yakni bahwa ‘ulum Al-Qur’an adalah sejumlah pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Mengenai kemunculan istilah ‘ulum Al-Qur’an untuk pertama kalinya, para penulis menyatakan bahwa istilah ini muncul pada abad VI Hijriah oleh Abu Al-Farj bin Al-Jauzi. Pendapat ini disitir pula oleh Asy-Suyuthi dalam pengantar kitabAl-itqan. Az-Zarqani menyatakan bahwa istilah itu muncul pada awal abad V Hijriah melalui tangan Al-Hufi (w. 430 H) dalam karyanya yang berjudulAl-Burhan fi‘ulum Al-Qur’an.
Analisis lain dikemukakan oleh Abu SyahbahDengan merujuk kepada kitab Muqaddimatanifi ‘ulumA1-Qur’an yang dicetak tahun 1954 dan diedit oleh Arthur Jeffri, seorang orientalis kenamaan, Syahbah berpendapat bahwa istilah ‘ulum Al-Qur’an muncul dengan ditulisnya kitabAl-Mabani fi Nazhm Al-Ma’aniyang ditulis tahun 425 H (abad V H). Sayangnya, penulis kitab itu belum ditemukan sampai sekarang. Kitab yang hasil cetakannya mencapai 250 halaman itu menyajikan pembahasan-pembahasan tentang makki-madani, nuzul Al-Qur’an, kodifikasi Al-Qur’an, penulisan dan mushaf, penolakan terhadap berbagai keraguan menyangkut pengkodifikasi Al-Qur’an dan penulisan mushaf, jumlah surat dan ayat, tafsir, ta’wil, muhkam-mutasyabih, turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf) dan pembahasan-pembahasan lainnya. Lebih lanjut, Syahbah mengkritik analisis yang dikemukakan oleh Az-Zarqani. Kritiknya itu menyangkut embel-embel“‘ulum Al-Qur’an”pada kitab Al-Burhan fi ‘ulum Al-Qur’an yang dinyatakan oleh Az-Zarqani sebagai kitab‘ulum Al-Qur’an yang pertama kali muncul. Persoalannya, Az-Zarqani menyatakan juz I kitab itu hilang. Lalu, dari mana ia memperoleh nama kitab itu? Tetapi setelah dilakukan pengecekan terhadap kitab KasyfAzh-Zhunun, menurut Syahbah, ternyata kitab itu bernama Al-Burhan fi Tafsir Al-Qur’an. Pendapat lain dikemukakan Subhi Al-ShaliH Ia berpen dapat bahwa istilah ‘ulum Al-Qur’an sudah muncul semenjak abad III H, yaitu ketika Ibn Al-Marzuban menulis kitab yang berjudul Al-Hawi fi ‘ulum Al-Qur’an.
B.     Ruang Lingkup Kajian ‘Ulumul Qur’an
Definisi di atas menggambarkan bahwa ‘ulumul Qur’an mencakup bahasan yang sangat luas, antara lain ilmu nuzul Al-Qur’an, asbab Al-nuzul, qira’ah, ilmu an-nasikh wa Al-mansukh dan ilmufawatih as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian ‘ulumul qur’an,maka para ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”.
Ungkapan ini menunjukkan, kajian ‘ulumulQur’an tidak hanya hal-hal yang disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (w 544 H), seperti yang dikutip oleh Az-Zarkasyi, menyebutkan, ‘ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya.Hal itu sesuai dengan pendapatsebagian kaum salaf yang melihat  bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin, selain itu terdapat pulahubungan-hubungan dan susunan-susunannya. Maka dengan demikian, ilmu ini tidak terkira banyaknya dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya secara pasti.
Berkenaan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan ‘ulum Al-Qur’an terdiri dari enam hal pokok berikut ini:
1.     Persoalan Turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an).
Persoalan ini menyangkut tiga hal:
a.     Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an (auqat nuzul wa mawithin an­nuzul),
b.     Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an (asbab an-nuzul),
c.     Sejarah turunnya Al-Qur’an (tarikh an-nuzul).
2.    Persoalan Sanad (Rangkaian Para Periwayat).
Persoalan ini menyangkut enam hal:
a.     Riwayat mutawatir,
b.     Riwayat ahad,
c.     Riwayat syadz,
d.     Macam-macam qira’at Nabi,
e.     Para perawi dan penghapal Al-Qur’an,
f.      Cara-cara penyebaran riwayat (tahammul)
3.      Persoalan Qira’at (Cara Pembacaan Al-Qur’an).
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut ini:
a.     Cara berhenti (waqaf),
b.     Cara memulai (ibtida),
c.     Imalah,
d.     Bacaan yang dipanjangkan (madd),
e.     Meringankan bacaan hamzah,
f.      Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idgham).
4.      Persoalan Kata-Kata Al-Qur’an.
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut:
a.     Kata-kataAl-Qur’an yang asing (gharib),
b.     Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya (murab),
c.     Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa (homonim),
d.     Padanan kata-kataAl-Qur’an (sinonim),
e.     Isti’arah,
f.      Penyerupaan (tasybih).
5.      Persoalan Makna-Makna Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Hukum.
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut:
a.     Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumannya,
b.     Makna umum (‘am) yang dimaksudkan makna khusus,
c.     Makna umum (‘am) yang maknanya dikhususkan sunnah,
d.     Nash,
e.     Makna lahir,
f.      Makna global (mujmal),
g.     Makna yang diperinci (mufashshal),
h.     Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq),
i.      Makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaraan (mafhum),
j.      Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan (muhkam),
k.     Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya (mutasyabih),
l.      Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri (musykil),
m.   Ayat yang “menghapus” dan yang “dihapus” (nasikh-mansukh),
n.     Yang didahulukan (muqaddam),
o.     Yang diakhirkan (muakhakhar).
6.     Persoalan Makna-Makna Al-Qur’an yang Berpautan dengan Kata-kata Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut ini:
a.     Berpisah (fashl),
b.     Bersambung (washl)
c.     Uraian singkat (i’jaz)
d.     Uraian panjang (ithnab)
e.     Uraian seimbang (musawah)
f.      Pendek (qashr)

C.   SEJARAH PERTUMBUHAN ULUMUL QURAN
Ilmu-ilmu Al-Qur’andi masa Rasul, Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra. Disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah, dari mulut ke mulut.
Di dalam masa pemerintah Utsman, mulailah bangsa Arab bergaul rapat dengan bangsa Ajam. Utsman menyuruh para sahabat dan para umat supaya berpegang kepada mushaf Al imam dan supaya dari  mushaf itulah disalin mushaf-mushaf yang dikirim ke kota-kota besar, serta membakar mushaf-mushaf yang lain yang tidak bersumberdari mushaf Al Imam itu.
Tindakan Utsman ini, merupakan awal berkembangnya ilmu yangkemudian dinamakan ilmu Rasmil Qur’an atau ilmu Rasmil Utsmany.
Dan telah masyhur dalam sejarah Islam pula bahwasanya Ali ra. menyuruh Abul Aswad ad-Dualy (wafat tahun69 H), membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian dapatlah kita menetapkan bahwasanya Ali adalah peletak batu pertama bagi ilmu I’rabul Qur’an.
Kemudian dengan memperhatikan sejarah pertumbuhan ilmu, dapatlah kita menetapkan bahwa tokoh-tokoh ilmu yang berkembangnya ilmu-ilmu Al-Qur’anialah:
Dari golongan sahabat:
1.      Khulafa’ Rasyidin (khalifah empat)
2.      Ibnu Abbas
3.      Ibnu Mas’ud
4.      Zaid ibn Tsabit
5.      Ubay ibn Ka’ab
6.      Abu MusaAl Asy’ari
7.      Abdullah ibn Zubair
Dari golongan tabi’in:
1.      Mujahid
2.      Atha’ibn Yasar
3.      Ikrimah
4.      Qatadah,
5.      Al Hasanul Bishry
6.      Said ibn Jubair
7.      Zaid ibn Aslam
Dari golongan tabi’in-tabi’in, ialah Malik ibn Anas. Beliau mengambil ilmu ini dari Zaid ibn Aslam.
Merekalah tokoh-tokoh yang meletakkan dasar ilmu-ilmu yang kita namakan:
1.      Ilmu Tafsir
2.      Ilmu Asbabun Nuzul
3.      IlmuMakky wal Madany
4.      Ilmun Nasikh wal Mansukh
5.      Ummul ‘Ulumil Qur’aniyah
Di dalam masa pentadwinan (kodifikasi) ilmu, tafsirlah yang mendapat prioritas pertama, karena dialah Ummul Ulumil Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an).

D.   URGENSI ULUMUL ALQURAN DALAM MENAFSIRKAN ALQURAN

Urgensi ulumul quran dalam penafsirannya secara lebih jelas terlihat pada ilmu asbab an-nuzul dan an-nasikh wa al-mansukh; tanpa menguasai ilmu ini, orang bisa tersalh dalam memahami ayat-ayat alquran, terutama ayat-ayat yang khusus diturunkan untuk menjawab kasus-kasus tertentu yang tidak boleh hukun yang dikandunginya digeneralisasi untuk semua kasus, seperti firman Allah dalam surah Al-Maidah (5) ayat 93 dan surah Al-Baqarah (2) ayat 115. Ayat ini, secara umum tanpa melihat asbab an-nuzul-nya, berarti “bahwa seseorang, dalam shalatnya, boleh dan sah menghadap kemana saja, karena semua yang ada ini kepunyaan Allah”.
Mengenai asbab an-nuzul surah Al-Baqarah (2) ayat 115 tersebut, At-tirmidzi mengatakan; Amir berkata, kami pernahmelakukan perjalanan bersama Nabi dalam malam yang gelap. Kami tidak tahu mana arah kiblat. Maka setiap orang dari kami menghadap kesuatu arah sesuai perkiraannya. Setelah pagi tiba, kami menyampaikan hal itu kepada Nabi. Maka turunlah ayat di atas. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ayat itu hanya berlaku pada kasus tersebut dan kasus kasus yang serupa dengannya.
Demikian pula ilmu an-nasikh wa al-mansukh; tanpa menguasai ilmu ini, seorang mufassir mungkin akan tersalah dengan menetapkan hukum berdasarkan ayat yang telah di nasakh kan.





BAB 2
ASPEK SEJARAH ALQURAN
A.   NUZUL AL-QURAN (TURUNNYA ALQURAN)


1.     Pengertian
Secara bahasa, ungkapan “nuzul al-quran” terdiri dari dua kata, yaitu nuzul dan al-quran. Nuzul artinya turun, maka ilmu nuzul al-quran secara harfiah berarti ilmu tentang turunnya al-quran. Makan kedua adalah perubahan keadaan sesuatu dari yang berkualitas menjadi yang berkualitas seperti nilai ujian mahasiswa turun dari A menjadi B.
Secara istilah, ilmu nuzul al-quran adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang “turunnya al-quran”, berasal dari Allah Yang Maha Mulia dan Transenden, kepada manusia-dalam hal ini Nabi- yang penuh dengan sifat kemanusiaannya dan suasana manusiawi pula.
2.     Tahap Penurunan Al-quran

       Al-quran itu sampai kepada Nabi melalui tiga tahap; pertama penyampaian Alquran dari Allah kepada lawh al-mahfudz. Maksudnya, sebelum Alquran disampaikan kepada Rasullulah, sebagai utusan Allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada lawh al-mahfudz, yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana Alquran pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut.
Tahap kedua adalah turunnya Alquran kelangit pertama dengan sekaligus. Dilangit pertama itu, ia disimpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam qadar, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah (2) ayat 185. Ibnu Abbas juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqaani, “Alquran diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam qadar. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 22 Tahun 2 Bulan 22 Hari.
Tahap ketiga adalah turunnya Alquran dari bayt al-izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad melalui Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau selama 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi, sehingga setiap kali wahy itu disampaikan beliau langsung menghafalnya.
Ada empat hikmah atau tujuan kenapa Alquran diturunkan secara berangsur-angsur yaitu sebagai berikut.
a.     Menetapkan atau menguatkan hati Nabi, dengan turunnya berangsur-angsur. Maka berarti Nabi akan selalu berjumpa dengan Jibril dan menerima Al-quran. Hal ini secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi dalam menyampaiknan risalah ilahi; ia akan menjadi tegar dan kuat. Berbeda dengan turunnya secara sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak akan muncul lagi.
b.     Berangsur-angsur dalam mendidik umat yang sedang tumbuh ini untuk menanamkan ilmu dan amal. Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu banyak myncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Allah menurunkan ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
c.     Menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan peristiwa yang sedang terjafi; pertama akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka kepada Alquran. Bagaikan orang yang sedang sakit, kemudian diberikan obat yang langsung menyembuhkannya.
d.     Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh islam, bahwa Alquran adalah qalam Tuhan yang datang dari Allah, bukan perkataan Nabi. Jika ia kalam Muhammad maka ia dapat mengungkapkannya kapan dan dimana saja, tidak perlu menunggu.
3.     Ayat Yang Pertama Dan Terakhir Turun
Alquran  pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian atau di waktu Muhammad telah diangkat menjadi Nabi. Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati oleh umat Islam Indonesia setiap tahn sebagai malam peringatan nuzulul quran.
Surah yang pertama turun adalah Al-‘Alaq ayat 1-5.
Ayat yang terakhir turun adalah Surah Al-Maidah (5) ayat 3. Ayat ini turun di Padang Arafah ketika Rasullulah menunaikan haji terakhir, dan ia masih hidup beberapa bulan lagi setelah itu. Sedangkan Surah Al-Baqarah (2) ayat 281, turun 9 hari atau 81 hari menjelang Rasullulah wafat.
C.   NABI DAN PENERIMAAN WAHYU
Nabi Muhammad sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiah yang disampaikan kepadanya melalui Jibril. Artinya, pewahyuan Alquran kepada Nabi menggambarkan terjadinya perjumpaan antara mahkluk material (jasmani), yaitu Nabi dengan mahkluk immaterial (ruhani), yaitu Jibril. Dan  diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad dari Allah, berarti terjadinya interaksi antara mahkluk jasadi dengan khaliq Yang Mahatinngi.
Alquran menyebutkan, ada tiga cara penyampaian misi illahi itu kepada para nabi dan rasul, yaitu melalui wahyu, pembicaraan dibalik hijab dan atau Allah mengirim seorang utusan.
Dari tiga cara penyampaian misi ilahiah itu, dua diantaranya langsung dari Allah kepada Nabi dan satu lainnya melalui perantara malaikat. Adapun yang langsung dari Allah kepada para nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan di balik tabir.
Cara lainnya adalah melalui perantara malaikat. Hal ini meliputi empat cara, yaitu sebagai berikut.
1.     Malaikat menyampaikan ke dalam hati Nabi, di mana Nabi tidak melihatnya.
2.     Malaikat datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan lalu menyampaikan misi ilahiah itu kepadanya.
3.     Malaikat datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi Nabi (asyadd alayh), sehingga ia berkeringat walaupun pada saat dingin.
4.     Malaikat datang kepada Nabi dalam bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian ia menyampaikan misi ilahiah itu kepada Rasul sesuai dengan apa-apa yang Allah kehendaki.



E.    PERIODE PENURUNAN ALQURAN
Penyampaian Alquran kepada Nabi seiring dengan periode dakwah Nabi, yang meliputi periode Mekkah dan periode Madinah. Yang pertama berlangsung selama lebih kurang 13 tahun, sebelum Nabi hijrah ke Madinah.Dan yang terakhir berlangsung kurang lebih kurang selama 10 tahun, setelah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat atau surah Alquran yang diturunkan pada pada periode pertama disebut dengan ayat atau surah al-makkiyah dan yang pada periode kedua disebut dengan al-madaniyah.
1.     Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Kata al-makki berasal dari “Mekah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ya” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makiyyah dan al-madany atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau al-amkkiyah berarti “yang bersifat Mekah” atau “yang berasal dari Mekah”,  sedangkan al-madany atau al-madaniyah yang berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang beraal dari Madinah”. Maka ayat atau surah yang turun di Mekkah disebut dengan al-makkiyah, dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan al-madaniyah.
Secara istilah, al-makki wa al-madani berarti “suatu ilmu yang membahas tentang tempat dan periode turunnya surah atau ayat Alquran, baik Mekkah atau Madinah”. Ayat atau surah  yang turun pada periode Mekkah disebutkan dengan ayat/surah makkiyah dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah disebut dengan ayat madaniyah.
2.     Kegunaan Ilmu Al-Makki dan Al-Madani
Az-Zarqani menyebutkan tiga manfaat dan keguaan ilmu al-makki dan al-madani, yaitu sebagai berikut.
a.     Menentukan ayat nasikh dan mansukh. Jika seorang mufassir atau mujtajid menerima dua ayat yang kontrakdiktif (ta’arudh), dan ia mengetahui bahwa salah satu diantaranya ayat al-madaniyah dan yang lain al-makkiyah, maka ia dapat menetapkan bahwa al-makkiyah itu telah di-nasakh-kan oleh ayat al-madaniyah.
b.     Mengetahi sejarah syariat. Ia dibebankan kepada umat secara berangsur-angsur. Terlihat, misalnya, nuansa bimbingan ayat-ayat al-makkiyah kepada umat ini berbeda dengan ayat-ayat al-madaniyah. Sebab, periode sebelum hijrah merupakan tahap pertumbuhan karena itu perlu diberikan secara perlahan-lahan dan tidak merasa diberatkan. Sedangkan periode setelah hijrah merupakan tahap perkembangan, karena itu umat sudah siapmenerima segala yang datang dari Allah. Dengan cara demikian, tidak ada para sahabat yang menentang ajaran Islam; mereka sepenuhnya tunduk kepada perintah Nabi. Hal ini perlu dipelajari oleh para tokoh masyarakat dalam mendidik dan membimbing bangsa ini ke jalan yang benar.
c.     Menanamkan keyakinan kepada umat, dari sudut sejarah, mengenai keabsahan Alquran. Ia datang dari Tuhan, bersih dari penyimpangan, dan perubahan. Para ulama sangat besar perhatiannya kepada Alquran sehingga mereka tidak hanya mengetahui, mencatat, dan mengkaji ayat-ayat saja, tetapi juga mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang turun sebelum dan sesudah hijrah, ayat yang turun di siang hari, malam hari, di tempat Nabi tinggal, dalam perjalanan, pada musim panas, musim dingin dan lain sebagainya.
3      Penentuan Ayat Al-Makkiyah dan Madaniyah
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ayat al-makkiyah dan al-madaniyah, yaitu sima’i dan qiyasi (analogi). Yang pertama adalah berdasarkan penjelasan para sahabat secara langsung. Hal ini dapat diketahui melalui riwayat yang telah ditulis oleh para ahli hadis dalam buku-buku hadis, seperti al-kutub as-sittah. Dan yang terakhir adalah dengan cara membandingan tanda-tanda al-makki atau al-madani dengan struktur ayat yang terdapat dalam surah.
F.    PEMBUKUAN DAN PEMELIHARAAN ALQURAN
1.Pembukuan
Periode Nabi Muhammad SAW
Alqur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis teks al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf,
Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Periode Abu Bakar r.a
Ketika rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para Qori’dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur’an dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz yang masih tersisa dan tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas perintah rasullullah. Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
Periode Umar Bin Khattab
Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan.
Periode Ustman Bin Affan
Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Ustman Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Mushaf yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf Ustmani, demikian terbentuknya mushaf ustmani dikarenakan adanya pembaruan mushaf pada masa ustmani.
3.pemeliharaan

Pada masa Rosulullah masih hidup Al-qur’an di pelihara sedemikian rupa, di masa rosul masih hidupnya dalam menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat menghafalnya dengan baik, sehinnga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-qur’an adalah dengan menghafal dan menulisnya.
Selain cara menghafal ini, Rosul memerintahkan agar para sahabat yang pandai menulis segera menuliskan ayat-ayat Al-qur’an yang telah di hafal oleh mereka. Di antara sahabat yang menuliskan ayat-ayat Al-qur’an adalah :


a. 4 sahabat rosulullah terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
b. Muawiyah bin Abu Sufyan
c. Zaid bin Tsabit
d. Ubay bin Ka’ab
e. Khalid bin Walid
      Penulisan tersebut diurut sesuai dengan perintah nabi, setelah itu baru di simpan. Selain menulis ada juga para sahabat yang terkemuka menghafal Al-qur’an menurut hadist oleh Bukhari adalah :
          a. Abdullah ibnu Mas’ud
b.Salim bin Mu’aqli, dia adalah Maula Abu Huzaifah
c. Mu’az bin Jabal
d. Ubay bin Ka’ab
e. Zaid bin Tsabit
f. Abu Zaid bin Sukun
g. Abu Darda’
      Menurut sumber hadis Bukhri[1][1]. Bahwa tujuan orang tersebutlah yang bertanggung jawab mengumpukan Al-qur’an menurut apa yang mereka hafal itu, dan yang di hafalnya itu di kembalikan kepada Rosullah, melalui sanad-sanad mereka ini lah Al-qur’an sampai kita seperti yang ada sekarang.
Terdapat 3 unsur yang dapat memelihara Al-qur’an yang telah di turunkan, yaitu :
1. Hafalan mereka yang hafal Al-qur’an.
2. Naskah-naskah yang di tulis oleh nabi
3. Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai  menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
      Ketika nabi wafat, Al-qur’an tersebut telah sempurna di turunkan dan telah di hafalkan oleh ribuan manusia, dan telah di tuliskan semua ayat-ayatnya. Semua ayatnya telah disusun dengan tertib menurut urutan yang ditujukan sendiri oleh Nabi.
      Mereka telah mendengar Al-qur’an itu dari mulut Nabi sendiri berkali-kali dalam shalat, dan Khutbah. Pendek kata Al-qur’an tersebut telah terjaga dengan baik.
      Suatu hal yang menarik perhatiaan, ialah Nabi baru wafat dikalah Al-qur’an itu telah cukup diturunkan, dan Al-qur’an itu sempurna di turunkan di waktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah S.W.T. Hal ini bukan suatu kebetulan saja, tapi telah di atur oleh yang Maha Esa.
      Setelah Rosullah SAW wafat, pemerintahan islam di pegang oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjabat menggantikan Rosullah SAW, dia menghadapi beberapa pristiwa-pristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagai orang arab. Karena itu beliau menyiapkan pasukan dan mengirimkan untuk memerangai orang-orang murtad itu.
Salah satu peperangan yang terjadi adalah peperangan Yahmamah yang terjadi pada tahun 12 H yang melibatkan para penghafal Al-qur’an, dalam peperangan ini terdapat 70 qurra’ atau hafis Al-qur’an yang gugur. Umar bin Khatab merasa resah dengan banyaknya para sahabat penghafal Al-qur’an wafat terbunuh dalam peperangan, lalu Ubar menghadap ke Abu Bakar dan menyampaikan berita tentang banyaknya qurra’ yang wafat,[2][2] setelah itu Umar mengumpulkan agar Al-qur’an di mushaf kan agar Al-qur’an tidak di musnakan, karna itu Umar khwatir banyaknya nanti para penghafal Al-qur’an terbunuh kembali dalam peperangan selanjutnya.
      Pada awalnya Abu Bakar menolak pendapat Umar tersebut, lantaran hal tersebut tidak pernah di lakukan Rosullah SAW. Tetapi Umar menjawab dan bersumpah “ Demi Allah, perbuatan itu baik” Umar pun terus memujuk Abu Bakar dan terus memberikan alas an-alasan yang baik, terhadap apa yang sedang terjadi pada umat islam ada waktu itu, dengan izin Allah SWT hati Abu Bakar pun terbuka atas usul yang telah Umar  sampaikan kepadanya. Setelah itu Abu Bakar menujuk salah satu sahabat yang membutuhkan Al-qur’an ( mushaf ) yaitu Zaid bin Tsabit. Zaid pun pada awalnya menolak, atas izin Allah SWT hati Zaid pun terbuka dengan penjelasan dari Abu Bakar, Zaid berkata “Demi Allah ! ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku di perintahkan untuk memindahkan sebuah bukit maka hal itu tidak lah berat bagiku dari pada mengumpulkan Al-qur’an yang engkau perintahkan itu”. Zaid dalam usaha menngumpulkan ayat-ayat Al-qur’an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat telliti. Sekalipun beliau hafal Al-qur’an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan mengumpulkan Al-qur’an yang sangat penting bagi umat islam itu, masih memandang perlu mencocokan hafal atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
      Dengan demikian Al-qur’an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatkan dengan benar. Tersusun menurut ayat-ayatnya sebagai mana telah ditetapkan oleh Rosullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di Abu Bakar sampai beliau wafat, kemudian di pindahkan ke rumah Umar bin Khatab dan tetap di sana slama pemerintahanya. Setelah beliau wafat, mushaf itu di pindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar , istri Rosullah sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-qur’an di masa Khalifa Utsman.
b.Pemeliharaan Al-qur’an pada zaman Umar bin Khatab
      Setelah khalifa Abu Bakar wafat, maka di gantikanah oleh kholifatul mukminin yaitu Umar bin Khatab. Demikian juga halnya mushaf, yang dahulunya di simpan oleh Abu Bakar maka setelah Umar menjadi khalifah mushaf tersebut berpindah tangan ke Umar bin Khatab
      Pada masa khalifah Umar ini tidak membicarakan Al-qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran islm dan wilayah kekuasaan Islam, serta mengendepankan ajaran Islam. Al-qur’an juga tidak di pahami secara tekstual saja, tapi lebih jauh lagi di pahami secara kontekstual.
c.Pemeliharaan   Al-qur’an pada zaman Utsman bin Affan
      Di masa Ustman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah Timur dan Tripoli di sebelah Barat. Dengan demikian kelihatan lah bahwa kaum muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesin, Syariah, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapum mereka pergi dan mereka tinggal, Al-qur’an itu tetap menjadi imam mereka, di antara mereka banyak menghafal Al-qur’an itu. Pada mereka terdapat naskah-naskah Al-qur’an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya. Asal mulanya perbedaan tersebut  adalah karena Rosullah sendiripun memberikan kelonggaran kepada kabila-kabilah arab yang berada di masanya untuk membaca dan melafalkan Al-qur’an itu menurut dialok mereka masinng-masing. Kelonggaran ini di berikan oleh Nabi supaya mereka ,menghafal Al-qur’an. Tetapi kemudian terlihat tanda-tanda 
Bahwa perbedaan bacaan tersebut bila di biarkan akan mendatanngkan perselisihan dan perpecahan yang tidak di inginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
      Orang pertama yang memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah     bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukan Armenia di Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-qur’an, dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya : “bacaan saya lebih baik dari pada bacaanmu”.
      Keadaan ini mengagetkanya, pada waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Ustman bin Affan dan kepada beliau ceritakanya apa yang di lihatnya mengenai pertingkaian kaum muslimin tentang bacaan Al-qur’an itu seraya berkata : “Susunlah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara ( Nasrani )”.
      Maka khalifa Utsman bin Affan meminta Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-qur’an yang di tulis di masa khalifah Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk di salin. Oleh Utsman di bentuklah satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, sa’id bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam.
Tugas panitia ini adalah membukukan Al-qur’an dengan menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Ustman menasehatkan agar:
a.     Mengambil pedoman kepada bacaan merekayang hafal Al-qur’an.
b.     Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan),
maka haruslah dituliskan sebagai dialog meraka.
Maka tugas tersebut dikerjakan oleh para panitia, dan setelah tugas selesai, maka lembaran-lembaran Al-qur’an yang dipinjam dari hafsah itu dikembalikan padanya.
Al-qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushaf”, dan oleh panitia ditulis lima buah Al-mushaf, empat buah diantaranya dikirim ke Mekkah, Damaskus, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dimasing-masing Mushaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushaf Al-Imam”.
Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-qur’an itu. Denagn demikian, maka pembukuan Al-qur’an dimasa Utsman memiliki faedah diantaranya.
1.     Menyatakan kaum Muslimin pada satu macam Mushaf  yang seragam ejaan tulisannya.
2.     Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan Mushaf-Mushaf Utsman. Sedangkan bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-Mushaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
3.     Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada Mushaf-Mushaf sekarang.
      Di samping itu Nabi menganjurkan agar para sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, atupun seluruhnya.
3. pemiliharaan Al-qur’an pada masa Tabi’in.
      Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu dan penyebaran ilmu-ilmu Al-qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran, secara lisan bukan melalui tulisan atau catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukaannya. Orang-orang yang paling berjasa dalam periwayatan ini adalah khalifah yang empat, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-Asy’an, Abdullah Ibnu Al-Zubair. Sedangkan dari kalangan sahabat Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan Al Bashri, Said Ibn Jubair, Zaid Ibn Aslam di Madinah.
      Dari Aslam, Ilmu ini diterima oleh putranya Abd Al-Rahman, Malik Ibn Anas dari generasi Tabi’in Al-tabi’in. mereka ini semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh  dan mansukh, ilmu gharib Al-qur’an dan lainya. (kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuan pada abad ke-2 H) para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada-ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm Al-Ulum Al-Qurani’ah (Induk Ilmu-Ilmu Al-Qur’an). Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn Al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah dan Wali Ibn Al-Jarrah. Kitab-Kitab, tafsir mereka menghimpun  pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in.
      Pada abad ke-3 menyusul tokoh tafsir Ibn Jarir Al-Thabari. Al-thabari adalah mufassir pertama membentangkan bagi berbagai pendapat dan mentarjih sebagainya atas lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari Al-qur’an). Di abad ke-3 ini juga lahir ilmu asbab Al-Nuzul, ilmmu masikh dan mansukh , ilmu tentang ayat-ayat makiah dan madaniah. Guru Imam Al-Bukhari, Ali Ibn Al-Madaniyah. Guru Imam Al-bukhari, Ali ibn Al-madini mengarang asbab Al-Nuzul; Abu “Ubaid Al-Qasim Ibn Salam. Mengarang tentang nasikh dan mansukh, qiraat dan keutamaan-keutamaan Al-Quran; Muhammad ibn Ayyub Al-dari tentang ayat-ayat turun d mekkah dan madinah ; Muhammad ibn khalaf Ibn Al-Mirzaban (W. 390II) mengarang kitab Al-Hawi fi-‘ulum Al-quran.

BAB 3
FISIK ALQURAN
1.     TULISAN ALQURAN
Istilah rasm alquran terdiri dari dua kata, yaitu rasm dan alquran. Secara harfiah, rasm sama artinya dengan atsar (bekas), yaitu bekas tulisan suatu lafal. Sedangkan alquran adalah wahyu Allah yang merupakan sumber utama ajaran Islam. Dan secara istilah, rasm berarti melukiskan kata dengan huruf hijaiyah; menentukan permulaan dan akhiran.
Berdasarkan pengertian diatas, rasm alquran berarti suatu kajian yang membahas tulisan suatu kata atau lafal-lafal Alquran. Tulisan Alquran, mengenai lafal atau kata tertentu, berbeda dengan tulisan Arab biasa. Seorang penulisan mushaf haruslah mengetahui perbedaan itu dan menulis mushaf apa adanya, tidak boleh menyalahi rasm tersebut.
1.     Bentuk Rasm Alquran
Alquran diturunkan Allah kepda Muhammad dalam bahasa Arab, maka kaidah-kaidah penulisannya sesuai dengan kaidah tulisan Arab. Akan tetapi, terdapat banyak kata atau lafal dalam Alquran yang berbeda penulisannya dengan tulisan Arab yang resmi digunakan. Diantaranya kaidah mengenai hafdz (membuang suatu huruf atau tidak menantumkannya dalam suatu tulisan), al-ziyadah (penambahan), al-badl (penggantian), washal (bersambung), dan al-fashal (berpisah). Hal inilah yang membedakan Alquran dengan tulisan resmi yang digunakan dalam bahasa Arab.

2.     QIRA’AT ALQURAN
Kata qira’at jamak dari qira’ah. Ia merupakan mashdar dari kata qara’a, yang berarti membaca. Maka qira’ah secara harfiah brerarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan.
Secara istilah, ilmu qira’at berarti ilmu yang membahas tata cara membaca Alquran. Membaca Alquran dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qari’ yang diterima dari Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya, walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Alquran dengan menggunakan qira’at yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah. Karena hanya bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan musyafahah.
1.     Bentuk-Bentuk Perbedaan Bacaan
Para imam qari’-sesuai dengan apa yang mereka riwayatkan dari Nabi-berbeda dalam membacanya. Perbedaan itu meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.     Penambahan kata dalam suatu qira’at sedangkan qira’at yang lain kata itu tidak ada.
b.     Menggunakan kata yang berbeda. Artinya, dalam suatu qira’at, misalnya menggunakan suatu kata sedangkan dalam qira’at lainnya digunakan kata yang lain pula.
c.     Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain.
d.     Menggunakan huruf yang berbeda, yaitu suatu qira’at berbeda dengan qira’at lainnyadalam persoalan huruf yang digunakan dalam suatu kata.
e.     Menggunakan harakat yang berbeda, seorang imam qari’ membaca suatu huruf dengan harakat fathah, sedangkan yang lainnya membaca dengan kasrah.
f.      Menggunakan bentuk kata yang berbeda. Semua qira’at membaca suatu lafal dengan menguunakan lafal yang sama, tetapi bentuk (shighat)nya berbeda.
g.     Perbedaan dalam menentukan bunyi lafal.
2.     Syarat-Syarat Qira’at Sahih
Suatu bacaan dianggap sahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut.
a.     Bacaan itu sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani, jangan bertentangan dengannya.
b.     Diterima dan disampaikan kepada kita secara mutawatir. Ini menurut para ahli usul, muhadditsin, dan muzahib al-arba’ah.
c.     Sesuai dengan bahasa Arab. Artinya, jangan bacaan itu bertentangan dengan kaidah bahasa Arab.

3.     Hikmah Banyaknya Bentuk Bacaan
Qira’at mempunyai faedah dan manfaat bagi umat Islam. Al-Qaththan menyebutkan empat macam faedah, yaitu sebagai berikut.
a.     Meringankan dan memudahkan umat Islam membaca Alquran; suatu lafal yang sulit diucapkan dapat diganti dengan lafal yang mjudah.
b.     Menunjukkan betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpanan.
c.     Sebagai bukti kemukjizatan Alaquran dari segi kepadatan maknanya, karena suatu qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
d.     Menjelaskan hal-hal yang mungkin belum jelas dalam qira’at yang lain.
4.     Tokoh Qira’at
Tujuh tokoh dari kalangan tabi’in yang terkenal sebagai imam qira’at, yaitu sebagai berikut.
a.     Ibnu Katsir
b.     Nafi’ Al-Madani
c.     Ibnu Amir Asy-Syami
d.     Abu Amr Al-Basri
e.     Asim Al-Kufi
f.      Hamzah Al-Kufi
g.     Al-Kusa’i Al-Kufi
Dilihat dari segi bahasa fawatih adalah jamak dari kata fatihah, yang artinya pembukaan. Sedangkan kata as-suwar adalah jamak dari kata as-surat, sekumpulan ayat-ayat  Al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Jadi, Fawaatih Suwar berarti beberapa pembukaan dari surat-surat Al-Qur’an atau beberapa macam awalan dari surat-surat Al-Qur’an. Sebab seluruh surat Alqur’an yang berjumlah 114 buah surat itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan saja, tidak ada satu suratpun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai rahasia / hikmah untuk dipelajari. Istilah fawaatih al-suwar ini memang sering diartikan pula sebagai huruf al-muqoththo’ah (huruf terputus-putus yang terdapat dipermulaan beberapa surat Al-Qur’an).
Diantara mufassir yang mengartikan fawaatihus suwar sebagai huruf al-muqoththo’ah adalah Subhi Al-Salih dalam kitabnya Mabaahith fi ‘uluum al-Qur’an dan Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Qur’an. Sehingga perlu ditegaskan bahwa fawaatihus suwar itu berbeda dengan huruf al-muqotho’ah. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa huruf al-muqoththo’ah merupakan bagian dari permasalahan yang dibicarakan dalam ilmu fawaatih al-suwar. Apabila dibedakan, setidaknya ada sepuluh macam fawaatih al-suwar yang digunakan al-Qur’an dalam awalan surat. Dan dari 114 surat yang ada di dalam al-Qur’an, ditemukan 29 surat yang menggunakan huruf al-muqoththo’ah sebagai pembuka

Pembukaan surat- surat Alquran itu ada 10 macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Pujian kepada Allah.
2)      Huruf-huruf tahajji ada dalam 29 surat.
3)      Dengan menggunakan huruf-huruf Nida’ ada 10 surat, yakni 5 surat dengan memanggil Rasul SAW pada surat:  الأحزاب، الطلاق، التحريم، المزمل، المدثر  dan yang lima  surat dengan memanggil umat yakni pada surat: النساء المائدة، الحج، الحجرات، dan الممتحنة.
4)      Jumlah-jumlah Khabariyah, yakni:
يسالونك عن الآنفال، براءة من الله، إقترب للناس حسابهم، قد افلح المؤمنون، سورة أنزلناها، تنزيل الكتاب، ألذين كفروا، إنا فتحنا، إقتربت الساعة، ألرحمن علم القرآن، لقد سمع الله، الحاقة، سأل سائل، إنا آرسلنا نوحا، إنا أنزلناه، لم يكن، القارعة، ألهاكم،إنا أعطيناك، لا اقسم .

5)      Dengan sumpah ( Qasam) ada 15 surat, yakni:
Dalam surat itu Allah bersumpah dangan malaikat yaitu:Surat Ash-                                    Shaaffat.
·         Dua surat dengan menggunakan benda-benda angkasa, Al-Buruj dan     Ath-Thariq.
·         Enam surat sumpah dengan kelazimannya yaitu surat An-Najm sumpah         dengan tata surya, wa Al-Fajr sumpah dengan mulai siang, wa Asy-Syamsy, sumpah dengan tandanya siang, wa Al-Lil sumpah dengan separo waktu, wa Adh-Dhuha sumpah dengan separonya siang, dan  wa Al –‘Ahsr sumpah dengan separo yang akhir atau dengan jumlah masa.
Dua surat sumpah dengan cuaca yaitu wa Adz-Dzariyati dan wa Al- Mursalati.
Satu surat sumpah dengan debu yaitu surat Ath-Thur.
Satu surat sumpah dengan tumbuhan yaitu surat At-Tin.
Satu surat sumpah dengan hewan  nathiq yaitu surat wa An-Naazi’at.
Satu surat sumpah dengan binatang yaitu wa Al-‘Adiyat.
Menggunakan adat syarat terdapat dalam tujuh surat yaitu: Al-Waqi’ah, Al-Munafiqun, At-Takwir, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Az-Zalzalah dan An-Nashr.
Dengan perintah di dalam enam surat yaitu:
 قل أوحي، إقرأ، قل يا أيها الكافرون، قل هو الله أحد، قل أعوذ برب الفلق، قل أعوذ برب الناس.

Dengan istifham yaitu pada enam surat,
هل أتى، عم يتساءلون، هل أتاك، ألم نشرح، الم تر، أرأيت
Dengan do’a yaitu pada tiga surat
ويل للمطففين، ويل لكل همزة، تبت
Dengan Ta’lil لإيلاف قريش



1)      Bentuk yang terdiri dari satu huruf. Bentuk ini terdapat pada tiga surat, yaitu surat Sad, Qaf, Wa Al-Qalam. Surat pertama dibuka dengan Sad, kedua dengan Qaf, dan ketiga dibuka dengan Nun.
2)      Bentuk yang terdiri dari dua huruf. Bentuk ini terdapat pada sepuluh surat. Tujuh diantaranya dengan hawamim yaitu surat-surat yang didahului dengan Ha dan Mim. Surat-suratnya adalah surat Gafir, Fusilat, Asy-Syura, Al-Zukhruf, Al-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf. Khusus pada surat Asy-Syura pembukaannya bergabung antara حم  dan عسق. Tiga surat lagi adalah surat   طس، طه  dan يس.
3)      Pembukaan surat yang terdiri dari tiga huruf terdapat tiga belas tempat. Enam diantaranya dengan huruf الم yaitu surat Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Ankabut, Ar-rum, Luqman dan Al-Sajadah. Lima huruf الر yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim dan Al-Hijr. Dua susunan hurufnya طسم terdapat peda pembukaan surat Asy-Syura dan Al-Qashash.
4)      Pembukaan surat yang terdiri dari empat huruf, yaitu المص pada surat Al-A’raf dan pada surat Al-Ra’d المر.


a.       Pendapat-pendapat Ulama’tentang Fawatihus Suwar:
Para mufassir berpendapat bahwa huruf muqatha’ah dalam Al-Qur’an, termasuk ayat mutasyabihat, yang tidak dapat diketahui makananya (yang tersirat) kecuali hanya oleh Allah SWT. Namun Ibnu Qutaibah mengatakan, Allah tidak menurunkan sesuatupun dari Al-Qur’an , kecuali supaya hambanya bisa mengambil manfa’at dan memahami makna yang dikehendakinya. Ia berkata: Jika ayat mutasyabihat tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah, niscaya kita mendapat celaan. Pendapat yang mengatakan bahwa fawatihus suwar termasuk mutasyabih adalah ulama’ salaf. Dan juga termasuk pendapat ulama’ salaf seperti tokoh-tokah sebagai berikut: Sahabat Abu Bakar Ash-Sidiq pernah berkata: “ Pada tiap - tiap kitab ada rahasianya, rahasia dalam Al-Qu’an adalah permulaan-permulaan surat”, dan perkataan Sahabat Ali bin Abi Tholib: “ Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya, dan saripati Al-Qur’an adalah huruf Tahajji.
a.     Ulama’ tasawuf berpendapat bahwa fawatihus Suwar adalah huruf-huruf yang tepotong-potong yang masing-masing diambil dari nama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan penggantian dari suatu kalimat yang berhubungan dengan yang susudahnya atau huruf itu menunjukkan kepada maksud yang dikandung oleh surat yang surat itu dimulai dengan huruf-huruf yang terpotong-potong.
b.     Mufassir orientalis yang bernama Noldeke dari Jerman berpendapat yang paling jauh menyimpang dari kebenaran, bahwa awalan surat itu tidak lain adalah teks Al-Qur’an, bersama Schwally karena tulisannya tentang sejarah Al-Qur’an ia berpendapat bahwa awalan surat itu tidak lain adalah huruf depan dan huruf belakang dari nama-nama para sahabat Nabi. Misalnya: Huruf Sin adalah dari nama Sa’ad Bin Abi Waqosh, Mim adalah huruf depan dari nama Al-Mughiroah, huruf nun adalahdari nama Usman Bin Affan.
c.     Al-Khuwaibi mengatakan bahwa kalimat- kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi. Mungkin ada suatu waktu Nabi berada dalam alam manusia dalam keadaan sibuk maka Jibril memerintahkannya untuk mengucapkannya agar Nabi mendengar ucapan Malaikat Jibril maka Nabi mendengarkannya dengan seksama.
d.     As-Sayyid Rasyid Ridha tidak membenarkan al-Khuwaibi diatas, karena nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid ridha berpendapat  bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang musyrik mekkah dan ahli kitab madinah. Karena orang-orang kafir apabila nabi membaca al-Qur’an mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya,seperti dijelaskan dalam surat Fushshilat ayat 26.[3]
D.   USLUB ALQURAN

1.     Amtsal
Kata amtsal merupakan bentuk jamak dari kata matsal (perumpamaan) atau mitsil (serupa) atau matsil, sama halnya dengan kata syabah atau syabih.karena itu dalam ilmu balaghah, pembahasan yang sama ini lebih dikenal dengan istilah tasbyih, bukan amtsal. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi dirumuskan oleh para ulama’ dengan redaksi yang berbeda-beda,

1.     Menurut Rasyid Ridha, amtsal adalah kalimat yang digunakan untuk memberi kesan dan menggerakan hati nurani, Bila didengar terus, pengaruhnya akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam
2.     Menurut Asy-Syafi’i, Mengharuskan mujtahid untuk mengetahui ilmu-ilmu AL-Qur’an termasuk didalamnya, mengetahui objek yang di jadikan perumpamaan yang menunjukan ketaatannya kepada Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya.
3.     Menurut Muhammad Bakar Isma’il adalah pengumpamaan sesutu dengan sesuatu yang lain, baik dengan jalan isti’arah, kinayah,atau tasybih. Dilihat dari segi istilah, amtsal dikenal sebagai salah satu aspek ilmu sastra Arab. Pengertian amtsal dalam Al-Qur’an lebih tepat digunakan untuk mengacu pada kesan dan sentuhan perasaan terhadap apa yang dikandungnya, tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya kisah yang berhubungan dengan dengan amtsal itu. Kendatipun demikian, amtsal yang berangkat dari kisah nyata, banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, dan ini lebih tepat dimanakan tamtsil karena disusun menurut bentuk tamtsil, bukan dalam bentuk berita.

a.        Pembagian Amtsal Alquran

1.     Amsal Musarrahah, ialah suatu yang dijelaskan dengan lafal matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan).
2.     Amsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan lafal tamsil dengan jelas. Tetapi dia menunjuk kepada beberapa makna yang indah,menarik,dan mempunyai pengaruh sendiri.Ayat-ayat yang mengandung amsal kaminah mempunyai makna yang mirip dengan pribahasa yang berkembang ditengah-tengah masyarakat,sehingga ia mudah diterima dan menyentuh jiwa.
3.     Amsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan lafal tamsil dengan jelas. Tetapi dia menunjuk kepada beberapa makna yang indah,menarik,dan mempunyai pengaruh sendiri.Ayat-ayat yang mengandung amsal kaminah mempunyai makna yang mirip dengan pribahasa yang berkembang ditengah-tengah masyarakat,sehingga ia mudah diterima dan menyentuh jiwa.

2.     Aqsam Alquran
Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah. Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada yang hanya yang menggunakan istilah al-Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil Qur’an karangan imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi.

a.     Usur-Unsur Aqsam (Sumpah)

1.     Fi’il yang berbentuk muta’addi dengan diawali huruf ba’

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (38)
Artinya:
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:“Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.“(QS. An-Nahl ayat 38)

Namun kadang kala dalam satu ayat langsung disebutkan dengan wawu (و) pada isim zahir.
Seperti firman Allah yang berbunyi:
                وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى (1)
Artinya:
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). (QS. Al-Laili:1).[4][5]

Sedangkan khusus lafadz al-jalalah yang digunakan untuk pengganti fi’il qasam adalah huruf ta seperti dalam firman Allah SWT:
   وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ (57)
Artinya:
“Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. (QS. Al-Anbiya: 57)

2.     Muqsam bih
Muqsam bih ialah lafadz yang terletak sesudah adat qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat.  sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nam-nama ciptaanNya. Qasam dengan menggunakan nama Allah dalam al-Qur’an hanya terdapat dalam tujuh tempat yaitu:[5][6]
1.      QS. Adz-dzariyat ayat 43
2.      QS. Maryam ayat 68
3.      QS. Yunus ayat 53
4.      QS. Al-Hijr ayat 92
5.      QS. At-Taghabun ayat 17
6.      QS. An-Nisa ayat 65
7.      QS. Al-Ma’arij ayat 40
Misalnya firman Allah SWT:


وَيَسْتَنْبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَ قُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ (53)
Artinya:
“Dan mereka menanyakan kepadamu: “Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah:“Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)”.(QS. Yunus ayat: 53)


زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (7)
Artinya:
Katakanlah:“Memang demi Tuhan, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taghabun: 7)

Selain pada tujuh tempat dia tas, Allah memakai qasam dengan nama-nama ciptannya seperti dalam firman Allah SWT:
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً (7)
Artinya:
“Maka aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang”. (QS. Al-Waqi’ah: 7)

3.    Muqsam ‘alaih
muqsam ‘alaih kadang juga disebut jawab qasam. Muqsam ‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Posisi muqsam ‘alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidimuqsam ‘alaih dan mentahkikannya.[6][7]
Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan atau dizahirkan, misalnya firman Allah:
وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا (1) فَالْحَامِلَاتِ وِقْرًا (2) فَالْجَارِيَاتِ يُسْرًا (3) فَالْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا (4) إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَصَادِقٌ (5) وَإِنَّ الدِّينَ لَوَاقِعٌ (6)
Artinya:
“Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat * dan awan yang mengandung hujan * dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah * dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan * Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar * dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1-6)
muqsam ‘alaih atau jawab qasam dihilangkan / dibuang karena sebagai berikut:[7]
Pertama; di dalam muqsam bih nya sudah terkandung makna muqsam ‘alaih. Contoh jenis ini dapat dilihat misalnya dalam ayat yang berbunyi:
Artinya:
“Tidak aku bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela” (QS. Al- Qiyamah: 1 - 2)
Kedua; qasam tidak memerlukan jawaban karena sudah dapat dipahami dari redaksi ayat dalam surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Contoh jenis ini dapat dilihat misalnya dalam ayat yang berbunyi:

b.     Pembagian Qasam Alquran

Bahwa Allah dapat bersumpah secara bebas yang artinya dengan siapapun dan dengan apapun juga, Dia tak terhalang dengan bersumpah. Akan tetapi manusia tidak diperkenankan bersumpah kecuali atas nama Allah saja. Dalam hal ini, menurut Manna’ al - Qhattan sumpah terbagi dalam dua macam, adakalanya Zahir (jelas) dan adakalanya Mudmar (tidak jelas). Adapun macam qasam tersebut yaitu :[8][10]
1.      Zhahir, ialah sumpah di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta.
Seperti dalam firman Allah SWT:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
Artinya:
“Tidak aku bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela” (QS. Al- Qiyamah: 1 - 2)
2.      Mudhmar ialah yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam.
Seperti firman Allah:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (186)
Artinya:
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamusungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelumkamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyakyang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnyayang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”(QS. Ali Imran: 186)




















BAB 4
MEMAHAMI ALQURAN

A.   KEJELASAN MAKNA ALQURAN
Al-Qur’an adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, ia merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT dengan lafadz dan sekaligus maknanya, ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab. Meskipun sebagian kecil kata-katanya tidak berasal dari bahasa Arab, tapi sudah dimasukkan dalam bahasa Arab. Karena setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa yang lain, dan setiap kata dijelaskan oleh sesuatu yang dilihat, dirasakan dam diketahui.
Karena itu ulama ushul fiqh telah berupaya dengan mengikuti lebih dalam tentang lafadz yang ada di dalam al-Qur’an dengan meneliti klasifikasi lafadz dan berbagai problematika pentakwilan makna. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan secara gamblang tentang klasifikasi lafadz dari segi kejelasan makna dan problematika pentakwilan makna.

1.     Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam adalah isim maf’ul dari fi’il ahkama-yuhkimu. Mutasyabih berasal dari fi’il tasyabaha-yatasyabahu yang menurut bahasa berarti apa-apa yang saling menyerupai satu sama lain. Untuk Al-Qur`an, penyerupaan itu dalam kesempurnaan, kebagusan, kebaikan dan dalam memberikan banyak hikmah di dalamnya.
2.     Bentuk Ayat-Ayat Muhakam dan Mutasyabih
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah  kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.

Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَعْلَمُمَابَيْنَأَيْدِيهِمْوَمَاخَلْفَهُمْوَلَايُحِيطُونَبِهِعِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya”[Thahaa/20:110]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَاتُدْرِكُهُالْأَبْصَارُوَهُوَيُدْرِكُالْأَبْصَارَوَهُوَاللَّطِيفُالْخَبِيرُ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi MahaMengetahui”[Al-An’am/6:103]

Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firmanAllahSubhanahuwaTa’ala.

الرَّحْمَٰنُعَلَىالْعَرْشِاسْتَوَىٰ

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa/20 : 5]
Kedua.
Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.

Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ

“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran/3 : 138]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“ …Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [An-Nahl/16 : 89]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” [Al-Qiyaamah/75 : 18-19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kapadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamua cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” [An-Nisaa/4: 174]

Contoh-contoh untuk bentuk ini sangat banyak sekali, diantaranya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syura/42 : 11]

Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.

Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besarbaginya”[An-Nisaa/4:93]

Golongan Wa’idiyah salah dalam memahaminya, mereka pahami bahwa seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia kekal di dalam neraka, dan hal ini dijadikan patokan bagi semua pelaku dosa besar, mereka menolak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa dosa-dosa di bawah syririk berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B.    ASBABUN NUZUL
1.     Pengertian Asbabun Nuzul
Asbab an-nuzul terdiri dari dua kata, yaitu asbab dan an-nuzul. Kata asbab merupakan jama’ dari sabab dan an-nuzul adalah mashdar dari nazala. Secara harfiah, sabab brrarti sebab atau latar belakang, maka asbab berarti sebab-sebab atau beberapalatar belakang. Sedangkan an-nuzul berarti turun. Maka dengan demikian, kata asbab an-nuzul secara harfiah berarti sebab-sebab turun atau beberapa latar belakang yang membuat turun.
2.     Bentuk Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul mempunyai dua bentuk; pertama, dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Dan yang kedua, dalam bentuk pertanyaan. Yang pertama, misalnya terjai suatu peristiwa di kalangan sahabat kemudian turun ayat merespon peristiwa tersebut sehingga dapat diselesaikan. Dan yang terakhir maksudnya adalah pertanyaan, baik yang muncul dari sahabat atau yang berasal dari orang kafir, yang ditujukan kepada Nabi kemudian turun ayat yang menjawab pertanyaan tersebut.
3.     Ungkapan yang Menunjukkan Asbabun Nuzul
Ada tiga ungkapan yang menunjukkan asbabun nuzul suatu ayat. Dua diantaranya dapat dipastikan sebagai asbabun nuzul. Dan satu lainnya tidak secara pasti menunjukkan kepada asababun nuzul. Ungkapan itu adalah sebagai berikut.
a.      Apabila suatu peristiwa didahului oleh ungkapan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu merupakan asbabun nuzul ayat yang disebut sebelumnya.
b.    Tidak menggunakan “sababu”, akan tetapi menggunakan ungkapan “fanajalat” yang dimulai dengan “fa” setelah peristiwa dijelaskan. Hl ini tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu juga merupakan asbabun  nuzul ayat yang bersangkutan.
c.     Ungkapan yang tidak menggunakan kata “sababu dan juga fa” setelah peristiwa. Akan tetapi, ia menggunakan kata “fiy”  sebelum menjelaskan peristiwa. Hal ini tidak dapat dikatakan asbabun nuzul secara pasti, tetapi ada dua kemungkinan;mungkin karena asbabun nuzul dan mungkin juga tidak.
4.     Urgensi Asbabun Nuzul dalam Menafsirkan Alquran
Asbabun nuzul memiliki beberapa manfaat untuk mengetahuinya, diantaranya sebagai berikut;
a.     Untuk mengetahui peristiwa atau kejadian yang menyebabkan disyariatkannya suatu hukum, di mana hukum itu juga bisa berlaku pada peristiwa yang sam jika terjadi kemudian.
b.     Untuk mengetahui hukum-hukum Khusus yang berkaitan dengan asbabun nuzul, walaupun lafalnya umum seperti yang dijelaskan sebelumnya.
c.     Dapat membantu mufassir memahami suatu ayat yang tidak mungkin dipahami tanpa bantuan asbabun nuzul. Sebab, terkadang sebuah ayat bercerita tentang peristiwa yang dialami oleh seseorang.
d.     Asbabun nuzul menjelaskan kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga ia tidak ditanggungkan atas yang lain.
5.     Istinbath Hukum Sesuai dengan Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul suatu ayat yang sangat besar pengaruhnya terhadap penafsiran dan istinbath hukum. Munculnya perbedaan pendapat ulama dalam menafsirkan suatu ayat dan meng-istinbath-kan hukum darinya dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka mengenai asbabun nuzul. Seorang mujtahid yang menilai suatu ayat yang mempunyai asbabun nuzul akan berbeda penafsirannya dengan mujtahid yang menilai ayat itu tidak mempunyai asbabun nuzul, atau riwayat asbabun nuzulnya tidak shahih.
C.   ILMU MUNASABAH
1.Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah semakna dengan musyakalah dan muqarabah, berarti serupa dan berdekatan . Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Alquran.
2.Bentuk Munasabah
Para mufassir melihat banyak bentuk munasabah Alquran. Akan tetapi, secara garis besar dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu zhahir (jelas) dan mudhmar (tersembunyi). Munasabah zhahir terdiri dari beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.     Suatu ayat menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya, penjelasan suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan itu.
b.     Tawkid (menguatkan). Suatu ayat menguatkan isi kandungan lainnya.
c.     Tafsir (menjelaskan). Suatu ayat menjelaskan atau menafsirkan ayat sebelumnya.
3.     Cara Mencari dan Menentukan Munasabah
Untuk mengetahui munasabah suatu ayat dengan ayat lain atau ayat sebelum dan sesudahnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan , yaitu sebagai berikut.
a. Topik inti yang diperbicangkan dalam ayat. Mufassir perlu mengetahui permasalahan utama yang diperbicangkan oleh suatu ayat. Hal ini dapat diketahui melalui istilah-istilah yang digunakan dan alur pembicaraannya.
b.     Topik inti itu biasanya mempunyai sub-subtropik. Jika topik inti telah diketahui maka perlu dilihat dan dipahami hal-hal yang yang dicakupi oleh topik inti tersebut.
c.     Sub-subtropik itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula. Maka masing-masing ayat, ada yang berbincang mengenai topik inti, subtropik, dan ada pula yang memperbincangkan unsur-unsur yang ada pada subtropik.
A.                  NASAKH DAN MANSUKH
1.     Pengertian Nasakh dan Mansukh
An-nasakh merupakan mashdar dari nasakha, yang secara harfiah berarti “menghapus, memindahkan, mengganti atau mengubah.” Dari kata nasakha terbentuk kata an-nasikh dan al-mansukh. Yang pertama isim fa’il dan yang terakhir isim maf’ul dari nasakha. Secara etimologi, an-nasikh berarti yang menghapus, yang mengganti atau mengubah. Sedangkan al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah.
2.     Syarat Terjadinya Nasakh
Nasakh tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya, seperti yang tergambar dalam definisi di atas. Ia mempunyai syarat-syarat, yaitu sebagai berikut.
a.     Hukum yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’.
b.     Hukum yang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh.
c.     Dalil yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari dalil yang me-nasakh-kan, tidak boleh sebaliknya.
d.     Hukum yang di-nasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan dan hukuman.
e.     Hukum yang di-nasakh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus berlaku di sepanjang waktu.
f.      Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nash an-nasikh.
g.     Status nash an-nasikh harus sama dengan nash al-mansukh.
3.     Bentuk-Bentuk Nasakh
Nasakh Alquran itu mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.     Ayat yang di-nasakh-kan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi dalam Alquran.
b.     Ayat yang di-nasakh-kan hukum, tetapi bacaannya masih ada.
c.     Ayat yang telah di-nasakh-kan bacaannya, tetapi hukumnya masih diamalkan.
4.     Perubahan Hukum yang Terkandung dalam Ayat Al-Mansukh
Al-Jauzi membagi perubahan kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.     Dari wajib menjadi terlarang (al-man’u), sunnah atau mubah.
b.     Dari sunnah berubah menjadi wajib, haram atau mubah.
c.     Dari mubah menjadi haram atau wajib.
5.     Perbedaan Antara Nasakh dan Takhshish
Nasakh dapat dibedakan dari takhshish berdasarkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
a.     Nasakh menghilangkan hukum nash yang di-nasakh-kan, sedangkan takhshish meringkaskan hukum umum sehingga ia hanya berlaku pada sebagian individu, tidak semuanya.
b.     Nasakh bisa terjadi pada masalah umum dan khas, sedangkan takhshish hanya terjadi pada hukum umu saja.
c.     Ayat yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari ayat yang me-nasakh-kan. Sedangkan takshish tidak harus terkemudian dari ayat umum;ia boleh bersamaan, dahulu atau kemudian.










BAB V
TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
A.TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
1.     Tafsir
Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassana yang semakna dengan awdhaha dan bayyana, di mana tafsir-sebagai mashdar dan fassara-semakna dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau “menyatakan”.
Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat Alquran, keadaan, kisah dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna zahir
2.     Ta’wil
Kata ta’wil merupakan mashdar dari awwala, yaitu awwala, yu’awwilu, ta’wil. Secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Al-Jarjani mengartikan ta’will itu kepada tarji’ (mengembalikan). Selain makna ini, at-ta’wil juga berarti penjelasan.
Ta’wil menurut istilah berarti “Memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir juga yang juga di kandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-Kitab dan sunnah.Ta’wil menurut ulama mutaakhkirin adalah memalingkan makna suatu lafal dari yang rajih kepada yang marjuh, karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan.
Menurut ulama salaf, ta’wil itu mempunyai dua arti; pertama, penafsiran suatu ungkapan dan menjelaskan maknanya, baik sesai makna zahir Maupun tidak. Makna ta’wil dalam arti ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan;jika ungkapan itu perintah melakukan melakukan sesuatu maka rtakwilnya adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkapan itu dalam bentuk berita maka takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.
3.     Terjemah
Para ulama membagi terjemah itu kepada dua macam, yaitu sebagai berrikut.
a.Tejemah harfiah, yaitu memindahkan suatu ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain di mana dalam pemindahan itu tetap terjaga dan terpelihara usunan, tertib dan semua makna bahasa yang diterjemahkannya.
b.     Terjemah tafsiriah, yaitu mejelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain, tanpa menjaga atau memelihara susunan serta tertib bahasa aslinya, juga tidak pula mengungkapkan semua makna yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.
4.                   Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para ulama yang melihat tafsir dan ta’wil sebagai dua istilah yang berbeda, jua tidak sependapat dalam menjelaskan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut.
a. Sebagian mereka mengatakan, tafsir itu lebih umum dari ta’wil karena ia dipakai dalam Kitab Allah dan lainnnya. Sedabgkan ta’wil lebih banyak digunakan dalam Kitab Allah.
b.                   Tafsir pada umunya digunakan pada lafal dan mufradat (kosakata), sedangkan ta’wil pada umumnya digunakan untuk menunjukkan makna dan kalimat (jumlah).
c. Di kalangan ulama muta’akhkhirin, ta’wil diartikan kepada “Memalingkan makna suatu lafal dari makna yang kuat (al-marjuh) kepada makna yang kurang kuat (al-marjuh) karena disertai oleh dalil yang menunjukkan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat (ar-rajih).
d.                   Di antara para ulama ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalahpenjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan ta’wil penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
B.      SUMBER TAFSIR
1.       Menafsirkan Ayat Dengan Ayat
Adz-Dzahabi membagi tafsir Alquran ini kepada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.         Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan keterangan lebih luas yang di jelaskan dalam ayat lain.
b.       Menyamakan suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan yang terdapat dalam ayat lain.
c.        Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan ayat yang lain yang muqayyan.
d.       Mengkompromosikan (al-jam’u) ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang lain.
e.        Menggunakan suatu qiraat untuk menjelaskan makna ungkapan dalam qira’at lain yang berbeda.
f.        Men-takhshish-kan ayat yang umum (al-‘am), baik takhshish muttashil maupun munfasil.
2.       Menafsirkan Ayat Dengan Hadis
Ada beberapa bentuk penafsiran lquran dengan hadis, yaitu sebagai berikut.
a.        Hadis menjelaskan ungkapan Alquran yang masih mujmal, seperti menafsirkan perintah shalat dalam Alquran; dimana Alquran tidak menjelaskan secara detail tentang waktu shalat, jumlah rakaat, dan cara mengerjakannya. Akan tetap sunnah menjelaskan itu.
b.       Hadis menjelaskan hal-hal yang sulit (musykil), seperti kesulitan para sahabat memahami kata khayth al-abyadh (benang putih) dan khayth al-aswad (benang hitam).
c.        Men-takhshish-kan lafal yang masih umu.
d.       Hadis meng-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e.        Hadis menjelaskan nasakh.
f.        Hadis menguatkan penjelasan Alquran.
3.       Menafsirkan Alquran Dengan Perkataan Sahabat
Terdapat empat hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad mereka menafsirkan Alquran. Keempat hal itu adalah sebagai berikut.
a.        Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.
b.        Pengetahuan mereka tentang adat kebiasaan orang Arab.
c.        Pengetrahuan mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya Alquran.
d.       Kemampuan  pemahaman mereka yang cukup luas.
4.       Ra’yu
Ra’yu artinya pendapat, yaitu pendapat mfassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak didasarkan atas penjelasan ayat, hadis, perkataan sahabat dan tabi’in.
Para mufassir membagi tafsir biar-ra’yi kepada dua macam yaitu ra’yi madzmumah (yang tercela) dan ra’yi mahmudah (yang terpuji).
5.       Isyara
Kata isyara berasal dari asyara, secara harfiah, ia berarti menunjukkan, mengarah atau memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu “tafsir isyari”maka ia berarti maksud atau makna yang di tunjukkan oleh suatu ayat yang dapat ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan arahan perasaan kesufiannya.
Tafsir isyari dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pertama isyarat tersembunyi yang dapat ditangkap seseorang yang bertaqwa, shaleh dan berilmu ketika membaca Alquran. Hal ini seperti penafsiran atau penakwilan yang dilakukan oleh Ibnu bbas terhadap Surah An-Nashr. Menurutnya, surah tersebut menjelaskan bahwa ajal Rasullulah sudah dekat. Dan kedua isyarat jelas yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyyah, di aman ia mengarah kepada penemuan ilmu pengetahuan modern.
C.      METODE TAFSIR
1.       Tahlili
Tafsir tahlili (analisis) ialah menafsirkan Alquran berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosakata atau lafal dari aspek bahasa dan makna.
2.       Muqaran
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan Alquran dengan cara memperbandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan ini, mufassir menjelaskan kecenderungan masing-masing mufassir dan mengungkap sisi-sisi subjektivitas mereka, yang tergambar ada legitimasi terhadap mazhab yang dianutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tafsir muqaran dapat dikategorikan kepada tiga bentuk; pertama memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, kedua memperbandingkan ayat Alquran dengan hadis, dan ketiga memperbandingkan suatu tafsir dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah yat yang ditetapkan oleh mufassir itu sendiri.
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang memperbandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.        Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan. Penentuan ini bisa berdasarkan tema atau lainnya.
b.       Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, baik ulama salaf maupun ulama khalaf dan baik berdasarkan riwayat maupun ijtihaj.
c.        Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir itu dengan menjelaskan corak penafsiran, kecenderungan dan pengaruh mazhab yang dianutnya yang tergambar dalam penafsiran ayat tersebut.
d.       Menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterimanya. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak lainnya.
3.       Ijmali
Secara harfiah, kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. Maka tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat Alquran secara umum dengan tidak memperincinya.
4.       Maudhu’i
Tafsir maudhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat Alquran tidak berdasarkan atas urutan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufassir, dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya dengan masalah tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Ada beberapa langkah yang harus ditemph seorang mufassir ketika menggunakan tekhnik penafsiran ini, yaitu sebagai berikut.
a.        Menentukan permasalahan atau topik yang akan dikaji.
b.       Menentukan kata kunci mengenai permasalahan itu dan padanannya pada Alquran.
c.        Mengumpulkan ayat-ayat Alquran mengenai topik tersebut, yang tersebar dalam berbagai surah.
d.       Menyusun ayat-ayat itu sesuai dengan kronologis turunnya (jika memungkinkan).
e.        Menjelaskan maksud ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ayat yang lain, perkataan Nabi, sahabat dan analisis bahasa.
D.      KAIDAH TAFSIR
1.       Kaidah Mengenai Isim Dhamir
Isim dhamir ialah kata ganti, baik orang maupun bukan.
2.       Kaidah Nakirah dan Ma’rifah
a.        Penggunaan Isim Nakirah
Ada beberapa maksud atau kemungkinan makna isim nakirah yang digunakan dalam Alquran, yaitu sebagai berikut.
1)       Maksudnya satu orang, bukan dua dan seterusnya.
2)       Maksudnya suatu macam atau bentuk.
3)       Membesarkan atau suatu peristiwa yang amat besar.
4)       Menunjukkan banyak atau juga ada kemungkinan menunjukkan banyak sekaligus peristiwa yang sangat besar.
5)       Menunjukkan kepada sedikit.
b.       Penggunaan Isim Ma’rifah.
Ada beberapa kemungkinan maksud Alquran menggunakan isim ma’rifah, sesuai dengan jenis isim ma’rifah yang digunakan, antara lain sebagai berikut.
1)    Jika yang digunakan itu isim dhamir maka maksudnya sebagai pengganti agar tidak terjadi pengulangan kata.
2)    Jika yang digunakan itu isim alam maka ada beberapa kemungkinan makna, yaitu menghadirkan pemilik nama dalam ingatan atau jiwa pendengar atau pembaca, memuliakan yang punya nama, dan atau menghina yang mempunyai nama.
3)    Jika yang digunakan itu isim isyarah maka ia mempunyai beberapa kemungkinan makna, yaitu enunjukkan perbedaan, menunjukkan dekat atau jauh sesuai dengan jenis isyarah yang digunakan, bermaksud menghina teruama isyarah dekat, bermaksud memuliakan terutama isyarah jauh, bermaksud emberi peringatan dan lain sebagainya.
4)    Jika yang digunakan itu isim maushul maka ia mempunyai beberapa kemungkinan maksud.
3.       Mufrad dan Jama’
Mufrad adalah suatu lafal yang mempunyai makna tunggal (satu), atau kata yang tidak menunjukkan kepada dua (mutsanna) atau lebih. Sedangkan jama’ berarti suatu kata yang menunjukkan kepada lebih dari dua.
4.       Makna Huruf
Alquran banyak menggunakan hurufm seperti huruf jar, istisna, dan huruf syarat.
5.       Am dan Takhshish
Am secara bahasa berarti umum. Secara istilah am bermakna suatu lafal yang menunjukkan kepada semua individu yang dikandungi oleh makna lafal tersebut, tanpa dibatasi pada kuantitas tertentu. Seperti kata al-ihsan, makna lafal ini mencakup semua individu yang dikandungi oleh arti lafal al-ihsan itu, yaitu manusia; maka yang dimaksud al-ihsan (manusia) adalah setiap individu manusia itu sendiri tanpa dibatasi pada jumlah atau orang-oran tertentu.
6.       Manthud dan Mafrum
Secara harfiah, manthuq berarti yang diturunkan, sedangkan mafhum berarti makna yang dipahami. Secara terminologi, manthuq, berarti suatu makna yang ditunjukkan oleh lafal yang diucapkan.
7.       Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq ialah lafal yang menunjukkan suatu makna hakiki tanpa ada pembatasan ukuran, sifat dan batasan lainnya.
Sedangkan muqayyad ialah penyebutan suatu objek dengan batasan-batasan tertentu, sehingga suatu objek itu tidak utuh lagi.




































BAB VI
ISI DAN FUNGSI ALQURAN
A.ISI ALQURAN
Alquran berisi pesan-pesan ilahi (risalah ilahiyyah) untuk umat manusia yang disampaikan kepada Nabi Muhammad. Pesan-pesan tersebut tidak berbeda dengan risalah yang dibawa oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan rasul-rasul lainnya sampai kepada Nabi ISA. Risalah itu adalah mengetauhidkan Allah, yaitu ma lakum min ilahin ghayruh (tidak ada bagi kamu Tuhan selain-Nya).
1.       Akidah
Akidah tauhid dibangun atas penalaran, karena suatu kepercayaan yang tidak dibangun atas penalaran yang benar akan menjadi rapuh, terutama keimanan kepada Allah dan kemahabesaran-Nya,
2.       Akhlak
Kata akhlaq merupakan jamak dari al-khulud. Secara harfiah, ia berasal dari kata khlaqa yang berarti menjadikan. Dan al-khuluq berarti kejadian. Secara istilah, diartikan kepada suasana jiwa (ahwal an-nafs) yang berpengaruh kepada perilaku.
3.       Hukum
Hukum islam merupakan khithab Allah yang berkaitan  dengan perbuatan para mukallaf, baik bersifat tuntutan, pilihan maupun ketentuan mengenai sesuatu.
Ia dibangun atas akidah tauhid, yang bertujuan mendantangkan kenyamanan, keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
4.       Sejarah
Prinsip Alquran dalam melihat sejarah, penguasaan materi sejarah tidak terlalu penting, yang terpenting adalahafektifnya.. Berdasarkan prinsip ini kisah dalam Alquran mempunyaikarakteristik tersendiri, yaitu sebagai berikut.
a.     Kisah dalam Alquran selalu tidak tuntas dan detail.
b.     Kisah dalam Alquran selalu terulang.
c.     Kisah Alquran selalu tidak menyebutkan Tokoh dalam cerita.
d.     Kadang-kadang kisah tidak dimulai dari awal peristiwa, tetapi mungkin dari pertengahan.
B.      FUNGSI ALQURAN
1.       Mau’izhah
Kata mau’izhah merupakan mashdar murni dari wa’azha berarti an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-awaqib (memberi peringatan yang diserta dengan ancaman).
2.       Syifa (Obat)
Pengobatan Alquran diarahkan terhadap hati (syifa lima fi ash-shudur), karena ia adalah sumber segala perrbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan terpuji. Penyakit yang sedang menimpa pribadi dan masyarakat berasal dari hati yang sakit. Penyakit itu adalah kesombongan, keangkuhan, hubbu ad-dunya wa ar-riyasah (mencintai dunia dan jabatan) yang sangat berlebihan, riya, dengki dan dengki dan lain-lain.
Alquran berdialog dengan hati dan jiwa manusia dalam rangka penyembuhannya. Ia berusaha memasukkan kebenaran, dengan sifat-sifat yang mulia ke dalam jiwa. Jikahati telah sembuh, berarti suasana jiwa telah bertukar dari kesombongan dan keangkuhan menjadi tawaddhu, dari riya, dengki serta cinta yang berlebihan terhadap dunia dan pangkat, menjadi ikhlas mencintai kebenaran, keadilan dan kesucian.
3.       Hudan (Petunjuk)
Secara harfiah, ia berarti menjelaskan, memberitahu dan menunjukkan. Dan Al Hadi yang memperlihatkan dan memperkenalkan kepada hamba-hamba-Nya jalan mengetahui-Nya sehingga para hamba mengetahui rububiyah-Nya. Secara istilah, hidayah berarti “Tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang kepada yang dituju.
4.       Rahnat
Alquran sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama, ajaran yang terkandung di dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi menyebarkan kasih sayang kepada seluruh mahkluk. Kedatangan Muhammad dengan membawa Alquran digambarkan sebagai rahmat bagi semesta alam.
5.       Furqan (Pembeda)
Secara harfiah kata furqan berasal dari kata faraqa, yang berarti pembeda. Alquran menyebut dirinya sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah. Antara yang hak dengan yang batil, antara kesesatan dengan petunjuk, antara jalan yang menuju keselamatan dengan jalan yang menuju kesengsaraan.
C.      ALQURAN SEBAGAI SUMBER SYARIAT
Istilah syariat mencakup segala aspek ajaran islam, ia tidak hanya berarti hukum islam-seperti yang dipahami kebanyakan orang, tetapi juga bermakna aqidah, dan segala sesuatuyang berkaitan dengan ajaran islam. Jika Alquran disebut sebagai sumber syariat, itu artinya Alquran sumber ajaran Islam yang mencakupi akidah, ahklak, hukum, termasuk politik, ekonomi, pergaulan, baik antarmanusia maupun manusia dengan alam, persoalan HAM, hubungan internasional, dan lain sebagainya.
Ayat-ayat Alquran  sebagai sumber syariat dapat diklasifikasikan kepada dua bagian, yaitu qath’i d-dilalah dan zhanni ad-dilalah. Qath’i ad-dilalah suatu ayat yang mempunyai makna yang jelas dan pasti, di mana tidak ada kemungkinan pasti, tidak ada perbedaan di kalangan mufassir dalam memahaminya. Para ulama mempunyai pendapat yang sama  mengenai maksud ayat itu. Ayat yang termasuk ke dalam kategori qath’i ad-dilalah adalah ayat-ayat yang menyangkut dengan akidah, tauhid, ahklak, dan sebagian dari ayat-ayat hukum.
Zhanni ad-dilalah adalah ayat-ayat yang tidak mempunyai makna yang jelas dan pasti, di mana terdapat beberapa kemungkunan makna yang dikandungi ayat tersebut sehingga mempunyai maknam ganda.Karena maknanya tidak pasti, muncul perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayata-ayat yang termasuk dalam kategori zhanni ad-dilalah ini. Masalah khilafiyah yang berkembang di tengah-tengah umat Islam muncul dari pemahaman ayata-ayat zhanni ad-dilalah tersebut.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar