BAB 1
ULUMUL QURAN
A. Pengertian
Study/’Ulumul Qur’an
Secara etimologi, ‘ulum Al-Qur’an
terdiri dua kata, yaitu ‘ulumdanAl-Qur’an. ‘Ulumadalah
jamak dariAl-‘alim yang berarti ilmu, maka ‘ulum berarti
ilmu-ilmu. Sedangkan kataAl-Qur’an, secara harfiah, berasal dari
kata qara’a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Kedua makna ini
mempunyai maksud yang sama; membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang
membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu
yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat di
awal Surah Al-‘Alaq, bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan
ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam raya atau dimana saja, dengan tujuan
agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya
itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka
secara bahasa kata ‘ulum Al-Qur’andapat diartikan kepada ilmu-ilmu
tentang Al-Qur’an.
Secara terminologi, Al-Qur’an
berarti “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Dimulai dengan Surah Al-Fatihah
dan diakhiri dengan Surah An-Nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap
orang yang membacanya”.
Jadi, ‘ulumul Qur’an secara
istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan
lain sebagainya”. Ash-Shabuni mendefinisikan ‘ulumul Qur’an itu kepada
“Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan,
susunan, kodifikasi, asbab an-nuzul, Al-makki wa Al-madani, pengetahuan
mengenai an-nasikh dan Al-mansukh, muhkam dan mutasyabihdan lain sebagainya
segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Menurut Az-Zarqani, ‘ulumul
Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari aspek
turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nasikh
dan mansukh, menolak syubhat darinya, dan lain-lain. Jadi, apa saja ilmu
yang berkaitan dengan Al-Qur’an adalah termasuk dalam perbincangan ‘ulumul
Qur’an.
Dari definisi yang ada tersebut ada
perbedaan redaksi antara para ulama yang satu dengan ulama yang lain. Walaupun
ada perbedaan, penulis melihat ada maksud yang sama, baik antara Ash-Shabuni
maupun Az-Zarqani, yakni bahwa ‘ulum Al-Qur’an adalah sejumlah pembahasan yang
berkaitan dengan Al-Qur’an.
Mengenai kemunculan istilah ‘ulum
Al-Qur’an untuk pertama kalinya, para penulis menyatakan bahwa istilah ini
muncul pada abad VI Hijriah oleh Abu Al-Farj bin Al-Jauzi. Pendapat ini disitir
pula oleh Asy-Suyuthi dalam pengantar kitabAl-itqan. Az-Zarqani
menyatakan bahwa istilah itu muncul pada awal abad V Hijriah melalui tangan
Al-Hufi (w. 430 H) dalam karyanya yang berjudulAl-Burhan fi‘ulum Al-Qur’an.
Analisis lain dikemukakan oleh Abu
SyahbahDengan merujuk kepada kitab Muqaddimatanifi ‘ulumA1-Qur’an yang
dicetak tahun 1954 dan diedit oleh Arthur Jeffri, seorang orientalis kenamaan,
Syahbah berpendapat bahwa istilah ‘ulum Al-Qur’an muncul dengan ditulisnya
kitabAl-Mabani fi Nazhm Al-Ma’aniyang ditulis tahun 425 H (abad V H).
Sayangnya, penulis kitab itu belum ditemukan sampai sekarang. Kitab yang hasil
cetakannya mencapai 250 halaman itu menyajikan pembahasan-pembahasan tentang
makki-madani, nuzul Al-Qur’an, kodifikasi Al-Qur’an, penulisan dan
mushaf, penolakan terhadap berbagai keraguan menyangkut pengkodifikasi
Al-Qur’an dan penulisan mushaf, jumlah surat dan ayat, tafsir, ta’wil,
muhkam-mutasyabih, turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf)
dan pembahasan-pembahasan lainnya. Lebih lanjut, Syahbah mengkritik analisis
yang dikemukakan oleh Az-Zarqani. Kritiknya itu menyangkut embel-embel“‘ulum
Al-Qur’an”pada kitab Al-Burhan fi ‘ulum Al-Qur’an yang dinyatakan
oleh Az-Zarqani sebagai kitab‘ulum Al-Qur’an yang pertama kali muncul.
Persoalannya, Az-Zarqani menyatakan juz I kitab itu hilang. Lalu, dari mana ia
memperoleh nama kitab itu? Tetapi setelah dilakukan pengecekan terhadap kitab KasyfAzh-Zhunun,
menurut Syahbah, ternyata kitab itu bernama Al-Burhan fi Tafsir Al-Qur’an.
Pendapat lain dikemukakan Subhi Al-ShaliH Ia berpen dapat bahwa istilah ‘ulum
Al-Qur’an sudah muncul semenjak abad III H, yaitu ketika Ibn Al-Marzuban
menulis kitab yang berjudul Al-Hawi fi ‘ulum Al-Qur’an.
B. Ruang
Lingkup Kajian ‘Ulumul Qur’an
Definisi di atas menggambarkan bahwa
‘ulumul Qur’an mencakup bahasan yang sangat luas, antara lain ilmu nuzul
Al-Qur’an, asbab Al-nuzul, qira’ah, ilmu an-nasikh wa Al-mansukh dan
ilmufawatih as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu
luasnya cakupan kajian ‘ulumul qur’an,maka para ulama harus mengakhiri definisi
yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”.
Ungkapan ini menunjukkan, kajian
‘ulumulQur’an tidak hanya hal-hal yang disebutkan dalam definisi itu saja,
tetapi banyak hal yang secara keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam
definisi. Ibnu Arabi (w 544 H), seperti yang dikutip oleh Az-Zarkasyi,
menyebutkan, ‘ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan
kata-katanya.Hal itu sesuai dengan pendapatsebagian kaum salaf yang melihat
bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin, selain
itu terdapat pulahubungan-hubungan dan susunan-susunannya. Maka dengan
demikian, ilmu ini tidak terkira banyaknya dan hanya Allah sajalah yang
mengetahuinya secara pasti.
Berkenaan
dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup
pembahasan ‘ulum Al-Qur’an terdiri dari enam hal pokok berikut ini:
1. Persoalan Turunnya Al-Qur’an (Nuzul
Al-Qur’an).
Persoalan ini menyangkut tiga hal:
a. Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an
(auqat nuzul wa mawithin annuzul),
b. Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an (asbab
an-nuzul),
c. Sejarah turunnya Al-Qur’an (tarikh
an-nuzul).
2. Persoalan
Sanad (Rangkaian Para Periwayat).
Persoalan
ini menyangkut enam hal:
a. Riwayat mutawatir,
b. Riwayat ahad,
c. Riwayat syadz,
d. Macam-macam qira’at Nabi,
e. Para perawi dan penghapal Al-Qur’an,
f. Cara-cara penyebaran riwayat (tahammul)
3.
Persoalan Qira’at (Cara Pembacaan Al-Qur’an).
Persoalan
ini menyangkut hal-hal berikut ini:
a. Cara berhenti (waqaf),
b. Cara memulai (ibtida),
c. Imalah,
d. Bacaan yang dipanjangkan (madd),
e. Meringankan bacaan hamzah,
f. Memasukkan bunyi huruf yang sukun
kepada bunyi sesudahnya (idgham).
4.
Persoalan Kata-Kata Al-Qur’an.
Persoalan
ini menyangkut beberapa hal berikut:
a. Kata-kataAl-Qur’an yang asing (gharib),
b. Kata-kata Al-Qur’an yang
berubah-ubah harakat akhirnya (murab),
c. Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai
makna serupa (homonim),
d. Padanan kata-kataAl-Qur’an
(sinonim),
e. Isti’arah,
f. Penyerupaan (tasybih).
5.
Persoalan Makna-Makna Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Hukum.
Persoalan
ini menyangkut hal-hal berikut:
a. Makna umum (‘am) yang tetap
dalam keumumannya,
b. Makna umum (‘am) yang
dimaksudkan makna khusus,
c. Makna umum (‘am) yang
maknanya dikhususkan sunnah,
d. Nash,
e. Makna lahir,
f. Makna global (mujmal),
g. Makna yang diperinci (mufashshal),
h. Makna yang ditunjukkan oleh konteks
pembicaraan (manthuq),
i. Makna yang dapat dipahami dari
konteks pembicaraan (mafhum),
j. Nash yang petunjuknya tidak
melahirkan keraguan (muhkam),
k. Nash yang muskil ditafsirkan karena
terdapat kesamaran di dalamnya (mutasyabih),
l. Nash yang maknanya tersembunyi
karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri (musykil),
m. Ayat yang “menghapus” dan yang
“dihapus” (nasikh-mansukh),
n. Yang didahulukan (muqaddam),
o. Yang diakhirkan (muakhakhar).
6. Persoalan
Makna-Makna Al-Qur’an yang Berpautan dengan Kata-kata Al-Qur’an
Persoalan
ini menyangkut hal-hal berikut ini:
a. Berpisah (fashl),
b. Bersambung (washl)
c. Uraian singkat (i’jaz)
d. Uraian panjang (ithnab)
e. Uraian seimbang (musawah)
f. Pendek (qashr)
C.
SEJARAH
PERTUMBUHAN ULUMUL QURAN
Ilmu-ilmu Al-Qur’andi masa Rasul,
Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra. Disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah,
dari mulut ke mulut.
Di dalam
masa pemerintah Utsman, mulailah bangsa Arab bergaul rapat dengan bangsa Ajam.
Utsman menyuruh para sahabat dan para umat supaya berpegang kepada mushaf Al
imam dan supaya dari mushaf itulah disalin mushaf-mushaf yang dikirim
ke kota-kota besar, serta membakar mushaf-mushaf yang lain yang tidak
bersumberdari mushaf Al Imam itu.
Tindakan
Utsman ini, merupakan awal berkembangnya ilmu yangkemudian dinamakan ilmu
Rasmil Qur’an atau ilmu Rasmil Utsmany.
Dan telah
masyhur dalam sejarah Islam pula bahwasanya Ali ra. menyuruh Abul Aswad
ad-Dualy (wafat tahun69 H), membuat beberapa kaidah untuk memelihara
keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian dapatlah kita menetapkan
bahwasanya Ali adalah peletak batu pertama bagi ilmu I’rabul Qur’an.
Kemudian
dengan memperhatikan sejarah pertumbuhan ilmu, dapatlah kita menetapkan bahwa
tokoh-tokoh ilmu yang berkembangnya ilmu-ilmu Al-Qur’anialah:
Dari
golongan sahabat:
1.
Khulafa’ Rasyidin (khalifah empat)
2.
Ibnu Abbas
3.
Ibnu Mas’ud
4.
Zaid ibn Tsabit
5.
Ubay ibn Ka’ab
6. Abu
MusaAl Asy’ari
7.
Abdullah ibn Zubair
Dari
golongan tabi’in:
1.
Mujahid
2.
Atha’ibn Yasar
3.
Ikrimah
4.
Qatadah,
5. Al
Hasanul Bishry
6.
Said ibn Jubair
7.
Zaid ibn Aslam
Dari
golongan tabi’in-tabi’in, ialah Malik ibn Anas. Beliau mengambil ilmu ini dari
Zaid ibn Aslam.
Merekalah
tokoh-tokoh yang meletakkan dasar ilmu-ilmu yang kita namakan:
1.
Ilmu Tafsir
2.
Ilmu Asbabun Nuzul
3.
IlmuMakky wal Madany
4.
Ilmun Nasikh wal Mansukh
5.
Ummul ‘Ulumil Qur’aniyah
Di dalam masa pentadwinan
(kodifikasi) ilmu, tafsirlah yang mendapat prioritas pertama, karena dialah
Ummul Ulumil Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an).
D.
URGENSI ULUMUL ALQURAN DALAM
MENAFSIRKAN ALQURAN
Urgensi
ulumul quran dalam penafsirannya secara lebih jelas terlihat pada ilmu asbab an-nuzul dan an-nasikh wa al-mansukh; tanpa menguasai ilmu ini, orang bisa
tersalh dalam memahami ayat-ayat alquran, terutama ayat-ayat yang khusus
diturunkan untuk menjawab kasus-kasus tertentu yang tidak boleh hukun yang
dikandunginya digeneralisasi untuk semua kasus, seperti firman Allah dalam
surah Al-Maidah (5) ayat 93 dan surah Al-Baqarah (2) ayat 115. Ayat ini, secara
umum tanpa melihat asbab an-nuzul-nya,
berarti “bahwa seseorang, dalam shalatnya, boleh dan sah menghadap kemana saja,
karena semua yang ada ini kepunyaan Allah”.
Mengenai
asbab an-nuzul surah Al-Baqarah (2)
ayat 115 tersebut, At-tirmidzi mengatakan; Amir berkata, kami pernahmelakukan
perjalanan bersama Nabi dalam malam yang gelap. Kami tidak tahu mana arah
kiblat. Maka setiap orang dari kami menghadap kesuatu arah sesuai perkiraannya.
Setelah pagi tiba, kami menyampaikan hal itu kepada Nabi. Maka turunlah ayat di
atas. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ayat itu hanya berlaku pada
kasus tersebut dan kasus kasus yang serupa dengannya.
Demikian
pula ilmu an-nasikh wa al-mansukh;
tanpa menguasai ilmu ini, seorang mufassir mungkin akan tersalah dengan
menetapkan hukum berdasarkan ayat yang telah di nasakh kan.
BAB 2
ASPEK SEJARAH
ALQURAN
A.
NUZUL AL-QURAN
(TURUNNYA ALQURAN)
1.
Pengertian
Secara
bahasa, ungkapan “nuzul al-quran” terdiri
dari dua kata, yaitu nuzul dan al-quran. Nuzul artinya turun, maka ilmu nuzul
al-quran secara harfiah berarti ilmu tentang turunnya al-quran. Makan kedua
adalah perubahan keadaan sesuatu dari yang berkualitas menjadi yang berkualitas
seperti nilai ujian mahasiswa turun dari A menjadi B.
Secara
istilah, ilmu nuzul al-quran adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang “turunnya
al-quran”, berasal dari Allah Yang Maha Mulia dan Transenden, kepada
manusia-dalam hal ini Nabi- yang penuh dengan sifat kemanusiaannya dan suasana
manusiawi pula.
2.
Tahap Penurunan
Al-quran
Al-quran itu sampai kepada Nabi melalui
tiga tahap; pertama penyampaian Alquran dari Allah kepada lawh al-mahfudz. Maksudnya, sebelum Alquran disampaikan kepada
Rasullulah, sebagai utusan Allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu
disampaikan kepada lawh al-mahfudz,
yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana Alquran pertama kalinya ditulis
pada lembaran tersebut.
Tahap kedua adalah
turunnya Alquran kelangit pertama dengan sekaligus. Dilangit pertama itu, ia
disimpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan
tahap kedua ini bertepatan dengan malam qadar, seperti yang dijelaskan dalam
Surah Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah (2) ayat 185.
Ibnu Abbas juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqaani, “Alquran
diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam qadar. Setelah itu, ia
diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 22 Tahun 2 Bulan 22 Hari.
Tahap ketiga
adalah turunnya Alquran dari bayt
al-izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad melalui Jibril selama
22 tahun 2 bulan 22 hari, atau selama 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke
dalam hati Nabi, sehingga setiap kali wahy itu disampaikan beliau langsung
menghafalnya.
Ada empat hikmah
atau tujuan kenapa Alquran diturunkan secara berangsur-angsur yaitu sebagai
berikut.
a.
Menetapkan
atau menguatkan hati Nabi, dengan turunnya berangsur-angsur. Maka berarti Nabi
akan selalu berjumpa dengan Jibril dan menerima Al-quran. Hal ini secara psikologis
akan berpengaruh kepada Nabi dalam menyampaiknan risalah ilahi; ia akan menjadi
tegar dan kuat. Berbeda dengan turunnya secara sekaligus, berjumpa dan
mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak akan muncul lagi.
b.
Berangsur-angsur
dalam mendidik umat yang sedang tumbuh ini untuk menanamkan ilmu dan amal. Hal
ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam memahami dan menghafal
setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya
memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan
sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan
larangan yang begitu banyak myncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Allah
menurunkan ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
c.
Menyesuaikan
dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua
hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan peristiwa yang
sedang terjafi; pertama akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat
islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka kepada Alquran. Bagaikan
orang yang sedang sakit, kemudian diberikan obat yang langsung menyembuhkannya.
d.
Memberikan
isyarat yang nyata kepada musuh-musuh islam, bahwa Alquran adalah qalam Tuhan
yang datang dari Allah, bukan perkataan Nabi. Jika ia kalam Muhammad maka ia
dapat mengungkapkannya kapan dan dimana saja, tidak perlu menunggu.
3.
Ayat
Yang Pertama Dan Terakhir Turun
Alquran pertama kalinya diturunkan kepada Nabi
Muhammad pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian atau di waktu Muhammad telah
diangkat menjadi Nabi. Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati oleh umat
Islam Indonesia setiap tahn sebagai malam peringatan nuzulul quran.
Surah yang pertama
turun adalah Al-‘Alaq ayat 1-5.
Ayat yang terakhir
turun adalah Surah Al-Maidah (5) ayat 3. Ayat ini turun di Padang Arafah ketika
Rasullulah menunaikan haji terakhir, dan ia masih hidup beberapa bulan lagi
setelah itu. Sedangkan Surah Al-Baqarah (2) ayat 281, turun 9 hari atau 81 hari
menjelang Rasullulah wafat.
C.
NABI DAN
PENERIMAAN WAHYU
Nabi Muhammad
sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang disebut dengan wahyu.
Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiah yang disampaikan kepadanya melalui
Jibril. Artinya, pewahyuan Alquran kepada Nabi menggambarkan terjadinya
perjumpaan antara mahkluk material (jasmani), yaitu Nabi dengan mahkluk
immaterial (ruhani), yaitu Jibril. Dan
diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad dari Allah, berarti terjadinya
interaksi antara mahkluk jasadi dengan khaliq
Yang Mahatinngi.
Alquran
menyebutkan, ada tiga cara penyampaian misi illahi itu kepada para nabi dan
rasul, yaitu melalui wahyu, pembicaraan dibalik hijab dan atau Allah mengirim
seorang utusan.
Dari tiga cara
penyampaian misi ilahiah itu, dua diantaranya langsung dari Allah kepada Nabi
dan satu lainnya melalui perantara malaikat. Adapun yang langsung dari Allah
kepada para nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan di balik tabir.
Cara lainnya
adalah melalui perantara malaikat. Hal ini meliputi empat cara, yaitu sebagai
berikut.
1.
Malaikat
menyampaikan ke dalam hati Nabi, di mana Nabi tidak melihatnya.
2.
Malaikat
datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan lalu menyampaikan misi ilahiah
itu kepadanya.
3.
Malaikat
datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi Nabi (asyadd alayh), sehingga ia berkeringat
walaupun pada saat dingin.
4.
Malaikat
datang kepada Nabi dalam bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian ia
menyampaikan misi ilahiah itu kepada Rasul sesuai dengan apa-apa yang Allah
kehendaki.
E.
PERIODE PENURUNAN
ALQURAN
Penyampaian
Alquran kepada Nabi seiring dengan periode dakwah Nabi, yang meliputi periode
Mekkah dan periode Madinah. Yang pertama berlangsung selama lebih kurang 13
tahun, sebelum Nabi hijrah ke Madinah.Dan yang terakhir berlangsung kurang
lebih kurang selama 10 tahun, setelah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat atau surah
Alquran yang diturunkan pada pada periode pertama disebut dengan ayat atau
surah al-makkiyah dan yang pada periode kedua disebut dengan al-madaniyah.
1.
Pengertian
Makkiyah dan Madaniyah
Kata al-makki
berasal dari “Mekah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata
tersebut telah dimasuki “ya” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makiyyah
dan al-madany atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau al-amkkiyah
berarti “yang bersifat Mekah” atau “yang berasal dari Mekah”, sedangkan al-madany atau al-madaniyah yang
berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang beraal dari Madinah”. Maka ayat atau
surah yang turun di Mekkah disebut dengan al-makkiyah, dan yang diturunkan di
Madinah disebut dengan al-madaniyah.
Secara istilah,
al-makki wa al-madani berarti “suatu ilmu yang membahas tentang tempat dan
periode turunnya surah atau ayat Alquran, baik Mekkah atau Madinah”. Ayat atau
surah yang turun pada periode Mekkah
disebutkan dengan ayat/surah makkiyah dan ayat/surah yang turun pada periode
Madinah disebut dengan ayat madaniyah.
2.
Kegunaan Ilmu
Al-Makki dan Al-Madani
Az-Zarqani
menyebutkan tiga manfaat dan keguaan ilmu al-makki dan al-madani, yaitu sebagai
berikut.
a.
Menentukan
ayat nasikh dan mansukh. Jika seorang mufassir atau mujtajid menerima dua ayat yang
kontrakdiktif (ta’arudh), dan ia
mengetahui bahwa salah satu diantaranya ayat al-madaniyah dan yang lain al-makkiyah,
maka ia dapat menetapkan bahwa al-makkiyah
itu telah di-nasakh-kan oleh ayat al-madaniyah.
b.
Mengetahi
sejarah syariat. Ia dibebankan kepada umat secara berangsur-angsur. Terlihat,
misalnya, nuansa bimbingan ayat-ayat al-makkiyah kepada umat ini berbeda dengan
ayat-ayat al-madaniyah. Sebab, periode sebelum hijrah merupakan tahap
pertumbuhan karena itu perlu diberikan secara perlahan-lahan dan tidak merasa
diberatkan. Sedangkan periode setelah hijrah merupakan tahap perkembangan,
karena itu umat sudah siapmenerima segala yang datang dari Allah. Dengan cara
demikian, tidak ada para sahabat yang menentang ajaran Islam; mereka sepenuhnya
tunduk kepada perintah Nabi. Hal ini perlu dipelajari oleh para tokoh
masyarakat dalam mendidik dan membimbing bangsa ini ke jalan yang benar.
c.
Menanamkan
keyakinan kepada umat, dari sudut sejarah, mengenai keabsahan Alquran. Ia
datang dari Tuhan, bersih dari penyimpangan, dan perubahan. Para ulama sangat
besar perhatiannya kepada Alquran sehingga mereka tidak hanya mengetahui,
mencatat, dan mengkaji ayat-ayat saja, tetapi juga mengetahui dan mempelajari
ayat-ayat yang turun sebelum dan sesudah hijrah, ayat yang turun di siang hari,
malam hari, di tempat Nabi tinggal, dalam perjalanan, pada musim panas, musim
dingin dan lain sebagainya.
3
Penentuan Ayat
Al-Makkiyah dan Madaniyah
Ada dua cara yang dapat
digunakan untuk mengetahui ayat al-makkiyah dan al-madaniyah, yaitu sima’i dan
qiyasi (analogi). Yang pertama adalah berdasarkan penjelasan para sahabat
secara langsung. Hal ini dapat diketahui melalui riwayat yang telah ditulis
oleh para ahli hadis dalam buku-buku hadis, seperti al-kutub as-sittah. Dan
yang terakhir adalah dengan cara membandingan tanda-tanda al-makki atau
al-madani dengan struktur ayat yang terdapat dalam surah.
F.
PEMBUKUAN DAN
PEMELIHARAAN ALQURAN
1.Pembukuan
Periode
Nabi Muhammad SAW
Alqur’an merupakan sumber ajaran
islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi
suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga
memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan,
ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar
mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan
penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk
di milikinya sendiri diantara sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan
al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa
rasullah untuk menulis teks al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para
sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan
dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertuliskan pada masa
rasulullah tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf,
Pada saat itu memang sengaja
dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahat dan penulisan
teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam
satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun
selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang
lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada
perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh
ayat yang lain.
Periode
Abu Bakar r.a
Ketika rasullulah wafat dan
kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang islam kembali
kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim
pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H),yang
menewaskan sekitar 70 para Qori’dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz
yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian
umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk
membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya
Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa rasulullah,
dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar
berkata kepada Abu Bakar “ Demi allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati
Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut
kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin Tsabit menolaknya dikarenakan
pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada masa rasulullah sebagaimna Abu
Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur’an
dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz yang masih tersisa dan
tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas perintah rasullullah. Zaid
sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran
islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan
beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab
sebagai gantinya kekhalifaan.
Periode
Umar Bin Khattab
Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak
terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an
dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan
sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap
perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh
ketangan Ustman bin Affan.
Periode
Ustman Bin Affan
Semakin banyaknya negara yang
ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama
islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang
Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim
Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi
disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab
dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman
yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama
penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang
dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman
Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat
kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang
kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani
yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya
Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin
Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin
Harits.
Ustman Bin Affan memerintahkan
kepada Zaid untuk mengambil Mushaf yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan
bacaan dengan satu dialek yakni dialek Qurays, mushaf yang asli dikembalikan
lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak mushaf yang
diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam seperti
Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh
Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf
Ustmani, demikian terbentuknya mushaf ustmani dikarenakan adanya pembaruan
mushaf pada masa ustmani.
3.pemeliharaan
Pada masa
Rosulullah masih hidup Al-qur’an di pelihara sedemikian rupa, di masa rosul
masih hidupnya dalam menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan
agar sahabat menghafalnya dengan baik, sehinnga cara yang paling terkenal untuk
memelihara Al-qur’an adalah dengan menghafal dan menulisnya.
Selain cara
menghafal ini, Rosul memerintahkan agar para sahabat yang pandai menulis segera
menuliskan ayat-ayat Al-qur’an yang telah di hafal oleh mereka. Di antara
sahabat yang menuliskan ayat-ayat Al-qur’an adalah :
a. 4 sahabat
rosulullah terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
b. Muawiyah
bin Abu Sufyan
c. Zaid bin
Tsabit
d. Ubay bin
Ka’ab
e. Khalid
bin Walid
Penulisan tersebut diurut sesuai dengan
perintah nabi, setelah itu baru di simpan. Selain menulis ada juga para sahabat
yang terkemuka menghafal Al-qur’an menurut hadist oleh Bukhari adalah :
a. Abdullah ibnu Mas’ud
a. Abdullah ibnu Mas’ud
b.Salim bin
Mu’aqli, dia adalah Maula Abu Huzaifah
c. Mu’az bin
Jabal
d. Ubay bin
Ka’ab
e. Zaid bin
Tsabit
f. Abu Zaid
bin Sukun
g. Abu
Darda’
Menurut sumber hadis Bukhri[1][1]. Bahwa tujuan orang tersebutlah
yang bertanggung jawab mengumpukan Al-qur’an menurut apa yang mereka hafal itu,
dan yang di hafalnya itu di kembalikan kepada Rosullah, melalui sanad-sanad
mereka ini lah Al-qur’an sampai kita seperti yang ada sekarang.
Terdapat 3
unsur yang dapat memelihara Al-qur’an yang telah di turunkan, yaitu :
1. Hafalan
mereka yang hafal Al-qur’an.
2.
Naskah-naskah yang di tulis oleh nabi
3.
Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka
masing-masing.
Ketika nabi wafat, Al-qur’an tersebut
telah sempurna di turunkan dan telah di hafalkan oleh ribuan manusia, dan telah
di tuliskan semua ayat-ayatnya. Semua ayatnya telah disusun dengan tertib
menurut urutan yang ditujukan sendiri oleh Nabi.
Mereka telah mendengar Al-qur’an itu dari
mulut Nabi sendiri berkali-kali dalam shalat, dan Khutbah. Pendek kata
Al-qur’an tersebut telah terjaga dengan baik.
Suatu hal yang menarik perhatiaan, ialah
Nabi baru wafat dikalah Al-qur’an itu telah cukup diturunkan, dan Al-qur’an itu
sempurna di turunkan di waktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali ke
hadirat Allah S.W.T. Hal ini bukan suatu kebetulan saja, tapi telah di atur
oleh yang Maha Esa.
Setelah Rosullah SAW wafat, pemerintahan
islam di pegang oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjabat menggantikan Rosullah
SAW, dia menghadapi beberapa pristiwa-pristiwa besar berkenaan dengan
kemurtadan sebagai orang arab. Karena itu beliau menyiapkan pasukan dan
mengirimkan untuk memerangai orang-orang murtad itu.
Salah satu
peperangan yang terjadi adalah peperangan Yahmamah yang terjadi pada tahun 12 H
yang melibatkan para penghafal Al-qur’an, dalam peperangan ini terdapat 70
qurra’ atau hafis Al-qur’an yang gugur. Umar bin Khatab merasa resah dengan
banyaknya para sahabat penghafal Al-qur’an wafat terbunuh dalam peperangan,
lalu Ubar menghadap ke Abu Bakar dan menyampaikan berita tentang banyaknya qurra’ yang wafat,[2][2] setelah itu
Umar mengumpulkan agar Al-qur’an di mushaf
kan agar Al-qur’an tidak di musnakan, karna itu Umar khwatir banyaknya
nanti para penghafal Al-qur’an terbunuh kembali dalam peperangan selanjutnya.
Pada awalnya Abu Bakar menolak pendapat
Umar tersebut, lantaran hal tersebut tidak pernah di lakukan Rosullah SAW.
Tetapi Umar menjawab dan bersumpah “ Demi Allah, perbuatan itu baik” Umar pun
terus memujuk Abu Bakar dan terus memberikan alas an-alasan yang baik, terhadap
apa yang sedang terjadi pada umat islam ada waktu itu, dengan izin Allah SWT
hati Abu Bakar pun terbuka atas usul yang telah Umar sampaikan kepadanya. Setelah itu Abu Bakar
menujuk salah satu sahabat yang membutuhkan Al-qur’an ( mushaf ) yaitu Zaid bin Tsabit. Zaid pun pada awalnya menolak,
atas izin Allah SWT hati Zaid pun terbuka dengan penjelasan dari Abu Bakar,
Zaid berkata “Demi Allah ! ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya
aku di perintahkan untuk memindahkan sebuah bukit maka hal itu tidak lah berat
bagiku dari pada mengumpulkan Al-qur’an yang engkau perintahkan itu”. Zaid
dalam usaha menngumpulkan ayat-ayat Al-qur’an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat
telliti. Sekalipun beliau hafal Al-qur’an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan
mengumpulkan Al-qur’an yang sangat penting bagi umat islam itu, masih memandang
perlu mencocokan hafal atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan
oleh dua orang saksi.
Dengan demikian Al-qur’an seluruhnya telah
ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatkan dengan
benar. Tersusun menurut ayat-ayatnya sebagai mana telah ditetapkan oleh
Rosullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di Abu Bakar
sampai beliau wafat, kemudian di pindahkan ke rumah Umar bin Khatab dan tetap
di sana slama pemerintahanya. Setelah beliau wafat, mushaf itu di pindahkan ke
rumah Hafsah, putri Umar , istri Rosullah sampai masa pengumpulan dan
penyusunan Al-qur’an di masa Khalifa Utsman.
b.Pemeliharaan Al-qur’an pada zaman
Umar bin Khatab
Setelah khalifa Abu Bakar wafat,
maka di gantikanah oleh kholifatul mukminin yaitu Umar bin Khatab. Demikian
juga halnya mushaf, yang dahulunya di simpan oleh Abu Bakar maka setelah Umar
menjadi khalifah mushaf tersebut berpindah tangan ke Umar bin Khatab
Pada masa khalifah Umar ini tidak
membicarakan Al-qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran
islm dan wilayah kekuasaan Islam, serta mengendepankan ajaran Islam. Al-qur’an
juga tidak di pahami secara tekstual saja, tapi lebih jauh lagi di pahami
secara kontekstual.
c.Pemeliharaan Al-qur’an pada zaman Utsman bin Affan
Di masa Ustman bin Affan, pemerintahan
mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah Timur dan Tripoli di
sebelah Barat. Dengan demikian kelihatan lah bahwa kaum muslimin di waktu itu
telah terpencar-pencar di Mesin, Syariah, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapum
mereka pergi dan mereka tinggal, Al-qur’an itu tetap menjadi imam mereka, di
antara mereka banyak menghafal Al-qur’an itu. Pada mereka terdapat
naskah-naskah Al-qur’an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama
susunan surat-suratnya. Asal mulanya perbedaan tersebut adalah karena Rosullah sendiripun memberikan
kelonggaran kepada kabila-kabilah arab yang berada di masanya untuk membaca dan
melafalkan Al-qur’an itu menurut dialok mereka masinng-masing. Kelonggaran ini
di berikan oleh Nabi supaya mereka ,menghafal Al-qur’an. Tetapi kemudian
terlihat tanda-tanda
Bahwa
perbedaan bacaan tersebut bila di biarkan akan mendatanngkan perselisihan dan
perpecahan yang tidak di inginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang pertama yang memperhatikan hal ini
adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah
bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukan Armenia di
Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin
tentang bacaan beberapa ayat Al-qur’an, dan pernah mendengar perkataan seorang
muslim kepada temannya : “bacaan saya lebih baik dari pada bacaanmu”.
Keadaan ini mengagetkanya, pada waktu dia
telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Ustman bin Affan dan kepada beliau
ceritakanya apa yang di lihatnya mengenai pertingkaian kaum muslimin tentang
bacaan Al-qur’an itu seraya berkata : “Susunlah umat Islam itu sebelum mereka
berselisih tentang Al-kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara ( Nasrani
)”.
Maka khalifa Utsman bin Affan meminta
Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-qur’an yang di tulis di masa khalifah
Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk di salin. Oleh Utsman di bentuklah satu
panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair,
sa’id bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam.
Tugas
panitia ini adalah membukukan Al-qur’an dengan menyalin dari lembaran-lembaran
tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Ustman menasehatkan agar:
a.
Mengambil pedoman kepada bacaan merekayang hafal Al-qur’an.
b.
Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan),
maka haruslah dituliskan sebagai dialog meraka.
maka haruslah dituliskan sebagai dialog meraka.
Maka tugas
tersebut dikerjakan oleh para panitia, dan setelah tugas selesai, maka
lembaran-lembaran Al-qur’an yang dipinjam dari hafsah itu dikembalikan padanya.
Al-qur’an
yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushaf”,
dan oleh panitia ditulis lima buah Al-mushaf, empat buah diantaranya dikirim ke
Mekkah, Damaskus, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula
dimasing-masing Mushaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman
sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushaf
Al-Imam”.
Setelah itu
Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan
Al-qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushaf yang
ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin
Al-qur’an itu. Denagn demikian, maka pembukuan Al-qur’an dimasa Utsman memiliki
faedah diantaranya.
1.
Menyatakan kaum Muslimin pada satu macam Mushaf
yang seragam ejaan tulisannya.
2.
Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan
dengan Mushaf-Mushaf Utsman. Sedangkan bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan
Mushaf-Mushaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
3.
Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada
Mushaf-Mushaf sekarang.
Di samping itu Nabi menganjurkan agar para
sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, atupun seluruhnya.
3. pemiliharaan Al-qur’an pada masa
Tabi’in.
Setelah berakhirnya zaman Khalifah
yang empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi’in
terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu dan penyebaran ilmu-ilmu
Al-qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran, secara lisan bukan melalui
tulisan atau catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi
masa pembukaannya. Orang-orang yang
paling berjasa dalam periwayatan ini adalah khalifah yang empat, Ibnu Abbas,
Ibnu Masud, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-Asy’an, Abdullah Ibnu Al-Zubair.
Sedangkan dari kalangan sahabat Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan Al
Bashri, Said Ibn Jubair, Zaid Ibn Aslam di Madinah.
Dari Aslam, Ilmu ini diterima oleh
putranya Abd Al-Rahman, Malik Ibn Anas dari generasi Tabi’in Al-tabi’in. mereka
ini semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu
tafsir, ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh
dan mansukh, ilmu gharib Al-qur’an dan lainya. (kemudian, Ulumul Qur’an
memasuki masa pembukuan pada abad ke-2 H) para ulama memberikan prioritas
perhatian mereka kepada-ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm Al-Ulum
Al-Qurani’ah (Induk Ilmu-Ilmu Al-Qur’an). Para penulis pertama dalam tafsir
adalah Syu’bah Ibn Al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah dan Wali Ibn Al-Jarrah.
Kitab-Kitab, tafsir mereka menghimpun
pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in.
Pada abad ke-3 menyusul tokoh tafsir Ibn
Jarir Al-Thabari. Al-thabari adalah mufassir pertama membentangkan bagi
berbagai pendapat dan mentarjih sebagainya atas lainnya. Ia juga mengemukakan
I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari Al-qur’an). Di abad ke-3 ini juga
lahir ilmu asbab Al-Nuzul, ilmmu masikh dan mansukh , ilmu tentang ayat-ayat
makiah dan madaniah. Guru Imam Al-Bukhari, Ali Ibn Al-Madaniyah. Guru Imam
Al-bukhari, Ali ibn Al-madini mengarang asbab Al-Nuzul; Abu “Ubaid Al-Qasim Ibn
Salam. Mengarang tentang nasikh dan mansukh, qiraat dan keutamaan-keutamaan
Al-Quran; Muhammad ibn Ayyub Al-dari tentang ayat-ayat turun d mekkah dan
madinah ; Muhammad ibn khalaf Ibn Al-Mirzaban (W. 390II) mengarang kitab
Al-Hawi fi-‘ulum Al-quran.
BAB 3
FISIK ALQURAN
1.
TULISAN ALQURAN
Istilah rasm
alquran terdiri dari dua kata, yaitu rasm dan alquran. Secara harfiah, rasm
sama artinya dengan atsar (bekas), yaitu bekas tulisan suatu lafal. Sedangkan
alquran adalah wahyu Allah yang merupakan sumber utama ajaran Islam. Dan secara
istilah, rasm berarti melukiskan kata dengan huruf hijaiyah; menentukan
permulaan dan akhiran.
Berdasarkan
pengertian diatas, rasm alquran berarti suatu kajian yang membahas tulisan
suatu kata atau lafal-lafal Alquran. Tulisan Alquran, mengenai lafal atau kata
tertentu, berbeda dengan tulisan Arab biasa. Seorang penulisan mushaf haruslah
mengetahui perbedaan itu dan menulis mushaf apa adanya, tidak boleh menyalahi
rasm tersebut.
1.
Bentuk Rasm
Alquran
Alquran diturunkan
Allah kepda Muhammad dalam bahasa Arab, maka kaidah-kaidah penulisannya sesuai
dengan kaidah tulisan Arab. Akan tetapi, terdapat banyak kata atau lafal dalam
Alquran yang berbeda penulisannya dengan tulisan Arab yang resmi digunakan.
Diantaranya kaidah mengenai hafdz (membuang suatu huruf atau tidak
menantumkannya dalam suatu tulisan), al-ziyadah (penambahan), al-badl
(penggantian), washal (bersambung), dan al-fashal (berpisah). Hal inilah yang
membedakan Alquran dengan tulisan resmi yang digunakan dalam bahasa Arab.
2.
QIRA’AT ALQURAN
Kata qira’at jamak
dari qira’ah. Ia merupakan mashdar dari kata qara’a, yang berarti membaca. Maka
qira’ah secara harfiah brerarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang
bacaan.
Secara istilah,
ilmu qira’at berarti ilmu yang membahas tata cara membaca Alquran. Membaca
Alquran dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qari’
yang diterima dari Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung).
Artinya, walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui
buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang
disebutkan dalam buku tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Alquran
dengan menggunakan qira’at yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan
musyafahah. Karena hanya bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui
pendengaran dan musyafahah.
1.
Bentuk-Bentuk
Perbedaan Bacaan
Para imam
qari’-sesuai dengan apa yang mereka riwayatkan dari Nabi-berbeda dalam
membacanya. Perbedaan itu meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.
Penambahan
kata dalam suatu qira’at sedangkan qira’at yang lain kata itu tidak ada.
b.
Menggunakan
kata yang berbeda. Artinya, dalam suatu qira’at, misalnya menggunakan suatu
kata sedangkan dalam qira’at lainnya digunakan kata yang lain pula.
c.
Mendahulukan
suatu kata dari kata yang lain.
d.
Menggunakan
huruf yang berbeda, yaitu suatu qira’at berbeda dengan qira’at lainnyadalam
persoalan huruf yang digunakan dalam suatu kata.
e.
Menggunakan
harakat yang berbeda, seorang imam qari’ membaca suatu huruf dengan harakat
fathah, sedangkan yang lainnya membaca dengan kasrah.
f.
Menggunakan
bentuk kata yang berbeda. Semua qira’at membaca suatu lafal dengan menguunakan
lafal yang sama, tetapi bentuk (shighat)nya berbeda.
g.
Perbedaan
dalam menentukan bunyi lafal.
2.
Syarat-Syarat
Qira’at Sahih
Suatu bacaan
dianggap sahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi tiga syarat yaitu sebagai
berikut.
a.
Bacaan
itu sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani, jangan bertentangan dengannya.
b.
Diterima
dan disampaikan kepada kita secara mutawatir. Ini menurut para ahli usul,
muhadditsin, dan muzahib al-arba’ah.
c.
Sesuai
dengan bahasa Arab. Artinya, jangan bacaan itu bertentangan dengan kaidah
bahasa Arab.
3.
Hikmah Banyaknya
Bentuk Bacaan
Qira’at mempunyai
faedah dan manfaat bagi umat Islam. Al-Qaththan menyebutkan empat macam faedah,
yaitu sebagai berikut.
a.
Meringankan
dan memudahkan umat Islam membaca Alquran; suatu lafal yang sulit diucapkan
dapat diganti dengan lafal yang mjudah.
b.
Menunjukkan
betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpanan.
c.
Sebagai
bukti kemukjizatan Alaquran dari segi kepadatan maknanya, karena suatu qira’at
menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
d.
Menjelaskan
hal-hal yang mungkin belum jelas dalam qira’at yang lain.
4.
Tokoh Qira’at
Tujuh tokoh dari
kalangan tabi’in yang terkenal sebagai imam qira’at, yaitu sebagai berikut.
a.
Ibnu
Katsir
b.
Nafi’
Al-Madani
c.
Ibnu
Amir Asy-Syami
d.
Abu
Amr Al-Basri
e.
Asim
Al-Kufi
f.
Hamzah
Al-Kufi
g.
Al-Kusa’i
Al-Kufi
Dilihat dari segi bahasa fawatih adalah
jamak dari kata fatihah, yang artinya pembukaan. Sedangkan kata as-suwar adalah
jamak dari kata as-surat, sekumpulan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Jadi, Fawaatih Suwar berarti beberapa pembukaan dari surat-surat Al-Qur’an atau
beberapa macam awalan dari surat-surat Al-Qur’an. Sebab seluruh surat Alqur’an
yang berjumlah 114 buah surat itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan saja,
tidak ada satu suratpun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan
tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai rahasia / hikmah untuk dipelajari.
Istilah fawaatih al-suwar ini memang sering diartikan pula sebagai huruf
al-muqoththo’ah (huruf terputus-putus yang terdapat dipermulaan beberapa surat
Al-Qur’an).
Diantara
mufassir yang mengartikan fawaatihus suwar sebagai huruf al-muqoththo’ah adalah
Subhi Al-Salih dalam kitabnya Mabaahith fi ‘uluum al-Qur’an dan Jalaluddin
Al-Suyuthi dalam Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Qur’an. Sehingga
perlu ditegaskan bahwa fawaatihus suwar itu berbeda dengan huruf al-muqotho’ah.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa huruf al-muqoththo’ah merupakan bagian
dari permasalahan yang dibicarakan dalam ilmu fawaatih al-suwar. Apabila
dibedakan, setidaknya ada sepuluh macam fawaatih al-suwar yang digunakan
al-Qur’an dalam awalan surat. Dan dari 114 surat yang ada di dalam al-Qur’an,
ditemukan 29 surat yang menggunakan huruf al-muqoththo’ah sebagai pembuka
Pembukaan surat- surat Alquran itu ada 10 macam, yaitu sebagai berikut:
1) Pujian kepada Allah.
2) Huruf-huruf tahajji ada dalam 29 surat.
3)
Dengan
menggunakan huruf-huruf Nida’ ada 10 surat, yakni 5 surat dengan
memanggil Rasul SAW pada surat: الأحزاب، الطلاق، التحريم، المزمل، المدثر dan
yang lima surat dengan memanggil umat
yakni pada surat: النساء المائدة،
الحج، الحجرات،
dan الممتحنة.
4)
Jumlah-jumlah
Khabariyah, yakni:
يسالونك عن الآنفال، براءة من الله، إقترب للناس حسابهم، قد افلح المؤمنون،
سورة أنزلناها، تنزيل الكتاب، ألذين كفروا، إنا فتحنا، إقتربت الساعة، ألرحمن علم
القرآن، لقد سمع الله، الحاقة، سأل سائل، إنا آرسلنا نوحا، إنا أنزلناه، لم يكن، القارعة، ألهاكم،إنا أعطيناك، لا اقسم .
5) Dengan
sumpah ( Qasam) ada 15 surat, yakni:
Dalam surat itu Allah bersumpah dangan malaikat yaitu:Surat Ash- Shaaffat.
·
Dua surat dengan menggunakan benda-benda angkasa, Al-Buruj dan Ath-Thariq.
· Enam surat sumpah dengan
kelazimannya yaitu surat An-Najm sumpah
dengan tata surya, wa Al-Fajr sumpah dengan mulai siang, wa Asy-Syamsy,
sumpah dengan tandanya siang, wa Al-Lil sumpah dengan separo waktu, wa
Adh-Dhuha sumpah dengan separonya siang, dan
wa Al –‘Ahsr sumpah dengan separo yang akhir atau dengan jumlah masa.
Dua surat
sumpah dengan cuaca yaitu wa Adz-Dzariyati dan wa Al- Mursalati.
Satu surat
sumpah dengan debu yaitu surat Ath-Thur.
Satu surat
sumpah dengan tumbuhan yaitu surat At-Tin.
Satu surat
sumpah dengan hewan nathiq yaitu surat
wa An-Naazi’at.
Satu surat
sumpah dengan binatang yaitu wa Al-‘Adiyat.
Menggunakan
adat syarat terdapat dalam tujuh surat yaitu: Al-Waqi’ah, Al-Munafiqun, At-Takwir, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Az-Zalzalah dan
An-Nashr.
Dengan
perintah di dalam enam surat yaitu:
قل أوحي، إقرأ، قل يا
أيها الكافرون، قل هو الله أحد، قل أعوذ برب الفلق، قل أعوذ برب الناس.
Dengan
istifham yaitu pada enam surat,
هل أتى، عم
يتساءلون، هل أتاك، ألم نشرح، الم تر، أرأيت
Dengan do’a
yaitu pada tiga surat
ويل
للمطففين، ويل لكل همزة، تبت
Dengan
Ta’lil لإيلاف قريش
1) Bentuk yang terdiri dari satu huruf. Bentuk ini terdapat pada tiga surat,
yaitu surat Sad, Qaf, Wa Al-Qalam. Surat pertama dibuka dengan Sad, kedua
dengan Qaf, dan ketiga dibuka dengan Nun.
2) Bentuk yang terdiri dari dua huruf. Bentuk ini terdapat pada sepuluh surat.
Tujuh diantaranya dengan hawamim yaitu surat-surat yang didahului dengan
Ha dan Mim. Surat-suratnya adalah surat Gafir, Fusilat, Asy-Syura, Al-Zukhruf,
Al-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf. Khusus pada surat Asy-Syura pembukaannya
bergabung antara حم dan عسق. Tiga surat lagi adalah surat طس، طه dan يس.
3) Pembukaan surat yang terdiri dari tiga huruf terdapat tiga belas tempat.
Enam diantaranya dengan huruf الم yaitu surat Al-Baqarah, Ali
Imran, Al-Ankabut, Ar-rum, Luqman dan Al-Sajadah. Lima huruf الر yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf,
Ibrahim dan Al-Hijr. Dua susunan hurufnya طسم terdapat peda pembukaan surat Asy-Syura dan Al-Qashash.
4) Pembukaan surat yang terdiri dari empat huruf, yaitu المص pada surat Al-A’raf dan pada surat Al-Ra’d
المر.
a. Pendapat-pendapat
Ulama’tentang Fawatihus Suwar:
Para mufassir berpendapat bahwa huruf muqatha’ah dalam
Al-Qur’an, termasuk ayat mutasyabihat, yang tidak dapat diketahui makananya
(yang tersirat) kecuali hanya oleh Allah SWT. Namun Ibnu Qutaibah mengatakan,
Allah tidak menurunkan sesuatupun dari Al-Qur’an , kecuali supaya hambanya bisa
mengambil manfa’at dan memahami makna yang dikehendakinya. Ia berkata: Jika ayat mutasyabihat tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh
Allah, niscaya kita mendapat celaan. Pendapat yang mengatakan bahwa fawatihus
suwar termasuk mutasyabih adalah ulama’ salaf. Dan juga termasuk pendapat
ulama’ salaf seperti tokoh-tokah sebagai berikut: Sahabat Abu Bakar Ash-Sidiq
pernah berkata: “ Pada tiap - tiap kitab ada rahasianya, rahasia dalam Al-Qu’an
adalah permulaan-permulaan surat”, dan perkataan Sahabat Ali bin Abi Tholib: “
Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya, dan saripati Al-Qur’an
adalah huruf Tahajji.
a. Ulama’ tasawuf berpendapat bahwa
fawatihus Suwar adalah huruf-huruf yang tepotong-potong yang masing-masing
diambil dari nama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan penggantian
dari suatu kalimat yang berhubungan dengan yang susudahnya atau huruf itu
menunjukkan kepada maksud yang dikandung oleh surat yang surat itu dimulai
dengan huruf-huruf yang terpotong-potong.
b. Mufassir orientalis yang bernama Noldeke dari Jerman berpendapat yang
paling jauh menyimpang dari kebenaran, bahwa awalan surat itu tidak lain adalah
teks Al-Qur’an, bersama Schwally karena tulisannya tentang sejarah Al-Qur’an ia
berpendapat bahwa awalan surat itu tidak lain adalah huruf depan dan huruf
belakang dari nama-nama para sahabat Nabi. Misalnya: Huruf Sin adalah dari nama
Sa’ad Bin Abi Waqosh, Mim adalah huruf depan dari nama Al-Mughiroah, huruf nun
adalahdari nama Usman Bin Affan.
c. Al-Khuwaibi mengatakan bahwa kalimat- kalimat itu merupakan tanbih bagi
Nabi. Mungkin ada suatu waktu Nabi berada dalam alam manusia dalam keadaan
sibuk maka Jibril memerintahkannya untuk mengucapkannya agar Nabi mendengar
ucapan Malaikat Jibril maka Nabi mendengarkannya dengan seksama.
d. As-Sayyid Rasyid Ridha tidak membenarkan al-Khuwaibi diatas, karena nabi
senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid
ridha berpendapat bahwa tanbih ini
sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang musyrik mekkah dan ahli kitab madinah.
Karena orang-orang kafir apabila nabi membaca al-Qur’an mereka satu sama lain
menganjurkan untuk tidak mendengarkannya,seperti dijelaskan dalam surat
Fushshilat ayat 26.[3]
D.
USLUB ALQURAN
1.
Amtsal
Kata amtsal
merupakan bentuk jamak dari kata matsal (perumpamaan) atau mitsil (serupa)
atau matsil, sama halnya dengan kata syabah atau syabih.karena
itu dalam ilmu balaghah, pembahasan yang sama ini lebih dikenal dengan istilah tasbyih, bukan amtsal. Sedangkan pengertian amtsal
secara terminologi dirumuskan oleh para ulama’ dengan redaksi yang
berbeda-beda,
1. Menurut Rasyid Ridha, amtsal adalah kalimat yang digunakan
untuk memberi kesan dan menggerakan hati nurani, Bila didengar terus,
pengaruhnya akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam
2. Menurut Asy-Syafi’i,
Mengharuskan mujtahid untuk mengetahui ilmu-ilmu AL-Qur’an termasuk didalamnya,
mengetahui objek yang di jadikan perumpamaan yang menunjukan ketaatannya kepada
Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya.
3. Menurut Muhammad Bakar
Isma’il adalah pengumpamaan sesutu dengan sesuatu yang lain, baik dengan jalan isti’arah,
kinayah,atau tasybih. Dilihat dari segi istilah, amtsal dikenal sebagai salah satu aspek
ilmu sastra Arab. Pengertian amtsal dalam Al-Qur’an lebih tepat
digunakan untuk mengacu pada kesan dan sentuhan perasaan terhadap apa yang
dikandungnya, tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya kisah yang berhubungan
dengan dengan amtsal itu. Kendatipun demikian, amtsal yang berangkat
dari kisah nyata, banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, dan ini lebih tepat
dimanakan tamtsil karena disusun menurut bentuk tamtsil, bukan
dalam bentuk berita.
a.
Pembagian Amtsal Alquran
1.
Amsal Musarrahah, ialah suatu yang dijelaskan
dengan lafal matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan).
2.
Amsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan
lafal tamsil dengan jelas. Tetapi dia menunjuk kepada beberapa makna yang
indah,menarik,dan mempunyai pengaruh sendiri.Ayat-ayat yang mengandung amsal
kaminah mempunyai makna yang mirip dengan pribahasa yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat,sehingga ia mudah diterima dan menyentuh jiwa.
3.
Amsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan
lafal tamsil dengan jelas. Tetapi dia menunjuk kepada beberapa makna yang
indah,menarik,dan mempunyai pengaruh sendiri.Ayat-ayat yang mengandung amsal
kaminah mempunyai makna yang mirip dengan pribahasa yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat,sehingga ia mudah diterima dan menyentuh jiwa.
2.
Aqsam Alquran
Menurut
bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah.
Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang
dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan
kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada yang hanya yang
menggunakan istilah al-Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil
Qur’an karangan imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi.
a. Usur-Unsur Aqsam (Sumpah)
1. Fi’il yang berbentuk muta’addi dengan diawali huruf ba’
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ
أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (38)
Artinya:
“Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:“Allah tidak
akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti
Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.“(QS. An-Nahl ayat 38)
Namun kadang kala dalam satu ayat
langsung disebutkan dengan wawu (و) pada isim zahir.
Seperti firman Allah yang berbunyi:
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى (1)
Artinya:
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). (QS. Al-Laili:1).[4][5]
Sedangkan khusus lafadz
al-jalalah yang digunakan untuk pengganti fi’il qasam adalah huruf
ta seperti dalam firman Allah SWT:
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ
(57)
Artinya:
“Demi Allah,
Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah
kamu pergi meninggalkannya. (QS. Al-Anbiya: 57)
2. Muqsam bih
Muqsam bih ialah lafadz yang terletak sesudah adat qasam
yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai
syarat. sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah dalam al-Qur’an ada kalanya
dengan memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan
nam-nama ciptaanNya. Qasam dengan menggunakan nama Allah dalam al-Qur’an
hanya terdapat dalam tujuh tempat yaitu:[5][6]
1.
QS. Adz-dzariyat ayat 43
2.
QS. Maryam ayat 68
3.
QS. Yunus ayat 53
4.
QS. Al-Hijr ayat 92
5.
QS. At-Taghabun ayat 17
6.
QS. An-Nisa ayat 65
7.
QS. Al-Ma’arij ayat 40
Misalnya firman Allah SWT:
وَيَسْتَنْبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَ قُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا
أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ (53)
Artinya:
“Dan mereka menanyakan kepadamu:
“Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah:“Ya, demi Tuhanku,
Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput
(daripadanya)”.(QS. Yunus ayat: 53)
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ
لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا
عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (7)
Artinya:
Katakanlah:“Memang demi Tuhan,
benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberikan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan” (QS. At-Taghabun: 7)
Selain pada tujuh tempat dia tas,
Allah memakai qasam dengan nama-nama ciptannya seperti dalam firman Allah
SWT:
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً (7)
Artinya:
“Maka
aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang”. (QS. Al-Waqi’ah: 7)
3.
Muqsam ‘alaih
muqsam ‘alaih kadang juga disebut jawab qasam.
Muqsam ‘alaih merupakan
suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban
dari qasam. Posisi muqsam ‘alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai
jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk
mentaukidimuqsam ‘alaih dan mentahkikannya.[6][7]
Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan atau dizahirkan, misalnya
firman Allah:
وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا (1)
فَالْحَامِلَاتِ وِقْرًا (2) فَالْجَارِيَاتِ يُسْرًا (3) فَالْمُقَسِّمَاتِ
أَمْرًا (4) إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَصَادِقٌ (5) وَإِنَّ الدِّينَ لَوَاقِعٌ (6)
Artinya:
“Demi
(angin) yang menerbangkan debu dengan kuat * dan awan yang mengandung hujan *
dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah * dan (malaikat-malaikat) yang
membagi-bagi urusan * Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar *
dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1-6)
muqsam ‘alaih atau jawab qasam dihilangkan / dibuang
karena sebagai berikut:[7]
Pertama; di dalam muqsam bih nya
sudah terkandung makna muqsam ‘alaih. Contoh jenis ini dapat dilihat misalnya dalam
ayat yang berbunyi:
Artinya:
“Tidak aku bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah dengan jiwa
yang banyak mencela” (QS. Al- Qiyamah: 1 - 2)
Kedua; qasam tidak memerlukan jawaban karena
sudah dapat dipahami dari redaksi ayat dalam surat yang terdapat dalam al-Qur’an.
Contoh jenis ini dapat dilihat misalnya dalam ayat yang berbunyi:
b. Pembagian Qasam Alquran
Bahwa Allah dapat bersumpah secara bebas yang artinya dengan siapapun dan
dengan apapun juga, Dia tak terhalang dengan bersumpah. Akan tetapi manusia
tidak diperkenankan bersumpah kecuali atas nama Allah saja. Dalam hal ini,
menurut Manna’ al - Qhattan sumpah terbagi dalam dua macam, adakalanya Zahir
(jelas) dan adakalanya Mudmar (tidak jelas). Adapun macam qasam
tersebut yaitu :[8][10]
1. Zhahir, ialah sumpah di dalamnya
disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang
dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan
dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta.
Seperti
dalam firman Allah SWT:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ
الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
Artinya:
“Tidak aku bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah
dengan jiwa yang banyak mencela” (QS. Al- Qiyamah: 1 - 2)
2. Mudhmar ialah yang di dalamnya tidak
dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia
ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam.
Seperti
firman Allah:
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى
كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
(186)
Artinya:
“Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga)
kamusungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab
sebelumkamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyakyang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka
Sesungguhnyayang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”(QS. Ali
Imran: 186)
BAB 4
MEMAHAMI ALQURAN
A.
KEJELASAN MAKNA
ALQURAN
Al-Qur’an
adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, ia merupakan sumber dan rujukan
yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang
bersifat global beserta rinciannya.
Sebagai
kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT dengan lafadz dan sekaligus maknanya,
ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab. Meskipun sebagian kecil kata-katanya
tidak berasal dari bahasa Arab, tapi sudah dimasukkan dalam bahasa Arab. Karena
setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa yang lain, dan setiap kata dijelaskan
oleh sesuatu yang dilihat, dirasakan dam diketahui.
Karena itu
ulama ushul fiqh telah berupaya dengan mengikuti lebih dalam tentang lafadz
yang ada di dalam al-Qur’an dengan meneliti klasifikasi lafadz dan berbagai
problematika pentakwilan makna. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan
secara gamblang tentang klasifikasi lafadz dari segi kejelasan makna dan
problematika pentakwilan makna.
1.
Pengertian Muhkam
dan Mutasyabih
Muhkam adalah isim
maf’ul dari fi’il ahkama-yuhkimu. Mutasyabih berasal dari
fi’il tasyabaha-yatasyabahu yang menurut bahasa berarti apa-apa yang
saling menyerupai satu sama lain. Untuk Al-Qur`an, penyerupaan itu dalam
kesempurnaan, kebagusan, kebaikan dan dalam memberikan banyak hikmah di
dalamnya.
2.
Bentuk Ayat-Ayat
Muhakam dan Mutasyabih
Perbedaan
pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa
menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan
mutasyabih. J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat
bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muhkamat adalah apabila ayat-ayat
tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali Ibnu Abi
Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni
ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan,
ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat
yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara
yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel,
ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh
diamalkan.
Mutasyabih
yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.
Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَعْلَمُمَابَيْنَأَيْدِيهِمْوَمَاخَلْفَهُمْوَلَايُحِيطُونَبِهِعِلْمًا
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya”[Thahaa/20:110]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَاتُدْرِكُهُالْأَبْصَارُوَهُوَيُدْرِكُالْأَبْصَارَوَهُوَاللَّطِيفُالْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi MahaMengetahui”[Al-An’am/6:103]
Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firmanAllahSubhanahuwaTa’ala.
الرَّحْمَٰنُعَلَىالْعَرْشِاسْتَوَىٰ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa/20 : 5]
Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَعْلَمُمَابَيْنَأَيْدِيهِمْوَمَاخَلْفَهُمْوَلَايُحِيطُونَبِهِعِلْمًا
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya”[Thahaa/20:110]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَاتُدْرِكُهُالْأَبْصَارُوَهُوَيُدْرِكُالْأَبْصَارَوَهُوَاللَّطِيفُالْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi MahaMengetahui”[Al-An’am/6:103]
Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firmanAllahSubhanahuwaTa’ala.
الرَّحْمَٰنُعَلَىالْعَرْشِاسْتَوَىٰ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa/20 : 5]
Kedua.
Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.
Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran/3 : 138]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“ …Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [An-Nahl/16 : 89]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” [Al-Qiyaamah/75 : 18-19]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kapadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamua cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” [An-Nisaa/4: 174]
Contoh-contoh untuk bentuk ini sangat banyak sekali, diantaranya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syura/42 : 11]
Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.
Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besarbaginya”[An-Nisaa/4:93]
Golongan Wa’idiyah salah dalam memahaminya, mereka pahami bahwa seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia kekal di dalam neraka, dan hal ini dijadikan patokan bagi semua pelaku dosa besar, mereka menolak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa dosa-dosa di bawah syririk berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.
Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran/3 : 138]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“ …Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [An-Nahl/16 : 89]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” [Al-Qiyaamah/75 : 18-19]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kapadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamua cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” [An-Nisaa/4: 174]
Contoh-contoh untuk bentuk ini sangat banyak sekali, diantaranya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syura/42 : 11]
Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.
Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besarbaginya”[An-Nisaa/4:93]
Golongan Wa’idiyah salah dalam memahaminya, mereka pahami bahwa seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia kekal di dalam neraka, dan hal ini dijadikan patokan bagi semua pelaku dosa besar, mereka menolak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa dosa-dosa di bawah syririk berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B.
ASBABUN NUZUL
1.
Pengertian Asbabun
Nuzul
Asbab an-nuzul terdiri dari dua kata,
yaitu asbab dan an-nuzul. Kata asbab merupakan jama’ dari sabab dan an-nuzul
adalah mashdar dari nazala. Secara harfiah, sabab brrarti sebab atau latar
belakang, maka asbab berarti sebab-sebab atau beberapalatar belakang. Sedangkan
an-nuzul berarti turun. Maka dengan demikian, kata asbab an-nuzul secara
harfiah berarti sebab-sebab turun atau beberapa latar belakang yang membuat
turun.
2.
Bentuk Asbabun
Nuzul
Asbabun nuzul mempunyai dua bentuk;
pertama, dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Dan yang kedua, dalam bentuk
pertanyaan. Yang pertama, misalnya terjai suatu peristiwa di kalangan sahabat
kemudian turun ayat merespon peristiwa tersebut sehingga dapat diselesaikan.
Dan yang terakhir maksudnya adalah pertanyaan, baik yang muncul dari sahabat
atau yang berasal dari orang kafir, yang ditujukan kepada Nabi kemudian turun
ayat yang menjawab pertanyaan tersebut.
3.
Ungkapan yang
Menunjukkan Asbabun Nuzul
Ada tiga ungkapan yang menunjukkan asbabun
nuzul suatu ayat. Dua diantaranya dapat dipastikan sebagai asbabun nuzul. Dan
satu lainnya tidak secara pasti menunjukkan kepada asababun nuzul. Ungkapan itu
adalah sebagai berikut.
a.
Apabila suatu
peristiwa didahului oleh ungkapan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa
peristiwa itu merupakan asbabun nuzul ayat yang disebut sebelumnya.
b.
Tidak menggunakan “sababu”, akan tetapi menggunakan
ungkapan “fanajalat” yang dimulai dengan “fa” setelah peristiwa dijelaskan. Hl
ini tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu juga merupakan asbabun nuzul ayat yang bersangkutan.
c.
Ungkapan yang tidak menggunakan kata “sababu dan juga
fa” setelah peristiwa. Akan tetapi, ia menggunakan kata “fiy” sebelum menjelaskan peristiwa. Hal ini tidak
dapat dikatakan asbabun nuzul secara pasti, tetapi ada dua kemungkinan;mungkin
karena asbabun nuzul dan mungkin juga tidak.
4.
Urgensi Asbabun
Nuzul dalam Menafsirkan Alquran
Asbabun nuzul memiliki beberapa manfaat
untuk mengetahuinya, diantaranya sebagai berikut;
a.
Untuk
mengetahui peristiwa atau kejadian yang menyebabkan disyariatkannya suatu
hukum, di mana hukum itu juga bisa berlaku pada peristiwa yang sam jika terjadi
kemudian.
b.
Untuk
mengetahui hukum-hukum Khusus yang berkaitan dengan asbabun nuzul, walaupun
lafalnya umum seperti yang dijelaskan sebelumnya.
c.
Dapat
membantu mufassir memahami suatu ayat yang tidak mungkin dipahami tanpa bantuan
asbabun nuzul. Sebab, terkadang sebuah ayat bercerita tentang peristiwa yang
dialami oleh seseorang.
d.
Asbabun
nuzul menjelaskan kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga ia tidak
ditanggungkan atas yang lain.
5.
Istinbath Hukum
Sesuai dengan Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul suatu ayat yang sangat besar
pengaruhnya terhadap penafsiran dan istinbath hukum. Munculnya perbedaan
pendapat ulama dalam menafsirkan suatu ayat dan meng-istinbath-kan hukum
darinya dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka mengenai asbabun nuzul. Seorang
mujtahid yang menilai suatu ayat yang mempunyai asbabun nuzul akan berbeda penafsirannya
dengan mujtahid yang menilai ayat itu tidak mempunyai asbabun nuzul, atau
riwayat asbabun nuzulnya tidak shahih.
C.
ILMU MUNASABAH
1.Pengertian Munasabah
Secara
etimologi, munasabah semakna dengan musyakalah dan muqarabah, berarti serupa
dan berdekatan . Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan
dan keserasian antara ayat-ayat Alquran.
2.Bentuk Munasabah
Para
mufassir melihat banyak bentuk munasabah Alquran. Akan tetapi, secara garis
besar dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu zhahir (jelas) dan
mudhmar (tersembunyi). Munasabah zhahir terdiri dari beberapa bentuk, yaitu
sebagai berikut.
a.
Suatu
ayat menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya, penjelasan suatu ayat
mengenai suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau lengkap, kemudian
ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan itu.
b.
Tawkid
(menguatkan). Suatu ayat menguatkan isi kandungan lainnya.
c.
Tafsir
(menjelaskan). Suatu ayat menjelaskan atau menafsirkan ayat sebelumnya.
3.
Cara Mencari dan
Menentukan Munasabah
Untuk
mengetahui munasabah suatu ayat dengan ayat lain atau ayat sebelum dan
sesudahnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan , yaitu sebagai berikut.
a. Topik inti yang
diperbicangkan dalam ayat. Mufassir perlu mengetahui permasalahan utama yang diperbicangkan
oleh suatu ayat. Hal ini dapat diketahui melalui istilah-istilah yang digunakan
dan alur pembicaraannya.
b.
Topik
inti itu biasanya mempunyai sub-subtropik. Jika topik inti telah diketahui maka
perlu dilihat dan dipahami hal-hal yang yang dicakupi oleh topik inti tersebut.
c.
Sub-subtropik
itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula. Maka masing-masing ayat, ada yang
berbincang mengenai topik inti, subtropik, dan ada pula yang memperbincangkan
unsur-unsur yang ada pada subtropik.
A.
NASAKH DAN MANSUKH
1.
Pengertian Nasakh
dan Mansukh
An-nasakh
merupakan mashdar dari nasakha, yang secara harfiah berarti “menghapus,
memindahkan, mengganti atau mengubah.” Dari kata nasakha terbentuk kata
an-nasikh dan al-mansukh. Yang pertama isim fa’il dan yang terakhir isim maf’ul
dari nasakha. Secara etimologi, an-nasikh berarti yang menghapus, yang
mengganti atau mengubah. Sedangkan al-mansukh berarti yang dihapus, yang
digantikan atau diubah.
2.
Syarat Terjadinya
Nasakh
Nasakh
tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya, seperti yang
tergambar dalam definisi di atas. Ia mempunyai syarat-syarat, yaitu sebagai
berikut.
a.
Hukum
yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’.
b.
Hukum
yang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum yang terkandung
dalam nash al-mansukh.
c.
Dalil
yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari dalil yang me-nasakh-kan, tidak
boleh sebaliknya.
d.
Hukum
yang di-nasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut dengan perintah,
larangan dan hukuman.
e.
Hukum
yang di-nasakh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus berlaku di
sepanjang waktu.
f.
Hukum
yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nash
an-nasikh.
g.
Status
nash an-nasikh harus sama dengan nash al-mansukh.
3.
Bentuk-Bentuk
Nasakh
Nasakh
Alquran itu mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.
Ayat
yang di-nasakh-kan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut tidak tertulis
lagi dalam Alquran.
b.
Ayat
yang di-nasakh-kan hukum, tetapi bacaannya masih ada.
c.
Ayat
yang telah di-nasakh-kan bacaannya, tetapi hukumnya masih diamalkan.
4.
Perubahan
Hukum yang Terkandung dalam Ayat Al-Mansukh
Al-Jauzi
membagi perubahan kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Dari
wajib menjadi terlarang (al-man’u), sunnah atau mubah.
b.
Dari
sunnah berubah menjadi wajib, haram atau mubah.
c.
Dari
mubah menjadi haram atau wajib.
5.
Perbedaan
Antara Nasakh dan Takhshish
Nasakh
dapat dibedakan dari takhshish berdasarkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
a.
Nasakh
menghilangkan hukum nash yang di-nasakh-kan, sedangkan takhshish meringkaskan
hukum umum sehingga ia hanya berlaku pada sebagian individu, tidak semuanya.
b.
Nasakh
bisa terjadi pada masalah umum dan khas, sedangkan takhshish hanya terjadi pada
hukum umu saja.
c.
Ayat
yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari ayat yang me-nasakh-kan.
Sedangkan takshish tidak harus terkemudian dari ayat umum;ia boleh bersamaan,
dahulu atau kemudian.
BAB V
TAFSIR, TA’WIL DAN
TERJEMAH
A.TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
1.
Tafsir
Secara
bahasa, kata tafsir berasal dari fassana yang semakna dengan awdhaha dan
bayyana, di mana tafsir-sebagai mashdar dan fassara-semakna dengan idhah dan
tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau
“menyatakan”.
Secara
istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat Alquran, keadaan, kisah dan
sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna zahir
2.
Ta’wil
Kata
ta’wil merupakan mashdar dari awwala, yaitu awwala, yu’awwilu, ta’wil. Secara
bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Al-Jarjani mengartikan ta’will
itu kepada tarji’ (mengembalikan). Selain makna ini, at-ta’wil juga berarti
penjelasan.
Ta’wil
menurut istilah berarti “Memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna
yang tidak zahir juga yang juga di kandung oleh lafal tersebut, jika
kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-Kitab dan sunnah.Ta’wil menurut ulama
mutaakhkirin adalah memalingkan makna suatu lafal dari yang rajih kepada yang
marjuh, karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan.
Menurut
ulama salaf, ta’wil itu mempunyai dua arti; pertama, penafsiran suatu ungkapan
dan menjelaskan maknanya, baik sesai makna zahir Maupun tidak. Makna ta’wil
dalam arti ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif
(sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu
ungkapan;jika ungkapan itu perintah melakukan melakukan sesuatu maka rtakwilnya
adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkapan itu dalam bentuk berita maka
takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.
3.
Terjemah
Para
ulama membagi terjemah itu kepada dua macam, yaitu sebagai berrikut.
a.Tejemah harfiah,
yaitu memindahkan suatu ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain di mana dalam
pemindahan itu tetap terjaga dan terpelihara usunan, tertib dan semua makna
bahasa yang diterjemahkannya.
b.
Terjemah
tafsiriah, yaitu mejelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat dalam
suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain, tanpa menjaga atau memelihara
susunan serta tertib bahasa aslinya, juga tidak pula mengungkapkan semua makna
yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.
4.
Perbedaan
Tafsir dan Ta’wil
Para
ulama yang melihat tafsir dan ta’wil sebagai dua istilah yang berbeda, jua
tidak sependapat dalam menjelaskan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut.
a. Sebagian mereka
mengatakan, tafsir itu lebih umum dari ta’wil karena ia dipakai dalam Kitab
Allah dan lainnnya. Sedabgkan ta’wil lebih banyak digunakan dalam Kitab Allah.
b.
Tafsir
pada umunya digunakan pada lafal dan mufradat (kosakata), sedangkan ta’wil pada
umumnya digunakan untuk menunjukkan makna dan kalimat (jumlah).
c. Di kalangan ulama
muta’akhkhirin, ta’wil diartikan kepada “Memalingkan makna suatu lafal dari
makna yang kuat (al-marjuh) kepada makna yang kurang kuat (al-marjuh) karena
disertai oleh dalil yang menunjukkan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan
makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat (ar-rajih).
d.
Di
antara para ulama ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalahpenjelasan yang
berdasarkan riwayah, sedangkan ta’wil penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
B.
SUMBER
TAFSIR
1.
Menafsirkan
Ayat Dengan Ayat
Adz-Dzahabi
membagi tafsir Alquran ini kepada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.
Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan
keterangan lebih luas yang di jelaskan dalam ayat lain.
b.
Menyamakan
suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan yang
terdapat dalam ayat lain.
c.
Menyamakan
ayat yang masih muthlaq dengan ayat yang lain yang muqayyan.
d.
Mengkompromosikan
(al-jam’u) ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang lain.
e.
Menggunakan
suatu qiraat untuk menjelaskan makna ungkapan dalam qira’at lain yang berbeda.
f.
Men-takhshish-kan
ayat yang umum (al-‘am), baik takhshish muttashil maupun munfasil.
2.
Menafsirkan
Ayat Dengan Hadis
Ada beberapa
bentuk penafsiran lquran dengan hadis, yaitu sebagai berikut.
a.
Hadis
menjelaskan ungkapan Alquran yang masih mujmal, seperti menafsirkan perintah
shalat dalam Alquran; dimana Alquran tidak menjelaskan secara detail tentang
waktu shalat, jumlah rakaat, dan cara mengerjakannya. Akan tetap sunnah
menjelaskan itu.
b.
Hadis
menjelaskan hal-hal yang sulit (musykil), seperti kesulitan para sahabat
memahami kata khayth al-abyadh (benang putih) dan khayth al-aswad (benang
hitam).
c.
Men-takhshish-kan
lafal yang masih umu.
d.
Hadis
meng-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e.
Hadis
menjelaskan nasakh.
f.
Hadis
menguatkan penjelasan Alquran.
3.
Menafsirkan
Alquran Dengan Perkataan Sahabat
Terdapat empat hal
yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad mereka
menafsirkan Alquran. Keempat hal itu adalah sebagai berikut.
a.
Pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab.
b.
Pengetahuan mereka tentang adat kebiasaan
orang Arab.
c.
Pengetrahuan
mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu
turunnya Alquran.
d.
Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.
4.
Ra’yu
Ra’yu artinya
pendapat, yaitu pendapat mfassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak
didasarkan atas penjelasan ayat, hadis, perkataan sahabat dan tabi’in.
Para mufassir
membagi tafsir biar-ra’yi kepada dua macam yaitu ra’yi madzmumah (yang tercela)
dan ra’yi mahmudah (yang terpuji).
5.
Isyara
Kata isyara
berasal dari asyara, secara harfiah, ia berarti menunjukkan, mengarah atau
memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu “tafsir isyari”maka ia
berarti maksud atau makna yang di tunjukkan oleh suatu ayat yang dapat
ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan arahan perasaan kesufiannya.
Tafsir isyari
dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pertama isyarat tersembunyi yang
dapat ditangkap seseorang yang bertaqwa, shaleh dan berilmu ketika membaca
Alquran. Hal ini seperti penafsiran atau penakwilan yang dilakukan oleh Ibnu
bbas terhadap Surah An-Nashr. Menurutnya, surah tersebut menjelaskan bahwa ajal
Rasullulah sudah dekat. Dan kedua isyarat jelas yang terkandung dalam ayat-ayat
kauniyyah, di aman ia mengarah kepada penemuan ilmu pengetahuan modern.
C.
METODE
TAFSIR
1.
Tahlili
Tafsir tahlili
(analisis) ialah menafsirkan Alquran berdasarkan susunan ayat dan surah yang
terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini,
menganalisis setiap kosakata atau lafal dari aspek bahasa dan makna.
2.
Muqaran
Secara harfiah,
muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu
metode atau teknik menafsirkan Alquran dengan cara memperbandingkan pendapat
seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam
perbandingan ini, mufassir menjelaskan kecenderungan masing-masing mufassir dan
mengungkap sisi-sisi subjektivitas mereka, yang tergambar ada legitimasi
terhadap mazhab yang dianutnya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka tafsir muqaran dapat dikategorikan kepada tiga bentuk;
pertama memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, kedua memperbandingkan
ayat Alquran dengan hadis, dan ketiga memperbandingkan suatu tafsir dengan
tafsir lainnya mengenai sejumlah yat yang ditetapkan oleh mufassir itu sendiri.
Ada beberapa tahap
yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang memperbandingkan
tafsir para ulama tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.
Menentukan
sejumlah ayat yang akan ditafsirkan. Penentuan ini bisa berdasarkan tema atau
lainnya.
b.
Mengumpulkan
dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf dan baik berdasarkan riwayat maupun
ijtihaj.
c.
Melakukan
analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir itu dengan
menjelaskan corak penafsiran, kecenderungan dan pengaruh mazhab yang dianutnya
yang tergambar dalam penafsiran ayat tersebut.
d.
Menentukan
sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang
tidak dapat diterimanya. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah
argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak lainnya.
3.
Ijmali
Secara harfiah,
kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak
terperinci. Maka tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat
Alquran secara umum dengan tidak memperincinya.
4.
Maudhu’i
Tafsir maudhu’i
(tematik) ialah menafsirkan ayat Alquran tidak berdasarkan atas urutan ayat dan
surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji.
Mufassir, dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan
dicari jawabannya dengan masalah tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Ada beberapa
langkah yang harus ditemph seorang mufassir ketika menggunakan tekhnik
penafsiran ini, yaitu sebagai berikut.
a.
Menentukan
permasalahan atau topik yang akan dikaji.
b.
Menentukan
kata kunci mengenai permasalahan itu dan padanannya pada Alquran.
c.
Mengumpulkan
ayat-ayat Alquran mengenai topik tersebut, yang tersebar dalam berbagai surah.
d.
Menyusun
ayat-ayat itu sesuai dengan kronologis turunnya (jika memungkinkan).
e.
Menjelaskan
maksud ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ayat yang lain, perkataan
Nabi, sahabat dan analisis bahasa.
D.
KAIDAH
TAFSIR
1.
Kaidah
Mengenai Isim Dhamir
Isim dhamir ialah
kata ganti, baik orang maupun bukan.
2.
Kaidah
Nakirah dan Ma’rifah
a.
Penggunaan
Isim Nakirah
Ada
beberapa maksud atau kemungkinan makna isim nakirah yang digunakan dalam
Alquran, yaitu sebagai berikut.
1)
Maksudnya
satu orang, bukan dua dan seterusnya.
2)
Maksudnya
suatu macam atau bentuk.
3)
Membesarkan
atau suatu peristiwa yang amat besar.
4)
Menunjukkan
banyak atau juga ada kemungkinan menunjukkan banyak sekaligus peristiwa yang
sangat besar.
5)
Menunjukkan
kepada sedikit.
b.
Penggunaan
Isim Ma’rifah.
Ada
beberapa kemungkinan maksud Alquran menggunakan isim ma’rifah, sesuai dengan
jenis isim ma’rifah yang digunakan, antara lain sebagai berikut.
1)
Jika
yang digunakan itu isim dhamir maka maksudnya sebagai pengganti agar tidak
terjadi pengulangan kata.
2)
Jika
yang digunakan itu isim alam maka ada beberapa kemungkinan makna, yaitu
menghadirkan pemilik nama dalam ingatan atau jiwa pendengar atau pembaca,
memuliakan yang punya nama, dan atau menghina yang mempunyai nama.
3)
Jika
yang digunakan itu isim isyarah maka ia mempunyai beberapa kemungkinan makna,
yaitu enunjukkan perbedaan, menunjukkan dekat atau jauh sesuai dengan jenis
isyarah yang digunakan, bermaksud menghina teruama isyarah dekat, bermaksud
memuliakan terutama isyarah jauh, bermaksud emberi peringatan dan lain
sebagainya.
4)
Jika
yang digunakan itu isim maushul maka ia mempunyai beberapa kemungkinan maksud.
3.
Mufrad
dan Jama’
Mufrad adalah
suatu lafal yang mempunyai makna tunggal (satu), atau kata yang tidak
menunjukkan kepada dua (mutsanna) atau lebih. Sedangkan jama’ berarti suatu
kata yang menunjukkan kepada lebih dari dua.
4.
Makna
Huruf
Alquran banyak
menggunakan hurufm seperti huruf jar, istisna, dan huruf syarat.
5.
Am
dan Takhshish
Am secara bahasa
berarti umum. Secara istilah am bermakna suatu lafal yang menunjukkan kepada
semua individu yang dikandungi oleh makna lafal tersebut, tanpa dibatasi pada
kuantitas tertentu. Seperti kata al-ihsan, makna lafal ini mencakup semua
individu yang dikandungi oleh arti lafal al-ihsan itu, yaitu manusia; maka yang
dimaksud al-ihsan (manusia) adalah setiap individu manusia itu sendiri tanpa
dibatasi pada jumlah atau orang-oran tertentu.
6.
Manthud
dan Mafrum
Secara harfiah,
manthuq berarti yang diturunkan, sedangkan mafhum berarti makna yang dipahami.
Secara terminologi, manthuq, berarti suatu makna yang ditunjukkan oleh lafal
yang diucapkan.
7.
Muthlaq
dan Muqayyad
Muthlaq ialah
lafal yang menunjukkan suatu makna hakiki tanpa ada pembatasan ukuran, sifat
dan batasan lainnya.
Sedangkan muqayyad
ialah penyebutan suatu objek dengan batasan-batasan tertentu, sehingga suatu
objek itu tidak utuh lagi.
BAB
VI
ISI
DAN FUNGSI ALQURAN
A.ISI ALQURAN
Alquran berisi
pesan-pesan ilahi (risalah ilahiyyah) untuk umat manusia yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad. Pesan-pesan tersebut tidak berbeda dengan risalah yang
dibawa oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan rasul-rasul lainnya sampai kepada Nabi ISA.
Risalah itu adalah mengetauhidkan Allah, yaitu ma lakum min ilahin ghayruh
(tidak ada bagi kamu Tuhan selain-Nya).
1.
Akidah
Akidah tauhid
dibangun atas penalaran, karena suatu kepercayaan yang tidak dibangun atas
penalaran yang benar akan menjadi rapuh, terutama keimanan kepada Allah dan
kemahabesaran-Nya,
2.
Akhlak
Kata akhlaq
merupakan jamak dari al-khulud. Secara harfiah, ia berasal dari kata khlaqa
yang berarti menjadikan. Dan al-khuluq berarti kejadian. Secara istilah,
diartikan kepada suasana jiwa (ahwal an-nafs) yang berpengaruh kepada perilaku.
3.
Hukum
Hukum islam
merupakan khithab Allah yang berkaitan
dengan perbuatan para mukallaf, baik bersifat tuntutan, pilihan maupun
ketentuan mengenai sesuatu.
Ia dibangun atas
akidah tauhid, yang bertujuan mendantangkan kenyamanan, keselamatan dan
kesejahteraan bagi umat manusia.
4.
Sejarah
Prinsip Alquran
dalam melihat sejarah, penguasaan materi sejarah tidak terlalu penting, yang
terpenting adalahafektifnya.. Berdasarkan prinsip ini kisah dalam Alquran
mempunyaikarakteristik tersendiri, yaitu sebagai berikut.
a.
Kisah
dalam Alquran selalu tidak tuntas dan detail.
b.
Kisah
dalam Alquran selalu terulang.
c.
Kisah
Alquran selalu tidak menyebutkan Tokoh dalam cerita.
d.
Kadang-kadang
kisah tidak dimulai dari awal peristiwa, tetapi mungkin dari pertengahan.
B.
FUNGSI ALQURAN
1.
Mau’izhah
Kata mau’izhah
merupakan mashdar murni dari wa’azha berarti an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir
bi al-awaqib (memberi peringatan yang diserta dengan ancaman).
2.
Syifa
(Obat)
Pengobatan Alquran
diarahkan terhadap hati (syifa lima fi ash-shudur), karena ia adalah sumber
segala perrbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan terpuji.
Penyakit yang sedang menimpa pribadi dan masyarakat berasal dari hati yang
sakit. Penyakit itu adalah kesombongan, keangkuhan, hubbu ad-dunya wa
ar-riyasah (mencintai dunia dan jabatan) yang sangat berlebihan, riya, dengki
dan dengki dan lain-lain.
Alquran berdialog
dengan hati dan jiwa manusia dalam rangka penyembuhannya. Ia berusaha
memasukkan kebenaran, dengan sifat-sifat yang mulia ke dalam jiwa. Jikahati
telah sembuh, berarti suasana jiwa telah bertukar dari kesombongan dan
keangkuhan menjadi tawaddhu, dari riya, dengki serta cinta yang berlebihan
terhadap dunia dan pangkat, menjadi ikhlas mencintai kebenaran, keadilan dan
kesucian.
3.
Hudan
(Petunjuk)
Secara harfiah, ia
berarti menjelaskan, memberitahu dan menunjukkan. Dan Al Hadi yang
memperlihatkan dan memperkenalkan kepada hamba-hamba-Nya jalan mengetahui-Nya
sehingga para hamba mengetahui rububiyah-Nya. Secara istilah, hidayah berarti
“Tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang kepada yang
dituju.
4.
Rahnat
Alquran sebagai
rahmat mempunyai tiga arti. Pertama, ajaran yang terkandung di dalamnya
mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi menyebarkan kasih sayang kepada
seluruh mahkluk. Kedatangan Muhammad dengan membawa Alquran digambarkan sebagai
rahmat bagi semesta alam.
5.
Furqan
(Pembeda)
Secara harfiah kata
furqan berasal dari kata faraqa, yang berarti pembeda. Alquran menyebut dirinya
sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah. Antara yang hak dengan
yang batil, antara kesesatan dengan petunjuk, antara jalan yang menuju
keselamatan dengan jalan yang menuju kesengsaraan.
C.
ALQURAN SEBAGAI SUMBER SYARIAT
Istilah
syariat mencakup segala aspek ajaran islam, ia tidak hanya berarti hukum
islam-seperti yang dipahami kebanyakan orang, tetapi juga bermakna aqidah, dan
segala sesuatuyang berkaitan dengan ajaran islam. Jika Alquran disebut sebagai
sumber syariat, itu artinya Alquran sumber ajaran Islam yang mencakupi akidah,
ahklak, hukum, termasuk politik, ekonomi, pergaulan, baik antarmanusia maupun
manusia dengan alam, persoalan HAM, hubungan internasional, dan lain
sebagainya.
Ayat-ayat
Alquran sebagai sumber syariat dapat
diklasifikasikan kepada dua bagian, yaitu qath’i d-dilalah dan zhanni
ad-dilalah. Qath’i ad-dilalah suatu ayat yang mempunyai makna yang jelas dan
pasti, di mana tidak ada kemungkinan pasti, tidak ada perbedaan di kalangan
mufassir dalam memahaminya. Para ulama mempunyai pendapat yang sama mengenai maksud ayat itu. Ayat yang termasuk
ke dalam kategori qath’i ad-dilalah adalah ayat-ayat yang menyangkut dengan
akidah, tauhid, ahklak, dan sebagian dari ayat-ayat hukum.
Zhanni
ad-dilalah adalah ayat-ayat yang tidak mempunyai makna yang jelas dan pasti, di
mana terdapat beberapa kemungkunan makna yang dikandungi ayat tersebut sehingga
mempunyai maknam ganda.Karena maknanya tidak pasti, muncul perbedaan para ulama
dalam menafsirkan ayata-ayat yang termasuk dalam kategori zhanni ad-dilalah
ini. Masalah khilafiyah yang berkembang di tengah-tengah umat Islam muncul dari
pemahaman ayata-ayat zhanni ad-dilalah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar