ISLAM
KONTEMPORER DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang
masyarakatnya sebagian besar beragama Islam, sehingga sudah selayaknya
menempatkan diri dalam membangun peradaban islam. Mau tidak mau suatu peradaban
tersebut akan terbentuk oleh umatnya.
Perkembangan Islam yang ada di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan Islam di belahan bumi lain.
Membaca Islam yang di Indonesia rasanya cukup penting. Sebab, dari hasil
pembacaan itu kita sebagai umat islam dapat mengetahui akan bagaimana
perkembangan islam di indonesia setelah islam mengalami beberapa fase perubahan
dari waktu ke waktu.
Kalau kita mau mengamati secara
mendalam akan perkembangan islam di indonesia maka kita harus mengamati mulai
dari islam masuk, penyebaran, pengamalan, perkembangan, dan kondisi yang
sekarang kita alami di indonesia. Sebab, peristiwa sejarah merupakan
problematika yang meliputi dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang
akan datang.[1]
B. Rumusan
Masalah
1.
Perjalanan Islam Indonesia
2.
Perkembangan Islam di Indonesia
3.
Proses Islamisasi di Indonesia
4.
Islam Modern dan Kontemporer di Indonesaia
5.
Perjalanan Politik Islam Indonesia
6.
Organisasi Politik dan Sosial Islam
7.
Peran Aktif Islam untuk Kemerdekaan
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengukir Sejarah Perjalanan
dan Perkembangan Islam di Indonesia.
2. Mengkaji Proses Pengislaman
di Indonesia terkait dengan Penyebaranya
3. Mengetahui Islam Modern dan
Islam Kontemporer yang ada di Indonesia
4. Mengidentifikasi Perjalanan
Politik Islam didalam Pemerintahan Indonesia
5. Peran Aktif dan usaha-usaha Islam
Dalam Kemerdekaan Indonesia.
6. Mengetahui Keaktifan Islam dalam
Organisasi Politik dan Sosial
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah
Islam Indonesia
Pada tahun 30 Hijriah atau 651
Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah
Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam
yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk
Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus
berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau
ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai
memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat
dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam.
Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai
tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu
pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di
Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang
salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman
Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli,
melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M,
belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh
surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara
seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti
halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan
damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai
daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi
semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang
terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan
menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa
pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah
terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan
bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan
suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan
kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk
memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada
tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk
membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal
total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa
bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang
bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah.
Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon
dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan
Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu
sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi
lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren
(madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka
yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia),
Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang
Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
B.
Proses Islamisasi dan Perkembangan Islam Indonesia
Pada masa kedatangan dan penyebaran
Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi
pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang
bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut
antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan
budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial,
ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang
mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota
pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang
akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
a. Proses
Islamisasi Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran
Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di
Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda,
Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai.
Agama Islam yang datang ke Indonesia
mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama
Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama
Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan
golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagang-pedagang yang hidup
di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran
orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota
masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah
makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam,
ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang
bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses islamisasi di Indonesia
terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim
pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia
sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik , ekonomi, dan
sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi
masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh
oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan
dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap
permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan &
disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada
masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor
ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal
itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan
internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
Kedatangan pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi dengan
perdagangan sejak zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan
Islam yang berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka
orang-orang Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa
dan penyebar agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Tata cara islamisasi melalui media
perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan jalan mengadakan kontak secara
langsung dengan penerima, serta dapat pula terjadi dengan lambat melalui
terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat muslim terlebih dahulu. Para
pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri, berkumpul dan menetap,
baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya, di suatu daerah, sehingga
terbentuklah suatu perkampungan pedagang muslim. Dalam hal ini orang yang
bermaksud hendak belajar agama Islam dapat datang atau memanggil mereka untuk
mengajari penduduk pribumi.
Selain itu, penyebaran agama Islam
dilakukan dgn cara perkawinan antara pedagang muslim dgn anak-anak dari
orang-orang pribumi, terutama keturunan bangsawannya. Dengan perkawinan itu,
terbentuklah ikatan kekerabatan dgn keluarga muslim.
Media seni, baik seni bangunan,
pahat, ukir, tari, sastra, maupun musik, serta media lainnya, dijadikan pula
sebagai media atau sarana dalam proses islamisasi. Berdasarkan berbagai
peninggalan seni bangunan dan seni ukir pada masa-masa penyeberan agama Islam,
terbukti bahwa proses islamisasi dilakukan dgn cara damai. Kecuali itu, dilihat
dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir
pra-Islam merupakan alat islamisasi yang sangat bijaksana dan dengan mudah menarik
orang-orang nonmuslim untuk dengan lambat-laun memeluk Islam sebagai pedoman
hidupnya.
Dalam perkembangan selanjutnya,
golongan penerima dapat menjadi pembawa atau penyebar Islam untuk orang lain di
luar golongan atau daerahnya. Dalam hal ini, kontinuitas antara penerima dan
penyebar terus terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem pembinaan
calon-calon pemberi ajaran tersebut. Biasanya santri-santri pandai, yang telah
lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu tempat dan kemudian kembali ke daerahnya,
akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang telah diperolehnya. Mereka
kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga
yang penting dalam penyebaran agama Islam.
Agama Islam juga membawa perubahan
sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia.
Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu
terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai
tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan
unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan
oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama
(Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
b.
Perkembangan Islam di Indonesia
Budaya adalah sebuah sistem yang
mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku,
mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat
dengan konsep-konsep epistemologi dari sistem pengetahuan masyarakatnya.[6] Budaya islam mulai masuk ke Nusantara pada saat pembawa
ajaran islam (mubalig) datang ke indonesia dengan membawa kebudayaan yang
berasal dari daerah mereka masing-masing. Cara yang di gunakan oleh para
mubalig, pada waktu itu adalah melalui transformasi budaya. Hal ini dilakukan,
karena sebelum agama Islam masuk ke indonesia telah ada agama Hindu dan ajaran
Budha.[7]
Pesatnya pengaruh pemikiran yang
berasal dari luar indonesia banyak sekali membawa perubahan terhadap pola pikir
budaya umat islam di indonesia. Seperti munculnya aliran Jaringan Islam Liberal
(JIL), Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain
sebagainya. Adanya berbagai aliran ini dilatarbekalangi oleh adanya kesadaran
kritis, yaitu kessadaran yang menolak dominan dalam budaya keagamaan indonesia
yang cenderung sarat dengan kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme,
menopang tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya.[8]
Perguruan tinggi membawa perubahan
banyak terhadap pemikiran di indonesia. Sebab, dalam sejarah kita melihat bahwa
gerbong pemikkiran Islam di Indonesia di mulai dari IAIN Sunan Kalijaga dan
IAIN Syarif Hidatullah.[9]
Diantara tokoh-tokoh pembahruan pemikiran islam tersebut adalah Harun Nasution,
Nurcholish Madjid, A. Mukti Ali, dll.
Adanya perubahan pola pikir tersebut
disebabkan oleh empat hal, antara lain oleh:
1.
Faham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan
yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan
hal lain yang membawa pada kekufuran;
2.
Sifat jumud membuat umat islam berhenti berpikir dan berusaha. Umat islam maju
pada zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad,
tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang
berusaha memberantas kejumudan;
3.
Umat Islam selalu berpecah-pecah, maka umat islam tidak akan mengalami
kemajuan;
4.
Hasil kontak yang terjadi antara dunia islam dengan barat.[10]
Kedatangan Islam di berbagai daerah
di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan dan
daerah yang didatanginya, ia mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang
berlainan. Pada waktu kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada
sekitar abad ke-7 dan ke-8, Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh para pedagang
muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan berita Cina zaman T’ang pada abad-abad tersebut, diduga masyarakat
muslim telah ada, baik di kanfu (kanton) maupun di daerah Sumatra sendiri.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara
negeri-negeri di Asia bagian barat atau timur mungkin disebabkan oleh kegiatan
kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman
dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Adalah
suatu kemungkinan bahwa menjelang abad ke-10 para pedagang Islam telah menetap
di pusat-pusat perdagangan yang penting di kepulauan Indonesia, terutama di
pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka, terusan sempit dalam rute pelayaran
laut dari negeri-negeri Islam ke Cina. Tiga abad kemudian, menurut
dokumen-dokumen sejarah tertua, permukiman orang-orang Islam didirikan di
Perlak dan Samudra Pasai di Timur Laut pantai Sumatra.
Saudagar-saudagar dari Arab Selatan
semenanjung tanah Arab yang melakukan perdagangan ke tanah Melayu sekitar 630 M
(tahun kesembilan Hijriah) telah menemui bahwa di sana banyak yang telah
memeluk Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak
abad-abad pertama Hijriah, atau sekitar abad ke tujuh dan kedelapan Masehi yang
dibawa langsung oleh saudagar dari Arab. Dengan demikian, dakwah Islam telah
tiba di tanah Melayu sekitar tahun 630 M tatkala Nabi Muhammad saw. masih
hidup. Keterangan lebih lanjut tentang masuknya Islam ke Indonesia ditemukan
pada berita dari Marcopolo, bahwa pada tahun 1292 ia pernah singgah di bagian
utara daerah Aceh dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Di
Perlak ia menjumpai penduduk yang telah memeluk Islam dan banyak para pedagang
Islam dari India yang giat menyebarkan agama itu.
Para pedagang muslim menjadi
pendukung daerah-daerah Islam yang muncul kemudian, dan daerah yang menyatakan
dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam ialah Samudra Pasai di pesisir
timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam yang pertama
diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu dimungkinkan dari hasil proses
islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim
sejak abad ketujuh. Sultan yang pertama dari kerajaan Islam Samudra Pasai
adalah Sultan Malik al-Saleh yang memerintah pada tahun 1292 hingga 1297.
Sultan ini kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Malik
az-Zahir. Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan meru
pakan tempat berkumpul para ulama Islam dari berbagai negara Islam untuk berdis
kusi tentang masalah-masalah keagamaan dan masalah keduniawian. Berdasarkan
berita dari Ibnu Batutah, seorang pengembara asal Maroko yang mengunjungi
Samudra Pasai pada 1345, dikabarkan bahwa pada waktu ia mengunjungi kerajaan
itu, Samudra Pasai berada pada puncak kejayaannya. Dari catatan lain yang
ditinggalkan Ibnu Batutah, dapat diketahui bahwa pada masa itu kerajaan Samudra
Pasai merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal datang dari
Tiongkok dan India serta dari tempat-tempat lain di Indonesia, singgah dan
bertemu untuk memuat dan membongkar barang-barang dagangannya.
Kerajaan Samudera Pasai makin
berkembang dalam bidang agama Islam, politik, perdagangan, dan pelayaran.
Hubungan dengan Malaka makin ramai, sehingga di Malaka pun sejak abad ke-14
timbul corak masyarakat muslim. Perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin
lama makin meluas dan akhirnya pada awal abad ke-15 berdiri kerajaan Islam
Malaka. Para penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa, bahkan telah
dibangunkan sebuah masjid untuk mereka. Para pedagang yang singgah di Malaka
kemudian banyak yang menganut agama Islam dan menjadi penyebar agama Islam ke
seluruh kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan transaksi perdagangan.
Kerajaan Malaka pertama kali
didirikan oleh Paramisora pada abad ke-15. Menurut cerita, sesaat sebelum
meninggal dalam tahun 1414, Paramisora masuk Islam, kemudian berganti nama
menjadi Iskandar Syah. Selanjutnya, kerajaan Malaka dikembangkan oleh putranya
yang bernama Muhammad Iskandar Syah (1414–1445). Pengganti Muhammad Iskandar
Syah adalah Sultan Mudzafar Syah (1445–1458). Di bawah pemerintahannya, Malaka
menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Barat, dengan kemajuan-kemajuan yang
sangat pesat, sehingga jauh meninggalkan Samudra Pasai. Usaha mengembangkan
Malaka hingga mencapai puncak kejayaannya dilakukan oleh Sultan Mansyur Syah
(1458–1477) sampai pd masa pemerintahan Sultan Alaudin Syah (1477–1488).
Sementara itu, kedatangan pengaruh
Islam ke wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi dan Maluku) tidak dapat
dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas
pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat,
sejak abad ke-14, Islam telah sampai ke daerah Maluku. Disebutkan bahwa
kerajaan Ternate ke-12, Molomateya (1350–1357), bersahabat karib dengan orang
Arab yg memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal, tetapi agaknya tidak dalam
kepercayaan.
Pada masa pemerintahan Marhum di
Ternate, datanglah seorang raja dari Jawa yang bernama Maulana Malik Husayn
yang menunjukkan kemahiran menulis huruf Arab yang ajaib seperti yang tertulis
dalam Alquran. Hal ini sangat menarik hati Marhum dan orang-orang di Maluku.
Kemudian, ia diminta oleh mereka agar mau mengajarkan huruf-huruf yang indah
itu. Sebaliknya, Maulana Malik Husayn mengajukan permintaan, agar mereka tidak
hanya mempelajari huruf Arab, melainkan pula diharuskan mempelajari agama
Islam. Demikianlah Maulana Malik Husayn berhasil mengislamkan orang-orang
Maluku. Raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk Islam adalah Zainal
Abidin (1486–1500).
Dari ketiga pusat kegiatan Islam itulah,
maka Islam menyebar dan meluas memasuki pelosok-pelosok kepulauan Nusantara.
Penyebaran yang nyata terjadi pada abad ke-16. Dari Malaka, daerah Kampar,
Indragiri, dan Riau menjadi Islam. Dari Aceh, Islam meluas sampai ke
Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi. Dimulai sejak dari Demak, maka sebagian besar
Pulau Jawa telah menganut agama Islam.
Banten yang diislamkan oleh Demak
meluaskan dan menyebarkan Islam ke Sumatra Selatan. Di Kalimantan, kerajaan
Brunai yang pada abad ke-16 menjadi Islam, meluaskan penyebaran Islam di bagian
barat Kalimantan dan Filipina. Sedangkan Kalimantan Selatan mendapatkan
pengaruh Islam dari daratan Jawa. Dari Ternate semakin meluas meliputi
pulau-pulau di seluruh Maluku serta daerah pantai timur Sulawesi. Pada abad
ke-16 di Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Goa. Demikianlah pada akhir abad
ke-16 dapat dikatakan bahwa Islam telah tersebar dan mulai meresapkan
akar-akarnya di seluruh Nusantara.
Meresapnya Islam di Indonesia pada
abad ke-16 itu bersamaan pula dengan ditanamkannya benih-benih agama Katolik
oleh orang-orang Portugis. Bangsa Portugis ini dikenal sebagai penentang Islam
dan pemeluk agama Katolik fanatik. Maka, di setiap tempat yang mereka datangi,
di sanalah mereka berusaha mendapatkan daerah tempat persemaian bagi agama
Katolik. Hal ini menurut tanggapan mereka merupakan suatu tugas dan kewajiban
yang mendapat dorongan dari pengalaman mereka menghadapi Islam di negeri mereka
sendiri. Ketika pertahanan Islam terakhir di Granada jatuh pada 1492, maka
dalam usaha mereka mendesak agama Islam sejauh mungkin dari Spanyol dan
Portugis, mereka memperluas gerakannya sampai Timur Tengah yang waktu itu
menjadi daerah perantara perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur
dengan Barat. Timbullah kemudian suatu hasrat dalam jiwa dagang mereka untuk
berusaha sendiri mendapatkan rempah-rempah yang menjadi pokok perdagangan waktu
itu langsung dari daerah penghasilnya (Nusantara). Dengan demikian, mereka
tidak akan bergantung lagi kepada pedagang-pedangan Islam di Timur Tengah.
[Sumber : Diadaptasi dari Sejarah
Perjuangan Persis 1923-1983, Drs. Dadan Wildan Anas]
Mitos Syekh
Siti Jenar
Syekh Siti
Jenar adalah tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di
Jawa, karena “pembangkangan tasawuf”-nya dan mitos kesaktian yang dimilikinya.
Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh Wali Songo ini.
Kemudian, ditunjukkan bagaimana Siti Jenar menerapkan ajarannya itu dan
akhirnya tidak bisa tidak bertemu dengan kekuatan ulama paling dominan, yakni
Wali Songo. Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir
dalam Wali Songo mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran
Siti Jenar dengan ajarannya yang jauh berbeda dari “kebenaran” yang digariskan
Wali Songo menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun
pengaruh politik Wali Songo sendiri.
Kejawen
[Dari
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia]
Kejawen (bahasa Jawa: Kejawèn)
adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan ‘agama’ yang terutama
dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang menetap di
Jawa. ‘Agama’ Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah ke lompok
kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah ‘agama’
terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen. Ciri khas utama ‘agama’
Kejawen ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha. Namun
pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan
sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford
Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion
of Java. Olehnya Kejawen disebut “Agami Jawi”.
C. Pemikiran
Islam Kontemporer Indonesia
Perkembangan pemikiran Islam
kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat diklasifikasikan
dalam 5 model kecenderungan.
a. Fundamentalis.
Yaitu, model pemikiran yang
sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi
kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada
aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek
kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi
Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya
sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli
(al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus
dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
b, Tradisionalis ( salaf ).
b, Tradisionalis ( salaf ).
Yaitu, model pemikiran yang berusaha
berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan
umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita
sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan
kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi.
Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa’
al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih ,
sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya.
Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis
akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
c, Reformis.
Yaitu, model pemikiran yang berusaha
merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru.
Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan
tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus
dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat
rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu,
mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti
apa adanya.
d, Postradisionalis.
Yaitu, model pemikiran yang berusaha
mendekonstruksi warisa Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya
sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru.
Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan
sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris
menjadi historis.
e, Moderinis.
Yaitu, model pemikiran yang hanya
mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya,
tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter
utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan
kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme.
Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik
sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku
eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik
pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan . Sebab, kenyataannya,
tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain
(Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model.
Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu
membangun peradaban Islam ke depan.
Itulah kecenderungan atau model pemikiran yang tampil dalam buku ini, yang terdiri atas 19 orang tokoh pemikir Islam kontemporer, dari Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika. Hanya saja, buku ini tidak disusun berdasarkan kecenderungan pemikiran sang tokoh melainkan diurutkan sesuai dengan abjad nama sang pemikir. Selain itu, beberapa tokoh terkenal, seperti Arkoun dan Soroush, misalnya, ternyata tidak masuk, meski diakui karena “kesalahan teknis”. Pemikir Indonesia sendiri juga dengan sengaja tidak dimasukkan. Itulah mungkin “kelemahan” buku ini. Untungnya ada “Kata Pengantar” yang menjelaskan persoalan tersebut
Itulah kecenderungan atau model pemikiran yang tampil dalam buku ini, yang terdiri atas 19 orang tokoh pemikir Islam kontemporer, dari Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika. Hanya saja, buku ini tidak disusun berdasarkan kecenderungan pemikiran sang tokoh melainkan diurutkan sesuai dengan abjad nama sang pemikir. Selain itu, beberapa tokoh terkenal, seperti Arkoun dan Soroush, misalnya, ternyata tidak masuk, meski diakui karena “kesalahan teknis”. Pemikir Indonesia sendiri juga dengan sengaja tidak dimasukkan. Itulah mungkin “kelemahan” buku ini. Untungnya ada “Kata Pengantar” yang menjelaskan persoalan tersebut
D. Organisasi
Politik dan Organisasi Islam Indonesia Merdeka
Dalam sejarah bangsa Indonesia telah
berdiri berbagai kekuatan Islam dan organisasi sosial keagamaan. Setidaknya
dapat disebutkan seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad,
NU, Jong Islamieten Bond (JIB), Masyumi, Nahdlatul Wathan, Pelajar Islam
Indonesia (PII), ICMI, dan sebagainya. Selama era Kemerdekaan hingga tumbangnya
rezim Orde baru, yang paling banyak mewarnai perkembangan politik, sosial dan
budaya adalah Muhammadiyah dan NU. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, membuat
bangsa Indonesia memasuki periode baru yang disebut era reformasi. Sejak
bergulirnya era reformasi tahun 1997-1998, semua orang bisa berbicara tentang
apa saja dengan bebas, termasuk mengemukakan ide-ide atau pendapat yang
berkaitan dengan Islam; sesuatu yang di era Orde Baru sangat dilarang seperti
formalisasi Syariat Islam, Piagam Jakarta, Perda Syariah dan keinginan untuk
mendirikan kembali Partai Politik berasaskan Islam.
Pasca tahun 2000, tiba-tiba muncul
dan berkembang pesat gerakan-gerakan baru di luar Muhammadiyah, Persis, NU
maupun ICMI. Di antara gerakan-gerakan itu, terdapat gerakan Tarbiyah yang
kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),
Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Jamaah tabligh, dan Salafi.
Gerakan-gerakan ini muncul secara
fenomenal, kontroversial dan cukup berpengaruh. Fenomenal karena mampu
berkembang sangat cepat dan menarik banyak pihak. Mereka berhasil mendirikan
cabang-cabang, dan mendapat pengikut yang cukup pesat. Kontroversial, karena
sebagian dari mereka ada yang melakukan kegiatansweping terhadap diskotik,
tempat perjudian, remaja yang sedang berbuat asusila hingga penggrebekan terhadap
penganut aliran sesat. Sehingga fenomena tersebut menimbulkan pro-kontra di
masyarakat. Pro-kontra itu bisa dipahami oleh karena di antara gerakan- gerakan
ini ada yang menurut pengamat gerakan Islam cenderung bersikap militan dan
radikal. Namun, di sisi lain, di antara gerakan-gerakan tersebut ada yang
bersikap moderat, simpatik dan memberikan layanan-layanan publik. Selain itu,
pro-kontra
disebabkan oleh faktor-faktor lain
seperti persaingan politik ataupun kepentingan pribadi, dan boleh jadi
dikarenakan sebagian masyarakat belum cukup mengenali siapa mereka sebenarnya.
Beberapa dari gerakan-gerakan di
atas yang tentu saja fenomenal dan militan adalah Gerakan Tarbiyah, Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Salafi, Jamaah Tabligh dan FPI. Seperti Gerakan Tarbiyah
atau yang kini menjelma jadi PKS, memasuki Indonesia pada dekade 1980-an. Sudah
bukan rahasia lagi jika Jamaah Tarbiyah mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin
(IM). Tokoh penting Jamaah Tarbiyah diantaranya Ust Rahmat Abdullah, KH. Hilmi
Aminudin Hasan, Mayjen (Purn) Suripto SH, Abu Ridho, Mashadi, Dr. Nur Mahmudi
Ismail dan Dr. Hidayat Nur Wahid. Ada tiga jalur penting pengembangan Jamaah
Tarbiyah di Indonesia yaitu: Kelompok Usroh di kampus, Alumni Timur Tengah, dan
Alumni LIPIA. Pertemuan tiga jalur inilah yang selanjutnya melahirkan PKS
sekarang ini.1
Jika di dalam struktur parlemen ada
PKS maka di luar parlemen dalam tataran kultural ada Hizbut Tahrir (HT). HT
merupakan Partai Politik dan Dakwah di jalur ekstra parlemen. Partai ini
didirikan di Yordania oleh Taqiyuddin An-Nabhani beserta sekelompok koleganya
yang telah memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin (IM),2 dengan maksud untuk
melanjutkan kembali kehidupan Islam di bawah Daulah Khilafah Islamiyah. Di
berbagai negara, HT mengalami perkembangan yang pesat. Terbukti di antaranya
banyak menarik kalangan terdidik perkotaan, yang terdiri dari akademisi,
profesional dan mahasiswa.3 Jika ditelusuri sejarahnya, HT masuk ke Indonesia
pada awal dekade 1980-an, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa, ide-ide
Hizbut Tahrir telah hadir di Indonesia sejak Taqiyuddin an-Nabhani mengunjungi
Indonesia pada tahun 1972.4 Secara Jumlah HTI masih kalah dengan NU dan
Muhammadiyah. Pengamat terorisme, Umar Abduh pernah menyatakan bahwa penegakan
Khilafah islam tidak
mungkin diwujudkan oleh HTI karena
jumlah anggota HTI terlalu kecil, tidak sampai 1
juta orang.5
Selanjutnya kita membicarakan
tentang Jamaah Salafi. Salafi merupakan bagian dari paham Wahabi. Gerakan ini
berkembang secara internasional melalui jaringan guru- murid ulama-ulama Wahabi
dan dukungan dana pemerintah Arab Saudi.6 Tokoh sentral gerakan ini adalah
Syekh Bin Baz, Nashiruddin Al-Bani, dan Syekh Muqbil. Gerakan salafi baru
muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga
Ilmu Islam dan Sastra arab (LIPIA).7 Ada tiga hal pokok yang didakwahkan jamaah
salafi, yaitutarb iyah (ta’lim),tashf iyyah (pembersihan amalan spiritual dalam
diri dan kehidupan setiap muslim. Cara merealisasikan hal tersebut adalah
dengan menempuhkhur uj (keluar untuk berdakwah) bersama Jamaah Tabligh. Empat
bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau
dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu
daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah
yang lain. Hadir pada dua majelista’ lim setiap hari, majelista’ lim pertama
diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah.10 Di dalam Jamaah
Tabligh tampaknya tidak dikenal istilah anggota sebagai layaknya sebuah
organisasi. Pengajian diadakan selalu terbuka. Tidak tampak ada pemisahan
antara yang anggota atau non-anggota.11 Jamaah Tabligh di Indonesia mempunyai
anggota yang cukup banyak. Anggota mereka sangat bervariasi,
mulai dari artis seperti Gito Rollies,
mantan Kapolda Jawa Timur, Anton Bachrul Alam sampai dengan kalangan tentara,
kalangan pengusaha dll. Sasaran utama Jamaah Tabligh umumnya kalangan perkotaan
terutama yang tidak menyukai aktivitas politik dan ada minat terhadap
spiritualisme.12
Gerakan Islam kontemporer yang
terakhir ialah Front Pembela Islam (FPI). Keberadaan FPI hampir selalu
dikait-kaitkan dengan aksi penyisiran tempat-tempat yang dianggap sumber
kemaksiatan, yakni diskotik, prostitusi, bar dan karaoke, tempat perjudian dan
sebagainya. FPI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998. Tokoh terpenting FPI
yang paling berpengaruh adalah Habib Rizieq Shihab, yang hingga saat ini
menjabat sebagai Ketua umum FPI. Ketika FPI dideklarasikan Habib Rizieq baru
berumur 30-an tahun. Dasar berdirinya FPI sendiri dilatari oleh keprihatinan
terhadap semakin maraknya tindak kemaksiatan dan pornografi. Sementara aparat
keamanan yang semestinya memberantas berbagai macam kemaksiatan tersebut
seperti tidak berdaya dan bahkan terkesan membiarkan begitu saja. Tidak
diketahui jumlah yang pasti berapa anggota FPI. Setelah tahun 2005, perwakilan
FPI telah berdiri di 26 provinsi di Indonesia, meskipun hanya beberapa
perwakilan saja yang aktif.13
Kehadiran gerakan-gerakan Islam
tersebut cukup signifikan untuk membangkitkan kembali kesadaran umat Islam agar
menerapkan agama secara kaffah. Walaupun pendekatan dakwahnya berbeda-beda.
Oleh karena itu hendaknya saling dialog atau silaturahmi guna menjalin Ukhuwah
Islamiyah antar sesama gerakan Islam, jangan saling mencari-cari kesalahan atau
rebutan aset dan pengikut. Yang terpenting adalah bagaimana mengurusi
kepentingan Umat Islam di Indonesia baik pada ranah politik maupun kultural.
Masyarakat awam tak perlu bingung, takut bahkan buru-buru mencap mereka
ekstremis/garis keras. Sepanjang penulis ketahui, mereka itu tegas bukan keras,
ajarannya tidak menyimpang dan tidak pernah terlibat aksi terorisme.
Dalam makalah ini kita hanya
membatasi pada keadaan islam di masa sekarang (kontemporer). Namun, tetap akan
dipaparkan alur sejarahnya secara singkat. Demi mengetahui historisitasnya.
Sebab, dalam perjalanannya islam di indonesia banyak sekali mangalami
akulturasi dan ikut berperan dalam perubahan keadaan Indonesia.
E. PERANAN
UMAT ISLAM INDONESIA
Umat Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk memdapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini dapat dibagi menjadi :
Umat Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk memdapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini dapat dibagi menjadi :
a.
Perjuangan Kerajaan-Kerajaan Islam melawan Kolonial
Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang represif (bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra ini. Perjuangan ini antara lain : Malaka melawan serangan Portugis (1511) diteruskan oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor Timur), kemudian Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda (VOC), dan Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-1629) dan masih banyak lagi. Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik “Devide Et Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.
Meskipun demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial, maka
selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin Ulama.
Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang represif (bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra ini. Perjuangan ini antara lain : Malaka melawan serangan Portugis (1511) diteruskan oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor Timur), kemudian Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda (VOC), dan Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-1629) dan masih banyak lagi. Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik “Devide Et Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.
Meskipun demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial, maka
selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin Ulama.
b.
Perjuangan Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama
Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat Islam bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan. Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama Islam memimpin umat melawan penindasan kedloliman penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol; Perlawanan KH.Hasan dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di Banjarmasin; Gerakan Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu; Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P. Dipanegara, masih banyak lagi Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai bukti tiga perlawanan : Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog (Dipanegara) telah mengorbankan : 8000 tentara Belanda mati dan 20.000.000 Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan “ Welfere Politiek” (Politik Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan dan idiologi, terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.
Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat Islam bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan. Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama Islam memimpin umat melawan penindasan kedloliman penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol; Perlawanan KH.Hasan dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di Banjarmasin; Gerakan Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu; Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P. Dipanegara, masih banyak lagi Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai bukti tiga perlawanan : Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog (Dipanegara) telah mengorbankan : 8000 tentara Belanda mati dan 20.000.000 Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan “ Welfere Politiek” (Politik Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan dan idiologi, terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.
c.
Pergerakan Nasional di Indonesia
Sebelum memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam, karena :
a. Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan
b. Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
c. Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
d. Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam
e. Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
Sebelum memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam, karena :
a. Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan
b. Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
c. Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
d. Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam
e. Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
Akibat dari politik kolonial di
atas, maka perjuangan melawan kolonial menjadi terpecah.
Menurut Thesis Endang Syaifuddin
Anshari,MA. perjuangan di Indonesia terpecah jadi dua kelompok besar yaitu:
Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih
tampak dalam dinamika perpolitikan kita.
Sebagai salah satu yang penting
pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada
tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) (baca wawancara
Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di majalah Syiyasyah 1974), yang kemudian
th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik. Pada
Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Keagamaan,
dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia yang
menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir, Al Irsyad, Jong
Islamieten Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama (
1926 ), dan lainnya adalah dalam kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya
punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei
1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI),
PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori nasionalis sekuler. ( Endang
Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. Thesis di Mac Gill
University, Canada ).
Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan “Christening Politiek” (dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg) namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya Politik Belanda dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV ( Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus dengan komunis. ( A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. ).
Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan “Christening Politiek” (dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg) namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya Politik Belanda dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV ( Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus dengan komunis. ( A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. ).
Pada tahun 1937
organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI ( Majlisul Islam A’la
Indonesia ), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Alwasliyah dan lainnya.
Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI ( Majlis Syurau Muslimin
Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah, sebagai modal
perjuangan bersenjata di kemuidian hari.
d. Peran
Umat Islam dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, umat Islam punya peranan penting, yaitu : Pertama, secara pisik Umat Islam dengan Lasykar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar Perang Sabil (APS) dan lasykar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu TKR (TNI) untuk mempertahankan NKRI dengan perang gerilnyanya melawan Sekutu-NICA (Netherland Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali berkuasa di Indonesia. Secara pisik pula Lasykar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian diteruskan oleh Markas Ulama Asykar Perang Sabil (APS) bersama pasukan TNI dari Siliwangi melawan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 September 1948 ( dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin ), yang akan menghancurkan NKRI dan akan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit dari Commitern Komunis Internasional yang berpusat di Moskow,Rusia. Pemberontakan PKI 1948 ini berjalan secara biadab, membantai para ulama dan santri, membantai kaum nasionalis, membantai pamongpraja, dapat digambarkan ada suatu gedung untuk pembantaian yang darahnya menggenang sampai satu kilan. Dengan adanya kerjasama antara kelasykaran umat Islam, kelasykaran kaum nasionalis, dengan TNI berhasil menghancurkan kekejaman dan kebiadaban Pemberontakan PKI 1948.
Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, umat Islam punya peranan penting, yaitu : Pertama, secara pisik Umat Islam dengan Lasykar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar Perang Sabil (APS) dan lasykar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu TKR (TNI) untuk mempertahankan NKRI dengan perang gerilnyanya melawan Sekutu-NICA (Netherland Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali berkuasa di Indonesia. Secara pisik pula Lasykar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian diteruskan oleh Markas Ulama Asykar Perang Sabil (APS) bersama pasukan TNI dari Siliwangi melawan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 September 1948 ( dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin ), yang akan menghancurkan NKRI dan akan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit dari Commitern Komunis Internasional yang berpusat di Moskow,Rusia. Pemberontakan PKI 1948 ini berjalan secara biadab, membantai para ulama dan santri, membantai kaum nasionalis, membantai pamongpraja, dapat digambarkan ada suatu gedung untuk pembantaian yang darahnya menggenang sampai satu kilan. Dengan adanya kerjasama antara kelasykaran umat Islam, kelasykaran kaum nasionalis, dengan TNI berhasil menghancurkan kekejaman dan kebiadaban Pemberontakan PKI 1948.
e. Umat
Islam di Era Mencari Bentuk Demokrasi Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 menggambarkan bahwa NKRI adalah negara demokrasi, namun formulasi demokrasi yang bagaimana bentuknya masih dalam pencarian. Apakah Demokrasi Liberal, apakah Demokrasi Sosialis, ataukah Demokrasi Theokrasi ?. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap ( dari Masyumi ) Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama di tahun 1955, diikuti hampir + 100 partai, disaksikann oleh PBB. Dalam pemilu itu muncul 4 kekuatan partai besar yaitu rangking pertama PNI dan Masyumi suaranya berimbang, disusul NU, kemudian PKI. Hasil dari Pemilu itu adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian pemilu kedua menghasilkan Konstituante (pembuat Konstitusi/ UUD). Dalam Konstituante memang ditawarkan dan untuk menjaring aspirasi rakyat dalam menentukan UUD baru yang aspiratitf rakyat Indonesia. Berbagai golongan masyarakat yang diwakili oleh partainya menyampaikan usulannya, sehingga mengerucut pada UUD pertama 1945 namun pada Preambulenya ada yang mengacu keputusan Sidang BPUPKI 16 Juli 1945 yaitu Piagam Djakarta , dan mengacu dari keputusan PPKI 18 Agustus 1945, dengan suara berimbang, namun tidak dapat memenuhi 75% suara untuk dapat memutuskannya, sehingga selalu tidak dapat diputuskan. Aklhirnya pihak Militer (A.H. Nasution ) membuat konsep Dekrit Presiden, kemudian diterima oleh Bung Karno, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Dekrit Presiden itu dideklarasikan, isinya antara lain :
1. Pembubaran Konstituante;
Undang-undang Dasar 1945 menggambarkan bahwa NKRI adalah negara demokrasi, namun formulasi demokrasi yang bagaimana bentuknya masih dalam pencarian. Apakah Demokrasi Liberal, apakah Demokrasi Sosialis, ataukah Demokrasi Theokrasi ?. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap ( dari Masyumi ) Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama di tahun 1955, diikuti hampir + 100 partai, disaksikann oleh PBB. Dalam pemilu itu muncul 4 kekuatan partai besar yaitu rangking pertama PNI dan Masyumi suaranya berimbang, disusul NU, kemudian PKI. Hasil dari Pemilu itu adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian pemilu kedua menghasilkan Konstituante (pembuat Konstitusi/ UUD). Dalam Konstituante memang ditawarkan dan untuk menjaring aspirasi rakyat dalam menentukan UUD baru yang aspiratitf rakyat Indonesia. Berbagai golongan masyarakat yang diwakili oleh partainya menyampaikan usulannya, sehingga mengerucut pada UUD pertama 1945 namun pada Preambulenya ada yang mengacu keputusan Sidang BPUPKI 16 Juli 1945 yaitu Piagam Djakarta , dan mengacu dari keputusan PPKI 18 Agustus 1945, dengan suara berimbang, namun tidak dapat memenuhi 75% suara untuk dapat memutuskannya, sehingga selalu tidak dapat diputuskan. Aklhirnya pihak Militer (A.H. Nasution ) membuat konsep Dekrit Presiden, kemudian diterima oleh Bung Karno, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Dekrit Presiden itu dideklarasikan, isinya antara lain :
1. Pembubaran Konstituante;
2. Kembali pada UUD 1945, dan Piagam
Djakarta sebagai yang menjiwai UUD 1945 ;
3. Bentuk Negara Demokrasi
Terpimpin.
f. Umat
Islam di Era Demokrasi Terpimpin
Munculnya Dekrit Presiden ini untuk sementara dapat meredam perbedaan pendapat dalam konstituante, namun juga berdampak menjadi awalnya bentuk pelaksanaan pemerintahan yang otoriter, kekuasaan tunggal di tangan presiden. Hal ini terbukti, ketika Presiden Soekarno mengajukan RAPBN ke DPR hasil Pemili 1955, oleh karena kondisi negara belum mampu, maka ditolak DPR dan diminta untuk diperbaiki, namun dengan pendekatan kekuasaan Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu, dan kemudian dengan kekuasaanya pula presiden Soekarno menyusun DPR baru atas tunjukannya dengan diberi nama DPRGR. Tokoh-tokoh umat Islam menentang sikap otoriter ini, namun kemudian ditangkapi dan dipenjara. Dari beberapa kasus yang menentang otoriter kekuasaan pada waktu itu, ditangkapilah tokoh-tokoh Islam antara lain Mr.Prawoto Mangkusasmito ; Mr. Mohammad Roem; KH Muhammad Natsir; KH E.Z. Muttakin; Mr. Kasman Singodimejo; dan Hamka dan lainnya , mereka disiksa , dan tidak diproses hukum melalui pengadilan.
Munculnya Dekrit Presiden ini untuk sementara dapat meredam perbedaan pendapat dalam konstituante, namun juga berdampak menjadi awalnya bentuk pelaksanaan pemerintahan yang otoriter, kekuasaan tunggal di tangan presiden. Hal ini terbukti, ketika Presiden Soekarno mengajukan RAPBN ke DPR hasil Pemili 1955, oleh karena kondisi negara belum mampu, maka ditolak DPR dan diminta untuk diperbaiki, namun dengan pendekatan kekuasaan Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu, dan kemudian dengan kekuasaanya pula presiden Soekarno menyusun DPR baru atas tunjukannya dengan diberi nama DPRGR. Tokoh-tokoh umat Islam menentang sikap otoriter ini, namun kemudian ditangkapi dan dipenjara. Dari beberapa kasus yang menentang otoriter kekuasaan pada waktu itu, ditangkapilah tokoh-tokoh Islam antara lain Mr.Prawoto Mangkusasmito ; Mr. Mohammad Roem; KH Muhammad Natsir; KH E.Z. Muttakin; Mr. Kasman Singodimejo; dan Hamka dan lainnya , mereka disiksa , dan tidak diproses hukum melalui pengadilan.
Dari tahun 1960 sampai 1965 situasi
negara dalam keadaan tegang , akibat adanya iklim antagonis dalam masyarakat.
Polarisasi NASionalis + Agama + KOMunis (NASAKOM) yang dicetuskan pemerintah
menjadi kekuatan yang saling benturan. Pendekatan kaum Komunis (PKI) pada
pemerintah banyak digunakan umtuk menghantam umat Islam dan gerakan Islam.
Muncul istilah Ganyang Kontra Revolusi, Ganyang 7 Setan desa ( salah satunya
haji ). PKI mengadakan Aksi Sepihak, yaitu menyerobot dan menduduki tanah milik
umat Islam, milik pesantren dsb. untuk dibagikan pada para pendukungnya,
sedangkan bila terjadi perlawanan diadakan teror dan sampai pembunuhan. Setelah
PKI merasa kuat dan siap untuk mengambil alih kekuasaan, menyiapkan angkatan ke
5 Buruh Tani dipersenjatai, import senjata jenis Tschung dari RRChina, banyak
mengadakan pelatihan militer di beberapa daerah, dan mengadakan aksi sepihak
menduduki tanah-tanah perusahaan dan tanah masyarakat, serta mengadakan teror
dan pembantaian terhadap lawan politiknya. Menyerang tempat-tempat Ibadah
menginjak-ijai kitab suci Al Qur’an, seperti peristiwa Kanigoro, Bandar Betsy,
menteror dan menangkapi seniman Manikebu lawannya Lekra (PKI), Puncaknya
meletuslah Pemberontakan G.30.S. / PKI. Digerakkan oleh Dewan Revolusi yang
berisi tokoh-tokoh PKI ( DN Aidit, Sam Qomaruzaman, Nyoto, Nyono, Istiajid, dan
sebagainya ) sebagai pengendali gerakannya ( Surat Perintah Comite Central/ CC
PKI No. 13/ P1 / 65, tanggal 28 Septembar 1965, isinya Perintah mendirikan
Dewan Revolusi Daerah ). Pemberontakan G.30.S. /PKI telah membantai kalangan
ABRI, para Santri dan Kyai di pedesaan, pemuka agama lainnya termasuk di Bali,
mereka telah disediakan sumur-sumur untuk penguburannya.
Ummat Islam membentuk Kogalam (
Komando Kesiapsiagaan Umat Islam ) dan GEMUIS ( Genarasi Muda Islam ),
Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII,
Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI
1965 itu. Gerakan pemberontakan G.30.S./PKI di pusat maupun daerah-daerah
berhasil ditumpas, sehingga selamatlah negara Republik Indonesia dari usaha
dijadikan negara komunis. Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat
menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan
negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai
jati diri Bangsa Indonesia.
g. Umat
Islam di Era Orde Baru
Pada awal kebangkitan Orde Baru adalah dalam rangka kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen, memperbaiki stuktur birokrasi dan demokrasi bersih dan sehat. Pada awalnya umat Islam memberikan dukungan , memang umat Islam untuk sementara merupakan eksponen dan dijadikan tumpuan. Namun pada proses perjalanan sejarah selanjutnya eksponen umat Islam mulai ditinggal, dan bahkan gerakan umat Islam mulai dimandulkan, bahkan berusaha untuk dibersihkan.
Gerakan politik Islam dilikwidasi sedikit demi sedikit posisinya bahkan dimandulkan, mulai Pemilu 1971 yang penuh rekayasa dan ”Bolduser”, menekan umat Islam dan politisi lain untuk memenangkan Golkar. Maka berhasilah menguatkan posisi kekuasaan Suaharto, yang selanjutnya akan kembali mmenjadi penguasa tunggal yang otoriter sampai tahun 1998.
Pemerintahan Orde Baru kemudian banyak meninggalkan potensi umatIslam, justeru merangkul kekuatan minoritas di Indonesia yang ”diridloi oleh Amerika” serta sekutunya. Sebagai puncaknya kebijakan terhadap umat Islam adalah dilarangnya partai dan organisasi massa memakai asas Islam.Kebijakan ini sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje untuk membatasi gerakan umat Islam di Indonesia. Kebijakan pemerintah Orde baru terhadap politik Islam itu berdampak antara lain :
Pertama, peranan politik umat Islam yang mengusung cita-cita Islam tidak mendapat tempat yang layak, bahkan dikerdilkan dengan cara rekayasa politik. Dengan menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menyudutkan dan memberi gambaran citra negatif bagi perjuangan umat Islam Indonesia. Sebagai contoh, dimunculkanlah skenario Komando Jihad, Teror Warman, dan sebagainya, yang kesemuanya itu memancing umat Islam untuk bertindak kekerasan, kemudian didlolimi. Dimunculkannya peristiwa-peristiwa penuhy rekayasa seperti, Tanjung Priuk ( 600 umat Islam dibantai ); Talangsari (pembantaian kyai dan sastri serta penduduk desa di Lampung ); pembajakan Pesawat Wayola, dan masih banyak lagi poeristiwa di daerah-daerah yang menjadi korbannya umat Islam. Dalam bidang politik formal kekuatan realitas umat Islam terus ditekan, dan dengan penuh rekayasa dikerdilkan, sehingga partai politik di DPR dan MPR tidak dapat berkutik ( dibikin kecil ).
Kedua, di kalangan umat Islam mencari jalan lain ( tidak melalui politik praktis ), yaitu lebih menggiatkan gerakan Dakwah – Sosial – Pendidikan dan Kebudayaan. Munculah gerakan Dakwah di berbagai lapisan masyarakat dan pelatihan-pelatihan secara intens dalam memahami Islam Penanaman Nilai dasar Islam (PNDI), lahirnya Lembaga Dakwah Kampus ( LDK ) seperti Jama’ah Salman (ITB), Jamaah Shalahuddin (UGM), dan sebagainya. Gerakan Sosial meningkatkan kepedulian pada kaum fakir-miskin-yatim piatu dan kaum mutadzafin, munculnya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan baru di kalangan umat Islam. Dalam bidang pendidikan berkembang dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan baru termasuk maraknya pertumbuhan perguruan tinggi Islam di Indonesia, dan adanya peningkatan penerbitan buku-buku dan media Islam lainnya. Lahirnya lembaga-lembaga Seni-Budaya Islam dengan karya-karyanya, lebih maraknya pemakian busana muslim dan muslimah ( pemakian Jilbab diterima olah masyarakat dan banyak diikuti ).
Pada awal kebangkitan Orde Baru adalah dalam rangka kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen, memperbaiki stuktur birokrasi dan demokrasi bersih dan sehat. Pada awalnya umat Islam memberikan dukungan , memang umat Islam untuk sementara merupakan eksponen dan dijadikan tumpuan. Namun pada proses perjalanan sejarah selanjutnya eksponen umat Islam mulai ditinggal, dan bahkan gerakan umat Islam mulai dimandulkan, bahkan berusaha untuk dibersihkan.
Gerakan politik Islam dilikwidasi sedikit demi sedikit posisinya bahkan dimandulkan, mulai Pemilu 1971 yang penuh rekayasa dan ”Bolduser”, menekan umat Islam dan politisi lain untuk memenangkan Golkar. Maka berhasilah menguatkan posisi kekuasaan Suaharto, yang selanjutnya akan kembali mmenjadi penguasa tunggal yang otoriter sampai tahun 1998.
Pemerintahan Orde Baru kemudian banyak meninggalkan potensi umatIslam, justeru merangkul kekuatan minoritas di Indonesia yang ”diridloi oleh Amerika” serta sekutunya. Sebagai puncaknya kebijakan terhadap umat Islam adalah dilarangnya partai dan organisasi massa memakai asas Islam.Kebijakan ini sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje untuk membatasi gerakan umat Islam di Indonesia. Kebijakan pemerintah Orde baru terhadap politik Islam itu berdampak antara lain :
Pertama, peranan politik umat Islam yang mengusung cita-cita Islam tidak mendapat tempat yang layak, bahkan dikerdilkan dengan cara rekayasa politik. Dengan menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menyudutkan dan memberi gambaran citra negatif bagi perjuangan umat Islam Indonesia. Sebagai contoh, dimunculkanlah skenario Komando Jihad, Teror Warman, dan sebagainya, yang kesemuanya itu memancing umat Islam untuk bertindak kekerasan, kemudian didlolimi. Dimunculkannya peristiwa-peristiwa penuhy rekayasa seperti, Tanjung Priuk ( 600 umat Islam dibantai ); Talangsari (pembantaian kyai dan sastri serta penduduk desa di Lampung ); pembajakan Pesawat Wayola, dan masih banyak lagi poeristiwa di daerah-daerah yang menjadi korbannya umat Islam. Dalam bidang politik formal kekuatan realitas umat Islam terus ditekan, dan dengan penuh rekayasa dikerdilkan, sehingga partai politik di DPR dan MPR tidak dapat berkutik ( dibikin kecil ).
Kedua, di kalangan umat Islam mencari jalan lain ( tidak melalui politik praktis ), yaitu lebih menggiatkan gerakan Dakwah – Sosial – Pendidikan dan Kebudayaan. Munculah gerakan Dakwah di berbagai lapisan masyarakat dan pelatihan-pelatihan secara intens dalam memahami Islam Penanaman Nilai dasar Islam (PNDI), lahirnya Lembaga Dakwah Kampus ( LDK ) seperti Jama’ah Salman (ITB), Jamaah Shalahuddin (UGM), dan sebagainya. Gerakan Sosial meningkatkan kepedulian pada kaum fakir-miskin-yatim piatu dan kaum mutadzafin, munculnya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan baru di kalangan umat Islam. Dalam bidang pendidikan berkembang dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan baru termasuk maraknya pertumbuhan perguruan tinggi Islam di Indonesia, dan adanya peningkatan penerbitan buku-buku dan media Islam lainnya. Lahirnya lembaga-lembaga Seni-Budaya Islam dengan karya-karyanya, lebih maraknya pemakian busana muslim dan muslimah ( pemakian Jilbab diterima olah masyarakat dan banyak diikuti ).
Pada akhir hayat pemerintahan Orde
Baru, ditengarai setelah pihak asing kepercayaannya mulai pudar,kemudian
pembatasan kucuran dana pinjaman asing, dan masyarakat mulai tidak respek dan
mengecam terhadap permainan politik pemerintah Orde Baru, maka kekdudukannya
menjadi lemah. Pada kondisi lemah ini, pemerintah Orde Baru kelihatannya mulai
mendekati umat Islam melalui tokoh-tokohnya. Namun, cara-cara pendekatan itu
sudah tidak populer lagi, akhirnya terjadi arus deras untuk diadakan Reformasi.
Arus deras Reformasi sebagai lokomotif (salah satunya Amien Rais) dan pendukung
terbesaenya adalah umat Islam, berhasil memberhentikan Pemerintahan Orde baru,
pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto berhenti jadi presiden, dan masa transisi
untuk sementara digantikan oleh BJ Habibie sampai dengan pemilihan umum Era
Reformasi.
H. PERAN
UMAT ISLAM DI AWAL REFORMASI
Masyarakat Indonesia mengalami titik kulminasi jenuh pada pemerintahan Orde Baru (yang sudah menjadi sama sengan Orde Lama). Cara-cara untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan kendaraan GOLKAR yang dengan rekayasa skenariotip selalu memenangka pemilu, sehingga kekuasaan Suharto dan Kroninya diusahakan terus untuk dipertahankan. Harmoko selaku ketua Golkar yang terakhir mendorong Suharto untuk maju lagi jadi presiden di tahun 1997, mengklaim dengan mengatakan rakyat Indonesia masih menginginkan kekuasaan Suharto.
Pada kenyataanya lain, masyarakat luas sudah mengiginkan perubahan kepemimpinan nasional, bahkan sebagian di kalangan ABRI pun dan dunia internasional yang dulu sebagai pendukung dana dan politik Orde Baru, mulai kendor dan meninggalkan dukungannya. Dalam kondisi seperti ini, Suharto mendekati umat Islam melalui tokoh-tokohnya, namun tidak berhasil, sehingga Suharto terpaksa ”Berhenti” dari jabatannya sebagai presiden, dan digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie.
Masyarakat Indonesia mengalami titik kulminasi jenuh pada pemerintahan Orde Baru (yang sudah menjadi sama sengan Orde Lama). Cara-cara untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan kendaraan GOLKAR yang dengan rekayasa skenariotip selalu memenangka pemilu, sehingga kekuasaan Suharto dan Kroninya diusahakan terus untuk dipertahankan. Harmoko selaku ketua Golkar yang terakhir mendorong Suharto untuk maju lagi jadi presiden di tahun 1997, mengklaim dengan mengatakan rakyat Indonesia masih menginginkan kekuasaan Suharto.
Pada kenyataanya lain, masyarakat luas sudah mengiginkan perubahan kepemimpinan nasional, bahkan sebagian di kalangan ABRI pun dan dunia internasional yang dulu sebagai pendukung dana dan politik Orde Baru, mulai kendor dan meninggalkan dukungannya. Dalam kondisi seperti ini, Suharto mendekati umat Islam melalui tokoh-tokohnya, namun tidak berhasil, sehingga Suharto terpaksa ”Berhenti” dari jabatannya sebagai presiden, dan digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie.
F.
Perjalanan Politik Islam Indonesia
Islam mulai memasuki wilayah politik
indonesia sejak pertama kali negara indonesia mengadakan pemilihan umum
(pemilu). Dengan cara membuat suatu wadah, yaitu mendirikan partai politik.
Pada waktu itu partai yang berasaskan islam yaitu ada dua pertama,
Partai Masyumi dan Partai NU. Melalui wadah ini umat islam memainkan perannya
sebagai seorang politikus yang ingin menanamkan nilai-nilai islam. Dalam tesis
Harun Nasution yang berjudul The Islamic State in Indonesia. The Rise of the
Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of the Masjumi,
beliau mengemukakan bahwa ada perbedaan besar antara NU dan Masyumi. Kaum
modernis di dalam Masyumi pada umumnya mereka hendak membangun suatu masyarakat
muslim dan sebagai akibatnya mereka mengharapkan suatu negara islam. Kelompok
yang diwakili NU lebih sering memperjuangkan suatu Negara sebagai langkah
pertama dan melalui negara islam ini mereka hendak mewujudkan suatu masyarakat
islam (hlm. 76-77). Suatu perbedaan lain adalah, bahwa ulama mendapat kedudukan
yang penting dalam organisasi negara konsep NU, sedangkan posisi mereka tidak
begitu menonjol dalam pemikiran kaum Masyumi (92).[2]
Setelah jatuhnya orde lama dan
berganti orde baru, peran politik islam dalam negara Indonesia cenderung
mengalami kemunduran. Disebabkan karena adanya usaha represif terhadap partai
politik yang berhaluan islam, yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu
karena ketakutan akan kehilangan kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya
ada tiga partai yang diakui dan boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang
berasas islam pada waktu itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Adanya usaha represif yang dilakukan
oleh rezim orde baru, yang berkuasa selama 32 tahun, rupanya menimbulkan
kekecewaan pada banyak pihak. Puncak dari keramahan tersebut adalah dengan
turunnya mahasiswa ke jalan dan menduduki gedung DPR-MPR. Yang dimotori oleh
mahasiswa UIN, UGM, dan UI. Dampak dari demonstrasi tersebut membuat semakin
memudarnya legitimasi politik rezim orde baru, sehingga pada tanggal 21 Mei
1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. [3]
Babak baru dalam dunia perpolitikan
di Indonesia dimulai. Pada pemilu yang dilangsungkan tahun 1999, organisasi
islam banyak mendirikan partai politik yang berasaskan islam dan atau berbasis
umat islam. Diantaranya: PPP, PAN, PKB, PNU, PBB, PK sekarang PKS, dll. Pada
masa itu simbol-simbol agama sangat mewarnai kancah perpolitikan indonesia.
Simbol-simbol keagamaan yang diekspresikan apparatus birokrasi, tentu memiliki
makna sosial. Bisa jadi ia merupakan representasi dari kesalehan dan kesadaran
spiritual apparatus birokrasi, tetapi juga bukan mustahil ia juga bisa berubah
menjadi sumber pengumpulan legitimasi.[4]
Hasil dari pemilu tahun 1999 tersebut membawa Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menjadi presiden RI ke-4.
Sejak pemilu tahun 1999 sampai
dengan sekarang, umat islam mulai kebingungan akan pilihan yang harus ia
pegang. Sebab, semuanya mengaku bernafas islam dan mementingkan hak rakyat.
Dalam tubuh partai politik-pun banyak mengalami perebutan kepemimpinan dan atau
pecah menjadi beberapa partai.
Perubahan setting politik pasca-Orde
Baru tanpa diduga memberi ruang bagi berkembangnya wacana penegakkan syariat
islam di indonesia.[5]
Seperti yang telah dilakukan oleh Aceh, dan beberapa daerah yang menginginkan
penggunaan syariat islam.
BAB III
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara yang
masyarakatnya sebagian besar beragama Islam, sehingga sudah selayaknya
menempatkan diri dalam membangun peradaban islam. Perkembangan Islam yang ada
di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan Islam di belahan bumi
lain. Membaca Islam yang di Indonesia rasanya cukup penting. Sebab, dari hasil
pembacaan itu kita sebagai umat islam dapat mengetahui akan bagaimana
perkembangan islam di indonesia setelah islam mengalami beberapa fase perubahan
dari waktu ke waktu.
Pengaruh besar agama Islam adalah
agama Hindhu-Budha yang sudah mendarah daging pada masyarakat Indonesia.
Penyebaran Islam di Indonesia secara beransua-angsur melalui perdagangan.
Banyak masyarakat yang antusias masuk Islam karena penyebaranya dan isinya
selalu mengajak pada perdamaian dan juga menyeimbangkan antara dunia dan
akherat.
Peran aktif Islam dalam dunia Islam
Modern dan Kontemporer sangat luar biasa ini terbukti dengan usaha Islam untuk
menginginkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda atupun Jepang. Islam juga
masuk pada fase Politik dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik
memberikan Pemerintahan bagi masyarakat Indonesia.
Semoga uraian ISLAM KONTEMPORER MODERN
INDONESIA akan memberikan manfaat untuk bersama guna menelusuri perdaban Islam
menilik dari sejarah Islam, masuknya Islam, perkembangan Islam serta peran
aktif Islam didalam Pemerintahan baik keaktifan politik atau keaktifan social.
Kami dari penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya terdapat kesalahan, baik
kesalahan yang disengaja atau tidak sengaja.
DAFTAR
PUSTAKA Asmuni, Yusran. 1995. Pengantar
Studi Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta:
Grafindo.Bhakti, Ikrar Nusa. 2000. Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnya
Presiden Soeharto, dalam Pers Dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah
Hegemoni, Dedy N. Hidayat, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bustamam,
Kamaruzzaman-Ahmad. 2002. Islam Histori Dinamika Studi di Indonesia, Yogyakarta:
Galang Press.Effendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press. Kuntowijoyo. 1999. Budaya &
Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.Maliki, Zainuddin. 2004. Agama
Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa. S.
Turner, Bryan. 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisme.
Jakarta: Riora Cipta.Sudirman. 1989.Pembaharuan Hukum Islam :
Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam. Jakarta: LSAF.Tafsir, A. dkk., 2004. Cakrawala Penididikan Islam.
Bandung: Mimbar Pustaka. Wahidin, Khaerul dan Taqiyuddin. 1996. Sejarah
Pendidikan Islam Umum & Indonesia. Cirebon: Biro penerbit Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon. . 2002. Wajah Liberal Islam
Di Indonesia, Penyunting: Luthfi Assyaukanie, Jakarta: Teater Utan Kayu.
[1]
Drs. Khaerul Wahidin dan Drs. Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Islam Umum
& Indonesia, Cirebon: Biro penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung
Djati Cirebon. 1996, Hal. 2
[2]
Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution,
dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989, Hal.
153
[3]
Ikrar Nusa Bhakti, Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnya Presiden Soeharto,
dalam Pers Dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Dedy N.
Hidayat, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, Hal. 61
[4]
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2004, Hal. 6
[5]
Arskal Salim, Islam di Antara Dua Model Demokrasi, dalam: Wajah
Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: TUK, 2002, Hal. 27
[6]
Dr. Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 1999, Hal. xi
[7]
Drs. Khaerul Wahidin dan Drs. Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Islam Umum
& Indonesia, Hal. 39
[8]
Syamsu Rizal Pangabean, Prospek Islam Liberal di Indonesia dalam Wajah
Liberal Islam Di Indonesia, Penyunting: Luthfi Assyaukanie, Jakarta: TUK,
2002, Hal. 9
[9]
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Histori Dinamika Studi di Indonesia, Yogyakarta:
Galang Press, 2002, Hal. 61
[10]
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Jakarta: Grafindo, 1995, Hal. 7
[11]
Prof. Dr. A. Tafsir, dkk., cakrawala penididikan islam, Bandung: Mimbar
Pustaka, 2004, Hal. 2
[12]
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Histori Dinamika Studi di Indonesia, Hal.
67
[13]
Bryan S. Turner, Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisme, Jakarta:
Riora Cipta, 2002, Hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar