BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsep-konsep
tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk
diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang
sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila ia
benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam
banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang
administrasi negara itu juga berasal dari praktek adinistrasi sehari-hari. Oleh
sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara tidak berada dalam
ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang aplikasinya,
bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus bertindak
menurut kaidah-kaidah etis yang ada.
Begitu
banyak teori maupun konsep yang membahas tentang kaidah normative yang terdapat
diantara penguasa negara. Demikian pula konsep-konsep seperti keailan,
kedaulatan rakyat, kepentingan umum, norma-norma dan sebagainya. Namun
terkadang uraian yang terdapat di dalamnya sangat abstrak sehingga sulit
dipahami.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pejabat
publik berfungsi sebagai administator, dan apa persyaratannya?
2.
Apa yang dimaksud
dengan etika pembangunan?
3.
Bagaimana relevansi etika dengan setiap
aktivitas yang terdapat dalam birokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Normatif Bagi Administator
Pejabat public berfungsi sebagai administrator dan seorang
abministrator harus mengabdi kepada kepentingan umum. oleh karena itu harus
memenuhi persyaratan teknis seperti intelegensia, kemampuan mengambil keputusan
(decivense), wawasan kedepan, atau kemahiran manajemen, mereka harus memiliki
landasan normative yang tergantung dalam nilai-nilai moral. Ini yang menentukan
apakah WN menaati ketentuan lembaga pemerintah hanya karena hukum formal atau
kedudukan pejabat tinggi ataukah karena mereka mencintai para pemimpin atau
pejabat karena kearifan dan keluhuran budi tingkah laku mereka.
Berbagai
teori filosofis yang sering dijadikan landasan, baik itu yang berasal dari
hukum abadi (naturalisme). Hukum utilitarian, hukum deontologis,
individualisme, maupun teori kebebasan pribadi, ternyata tidak selalu memuaskan
dalam memcahkan persoalan. Tidak ada satupun sistem tunggal yang dapat
dijadikan penuntun dalam mengatasi masalah-masalah etis yang pelik. Namun, buka
berarti administrator dapat berbuat sekehendak hati mereka, sebab, bagaimanapun
tindakan mereka menyangkut orang lain, dan orang lain itu adalah masyarakat
umum yang telah memberikan kepadanya wewenang untuk mengambil keputusan.
Administrator punya kewajiban kepada publik dan ia tidak tidak boleh
mengabaikan kewajiban-kewajiban itu.
Pertama-tama
harus disadari bahwa semua pertimbangan normatif harus menuju kepada kebaikan
bersama. Setelah itu, seorang administrator hendaknya selalu mawas diri untuk
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sebagai kewajiban yang harus mengangkat
harkat manusia.
Salah satu
prinsip moral adalah kebajikan (virtue). Aristoteles mendefinisikan kebajikan
sebagai :
“ Virtue is a habit or a state of
character concerned with choice, lying in a mean, i. e., a mean relative to us,
this being determined by a rational
principle, and by that principle by
which then man practical would be determined it. ”
Oleh karena
itu kebajikan menentukan cirri kualitas yang membuat seorang disebut baik (the
quality which make man good). Cirri kualitas ini bertalian dengan watak seorang
maupun pikirannya sehingga selai didukung oleh kearifan dan kebjaksanaan,
kebajikan juga mensyaratkan rasionalitassegi-segi dari orang terjangkau oleh
cirri kualitas dalam kebajikan meliputi pemikiran, pengetahuan, keingan,
perasaan dan perbuatannya.
Aristoteles
mendeskripsikan 10 macam kebajikan berserta dengan konsep-konsep relevan
berikut ini yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan itu.
Cacat
Kebajikan
Ekses
Pengecut
Berani
Gegabah
Tidak
nalar
Sederhana
Semau
sendiri
Picik
Bebas
Boros
Kikir
Indah
Vulgar
Rndah
diri
Bangga
Takabur
Malas
Makna
Ambisius
Dungu
Tabiat
Baik
Pemberang
Kasar
Ramah
Ceroboh
Licik
Jujur
Angkuh
Kaku
Cerdas
jenaka
Pembadutan
Menjaga keserasian berarti upaya-upaya untuk menghindari untuk menghindari
akibat akibat buruk dari perilaku dan tindakan. Disini ditunjukan bahwa
perilaku yang buruk atau kurang baik akan menimbulkan cacat (defect) dalam
kepribadian, sedangkan perilaku berlebihan akan menimbulkan ekses. Nilai-nilai
normatif yang juga wajib dianut administrator berkenaan dengan konsep keadilan.
Niali keadilan merupakan nilai intrinsik yang sangat penting dan merupakan
cita-cita tertinggi yang harus dicapai dalam segala upaya. Keadilan juga harus
menjadi asas hukum bagi organisasi-organisasi politik yang terbentuk dari
berbagai golongan, wilayah dan kepentingan dalam kehidupan negara. Pemerintah
yang adil mengandaikan adanya hukum yang adil. Konsepsi keadilan bagi kehidupan
benegara dan pemerintahan lazim disebut keadiln politis (political justice)
Keadilan mestinya dipandang sebagai suatu cita asa tujuan dan
unsure yang terdapat dalam semua bentuk hukum. Pemerintahan yang adil
mengandaikan adanya hukum yang adil. Keadilan hukum inilah yang akan menentukan
terjaminnya terbit sosial.sejalan dengan terjaminnya keadilan hukum tersebut
maka administrasi pemerintahan dilengkapi dengan pranata pengadilan yang
bertugasmelaksanakan aturan hukum melakukan persidangan mengahakimi keputusan
keputusan yang bersifat hukum, dan atau menjamin keadilan procedural. Keadilan
yang menyangkut produksi, distribusi dan perdagangan disebut dengan kebijakan
ekonomis (economic justice)setiap organisasi dan tatakerja produksi barang dan
jasa harus bersifat adil terhadap tenaga kerja sebagai unsure produksi maupun
pembeli sebagai konsumen. Konsep tentang keadilan sosial (social justice)
mengharuskan disrtibusi pelayanan sosial terhadap setiap unsure masyarakat
secara adil. Paraadministrator wajib mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar
pelayanan public terlaksana scara adil kepada setiap warga tanpa memandang
status, golongan jabatan, atau pangkatnya.
Beberapa
pedoman yang bisa diikuti untuk dapat berlaku dan bertindak secara adil menurut
beberapa rumusan atau pendapat filsuf adalah:
1.
Dorongan
batin yang tetap untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya;
2.
Tidak
sewenang wenang dan tidak membeda-bedakan orang.
(Plato):
1.
Masing-masing
unsur kejiwaan-cipta,rasa,karsa-dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya
tanpa mengganggu satu sama lain;
2.
Budi
rohani dalam keadaan tertib sebagai mana tertibnya keadaan tubuh yang sehat;
3.
Disiplin diri dengan perasaan hati
yang dikendalikan oleh akal.
Disiplin diri dengan perasaan hati
yang dikendalikan oleh akal.
(philemon):
1.
Tidak
mau berbuat salah walaupun bisa melakukannya;
2.
Watak
yang tulus untuk berbuat adil, bukan sekedar karena ingin tampak adil;
3.
Menolak
mengambil barang berharga milik orang
lain walaupun tidak ada resiko yang merugikan.
(Stanley
Benn):
1.
Memiliki
integritas
2.
Hidup
menurut asas-asas yang konsisten;
3.
Prinsip
hidup tidak digoyangkan. Oleh pertimbangang keuntungan, hasrat, dan perasaan
hati.
Selanjutnya
landasan normatif yang tidak kalah pentingnya dengan ketentuan-ketentuan diatas
adalah kesediaan para administrator untuk mempertanggungjawabkan tindakan,
keputusan, dan kebijakan yang dibuatnya. Pengertian tanggung jawab mengandung
implikasi yang begitu luas bagi administrator. Pertama-tama, pertanggung
jawaban hierarkis adalah proses pertanggungjawaban secara berjenjang dalam
berbagai kedudukan dalam birokrasi.kedua, pertanggungjawaban manajemen. Ilmu
manajemen merupakan dasar dari setiap proses pelaksanaan tugas dalam organisasi
negara. Ketiga, sistem pertanggungjawaban kemasyarakatan yang menentukan baik
buruknya kualitas birokrasi serta wibawa organisasi secara keseluruhan.[1]
Dimog
& Konig mengatakan :
................
every delegation of power to an agent must be accompanied by a corresponding
degree of accountability.”
2.2
Etika Pembangunan
Menurut
Hans Kung etika adalah seperangkat konsensus, sebuah kesepakatanatas nilai,
kriteria dan sikap tertentu yang akan digunakan sebagai basis masyarakatdunia
yang akan datang.[2] Jadi
definisi etika pembanguna secara sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah
proses perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih
baik.
Etika pembangunandapat dilihat dalam perbandingan dengan
etika bisnis, etika kedokteran, etikalingkungan atau etika-etika praksis dari
area serupa. Setiap area praksis selalumemunculkan pertanyaan-pertanyaan etis
tentang prioritas dan prosedur, hak dankewajiban. Menurut Goulet etika
pembangunan adalah“the examnation of ethical and value questions posed by
development theory, planning, and practice”.Sedangkan Crocker mendefinisikan
etika pembangunan sebagai “the ormative or ethical assessment of the ends and
means of Third World and Global Development”[3]
Dengan kata lain, etika pembangunan dapat dilihat sebagai
satu perhatian tertentuyang mempertanyakan tentang pilihan-pilihan nilai utama
yang terdapat dalam proses pembangunan sosial dan ekonomi. Apakah pembangunan
yang baik itu? Bagaimanamanfaat dan biaya dibagi antara generasi sekarang dan
generasi yang akan datang?Siapa yang menentukan dan bagaimana? Apakah hak-hak
individu yang harusdipenuhi dan dijamin?
Parameter
Etika dalam Pembangunan
Sebuah etika dapat dipahami dengan menggunakan prinsip dasar
(a)setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi dan (b) kebaikan yang
kamulakukan pada dirimu lakukanlah pada orang lain. Dua prinsip ini harus
menjadi normatanpa syarat yang tidak terbatalkan bagi semua bidang kehidupan,
ras, bangsa danagama. Amarta Sen menyebutkan bahwa Etika dalam pembangunan
dapat pula dilihat melalui beberapa hal. Yaitu :
![]() |
1.
kebaikan seseorang dipengaruhi oleh kondisiorang lain
(simpati).
2.
seseorang melakukan sesuatu untuk mendukung oranglain
atau sebab lainnya meskipun perbuatan tersebut tidak berkaitan
dengankebaikannya (komitmen)[4]
Sedangkan Hans Kung berkecenderungan untuk melihat pada aspek
komitmen yang meliputi beberapa hal[5]
1.
komitmen pada budayaantikekerasan dan penghormatan
pada hidup,
2.
komitmen pada budayasolidaritas dan tatanan ekonomi
yang adil,
3.
komitmen pada budaya toleransidan hidup yang jujur,
4.
komitmen pada budaya dan hak yang sama dan kerjasama
antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian besar, etika pembangunan memberikan paling tidak
sepuluh keyakinan atau komitmen tentang bidang mereka dan parameter umum untuk
dasar etika pembangunan. Yaitu:
Pertama, meskipun perkembangan/pertumbuhan ekonomi
dapatmengurangi perbudakan dan meningkatkan standar hidup namun menyisakan
permasalahan kemakmuran sedikit orang atas kebanyakan orang.
Kedua, teori dan praktek pembangunan mempunyai
dimensi-dimensi nilai dan etika dan dapatmengambil manfaat dari konstruksi,
kritisme, dan analisis etis.
Ketiga, pembangunan bersifat multi disiplin yang memiliki
komponen praksis dan teoritisyang saling berkaitan dalam berbagai cara. Oleh
karena itu, etika pembangunan tidak hanya bertujuan memahami hakekat, sebab,
dan konsekuensi pembangunan namun juga mempromosikan konsepsi tertentu terkait
perubahan yang diinginkan.
Ke empat,
etika pembangunan berkomitmen untuk memahami dan mengurangi perampasan
kemanusiaan dan penderitaan di Negara-negara miskin.
Kelima, pemberi bantuan, proyek dan institusi pembangunan
harus memiliki komitmen dan konsensusuntuk mencari strategi yang memperhatikan
kebaikan manusia dan lingkungan.
Keenam, pembangunan dapat dipahami secara deskriptif dan
normatif. Secara deskriptif, pembangunan dipahami sebagai pertumbuhan ekonomi,
industrialisasi, danmodernisasi yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita.
Secara normatif, pembangunan adalah institusionalisasi kebijakan yang
merealisasikan penyelesaian perampasan sosial dan ekonomi.
Ke tujuh, etika pembangunan melakukan penilaian atas (a)
prinsip-prinsip etikadasar seperti keadilan, kebeasan, otonmi, dan demokrasi;
(b) model dan tujuan pembangunan seperti “pertumbuhan ekonomi” , “pertumbuhan
dengan persamaan” , “ tata ekonomi internasional baru ” , “kebutuhan dasar” , “pembangunan
berkelanjutan”,“penyesuaian structural” , “pembangunan manusia” , dan
“pembangunan berkelajutan”; (c) strategi, proyek, an institusi tertentu.
Ke delapan, etika pembangunan harus diupayakan melalui
tingkatan global yang melibatkan Negara-negara miskin.
Ke Sembilan, kebijakan pembangunan harus memiliki
sensitifitasterhadap konteks. Prinsip dan sarana terbaik tergantung pada
sejarah masyarakat politik dan tahapan perubahan sosial.
Ke sepuluh, strategi dan model pembangunan bersifat fleksibel
dan tidak eksklusif dengan orientasi untuk seluruh manusia tanpamembedakan
jenis kelamin, usia, ras, suku, dan agama.
Pendukung etika pembangunan menolak dua model dalam
pembangunan:
(a)
Memaksimalkan
pertumbuhan ekonomi dalam suatu masyarakat tanpa memperhatikan secara
langsunguntuk mengubah kemakmuran yang lebih besar menjadi kondisi kehidupan
manusiayang lebih baik untuk anggotanya, apa yang disebut Amartya Sen dan Jean
Dreze“kemewahan tanpa tujuan”. Yaitu suatu masyarakat yang tidak peduli
dengankesenjangan antara si kaya dan si miskin dan
Memaksimalkan
pertumbuhan ekonomi dalam suatu masyarakat tanpa memperhatikan secara
langsunguntuk mengubah kemakmuran yang lebih besar menjadi kondisi kehidupan
manusiayang lebih baik untuk anggotanya, apa yang disebut Amartya Sen dan Jean
Dreze“kemewahan tanpa tujuan”. Yaitu suatu masyarakat yang tidak peduli
dengankesenjangan antara si kaya dan si miskin dan
(b)
egalitarianisme yang memenuhikebutuhan fisik dengan
mengorbankan kebebasan politik.
Menurut pendekatan etika pembangunan, pembangunan haruslah
bersifatkomprehensif. Yaitu secara langsung dan bersamaan serta berkelanjutan
menyentuhsegenap aspek-aspek kehidupan manusia. Tidak ada hak istimewa atas
aspek tertentuterhadap aspek-aspek lainnya. Hak istimewa terhadap salah satu
aspek tertentu akan berarti perampasan atas aspek lainnya yang kemudian
melahirkan problematikadalam pembangunan sebagaimana terjadi dalam fenomena
pembangunan dewasa ini. Yaitu, ketika aspek ekonomi mendapat perlakuan istimewa
maka pendekatanakumulasi kapital (kekayaan) mensubordinasikan
kepentingan-kepentingan lain.Termasuk di dalamnya adalah subordinasi
kepentingan ekonomi masyarakat yangtidak memiliki akses terhadap sumber
permodalan maupun kepentingan pemeliharaanlingkungan.
Orientasi pada liberasi masyarakat miskin tidaklah
sepantasnya hanya menjadirasionalisasi bagi pembolehan ekspansi capital secara
luas dan bebas atas dasar akumulasi. Fenomena bahwa liberasi masyarakat miskin
pada hakekatnya hanyamenjadi dalih bagi kemudahan-kemudahan untuk ekspansi
capital banyak ditemukan pada realitas pembangunan di Negara-negara miskin yang
melibatkan peran dominan Negara-negara kaya. Implikasinya, pembangunan yang
dijalankan tidak membumi pada“local wisdom”maupun“local genius”sehingga tidak
efektif bagi liberasimasyarakat setempat.
Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih dititikberatkan
untuk memperlancar proses pembangunan. Dalam tugas-tugas pembangunan, aparat
administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan pembangunan,
baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaanya secara efektif dan
efisien. Aparat administrasi harus mampu menjadi agen-agen perubahan (change
agents).
Dengan demikian,
wajarlah apabila para administrator pembangunan diberi hak-hak untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang diperlukan berdasarkan pertimbangan rasional dan
pengalaman yang dimilikinya. Namun tidak setiap administrator menyadari bahwa
mereka mengemban tugas berat yang harus selalu dipertanggungjawabkan kepada
rakyat.
Davis mengatakan bahwa di
negara-negara yang tengah melakukan usaha-usaha modernisasi, banyak pejabat public
yang kini memiliki terlalu banyak diskresi. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan
restrukturisasi perlu dilakukan untuk membatasi, menyusun kembali, dan
mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna menciptakan masyarajat yang lebih
adil.
Di Indonesia, pertanggungjawaban
administrative terhadap masalah-masalah pembangunan akan semakin diperlukan
terutama jika diingat bahwa pendekatan legalistic melalui Peradilan Tata Usaha
Negara belum bisa betul-betul diterapakan. Betapapun administrasi pembangunan
tidak berjalan dalam kondisi vakum politik, karena itu pelaksanaannya harus
dapat dipertanggungjawabkan secara politik pula. Proses administrasi memperoleh
legitimasinya dari kehendak politik rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia
mencerminkan kemauan rakyat sampai kepada tingkat kebijakan yang paling mikro.
Tidak dipungkiri bahwa pembangunan
nasional Indonesia selama 25 tahun terakhir telah berhasil mengangkat taraf
kemakmuran ekonomis masyarakat. Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi
dengan meningkatnya kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan
nilai-nilai demokrasi.
Secara rinci Korten mengemukakan
ciri-ciri program pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara lain :
a.
ketergantungan pada organisasi-organisasi birokkrasi
terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk menanggapi beraneka-ragam
kebutuhan khas komunitas ; ketergantungan ini juga nampak dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan “ partisipatif ”;
b.
investasi yang tidak memadai dalam proses pengembangan
kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah;
c.
perhatian
yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal
struktur sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis;
perhatian
yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal
struktur sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis;
d.
tidak cukupnya integrasi antara komponen-komponen
teknis dengan sosial dalam upaya pembangunan.[6]
Untuk itu, Korten mengusulkan supaya
program-program pembangunan tidak hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang
terlalu kaku melainkan diupayakan agar terjadi proses belajar (learning
process) yang bermanfaat bagi rakyat. ini hanya bisa dilaksanakan jika para
administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya terpancang pada
pemahaman teknis dan asas-asas
manajerial dalam proses administrative
tetapi juga membuka diri terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur
masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara secara eksplisit telah menyebutkan bahwa
ideologi pembangunan yang kita anut mencita-citakan pembangunan manusia
seutuhnya. Maka para administrator yang terlibat langsung dalam perencanaan
maupun operasionalisasi program-program pembangunan diharuskan untuk selalu
mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan tugas-tugas
kedinasan mereka.
1.
Kebebasan
Kemerdekaan pribadi atau kebebasan
merupakan bagian penting dari hak-hak asasi manusia. Hak untuk bebas merupakan
hak yang melekat pada setiap individu karena martabatnya sebagai manusia, bukan
karena pemberian oleh masyarakat dan negara. kebebasan perlu ditegakkan supaya
wajah pembangunan tetap beradab dan berperikemanusiaan. Menjamin kemungkinan
tumbuhnya kekuasaan tiran atau
kebijkan-kebijakan pembangunan semena-mena yang hendak menukar
modernisasi dengan harkat dan martabat warga negara. dalam proses menggerakkan
roda pembangunan, ada beberapa corak kebebasan yang perlu dipertimbangkan
antara lain.
a. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Pemerintahan disebut demokratis
hanya apabila ia bersedia membuka peluang yang luas bagi setiap warga negara
untuk berbicara sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan mengeluarkan pendapat
perlu dijamin karena disamping untuk melindungi hak-hak asasi ia juga dapat
dijadikan sumber masukan bagi pemerintah supaya bisa mengetahui
kelemahan-kelemahannya.
b. Kebebasan Pers
Control sosial dan tanggung jawab
sosial hanya dapat berjalan baik jika dalam masyarakat terdapat kebebasan pers.
Lebih dari itu pers juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mengkomunikasikan ide-ide pembangunan. Namun pers sendiri acapkali melakukan
self-censorship dan tidak berusaha menciptakan iklim yang kondusif bagi adu
argumentasi yang sehat.
c. Kebebasan Berserikat
Kebebasan berkumpul atau berserikat
perlu senantiasa dilindungi dalam upaya menuju sistem politik yang demokratis.
Rakyat mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat, melaksanakan
pertemuan-pertemuan, atau bahkan membentuk berbagai corak kelompok sosial untuk
memenuhi kepentingan bersama.
d. Kebebasan Beragama
Setiap warga negara harus
diperkenankan untuk menganut agama tertentu dan beribadah sesuai dengan
keyakinannya, karena itu menyangkut hak individual yang wajib dijamin. Semuanya
perlu diwujudkan dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan kalau kita memang
menghendaki terciptanya wujud pembangunan yang manusiawi.
2.
Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung
dalam gerak pembangunan juga ditentukan oleh seberapa jauh prose situ dapat
menciptakan persamaan derajat bagi warga negara. hal yang pertama-tama harus
ditegakkan oleh pemerintah adalah persamaan di depan hukum (equality before the
law). Karena memiliki kedudukan tinggi, banyak pejabat yang seolah-oleh “kebal
hukum” meskipun pelanggaran yang dilakukannya sesungguhnya sangat merugikan
masyarakat.
Aspek persamaan yang juga
membutuhkan perhatian adalah persamaan kesempatan (equality of opportunity)
bagi seluruh lapisan masyarakat. Persamaan kesempatan di negara-negara berkembang
akan bisa diwujudkan bila negara berperan aktif untuk menciptakan
peluang-peluang terutama bagi kaum miskin dan kurang berpendidikan. Persamaan
yang harus diciptakan itu bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan
menyangkut pula bidang-bidang pendidikan, sosial, politik, atau
ketenagakerjaan.
3.
Demokrasi dan Partisipasi
Dalam menelaah perubahan-perubahan
yang terjadi di negara-negara berkembang, kita melihat setidak-tidaknya dua
komponen pendorong perubahan. Pertama adalah perubahan-perubahan yang bersifat
otonom karenan masyarakat menginginkan adanyan pergeseran kea rah kondisi
sosial atau taraf hidup yang lebih maju. Komponen pendorong perubahan yang
kedua berasal dari para pemimpin negara, politisi, teknokrat, intelektual, atau
birokrat yang menghendaki perubahan masyarakat
kea rah kemajuan sesuai dengan yang mereka pahami dan cita-citakan.
Persoalan-persoalan etika
pembangunan muncul karena ternyata metode membangun yang diterapkan oleh para
penguasa maupun administrator itu tidak cocok atau tidak koheren dnegan
kehendak rakyat. demokratisasi dimaksudkan agar cara-cara yang ditempuh dalam
melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat sehingga apapun
hasil dari pembangunan itu akan dapat dinikmati bersama. Karena itu pembangunan
tanpa demokrasi akhirnya akan merosot statusnya menjdi usaha sepihak elit penguasa
yang menentukan gagasan-gagasannya sendiri kepada masyarakat luas dan hanya
akan mengutamakan kepentingan kelomp[ok mereka sendiri.
Konsep demokrasi mengandaikan bahwa
masyarakat di segala tingkatan dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan yang menyangkut mereka. Demokrasi harus diletakkan sejak
perangkat pemerintahan yang paling bawah
hingga jenjang yang paling tinggi.
Keengganan para pejabat untuk
memahami pendapat-pendapat masyarakat seringkali juga mengakibatkan tumpulnya
kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan. Akan tetapi, satu hal
yang jelas dapat dilakukan adalah upaya penyadaran secara terus-menerus
mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam masalah-masalah pembangunan.
4.
Keadilan Sosial dan Pemerataan
Untuk mengejar ketinggalan dari
kelompok negara-negara maju, dapat dipahami bahwa proyek-proyek pembngunan yang
dilaksanakan oleh kebanyakan negara-negara dunia ketiga diarahkan untuk meningkatkan taraf ekonomi secepat mungkin.
Maka upaya-upaya yang dilakukan adalah pengerahan sumber-sumber daya yang
tersedia, pencegahan terhadap pemborosan-pemborosan financial yang tak
bertanggung jawab, sambil mempertahankan tingkat pelayanan public yang sudah
tercapai.
Masalah keadilan sosial (social
equity) menyeruak akibat munculnya kenyataan bahwa peningktan kesejahteraan
ekonomis ternyata hanya dinikamati oleh kalangan tertentu. Setelah beberapa
persoalan untuk memenuhi kebutuhan dasar berhasil diatasi, agenda permasalahan
yang harus dipecahkan dalam periode pembangunan selanjutnya bertalian dengan
keadilan sosial.
Pembahasan mengenai keadilan dalam
lingkup negara seringkali tidak tepat jika hanya menyoroti hunbungan-hubungan
individual. Keadilan juga bisa mempersoalkan struktur politik masyarakat secara
keseluruhan. Mengupayakan keadilan sosial berarti menjamin seoptimal mungkin
agar setiap anggota masyarakat dapat memperoleh apa yang menjadi haknya serta
bisa mendapatkan bagian yang wajar dari kemakmuran masyarakat yang telah
berhasil dicapai. Logika ini dapat dibalik dengan mengatakan bahwa usaha
mencapai keadilan sosial dapat dilakukan dengan menghapus ketidakadilan sosial.
Dalam hal ini ketidakadilan yang paling nyata adalah kemiskinan.
Pemerataan hendaknya menjadi salah
satu nilai yang wajib dianut bagi setiap aparat yang memprakarsai,
merencanakan, dan melaksanakan proyek-proyek sampai ke hal-hal yang bersifar
teknis.
Meskipun
pembangunan memberikan perubahan positif pada hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat, perlu dicatat bahwa pembangunan tidak terlepas dari dampak negatif
yang saat ini semakin mendapat perhatian dalamstudi pembangunan. Beberapa
dampak negatif yang dimaksud antara lainketimpangan sosial dalam masyarakat,
kerusakan lingkungan, malnutrisi, dan berbagai masalah lainnya. Pembangunan,
dalam perkembangannya, dipahamisebagai sebuah konsep yang destruktif yang
menyebabkan rusaknya aspek-aspek nilai, kultural dan kemanusiaan. Lebih jauh,
beberapa realitas yang menunjukkan bahwa konsep pembangunan tidak berjalan
dengan semestinya adalahmenurunnya pertumbuhan negara-negara termiskin di dunia
dari 1,9% ke 0,6%dalam rentang waktu 1960-2000 serta meningkatnya jumlah
penduduk dunia yanghidup dibawah garis kemiskinan. Meningkatnya level
kemiskinan tersebut jugasejalan dengan fenomena kelaparan yang semakin meluas
dalam rentang waktu1969-2010. Di sisi lain, pemanasan global semakin
menunjukkan dampakkerusakan lingkungan, dimana dalam rentang waktu 1990-2100
akan terjadikenaikan temperatur global antara 1.4 hingga 5.8 derajat celcius
dan hal ini akanmengakibatkan kenaikan level air laut antara 0.09-0.88 meter.
Tajamnyadisparitas pembangunan seperti yang terjadi dalam kawasan tertentu
seperti AsiaTenggara, dimana GDP per-kapita Singapura 45 kali lebih besar dari
Myanmar, juga menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa konsep
pembangunanmulai kehilangan makna.
Berbagai realitas tersebut diatas
menunjukkan bahwa jalannya pembangunan telah melibatkan pengorbanan dan biaya
kemanusiaan.Kemiskinan, kelaparan, disparitas pembangunan dan kerusakan
lingkungan terusmeningkat di tengah gegap gempita pacuan pertumbuhan ekonomi
negara-negaramaju. Penting untuk dilihat bahwa konsep pembangunan selama ini
hanyaterfokus pada pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan modernisasi
yangkemudian mengabaikan aspek-aspek lain seperti tersebut diatas. Hal
inimenegaskan perlunya peran etika dalam konsep pembangunan. Etika pembangunan
harus melekat secara komprehensif dalam aspek ekonomi, sosial, budaya dan
politik untuk dapat menjadi pendekatan alternatif yang efektif dalamstudi pembangunan.
Signifikansi etika dalam pembangunan
berkembang sejalan dengan perkembangan sejarah. Dalam konteks sejarah,
munculnya konsep etika dalam pembangunan mulai dicetuskan pada era 1940-an
dalam bentuk kritik terhadapkolonialisasi dan pendekatan pembangunan ekonomi
yang digagas oleh Gandhi diIndia dan Raul Prebish di Amerika Latin. Kritik
tersebut berlanjut hingga pada era1970-an dimana beberapa filsuf dari Amerika
Serikat seperti Hilary Putnam yangmemaparkan bahwa pencapaian kesejahteraan
ekonomi mengakibatkan disparitasyang besar antara negara-negara kaya dan miskin
di dunia. Putnam menegaskan bahwa dalam pemahaman tersebut, teori tentang etika
tidak dapat dipisahkandalam pendekatan pembangunan ekonomi. Gagasan etika dalam
pembangunan semakin kuat saat aktifis seperti Denis Goulet yang banyak diilhami
oleh ekonom Prancis, Louis-Joseph Lebret dan ekonom pembangunan seperti Bernard
Higgins,Albert Hirschman dan Gunnar Myrdal, menegaskan bahwa“development
needsto be redefined, demystified, and thrust into the arena of moral debate”.
Halsenada juga diungkapkan oleh ilmuwan sosiologi Peter Berger yang meyakini
bahwa pembangunan cenderung lebih membawa banyak kerugian bagi kaummiskin dan
oleh karena itu diperlukan etika politik dan perubahan sosial dalamkonsep
pembangunan di negara Dunia Ketiga.
Perkembangan konsep etika dalam
pembangunan juga diwarnai dengan perdebatan tentang kewajiban moral
negara-negara kaya untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat yang
menderita kelaparan dalam negara-negara berkembang. Salah satu penggagas utama
yang mendukung wacanatersebut adalah Peter Singer dengan argumen
“...rich people commit moral wrong
in refusing or neglecting to aid the starving poor.”
Berbeda dengan Singer,ilmuwan
Garrett Hardin dengan
“lifeboat ethics”
menegaskan bahwa memberi bantuan
pangan kepada masyarakat miskin justru hanya akan memperburuk permasalahan. Bagi Hardin, bantuan tersebut
justru membuat fenomena kelaparansemakin meluas dan memancing ketergantungan
negara-negara miskin akan bantuan dari negara kaya. Gagasan yang kemudian
muncul adalah perlunya pendekatan yang lebih komprehensif, empirik dan relevan
melalui kebijakan“ethics of third world development”daripada sebatas etika
bantuan.
Dalam perkembangannya, perdebatan
Hardin-Singer tersebut mendapat perhatian besar dari David A. Crocker dengan“ethics
of global development”.Crocker mengkritik Singer yang tidak secara jelas
menyebutkan bentuk kebijakandalam etika bantuan yang dimaksud, apakah melalui
bantuan seperti Oxfam ataumelalui bantuan pembangunan. Crocker juga melemahkan
argumen Singer dengan klaim bahwa fokus Singer terlalu banyak pada
negara-negara kayasehingga mengabaikan fokus terhadap apa saja yang telah
dilakukan negaramiskin untuk mengatasi masalah kelaparan yang melanda negara
mereka. Lebihlanjut, Crocker juga berpendapat bahwa etika bantuan yang digagas
Singer menempatkan negara-negara miskin sebagai pihak pasif, sang penerima
bantuan,dan negara kaya sebagai agen penyelamat masalah tersebut. Bagi Crocker,
negaramiskin juga harus dilibatkan sebagai agen untuk mengatasi masalah yang
merekahadapi. Crocker menutup kritiknya terhadap Singer dengan menegaskan
bahwakelaparan perlu dipahami sebagai sebuah akibat dari tidak meratanya
distribusikesejahteraan dan kekuasaan.
Kritik Crocker tersebut pada
dasarnya dikembangkan dari pendekatankonsep pembangunan yang digagas oleh
Amartya Sen dengan menempatkan pembangunan sebagai“the expansion of people’s
‘valuable capabilities and
functionings’: what people can or cannot do, e.g., whether they can live
long,escape avoidable morbidity, be well nourished, be able to read and write
and communicate, take part in literary and scientific pursuits, and so forth”.
Dengandemikian, dimensi moral dalam pendekatan pembangunan memiliki
signifikansiyang sama pentingnya dengan konsep pembangunan itu sendiri, yang
kemudiansemakin menegaskan pentingnya peran dan nilai etika dalam mengimbangi
pembangunan, khususnya pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan dalam pelaksanaannya
seringkali dikatakan memiliki dampak destruktif yang besar bagi kehidupan
manusia. Istilah anti pembangunan kemudianmuncul terkait hal ini. Pembangunan,
meski pada awalnya bertujuan untuk kepentingan kemaslahatan manusia, ternyata
mampu memunculkan dampak-dampak sampingan yang justru mengancam dan malah
merugikan bukannya menguntungkan.Pembangunan oleh Goulet dalamThe Cruel Choice:
A New Concept in theTheory of Development (1971) dikatakan telah menjadi
penyebab penderitaanmanusia dan kehilangan tujuan awalnya yaitu mensejahterakan
kemanusiaan.[7]
Peter Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974) juga menyatakan bahwa
pembangunan
lebih banyak mengorbankan ketimbang
menguntungkan rakyat kecil. Di negaraDunia Ketiga, yang sangat diperlukan demi
mengatasi permasalahan pembangunanseperti kemiskinan adalah keterlibatan etika
politik yang diterapkan pada perubahansosial yang terjadi. Lebih lanjut Berger
menyatakan bahwa suatu perbincangantentang masalah-masalah kemiskinan dunia
yang menyedihkan tidak dapat dianggapmanusiawi kalau mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
etis. Dan suatu etika politik tidak pantas disebut dengan nama itu kalau
mengabaikan permasalahan penting yaitu Dunia Ketiga [8]Etika dalam pembangunan
selanjutnya menjadi hal yang semestinya berjalan berdampingan seiring dengan
proses pembangunan yang dilakukan. Untuk semata-mata menolak pembangunan
sekiranya menjadi hal yang mustahil dilakukan bilamelihat tuntutan globalisasi
dan modernitas yang terjadi. Dalam pengertiandeskriptifnya sendiri, pembangunan
biasa dikaitkan dengan proses pertumbuhanekonomi dan industrialisasi yang
menuju pada peningkatan GDP (Gross Domestic Product) yang tinggi. Melihat hal
ini, pembangunan kemudian menjadi sesuatu yangmendapat dukungan namun juga
menuai kritik pada saat yang bersamaan. Pendekatanetika dalam pembangunanlah
yang kemudian bertugas menyampaikan kritiknyaterhadap keberlangsungan
pembangunan. Apabila secara deskriptif, pertumbuhanekonomilah yang menjadi
parameter keberhasilan pembangunan, etika adalah tolak ukur pembangunan secara
normatif. Dengan demikian, pembangunan selayaknya baru bisa dikatakan
sepenuhnya berhasil apabila telah sanggup memenuhi parameter- parameter baik
dari segi fisik maupun norma.
Ketika pembangunan hanya dipahami
secara deskriptif dalam istilah-istilah pertumbuhan ekonomi, industrialisasi,
dan modernisasi yang menjadikan GDPsebagai indicator utama maka
pertanyaan-pertanyaan etika akan mudah dipersepsisebagai anti pembangunan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perspektif pertumbuhanekonomi, industrialisasi,
dan moderninasi hanya berkutat pada efisiensi sebagai keniscayaan. Hal-hal yang
menghambat efisiensi disamakan dengan menghambat pembangunan. Logika akumulasi
kapital (kekayaan) senantiasa menekankan pada pembebasan hambatan-hambatan bagi
berlakunya ekspansi capital secara massif termasuk masalah etika.Berdasarkan
fungsi utama etika pembangunan yang meliputi (a) Mengangkatnilai-nilai sebagai
suatu kebutuhan (needs) bukan sekedar kemauan (wants); berbasis pada keadilan (
justice) bukan sekedar sedekah (charity); keadilan yang bukan
bersifatindividual atau perilaku tetapi terstruktur dan terlembaga; dan tidak
sekedar memanipulasi sumber-sumber (kekayaan, kekuasaan, informasi, dan
pengaruh); (b)Memformulasikan strategi-strategi yang etis dalam pemecahan
masalah pembangunan; dan (c) Menemukan jalan yang menggambarkan alternatif
proses perencanaan yang layak (secara teknis, politik, dan etika), maka etika
pembangunan tidaklah dapat serta merta dinyatakan sebagai anti pembangunan.
Etika pembangunan terfokus pada
lintasan masyarakat manusia dan jalanhidup individu yang membentuk masyarakat.
Agendanya semakin urgen dalammenghadapi globalisasi dan berbagai dampaknya.
Kita membutuhkan kerangka kerjaetika global. Pendekatan pembangunan manusia
menjadikannya analisis terpadutrans-disipliner tentang pembangunan. Pendekatan
pemenuhan kebutuhan (jaminan)dasar bagi setiap orang diperbarui dengan
menghubungkan hak asasi manusia denganreformulasi keamanan manusia. Hal ini
kondusif bagi universalisme etika dalam hal“rasa kebersatuan” –simpati dan komitmen
global- yang masih membutuhkan pendasaran yang lebih empatik dan menonjol.
Etika pembangunan perlu lebihdiperdalam untuk melayani secara lebih baik mereka
yang secara langsung terkenadampak proses globalisasi. Kerentanan dan
kapabilitas merupakan dua sisi dari satukeping manusia. Kebaikan kepedulian
menghubungkan keduanya, dan harusdidorong untuk memungkinkan tercapainya
solidaritas dan keadilan social.Pendalaman seperti itu akan membantu untuk
membentuk tanggung jawab dan timbal balik moral antar orang-orang sebagai warga
Negara dalam suatu Negara dan antar warga Negara dari Negara yang berbeda.
2.3 REDEFINISI ETIKA ADMINISTRASI
NEGARA
Setiap hubungan sosial akan
mempunyai konsekuensi tertentu dalam hal legitimasi. Sebagai contoh, pada
umumnya kita melihat “kekuasaan” sebagai kemampuan untuk membuat orang lain
bertindak sesuai dengan kemampuan “saya”. Disini letaknya persoalan legitimasi
terhadap kekuasaan bermacam-macam, kita dapat melihatnya dari norma agama,
etika, susila, sopan santun, maupun norma hukum. Norma yang dijadikan landasan
adalah norma etika atau moralitas.
Untuk memahami relevansi etika
dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali
lingkup administrasi negara itu sendiri. Henry (1980) misalnya, menguraikan ada
lima paradigm dalam ilmu administrasi negara dan sebagian besar perbedaan
paradigm itu berkisar pada perlu tidaknya dilakukan pemisahan antara ilmu
poliktik dan administrasi. Jika kita berbicara paradigm maka kita harus
memahami ilmu administrasi negara dari dua aspek.
Aspek pertama disebut lokus yang
menunjukan tempat keberadaan suatu bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus
yang menunjukkan kekhususan dari ilmu tersebut. Menurut Henry, paradigm yang
terakhir mengatakan bahwa lokus ilmu administrasi negara adalah mengenai
kepentingan public (public ainterest) dan urusan public (public affairs),
sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan manajemen.
Betapapun kenyataanya bahwa seorang
administrator atau birokrat tidak akan bisa menghindari tindakan-tindakan
politis.aktivitas politik dari birokrat tampak dari adanya keleluasaan
bertindak (diskresi) administrative yang dimilikinya. Sementara itu, aktivitas
administrative tampak dari segala perilakunya utuk merencanakan, memilik
alternative,mengorganisasi, mengelola, memantau, mengevaluasi, melaksanakan,
serta melakukan implementasi atas program-program di dalam lingkup birokrasi.
Dengan demikian, administrasi negara
bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis berlandasakan ilmu
manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga
aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak public dan
menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan menetukan norma dan mengatur
administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi materi atau isi,
administrasi negara berarti melakukan kebijakan public yakni menetapkan dan
melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh kepada masyarakat umum.
Dari segi formal atau bentuk,
administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang
banyak. Sementara itu, dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan
bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisasi atau tepatnya serangkaian
proses tindskan sosial yang berlangsung dan dibakukan dalam periode tertentu.
Jadi, dalam praktik administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan
kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta
keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Kesimpulannya adalah proses
administrasi negara senantiasa menuntut pertanggungjawaban etis.
Bagan 2.1 memperlihatkan kedudukan
etika administrasi negara di antara cabang-cabang etika sosial lainnya. Tampak
bahwa berbagai cabang etika sosial yang ada itu (sikap terhadap sesame, etika
keluarga, etika profesi, atika administrasi negara, etika politik, etika
lingkungan hidup, kritik ideologi) dalam beberapa segi akan banyak oengaruhnya
terhadap norma-norma yang harus diikuti di dalam etika administrasi negara.
Dalam bagan ditunjukkan bahwa etika
administrasi negara berada diantara cabang etika profesi dan etika politik.
Asumsi yang dipakai ialah bahwa seorang administrator adalah orang yang harus
menerapkan ilmu-ilmu manajemen dan organisasi secara professional. Seorang
administrator harus bertanggungjawab kepada lingkup masyarakat yang jauh lebih luas dan beraneka ragam. Oleh
karena itu, dia juga dituntut untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
masalah-masalah politis. 
Dilema yang harus dihadapi oleh administrator
bukan sekadar bagaimana supaya organisasi-organisasi public dapat berjalan
secara efisien, tetapi juga bagaimana supaya organisasi-organisasi itu dapat
memberikan pelayanan yang memuaskan public. Sementara itu, sebagai seorang yang
berwenang untuk melakukan pengambilan keputusan, dia harus mampu meletakkan
desentralisasi dalam organisasi secara tepat.
Etika administrasi negara berusaha
menemoatkan kaidah-kaidah moral dalam menghadapi berbagai dilemma yang ada, dan
juga masalah-masalah yang menyangkut kedudukan pribadi seoranga administrator
dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat.
![]() |
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
1. Pejabat public berfungsi sebagai administrator dan
seorang abministrator harus mengabdi kepada kepentingan umum. oleh karena itu
harus memenuhi persyaratan teknis seperti intelegensia, kemampuan mengambil
keputusan (decivense), wawasan kedepan, atau kemahiran manajemen, mereka harus
memiliki landasan normative yang tergantung dalam nilai-nilai moral.
2. Menurut
Hans Kung etika adalah seperangkat konsensus, sebuah kesepakatan atas nilai,
kriteria dan sikap tertentu yang akan digunakan sebagai basis masyarakatdunia
yang akan datang. Jadi definisi etika pembanguna
secara sederhana mengatakan
bahwa pembangunan adalah proses perubahan Kriteria dan sikap tertentu dari
suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih baik.
3. Untuk memahami relevansi etika dengan setiap aktivitas
yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi
negara itu sendiri. Henry (1980) misalnya, menguraikan ada lima paradigm dalam
ilmu administrasi negara dan sebagian besar perbedaan paradigm itu berkisar
pada perlu tidaknya dilakukan pemisahan antara ilmu poliktik dan administrasi.
Jika kita berbicara paradigm maka kita harus memahami ilmu administrasi negara
dari dua aspek. Yang pertama lokus yang kedua fokus.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L,Piramida Kurban Manusia: Etika Politik
dan Perubahan Sosial .Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004.
Crocker, David A, Ethics of Global Development:
Agency, Capabilty, and Deliberative
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008.
Gasper, Des dan Thanh – Dam Truong, Deepening
Development Ethics : FromEconomism to Human Development to Human Security,The
European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 3, September 2005
Kung, Hans, Etika Ekonomi Politik Global, Penerbit
Qalam. Yogyakarta, 1997.
Subhilhar, Etika Pembangunan : Kajian Alternatif dalam
studi Pembangunan, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Bidang Ilmu Studi
Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, 20 September 2008.
Kumorotomo, Wahyudi .2015. “Etika Administrasi
Negara”. Jakarta:Rajawali Pers.
[1] Kumorotomo,
Wahyudi .2015. “Etika Administrasi Negara”.
Jakarta:Rajawali Pers. Hal 97-105
[2] Hans
Kung, 1997.Etika Ekonomi Politik Global , Penerbit Qalam. Yogyakarta, Hal. 157.
[3] Subhilhar .2008. Etika Pembangunan : Kajian
Alternatif dalam studi Pembangunan, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada
Bidang Ilmu Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, hal. 9 – 10.
[4] Des Gasper dan Thanh – Dam Truong, Deepening
Development Ethics : From Economism to HumanDevelopment to Human Security,The
European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 3,September 2005, hal.
380 – 381.
[5] Hans Kung , op cit , Hal. 187.
[6] Ibid hal107-110
[7] Crocker,
David A. 2008. Ethics of Global Development: Agency, Capabilty, and
DeliberativeDemocracy. New York: Cambridge University Press. Hal 4.
[8] Berger,
Peter L. 2004. Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial .
Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia. Hal xxx.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar